Senin, 24 November 2014

SERI : NU DAN PANCASILA (6)

BAB II
Lahirnya Nahdlatul Ulama
Sebagai Organisasi Keagamaan (Lanjutan)



C. Langkah-langkah Nahdlatul Ulama Sebelum Kemerdekaan 

Sesuai dengan Anggaran Dasar 1926 (yang disusun 1929 dan 
disahkan oleh pemerintah 1930) NU menetapkan tujuannya adalah untuk mengembangkan Islam berlandaskan ajaran keempat mazhab. Tujuan itu diusahakan dengan: 
  1. Memperkuat persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat mazhab.
  2. Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan ajaran ahlusunnah wal jamaah.
  3. Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab.
  4. Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya. 
  5. Membantu pembangunan mesjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin.
  6. Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.(69)

Dengan berdirinya NU maka lapisan terbesar masyarakat Indonesia yang terdapat di pedesaan dibenahi oleh NU untuk mengimbangi kemajuan yang telah dicapai oleh kaum pernbaharuan di kota-kota. 

Sejak pembentukannya, Nahdlatul Ulama mampu membatasi penyebaran pikiran-pikiran Islam Moderen ke desa-desa di Jawa, yang sejak akhir tahun 1920-an tercapai suatu status quo ketika kaum Islam moderen memusatkan misinya di lingkungan perkotaan, sedangkan Nahdlatul Ulama cukup puas menarik pengikutnya, terutama mereka yang berasal dari daerah pedesaan.(70) 

NU muncul pada saat penguasa tradisional (pribumi) telah menjadi alat kekuasaan Belanda; sehingga makin rnemperkuat wibawa  ulama di mata umat Islam. "Dalam waktu bersamaan dengan menurunnya penguasa tradisional di mata publik, suatu kelompok elite baru muncul dengan menonjol yaitu para haji dan kyai," demikian Bernhard Dahm.(7l) 

Salah seorang kyai dan haji yang paling menonjol adalah Hasyim Asyari pendiri NU. Di bawah kepemimpinannya NU diantarkan sampai kepada masa kemerdekaan bangsa Indonesia. Masa hidupnya (1871-1947) merupakan karunia sejarah bagi NU, karena masa itu adalah masa yang penuh pergolakan bagi bangsa Indonesia, yaitu saat mulai memudarnya perlawanan bersenjata, kemunculan berbagai gerakan kebangsaan dengan berbagai aspirasinya, masa penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya dalam masa kemerdekaan. Mungkin jarang ditemui sebuah organisasi secara utuh dipimpin oleh seorang tokoh saja melewati berbagai periode sejarah seperti yang dialami NU di bawah kepemimpinan Hasyim Asyari. 

Segera setelah terbentuk, NU mengirim utusan khususnya kepada Raja Saud dengan permohonan agar diberlakukan kemerdekaan (kebebasan) di Tanah Suci menjalankan salah satu dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Permohonan ini disambut baik oleh Raja Saud.(72) Kalau pun sikap Raja Saud dapat rnengherankan — mengingat hubungannya dengan aliran Wahhabi — rupanya hal itu menyatakan telah terjadi pergeseran nilai di Tanah Suci. Antara 1924 dan 1932 Raja Saud dalarn usahanya membangun Saudi Arabia telah memutuskan hubungan dengan golongan fanatik para pendukungnya dan mulai mengambil langkah-langkah pragmatis.(73) 

Seperti dikatakan di atas bahwa yang paling penting bagi NU adalah kelangsungan mazhab. Hal itu segera ternyata dalam Muktamar pertama yang diadakan di Surabaya pada bulan Oktober 1926. Pertanyaan pertama dalam Muktamar: "Wajibkah bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat Mazhab?" Yang langsung dijawab oleh Muktamar, yang semua pesertanya ulama, bahwa "pada masa sekarang wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu empat mazhab yang tersohor dan mazhabnya telah dikodifikasikan (mudawwan)."(74) Tanpa menantikan kembalinya utusan Komite Hijaz (K.H Abdulwahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Chanaim yang baru kembali tahun 1928(75) ), NU telah menegaskan kemandiriannya dalam menganut mazhab! Memang Muktamar pertama langsung membahas masalah agama, praktek keagamaan dan etika. Yang menarik dari banyak muktamar NU adalah cara mengambil keputusan yang selalu bersandar pada pendapat (fatwa) ulama-ulama terdahulu dan selalu dihindarkan jawaban-jawaban yang mutlak (kecuali dalam soal agama). Sudah tentu cara ini hanyalah penegasan peranan ulama sebagai orang yang paling mengetahui masalah agama dan sebagai pemimpin keagamaan umat. Sebuah ilustrasi dari muktamar akan menjelaskan fenomen ini. 

Bolehkah menterjemahkan khutbah jum'ah selain rukunnya atau beserta rukunnya? Apabila ia diperbolehkan apakah yang terbaik dengan bahasa Arab saja atau beserta terjemahnya? Apabila yang terbaik beserta terjemahnya apakah faedahnya? Menterjemahkan khutbah jum'ah selain rukunnya itu boleh sebagaimana tersebut dalam kitab-kitab mazhab Syafii, dan Muktarnar memutuskan: Bahwa yang terbaik adalah khutbah dengan bahasa Arab kemudian diterangkan dengan bahasa yang dimengerti oleh hadirin. Adapun faedahnya adalah supaya hadirin mengerti petuah yang ada dalam khutbah. 

Bagaimana hukumnya alat-alat yang dibunyikan dengan tangan? 
Muktamar memutuskan, bahwa segala alat yang dipukul (dibunyikan) dengan tangan seperti rebana dan sebagainya itu hukumnya mubach (boleh selama) alat-alat tersebut tidak dipergunakan untuk menimbulkan kerusakan dan tidak menjadi tanda-tanda orang fasiq...(76) 

Cara yang sama masih terjadi sampai sekarang dalam pengajian-pengajian yang dipimpin oleh ulama. Sepintas lalu pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkesan picik dan naif, tetapi itu terjadi kalau kita kurang memahami apa arti hukum agama (syariat) bagi umat Islam. Agama atau keimanan tidak terlepas dari prakteknya yang konkret dalam kehidupan sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya yang dapat diatur oleh hukum. Dengan demikianlah umat Islam menyatakan ketaatannya secara bulat dan menyeluruh. Islam selalu mencoba sekuat tenaga menyesuaikan kehidupannya dengan hukum yang bersumber dari Allah. 

S.H. Nasr merumuskannya dengan indah: 
Syariah adalah hukum Tuhan, dalam pengertian ia adalah pelembagaan kehendakNya, dengan mana manusia harus hidup secara pnbadi dan bermasyarakat. Dalam setiap agama kehendak Tuhan selalu dimanifestasikan dalam satu atau lain cara . . . Tetapi di dalam Islam pelembagaan ini sesuatu yang konkret . . . Syariah berisi perintah agung yang mengatur segala keadaan dalam kehidupan...(77) 

Dalam konteks inilah para ulama (kyai) melakukan peranannya sebagai juru bahasa agama terhadap masyarakat. Kalau ia sering dituduh hanya membahas hal-hal yang sepele (furu'), itu karena ulama tidak dapat melepaskan pengetahuan keagamaannya dari kehidupan umat Islam yang mengharapkan bimbingannya. Di samping menganjurkan sesuatu perbuatan, ulama juga menilai sesuatu perbuatan yang tak dianjurkan tetapi berlangsung terus (seperti menilai ziarah, selamatan, soal jual beli, perkawinan dan sebagainya). Dalam perimbangan mana yang harus (wajib), mana yang dianjurkan (mandub), mana yang terlarang (haram), dan yang kurang baik (makruh) dan mana yang tak dilarang (halal) dan mana yang tak dianjurkan (mubah), para ulama membimbing umat menyesuaikan segala perbuatan dan tindakannya dengan kehendak Tuhan.(78) 

Setelah terbentuk NU setiap tahun mengadakan muktamar yang jumlah ulama peserta selalu meningkat dari tahun ke tahun. Pada Muktamar II (1927) pembahasan bukan lagi masalah mazhab tetapi bergeser pada masalah kemasyarakatan (perkawinan dan pendidikan agama).(79) Menarik untuk dicatat bahwa dalam Muktaar II, NU meminta kepada pemerintah Belanda agar pendidikan agama Islam dimasukkan di dalam kurikulum sekolah-sekolah umum di seluruh Jawa dan Madura karena mayoritas penduduknya beragama Islam, "Bila dinegara mayoritas muslim tidak diajarkan pelajaran agama Islam, menurut pandangan NU, sama artinya dengan berusaha mendangkalkan dan menanggalkan Islam."(80) 

Dalam memutuskan sesuatu hal yang dianggap baru Muktamar NU tidak menerima atau menolak begitu saja, tetapi memutuskan dengan hati-hati atau memutuskan dengan memandang manfaatnya. Bagaimanakah hukumnya mengambil hasil dari barang jaminan (sebidang tanah) yang diambil hasilnya dalam pegadaian? Muktamar II menyodorkan tiga pendapat, yaitu haram, halal dan syubhat (belum jelas haram atau halal). "Adapun Muktamar memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama (haram)."(81) Bagaimana hukumnya mendengarkan siaran radio? Muktamar X menjawab: "Kalau yang didengarkan haram maka haramlah mendengarnya. Kalau makruh, ya makruhlah mendengarnya begitulah seterusnya, begitu pula hukum menyimpannya."(82) Keputusan ini sesuai dengan pendapat Mufti Mesir, Bakhit El Muthi'ie, yang disiarkan dalam majalah El-Hidayatul Islamiyah bulan Agustus 1933.(83) Berarti keputusan Muktamar di samping berlandaskan buku klasik juga menggunakan pendapat lain yang datang dari luar dirinya. 

Besar sekali keuntungan yang diperoleh NU dengan mengadakan muktamar setiap tahun sehingga ia mampu mengikuti perkembangan dan kejadian yang timbul di masyarakat umum. 

Dalam perkembangannya Muhammadiyah organisasi pendidikan dari golongan pembaharuan juga melakukan hal yang sama agar dapat memberikan pedoman bagi umat Islam. Muhammadiyah pada tahun 1927 mernbentuk sebuah badan yang berhak mengeluarkan fatwa, yaitu Majelis Tarjih.(84) Badan ini juga diharapkan menjaga agar tidak terjadi "pelanggaran-pelanggaran terhadap keputusan-keputusannya."(85) Majelis Tarjih banyak membahas tentang masalah non-agama, yang dianggap akan menimbulkan pertikaian di kalangan umat, seperti bunga bank, upacara api unggun, soal pakaian, dan sebagainya.(86) Menurut Deliar Noer — yang memuji peranan Majelis Tarjih ini — dalam memutuskan fatwanya bersifat longgar dan toleran dalam arti "memberikan kelapangan pada praktek yang berbeda dengan pendapatnya."(87) Abdurrahman Wahid yang tergolong pemikir dan tokoh muslim progresif dewasa ini (sekarang Ketua NU), dalam sebuah diskusi panel dengan warga Muhammadiyah pada tahun 1981, memuji potensi organisasi ini karena sesuai dengan wataknya yang egaliter telah mampu menghimpun kaum profesional (dokter, guru, pedagang, pekerja, dan lain-lainnya) bergiat dalam memperjuangan missi Islam dalam masyarakat.(88) Namun ia juga memberikan kritiknya bahwa dalam perkembangan Muhammadiyah peranan ulama makin tergeser ke belakang oleh kaum profesional sehingga agama kemudian hanya menjadi pemberi legitimasi bagi kegiatan kemasyarakatan Muhammadiyah.(89) Menurut hemat saya, kritik Wahid itu secara tidak langsung menegaskan ciri khas NU bahwa yang berhak memberikan fatwa yang berwibawa adalah para ulama orang yang paling mengetahui masalah agama. Peranan ulama memberikan fatwa dalam masalah kemasyarakatan, bukanlah sesuatu tanda kekolotan tetapi sesuai dengan watak Islam itu sendiri yang tidak mengenal pemisahan lingkup agama dan dunia! 

Secara bertahap NU membenahi organisasasinya terutama dalam usaha mengembangkan agama. Sebenarnya kurun waktu lahirnya NU dalam dekade duapuluhan adalah suatu kurun yang sengit. Dekade duapuluhan adalah dekade kemunculan berbagai organisasi, baik yang bersifat sosial maupun politik (yang bercorak suku daerah dan keagamaan). Kaum nasionalis berhasil menghimpun kekuatan dalam Partai Nasional Indonesia (untuk selanjutnya disebut PNI) yang didirikan dan dimotori oleh kaum intelektual muda seperti Soekarno dan Mohammad Hatta).(90) Serikat Islam mulai menegaskan aspirasi nasionalisme yang berdasarkan Islam dengan menyatakan diri sebagai partai, yaitu Partai Serikat Islam Indonesia (1929). Dorongan untak merdeka dari penjajahan membuat kaum nasionalis Islam makin dekat dengan kaum nasionalis netral agama.(91) Tetapi terjadi perbedaan pandangan (bahkan pertentangan) dalam kalangan pembaharu (antara Serikat Islam kontra Muhammadiyah dan Persatuan Islam). Menurut Deliar Noer dalam karyanya yang terbaru Partai Islam di Pentas Nasionalis, perbedaan itu terjadi "disebabkan oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan agama; tetapi pertimbangan yang bersifat pribadi juga menentukan.(92) Sambil lalu ia juga menilai kaum tradisional atau NU ketika itu "belum menjadi penting."(93) 

Walaupun penilaiannya itu dapat diterima secara fakta sejarah karena NU belum terjun ke dalam kancah politik pada awal penampilannya, tetapi belum tentu ketidaksertaannya dalam dekade 1920-an menjadikan NU tidak penting. Sebagai wadah ulama, NU bukanlah organisasi dari sebuah gagasan (ideologi) melainkan organisasi massa dengan basis pesantren. Di atas, kita telah melihat bahwa sebelum abad XX kaum ulama dan santri telah terjun dalam perlawanan bersenjata terhadap Belanda. Abad XX corak perlawanan sudah tentu berbeda, sudah harus mengikuti cara-cara modern. Di sini kaum tradisional atau NU belum siap. Namun demikian dengan caranya sendiri melalui muktamar-muktamarnya NU mempersiapkan diri untuk terjun dalam pergerakan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Ketika kaum nasionalis (PNI) muncul sebagai saingan Islam dan kaum pembaharuan berada dalam pertikaian, maka kemunculan NU di bawah kepemimpinan Hasyim Asyari membuat peranan Islam dalam pergerakan bangsa dapat berlangsung terus. Dhofier, merumuskan dengan tepat, 

.... para pemimpin organisasi-organisasi Islam menghadapi saingan dengan munculnya pemimpin-pemimpin muda yang dengan mengorbarkan panji-panji nasionalisme segera memperoleh dukungan kuat dari rakyat, sehingga mampu menggantikan pemimpin-pemimpin nasionalis Islam seperti Cokroaminoto dan Haji Agus Salim. 

Dalam menghadapi saingan baru ini, kedudukan Kyai Hasyim Asyari dinilai .... sangat penting karena pengaruhnya yang demikian kuat dalam lingkungan kaum Islam tradisional di pedesaan dapat turut menjamin bagi kelangsungan peranan Islam dalam pergerakan kebangsaan secara keseluruhan.(94) 

Langkah penting diayunkan oleh NU pada Muktamar IX (1934 di Banyuwangi. Choriul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama menyatakan Muktamar ini sebagai awal masa perkembangan NU.(95) Ada tiga alasan diajukannya: Pertama, pemisahan sidang Syuriah (Dewan Tertinggi Keagamaan) dari Tanfidziyah (Badan Pelaksana Organisasi); Kedua, tatacara persidangan mulai dibenahi; Ketiga, munculnya tokoh-tokoh muda yang berpandangan luas seperti Mahfuzd Siddiq, Wahid Hasyim, Thohir Bakri, Abdullah Ubaid dan sebagainya.(96) Di sini pula NU melengkapi organisasinya dengan membentuk wadah pemuda yang disebut Ansor Nahdlatul Ulama.(97) Pembagian pengurus atas Syuriah dan Tanfidziyah menurut Mahrus Irsyam sesuai dengan "pola hubungan antara kyai dengan santri" — antara Guru dan Murid.(98) NU membenahi organisasinya menurut pola yang sudah mapan sebelumnya dalam kehidupan di pesantren sehingga kedudukan ulama tetap diakui kendatipun suatu organisasi (termasuk  NU) tidak luput dari pengaruh zaman modern. Di kemudian hari ketika Indonesla memasuki masa pembangunan secara besar-besaran ulama tetap menuntut posisi utama; ia tidak mau disingkirkan oleh kaum politisi atau intelektual. 

Dekade tiga puluhan adalah dekade mencari identitas pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Ketika golongan nasional yang dimotori oleh PNI membentuk wadah persatuan pergerakan nasional dalam Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan  Politik Kebangsaan Indonesia (untuk selanjutnya disebut PPPKI) pada tahun 1927, dari golongan Islam yaitu SI turut bergabung.  Tetapi ia tidak lama betah dalam wadah itu. Pada tahun 1930 SI  ketika itu sudah menjadi Partai Serikat Islam Indonesia — PSII)  menyatakan diri keluar karena beberapa alasan; SI tidak setuju didirikannya Bank Nasional Indonesia karena "bank ini memungut  bunga uang, sesuatu hal yang dianggap bertentangan dengan agama Islam" dan SI berpendapat bahwa keinginan beberapa anggota  memperbaiki kedudukan wanita dalam masyarakat (larangan perkawinan anak dan asas monogami) bertentangan dengan "dasar 
PPPKI yang menghormati keyakinan tiap-tiap orang dalam agamanya masing-masing."(99) Sebenarnya alasan yang dikemukakan di atas hanyalah perwujudan hal yang sangat mendasar sebelumnya ketika PPPKI dibentuk, yaitu pertentangan pendapat antara golongan nasional dan Islam (SI) tentang siapakah yang berhak menjadi anggota PPPKI. Golongan nasional berpendapat semua bangsa Indonesia (dan ini memang menjadi bagian dari anggaran dasarnya) sedangkan SI berpendapat (sesuai dengan anggaran dasarnya) semua orang Islam.(100) Semua pihak menderita kerugian dengan keluarnya SI. Golongan nasional kehilangan basis untuk menjangkau lapisan terbesar masyarakat, umat Islam yang tinggal di perkotaan. Sedangkan SI merasa makin "terjepit antara kaum pembaharu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang konservatif dan kehilangan momentum dalam hubungan dengan golongan nasionalis sekuler."(101) Nampaknya kaum pembaharuan yang diwakili oleh SI belum siap menanggapi secara lebih terbuka gagasan-gagasan moderen. Sebenarnya pertentangan pendapat telah menjadi keras dan tajam dalam tahun-tahun terakhir dekade duapuluhan seperti yang ditunjukkan oleh polemik antara Sukarno dan Agus Salim; bagi Salim tanpa nilai Islam, nasionalisme akan melahirkan "berhala" modern.(102) Pertentangan itu mencuat pula dalam dekade tiga pulahan antara Sukarno dan Mohammad Natsir (juru bicara kalangan pembaharuan yang sangat tajam pandangannya). Kalangan nasional ingin melaksanakan nasionalisme sebagai tumpuan perjuangan sedangkan kalangan pembaharuan ingin menempatkan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, bagi kalangan nasional persatuan tidak akan tercapai kalau agama ditonjolkan sedangkan bagi golongan Islam (kalangan pembaharuan) persatuan tanpa Islam sesuatu yang tidak mempunyai nilai sama sekali. 

Selama kaum pembaharuan sibuk berpolemik dengan kaum nasionalis, kaum tradisi atau NU lebih banyak menoleh kedalam. NU sadar, pesantren dengan sistem hubungan kyai dan santri saja (dengan lebih banyak menekankan pengajian dan penghapalan buku-buku mazhab) sudah tidak memadai untuk membentuk kader baru. Atas Jasa dan prakarsa tokoh muda Wahid Hasyim, NU mulai membuka sekolah kejuruan, dan tahun 1938 telah memiliki pedoman pendidikan yang baru.(l03) Sementara itu NU mulai dipimpin oleh tokoh muda, Mahfudz Siddiq, yang menjadi Ketua Umum Tanfidziyah (1937-1942). Di bawah pimpinannya NU memperoleh banyak kemajuan dalam lapangan sosial, ekonomi pertanian, dan organisasi.(104) 

Walaupun NU bukan organisasi politik tetapi ia tanggap terhadap perkembangan yang terjadi. Tantangan makin mendekatkan sesama organisasi Islam, berbagai peraturan yang dirasakan merugikan umat Islam (ordonansi perkawinan, hukum waris, milisi, dan sebagainya), membuat NU menggalang kekuatan bersama dengan organisasi Islam lainnya (SI, Muhammadiyah, dan sebagainya) dengan membentuk Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang diharapkan menjadi wadah perjuangan umat Islam. Semboyan MIAI adalah sebuah ayat Qur'an yang mengajak umat Islam bersatu: "Berpegang tegublah kamu sekalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah." (Sura 3: 103)(105) Pemrakarsa terbentuknya MIAI adalah Abdul Wahab Hasbullah dan setelah terbentuk diketuai oleh Wahid Hasyim.(106) Tampaknya sedikit banyak wibawa ulama diakui oleh kaum pembaharuan. Sementara itu kekuatan politik yang koperatif dan non-koperatif, baik dari  kalangan nasional maupun Islam, berhasil rujuk kembali dalam wadah Gabungan Aksi Politik Indonesia (untuk selanjutnya disingkat GAPI) pada tahun 1939. Adapun maksud dan tujuan MIAI, antara 
lain: 

  1. Menggabungkan segala perhimpunan umat Islam untuk bekerja sama.
  2. Berusaha untuk menyelesaikan apabila timbul pertikaian di antara umat Islam.
  3. Mempererat hubungan dengan umat Islam di luar negeri. 
  4. Berusaha memajukan agama Islam dan
  5. Membangun Kongres Muslimin Indonesia.(107)

Bergabungnya NU dengan golongan Islam lain merupakan langkah baru; ternyata bahwa golongan tradisional mampu bekerja sama dengan golongan lain sepanjang masalahnya dilihat bersangkut paut dengan kehidupan langsung agama Islam! Mungkin Juga NU mulai merasakan bahwa ia membutuhkan tenaga intelektual. "Perjuangan politik tidak bisa hanya bermodalkan jumlah massa yang banyak saja. Ia membutuhkan taktik strategi yang direncanakan secara baik. Dengan begitu maka kelahiran MIAI adalah merupakan tangga bagi NU ke dalam dunia politik..."(108) Dengan berdirinya MIAI kita melihat bahwa organisasi Islam dapat bersatu dalam masalah sosial tetapi berpisah atau bertentangan dalam masalah politik! 

Sebagai organisasi keagamaan NU juga tanggap terhadap masalah politik. Ketika Perang Dunia II makin membara Belanda memerlukan dukungan jajahannya menghadapi Jepang yang dicap sebagai kekuatan Fasis. Kalangan pergerakan di dalam GAPI berdasarkan keprihatinan terhadap nasib bangsa Indonesia sempat menyambut seruan Belanda untuk bersama menghadapi Jepang. Tetapi NU mengambil sikap lain, bahwa bangsa Indonesia yang dijajah Belanda tidak terikat membela pemerintah Hindia Belanda. 

Menurut Nahdlatul Ulama, bangsa Indonesia yang sebagian terbesar adalah muslimin, selama masih menjadi bangsa jajahan tidaklah terikat oleh kewajiban-kewajiban perang yang menjadi tanggung jawab penjajah (Hindia Belanda). Bagi Nahdlatul Ulama, masalah mati adalah paling serius, dan mati untuk kepentingan penjajah adalah mati yang sia-sia.(109) 

Perbedaan sikap di antara kalangan nasionalis (GAPI) dan kalangan agama (MIAI) tentang sikap terhadap perang Pasifik berlanjut sampai Jepang menguasai Nusantara, padahal menjelang akhir kekuasaan Belanda kalangan nasionalis dan agama telah berhasil menggalang kekuatan dalam wadah yang disebut Kongres Rakyat Indonesia (disingkat Korindo). Perbedaan sikap yang kemudian menimbulkan krisis dalam Korindo tak sampai terselesaikan karena Jepang keburu masuk sehingga situasi pun berubah.(110) Kalangan nasionalis yang memperihatinkan nasib bangsa Indonesia bersedia berunding dengan Belanda, tetapi sebalilnya sikap kalangan agama terhadap Belanda makin keras.(111) 

MIAI merupakan langkah nyata keterlibatan NU dalam perjuangan bangsa Indonesia tanpa perlu mengubah karakternya sebagai organisasi keagamaan. Posisi NU cukup kuat di dalamnya, bukan saja karena kemudian wakilnya Wahid Hasyim menjadi ketua, tetapi juga karena atas desakan NU kongres MIAI yang pertama (1938) tidak menjadi lanjutan Kongres Islam yang sebelumnya yang menyebabkan golongan tradisional pernah bentrok dengan golongan pembaharuan. Kongres MIAI yang pertama dianggap sebagai permulaan yang baru, menjadi Kongres Al-Islam Indonesia Pertama,(112) NU menyadari sepenuhnya rnanfaat persatuan dalam perjuangan, seperti yang dinyatakan oleh seruan Hasyim Asyari kepada pesantren. 

Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka. Kadang-kadang suatu kebathilan mencapai kemenangan disebabkan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknva kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai berai dan saling bersengketa.(113) 

Tampilnya MIAI yang dimotori oleh dua organisasi non-politik — NU dan Muhammadiyah — telah memberikan warna baru bagi kiprah umat Islam dalam arus pergerakan bangsa. Pada saat SI — kalau boleh disebut 'wakil' Islam dalam bidang politik — makin mundur dan terjepit di antara golongan nasionalis dalam GAPI umat Islam dapat memperkuat barisannya dalam pergerakan bangsa menuju kemerdekaan. Kemerdekaan bukan saja aspirasi partai 
politik Islam dengan segelintir politisinya dan bukan pula hanya aspirasi golongan nasionalis, tetapi menjadi aspirasi seluruh umat Islam, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Organisasi keagamaan mampu mengikuti perjuangan bangsa dan mampu menjalankan peranan yang kritis; dengan memberi dukungan kepada sesuatu aspirasi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan atau memberikan kritik terhadap sesuatu perkembangan yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan! 

Harry Benda memberikan kepada kita catatan menarik bahwa terjadinya polarisasi sikap di antara golongan nasionalis (yang disebutnya golongan sekuler) dengan golongan agama karena secara ideologis paham nasionalisme terikat kepada Barat sedangkan pemimpin Islam tidak terikat.(114) Itulah sebabnya menjelang akhir kekuasaan Belanda peranan Islam makin besar, seperti yang dicatat oleh Benda; 

Pada tahun-tahun terakhir Belanda, Islam Indonesia dengan demikian memainkan peranan yang semakin penting dalam kehidupan politik tanah jajahan tersebut, sebuah peranan yang serentak menggaris bawahi persamaan dan perbedaan antara pemimpin Islam dan para pemimpin non-religius.(115) 

Mungkin dapat ditambahkan pula, bahwa menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda bangsa Indonesia telah berhasil menggalang persatuan karena mempunyai tujuan yang sama (kemerdekaan), tetapi berbeda dalam strategi mencapai tujuannya. Dan tujuan itu pula yang merujukkan golongan tradisional (NU) dan golongan pembaharuan (Muhammadiyah)! 

Setelah Perang Pasifik meletus dan Jepang dengan cepat menguasai Nusantara yang dianggap mempunyai potensi besar mendukung ambisi Jepang untuk menguasai selurah Asia. Sama dengan pendahulunya (Belanda), Jepang melihat Islam adalah faktor penting untuk keberhasilan politik penjajahannya. Ia telah siap untuk memasuki bumi Nusantara "dengan suatu rencana kebijaksanaan yang ditujukan untuk memenangkan dukungan Islam. Kebijaksanaan ini — sebagian merupakan kebalikan terang-terangan dari tujuan Belanda — terutama ditujukan kepada masalah-masalah Islam di tingkat rakyat pedesaan (grassroots).'' (216) Belanda dan Jepang berbeda dalam tujuan politik Islam mereka; kalau Belanda bertujuan menguasai jajahannya maka Jepang bertujuan memperalat Islam untuk mengembangkan kekuasaannya. Terlepas dari tujuan politik Islamnya di bawah kekuasaan Jepang, Islam memperkuat diri. Tampaknya golongan agama lebih leluasa bergerak ketimbang saingannya golongan nasionalis. Tentang hikmah yang dipetik oleh Islam karena politik Islam Jepang itu, Deliar Noer menguraikannya dengan Jelas, 

Berbeda dari pemerintah Belanda, memang pihak Jepang sangat banyak menaruh perhatian kepada gerakan dan perkembangan umat Islam. Tampaknya mereka, mendorong dan memberi prioritas kepada kalangan Islam dalam mendirikan organisasi mereka sendiri, sedangkan organisasi kalangan nasionalis yang netral agama tidak digalakkan.Untuk pertama kali dalam sejarah moderen, pemerintah di Indonesia secara resrni memberi tempat yang penting kepada kalangan Islam. 

Sikap pihak Jepang itu tidak dengan sendirinya berarti melaga golongan nasionalis dengan golongan Islam dengan maksud menguasai keduanya, sungguhpun kemungkinan politik pecah belah ini terdapat. Yang ielas ialah pemerintah Jepang kemudian secara berangsur mengakui organisasi-organisasi Islam sedangkan tetap tidak membolehkan organisasi nasionalis dari masa sebelum perang didirikannya kembali. Organisasi Taman Siswa pun yang beroperasi dalam bidang pendidikan mendapat pembatasan dalam bergerak. Banyak sekolah menengahnya ditutup. Pada tanggal 10 September 1943 pemerintah Jepang mengesahkan berdirinya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama....(117)   

Bagaimana posisi NU pada zaman Jepang? Untuk sementara umat Islam melupakan pertikaiannya dan berusaha sedapat mungkin memperkuat posisi. Deliar Noer menggarisbawahi keunggulan Muhammadiyah (golongan pembaharuan non-politik) dengan duduknya K.H. Mas Mansur sebagai salah seorang anggota Empat Serangkai (tiga lainnya adalah Soekarno, Hatta dan Ki Hajar Dewantara).(118) Sedangkan Benda mencatat keunggulan SI dengan naiknya Abikusno Tjokrosujoso yang dianggap "sebagai tokoh Islam Indonesia di Jawa yang disponsori Jepang" menjadi ketua Persiapan Persatuan Umat Islam sebuah lembaga bentukan Jepang untuk menghimpun kekuatan Islam.(119) Penilaian Noer dan Benda saya rasa terlalu terburu-buru karena telah mengabaikan NU.    

Kurang lebih setahun setelah Jepang menduduki Nusantara Jepang membentuk Kantor Urusan Agama (bahasa Jepang Shumubu) dan lembaga yang sangat strategis ini pada tahun 1944 dipegang oleh Hasyim Asyari sebagai pimpinan resmi tetapi secara praktis fungsi pimpinan dijalankan oleh anaknya Wahid Hasyim yang dijuluki oleh Dhofier sebagai "Rantai Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern."(120) Wahid Hasyim (1914-1953) adalah seorang tokoh muda yang sangat cerdas yang telah banyak berjasa bagi perkembangan NU. Ketika Hasyim Asyari ditangkap oleh Jepang dengan tuduhan terlibat kerusuhan di Jombang, dia melakukan pendekatan kepada Jepang sehingga beberapa bulan kemudian Hasyim Asyari dapat dibebaskan.(121) Tampaknya dalam zaman Jepang sikapnya lebih fleksibel ketimbang ayahnya Hasyim Asyari. Wahid Hasyim pula yang dipercayai memimpin Majelis Syuro Muslimin Indonesia (yang disingkat Masyumi) sebuah lembaga perhimpunan golongan Islam yang dibentuk oleh Jepang sebagai pengganti MIAI.(122) Setelah Indonesia merdeka ada tiga peran yang menyatakan kapasitasnya sebagai tokoh nasional, salah seorang penandatangan Piagam Jakarta (Jakarta Charter), menteri agama yang pertama setelah pengakuan kedaulatan, dan pendiri NU sebagai partai politik.(123) "Ketiga peran yang dimainkan oleh K.H.A. Wahid Hasyim tersebut," demikian Dhofier, "memberikan kumandang yang cukup kuat hingga sekarang, dan mungkin sampai beberapa puluh tahun yang akan datang."(124) Di bawah Wahid Hasyim, NU mulai menapak zaman baru, yaitu zaman perjuangan politik bersama golongan pergerakan lainnya agar NU seperti yang dikatakannya sendiri "senantiasa dapat mengikuti dan menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan, asal di dalam dasarnya tidak bertentangan dengan pokok-pokok Islam."(125)

Adalah tidak lengkap gambaran perjuangan NU tanpa menyinggung sikap keras yang pernah diambilnya. Ketika Jepang mewajibkan setiap orang harus menghormati kaisar Jepang dengan membungkuk ke timur (bahasa Jepang : seikerei), Nu menolak dengan tegas. Seorang ulama, K.H. Zaenal Musthafa dari Singaparna (Jawa Barat) mengangkat senjata. Walaupun kemudian dapat dipadamkan, tetapi jelas NU pernah melakukan perlawanan bersenjata terhadap Jepang. Sebab perintah Jepang itu bagi NU sama dengan perbuatan syirik (mempersekutukan Tuhan).(126)

Beberapa bulan setelah bangsa Indonesia memproklamasikan  kemerdekaannya (17 Agustus 1945), NU menutup periode sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah) dengan gemilang; NU mengeluarkan resolusi Jihad(127) (Resolusi Perjuangan) pada tanggal 22 Oktober 1945 (tiga minggu sebelum pertempuran 10 November di Surabaya yang kemudian hari tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Pahlawan) yang mengajak umat Islam menentang aksi pendudukan Tentara Sekutu.(128) Resolusi itu berbunyi: 

  1. Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan. 
  2. Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan.
  3. Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang kemudian dengan membonceng tugas-tugas tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. 
  4. Ummat Islam terutama Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. 
  5. Kewajiban tersebut adalah suatu jihat yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang Islam (Fardlu Ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak di mana umat Islam diperkenankan sembahyang jama' dan qasar). Adapun mereka yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut.(129) 

Kita melihat betapa NU sangat prihatin terhadap negara Indonesia yang ditegaskannya harus dibela sebagai kewajiban sebagaimana kewajiban menjalankan tugas keagamaan.(130) Ia menyadari sepenuhnya bahwa pemerintahan Republik Indonesia adalah hasil perjuangan seluruh rakyat Indonesia termasuk NU! Di dalam semangat keagamaan NU ikut membela kemerdekaan sehingga umat Islam tidak terasing secara keagamaan dengan semangat perjuangan bangsa! 

_________________________ 
69. Lihat, Machfoeds, op. cit., hlm. 39-40. 
70. Zamakhsari Dhofier, "K.H. Hasyim Asya'ri, Penggalang Islam Tradisional". Prisma, No. 1, Januari 1984 hlm. 80. 
71. Dikutip dalam, Ibid, hlm . 76. 
72. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 20. 
73. Antara 1924-1932 telah terjadi perkembangan penting di Saudi Arabia Raja Saud (Abdul Aziz) memutuskan hubungan dengan sekutunya yang fanatik (yang biasanya disebut Ikhwan) dan mengijinkan masuknya penemnan-penemuan baru yang "tidak islami" (mobil, telefon, radio, dan lain-lain). Dia memberi jaminan kepada jemaah haji keamanan terjamin dan tradisi akan dihormati, lihat, Edward Mortimer, Islam dan Kekuasaan, terjemahan dari 'Faith and Power: The Politics of Islam', (Bandung: Penerbit Mizan, 1984), hlm. 152-154.
 74. Lihat, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kumpulan masalah 2 Dinyah dalam Mu'tamar NU ke 1 s/d 15, (Semarang: Penerbit CV Toha Putra, tanpa tahun), Pertanyaan no. 1. Untuk selanjutnya akan disebut, Kumpulan Masalah saja. 
75. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 19 catatan no. 23. 
76. Kumpulan Masalah, Pertanyaan no. 9 dan 22. Cetak tebal. dari saya. 
77. S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, terjemahan dari 'Ideals and Realities of Islam', (Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional — LEPPENAS, 1983), hlm. 60-61. 
78. Bandingkan, Ibid., hlm. 62-63.
79. Choiru l Anam, op. cit., hlm. 75-76. 
80. Ibid., hlm. 76. 
81. Kumpulan Masalah, Pertanyaan no. 28. 
82. Ibid., Pertanyaan no. 162. 
83. Ibid
84. Noer, Gerakan Moderen, hlm. 92. Majelis Tarjih dapat diterjemahkan sebagai Majelis Pembahasan Hukum. Lihat, laporan Editor tentang Musyawarah Nasional (Tanwir) Muhammadiyah yang berlangsung bulan Desember 1987 di Yogyakarta. Editor, nomor 17, 19 Desember 1987, hlm. 59. 
85. Ibid., hlm. 93. 
86. Ibid., hlm. 92. 
87. Ibid., hlm. 93. 
88. Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, kumpulan artikel (Jakarta:. Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional — LEPPENAS, 1981), hlm. 34-35. 
89. Ibid., hlm. 35-36. 
90. Tentang latar belakang dan perjuangan awal PNI khususnya dan kaum nasionalis umumnya, lihat John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934, (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 1-19. 
91. Benda, op.cit., hlm. 119; Bandingkan Yusuf, op.cit., hlm. 36. 
92. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Grafiti Pers, 1987), hlm. 17. Untuk selanjutnya disebut, Noer, Partai Islam
93. Ibid
94. Dhofier, "Hasyim Asya'ri", hlm. 80. 
95. Choirul Anam, op. cit, hlm. 89. 
96. Ibid, hlm. 89-91. 
97. Ibid, hlm. 91 Tentang Ansor, lihat, Infra, hlm. 167. 
98. Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), hlm. 12. 
99. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian 
Rakyat, 1984) hlm. 78. 
100. Ingleson, op.cit., hlm. 145. 
101. Ibid., hlm. 144-145, Bandingkan juga, hlm. 76-82. 
102. Lihat, Noer, Gerakan Moderen, hlm. 275. 
103. Machfoedz, op.cit., hlm. 50-51. 
104. Zuhri, Sejarah, hlm. 623. 
105. Machfoedz, op.cit., hlm. 55. 
106. Ibid., hlm. 54; Zuhri, Sejarah, hlm. 624. 
107. Ibid., hlm. 55. 
108. Ibid., hlm. 56. 
109. Zuhri, Sejarah, hlm. 627. 
110. Ibid., hlm. 629. 
111. Lihat, Ibid., hlm. 627-629. 
112. Anam, op. cit, hlm. 99. 
113. Zuhri, Guruku, hlm. 83. 
114. Benda, op.cit., hlm. 124. 
115. Ibid., hlm. 123-124. 
116. Ibid, hlm. 139. 
117. Noer, Partai Islam, hlm. 23. Cetak tebal dari saya; Boland merinci hikmah atau keuntungan yang diperoleh Islam dari penjajahan Jepang dalam tiga hal: dibentukuya Kantor urusan Agama, didirikannya Masyumi, dan pembentukan Hizbullah (yang dapat diartikan "Tentara Allah" atau "Golongan Allah"), sebuah organisasi militer untuk pemuda Muslim. B.J. Boland., Pergumulan Islam di lndonesia: 1945-1970, terjemahan dari 'The Struggle of Islam in Modern Indonesia', tesis doktor pada Universitas Leiden 1971, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 11-15. 
118. Ibid., hlm. 22-23. 
119. Benda, op.cit., hlm. 147. 
120. Zarnakhsyari Dhoier, "K.H.A. Wahid Hasyim, Rantai Penghubung Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern", Prisma, no. 8 (Agustus, 1984), hlm. 75. 
121. Machfoedz, op.cit., hlm. 64. 
122. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 37. 
123. Dhofier, "K.H.A. Wahid Hasyim", hlm. 73. 
124. Ibid
125. K.H. Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU? KumpUlan artikelnya (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hlm. 103. 
126. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 36-37. 
127. Jihad berarti usaha atau perjuangan; tugas atau perjuangan menegakkan Islam. Ia dapat dilakukan dengan berbagai cara; perang adalah salah satu cara melaksanakannya. Lihat, Kamus Istilah Agama, hlm. 166. Tentang penggunaannya di dalam Al-Qur'an dan Hadis, lihat, Hughes, op. cit., hlm. 243-248 di bawah "Jihad". 
128. Setelah Jepang menyerah kalah di dalam Perang Dunia II, Asia Tenggara berada di dalam komando tentara Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain sebagai pihak yang menang). Indonesia yang sudah merdeka menolak kehadiran tentara Sekutu (yang diwakili Inggris) karena bersama dengan kehadiran tentara Sekutu turut pula membonceng pasukan Belanda yang ingin rnembentuk kembali pemerintahan sipil Hindia Belanda yang sering disebut NICA (Netherlands Indie Civil Administration). Oleh karena tentara Sekutu dalam mengadakan berbagai tindakan mengabaikan kedaulatan negara Indonesia, maka berkobarlah pertempuran (27/29 Oktober 1945) yang mencapai puncaknya pada Pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945. Lihat, Ensiklopedi Umum, hlm. 876-877 di bawah "Pertempuran Surabaya". 
129. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 38. Cetak tebal dan saya. 
130. Lihat, Kamus Istilah Agama, hlm. 90 di bawah istilah "Fradhu". 



Ditulis ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989

SERI : NU DAN PANCASILA (5)

BAB II
Lahirnya Nahdlatyul Ulama
Sebagai Organisasi Keagamaan (Lanjutan)



B. Ahlusunnah Wal Jamaah 

Kesetiaan pada tradisi ditegaskan oleh NU dengan menyatakan dirinya tergolong pada Ahlusunnah wal jamaah yang berarti penganut tradisi (kebiasaan) nabi Muhammad sebagaimana yang dilakukan oleh mayoritas umat Islam.(34) Ingin ditegaskan bahwa NU lebih mengutamakan tradisi daripada pertimbangan rasional dalam memberlakukan Islam di seluruh lapangan kehidupan. Ahmad Siddiq menjabarkan: "Ajaran Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya."(35) Dalam pendidikan di madrasah NU, ahlusunnah wal Jamaah, dirumuskan: 

Pengikut ajaran Islam yang berlandaskan pada: (1) Al Quranul Karim (2) Sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrir) Nabi Muhammad SAW sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya, (3) Sunnah Khulafaurrasyidin Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib."(36) 

Istilah ini sebenarnya bukanlah istilah yang baru. Menurut Harun Nasution sudah berkembang sebagai reaksi terhadap ajaran Mu'tazilah (yang sering disebut kaum rasional Islam) yang muncul kira-kira abad pertama dan kedua Hijrah.(37) Mu'tazilah bukan rasionalis dalam bidang theologi tetapi juga rasionalis dalam menilai sumber agama Islam seperti hadis-hadis, 

Selanjutnya kaum Mu'tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu-ragu akan keoriginilan hadis-hadis yang mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada sunnah.(38) 

Walaupun golongan ini pernah berpengaruh kuat beberapa saat dalam masa dinasti Abbasiyah tetapi karena ajarannya yang rasional dan filosofis (pengaruh filsafat Yunani), ia tidak mendapat pengaruh luas di kalangan rakyat.(39) Terkenal dalam sejarah Islam dua orang theolog pembela ahlusunnah wal jamaah seperti al-Asy'ari (873-935 M) dan al-Maturidi (?- 944 M).(40) 

Bagi NU memberlakukan ajaran Islam menurut aliran ahlusunnah wal jamaah tidak terlepas dari pengakuan terhadap ajaran keempat mazhab Islam (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali) dan peranan bimbingan para ulama. Hal ini ditegaskan oleh Hasyim Asyari perumus pengertian ahlusunnah wal jamaah, seperti yang dirumuskannya dalam Muktamar III (1928) — yang kemudian menjadi Muqadimah Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (Pembukaan Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama): 

Hai para ulama dan pemimpin yang takut kepada Allah dari kalangan Ahlusunnah wal jamaah dan pengikut mazhab imam empat! Kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum kalian, begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada kalian; dan kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu agama Islam. 

Berhubung dengan caranya menuntut ilmu pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu janganlah memasuki suatu rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya.(41) 

Pengertian ahlusunnah wal jamaah menjadi berkembang; ia merupakan penegasan kaum tradisional menanggapi gerakan pembaharuan bahwa memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan Quran dan Hadis tapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama mazhab, hadis (sunnah) dan akhirnya pada sumber utama Quran itu sendiri. Itulah sebabnya pengertian ahlusunnah wal jamaah bagi NU adalah "para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan ijma' ulama."(42) NU tidak menentang ijtihad (penalaran) tapi memikirkannya dalam konteks bagaimana suatu ijtihad dimengerti oleh umat. "Para kyai berpendapat bahwa Quran dan Hadis disarnpaikan kepada kaum muslimin dalam bahasa yang tidak mudah dipahami dan penuh dengan simbolisme yang dapat lebih mudah dimengerti melalui tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh para imam dan ulama-ulama terpilih".(43) Dengan kata lain para ulama memikirkan bagaimana ajaran Islam dapat dengan mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh umat. Dengan demikian NU telah mengembangkan sebuah metodologi tersendiri dalam mengembangkan ajaran Islam. Dalam pengakuannya terhadap keberadaan mazhab dan tradisi (kebiasaan-kebiasaan sebelumnya), NU tidak akan mudah jatuh kepada sikap fundamentalis karena ia mempunyai banyak rujukan untuk memberikan fatwanya. Dengan menerima keempat mazhab NU menjadi golongan yang berpengaruh luas; ia mampu menghimpun berbagai tradisi dan sekaligus potensi! 

Untuk lebih memahami makna ahlusunnah wal jamaah perlu disimak penjabaran K.H. Bisyri Musthafa. 
 
  1. Dalam bidang hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu mazhab empat. Dalam praktek, para kyai adalah penganut kuat daripada mazhab Syafi'i.
  2. Dalam soal-soal tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hassan Al-Asyari dan Imam Abu Mansur Al Maturidi.
  3. Dalam bidang tasawwuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim Al-Junaid.(44)

Mengapa dikatakan NU penganut kuat mazhab Syafi'i dalam bidang hukum padahal ia adalah pembela ajaran empat mazhab? Farouq Abu Zaid dalam bukunya Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, meruuskan watak para pendiri keempat mazhab dan menyebutkan Syafi'i sebagai Imam Kaum Moderat.(45) Watak Moderat itu disebabkan oleh latar belakang Syafi'i(767-820) sendiri yang mengembangkan ajarannya semula di Mekah dan Madinah kemudian di Bagdad dan terakhir di Mesir sehingga ajaran Syafi'i berkembang sesuai dengan masyarakat sekitarnya.(46) Mazhab Syafi'i bila perlu terbuka menerima suatu kebiasaan yang telah berlaku sebelumnya berlandaskan sebuah hadis yang berbunyi: "Apa yang dianggap oleh orang-orang Islam itu baik, maka ia di sisi Allah juga baik".(47) Karena itu dengan menegaskan diri menganut mazhab Syafi'i "dimungkinkan adanya pilihan untuk menyesuaikannya dengan keadaan kehidupan yang nyata".(48) Inilah yang membuat NU mampu tampil dalam segala situasi dan dalam merumuskan sikapnya tidak terpaku pada sesuatu keputusan masa lalu. Ia tidak menggantungkan diri pada kemampuan penalaran seseorang (individual interpretaion) yang justru akan memberi peluang kepada perdebatan atau perselisihan, yang pada akhirnya akan membingungkan masyarakat (awam). Kalau ia dianggap lamban atau kaku menurut pandangan luar, sebenarnya tidak tepat, karena para ulama hnya ingin menyatakan sikap yang berhati-hati menilai sesuatu. Berhubung luas dan panjangnya tradisi yang mesti diperhatikan maka NU mau tidak mau lebih mengutamakan pendapat bersama. Dengan sendirinya pula peranan ulama (sarjana agama), bukan kaum intelektual (sarjana non-agama) yang menentukan langkah-langkah NU! Sesuai dengan pilihannya itu juga NU mampu akrab dengan kultur Indonesia dan hal itu mempunyai dasar yang kuat dalam tradisi Islam! 

Ajaran Tauhid (mempercayai Tuhan sebagai yang Esa) mempunyai arti luas, bukan hanya sekedar tentang sifat Tuhan saja. Ia merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan, pembuktiannya dan sumber-sumbernya.(49) Tauhid adalah "merupakan inti ajaran Islam. Tauhid berarti hanya ada Satu Tuhan Yang Maha Tinggi di alam semesta ini. Dia Maha Kuasa, Maha Ada dan merupakan Pemelihara alam semesta dan umat manusia."(50) 

Sebagaimana kita ketahui Mu'tazilah, kaum rasional Islam yang ditentang oleh Al-Asyari dan Maturidi. Mu'tazilah adalah tonggak pertama pertemuan Islam dengan filsafat Yunani, tema-tema pokok ajaran Islam sejak Mu'tazilah mulai diterangkan dalam bahasa filsafat.(51) Sejak kemunculannya, Islam mulai mengkonsolidasi ajarannya, yang disebut oleh Watt "Konsolidasi Faham Sunni", karena perhatian mulai dicurahkan terhadap Sunnah Nabi.(52) Konsolidasi itu mencapai puncaknya pada kedua tokoh yang tersebut di atas. Dari keduanya al-Asyari yang paling utama. 

Ada empat pokok penting yang ditekankan oleh Al-Asyari dalam menentang kaum Mu'tazilah. Pertama, karena Quran adalah sabda Tuhan maka dengan sendirinya adalah kekal sifatnya. Kedua, ungkapan antrhopomorfis tentang Tuhan (seperti wajah dan tangan Tuhan) harus diterima seadanya tanpa perlu diartikan secara kiasan. Ketiga, demikian pula tentang keakhiratan harus diterima seadanya. Keempat, kehendak bebas manusia diajarkan oleh Mu'tazilah ditolak karena dianggap mengurangi kekuasaan Allah; Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia tetapi manusia memperolehnya (acquisition), karena itu manusia bertanggung jawab atas perbuatannya.(53) Al-Asyari sebagai bekas pengikut Mu'tazilah mampu mengembangkan argumen rasional, tetapi selain itu yang penting Quran dan Sunnah adalah landasan argumennya. 

Tentang al-Asyari dan argumennya, Watt menyatakan: 

Selain dalil-dalil Quran dan Sunnah ia juga mendasarkan argumen-argumen lainnya pada hasil pengamatan dan pengetahuan umum atau pada kesepakatan kaum Muslimin. Jadi berbeda dengan tampak luarnya, al-Asyari benar-benar memperkenalkan dalil-dalil atau argumen rasional, dan sekelumit ragi ini dengan segera menyebar ke seluruh tubuh teolog Islam.(54) 

Menarik pula untuk dicatat bahwa bagi Al-Asyari seorang pelaku dosa besar tetap seorang mukmin (orang yang beriman) tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq ( percaya kepada Tuhan tetapi tidak mengamalkan perintahNya).(55) Dengan sikap-sikap demikian orang-orang tidak mudah jatuh ke dalam fanatisme terhadap sesama muslim. 

Berdasarkan theologi Al-Asyari NU merumuskan karakter utama sebagai ahlusunnah wal jamaah. Choirul Anam dengan mengutip Achmad Siddiq rnerumuskan tiga karakter utama NU, 

 
  1. Keseimbangan antara dalil aqli (rasio) dan dalil naqli (Al-Quran dan Hadits), dengan pengertian dalil aqli ditempatkan di bawah dalil naqli.
  2. Berusaha sekuat tenaga memurnikan aqidah dari segala campuran aqidah di luar Islam.
  3. Tidak mudah menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas seseorang yang karena satu dan lain sebab belum dapat memurnikan aqidah semurni-murninya.(56)

Melalui al-Asyari NU telah menunjukkan dirinya sebagai ahlusunnah wal jamaah di Indonesia dari serangan kaum rasional  yaitu kaum pembaharuan (modern). Ia seolah-olah ingm menegaskan bahwa kaum pembaharuan adalah kaum Mu'tazilah baru.  Sikap NU terhadap kaum pembaharuan mempunyai rujukan historis yang berwibawa. Para ulama bukanlah golongan yang reaksioner  dalam menanggapi perkembangan Islam setelah berhembusnya angin pembaharuan, melainkan ia ingin menegaskan sikapnya yang kritis dan sedapat mungkin berusaha menjaga agar perkembangan Islam selalu dalam batas-batas yang dianggap paling benar secara keagamaan. Dengan mengemukakan al-Asyari maka NU telah menunjukkan bahwa ia memahami siapa dirinya dan mengetahui dengan mendalam sejarah perkembangan Islam! 

Penegasan bahwa NUmenganut tasawuf (sufisme) sudah tentu bukan hal yang ganjil mengingat perkembangan Islam di Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh sufisme. Nurcholis Majid dalam tulisannya 'Pesantren dan Tasauf' menilai bahwa perkembangan tasawuf di pesantren-pesantren (yang umumnya bernaung di bawah NU) selalu dijaga agar serasi dengan doktrin ortodoks atau ahlu sunnah wal jamaah, berkat karya al-Ghazali yang sangat dikenal di pesantren.(57) "Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) adalah pengikut al-Asyari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahlu Sunnah dan Jamaah."(58) 

Pemilihan ajaran Abu Qosim al-Junaid sebagai sandaran ajaran dalam bidang tasawuf merupakan bukti bahwa NU kritis menilai sufisme. Al-Junaid (meninggal 901) adalah seorang tokoh sufi asal Bagdad yang juga menguasai Hadis dan Fiqih (jurisprudensi).(59) Sebagaimana sudah menjadi watak umumnya, sufisme menekankan  kesadaran mistik,(60) maka tak jarang ia dituduh mengabaikan syari'at, sehingga pengikut-pengikut sufisme sering bentrok dengan kaum sunni sebagai mayoritas Islam. Namun demikian pada abad IX dalam tubuh sufisme muncul usaha-usaha untuk "menjaga Sufisme agar tetap berada dalam batas-batas yang wajar." Dan dari antara mereka yang mengusahakan itu adalah al-Junaid dari Bagdad yang dijuluki oleh Rahman sebagai "tokoh kritik yang besar dalam sufisme yang awal serta perumus sufisme ortodoks."(61) Dengan mengutuip L. Massignon, Rahman merumuskan tentang al-Junaid, 

Junaid menjadikan klaim-klaim sufi sebagai sasaran kritik yang tak henti-hentinya dalam batas-batas pengalaman mereka maupun dalam praktek-praktek lahiriah mereka. Demikianlah, ia menolak untuk memberikan validitas obyektif apapun kepada konsep Sufi tentang 'tahapan-tahapan' dalam kesadaran manusia . . . Ia juga berusaha melakukan tindakan balasan terhadap kecenderungan-kecenderungan bergaya orang-orang yang acuh terhadap kepercayaan bentuk dan peradaban agama dalam praktek sufi dengan mengemukakan bahwa 'pengetahuan' ('ilmu) mempunyai prioritas atas gnosis (ma'rifah) dan larangan memiliki prioritas terhadap pembolehan.(62) 

Lebih lanjut dia mengatakan, 

Sebagai hasil dari proses ini, doktrin sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori yang sebagian saling bertentangan dan sebagian juga saling melengkapi, dengan tujuan untuk mengintegrasikan dan berlaku adil terhadap kesadaran mistik maupun kesadaran kenabian, pengalaman dan kehidupan batin dari ruh dengan Syari'ah sebagai lembaga.(63) 

Upaya mengintegrasikan sufisme dengan ortodoksi (sunni) mencapai puncakaya pada tokoh monumental al-Ghazali (meninggal 1111) yang pengaruhnya "tidak hanya membangun kembali Islam ortodoks, dengan menjadikan sufisme sebagai bagian integral dari padanya, tapi ia juga merupakan pembaharu sufisme yang besar, yang membersihkannya dari unsur yang tak Islamis dan mengabdikannya kepada paham Islam yang ortodoks."(64) Dengan memilih al-Junaid untuk ditengahkan (dari sekian tokoh sufi yang alirannya terdapat di Indonesia), NU menerima kehadiran sufisme dan berupaya agar sufisme selalu dalam wawasan sunni. 

Ketiga pokok rumusan Bisyri Musthafa di atas, tauhid, mazhab dan tasauf, dijabarkan oleh Choirul Anam sebagai Imam (yang berintikan tauhid), Islam (yang berlandasarkan syari'at menurut ketetapan mazhab) den Ihsan (kesucian jiwa yang didambakan oleh sufisme) "Ketiga-tiganya: Iman, Islam dan Ihsan harus diimplementasikan dalam perbuatan nyata secara serempak, terpadu den berkeseimbangan."(65) 

NU rneletakkan dasar religiusnya sebagai organisasi, yang membuat ia bersifat terbuka, fleksibel dan adaptif. Namun demikian ia Juga mampu bersikap radikal apabila dirasakan perkembangan di luar dirinya mengancam keberadaannya sebagai golongan tradisional, sehingga Nakamura dalam pengamatannya menjuluki NU sebagai tradisionalisme radikal.(66) 

NU menerapkan doktrin ahlusunnah wal jamaah secara baru. Kalau semula ia dimengerti sebagai reaksi golongan ortodoksi (sunni) terhadap Syiah, maka bagi NU merupakan reaksi terhadap golongan pembaharuan.(67) Pengertian Ahlusunnah wal jamaah bagi NU adalah pengakuan terhadap tradisi Islam dalarn konteks Indonesia yaitu bagaimana Islam masuk ke Indonesia dalam tradisi mazhab dan sufisme. Ia tidak membuat polarisasi antara ortodoksi dan sufisme tetapi mengharmoniskannya. Pengakuannya terhadap sufisme membuat NU mempunyai potensi menerima elemen-elemen yang baru bersifat lokal karena sudah menjadi watak sufisme terbuka terhadap elemen lokal sepanjang dianggap meningkatkan intensitas keberagamaan, dalam pengakuan terhadap tradisi maka NU berusaha menjaga setiap perkembangan tidak menyimpang dari ajaran Islam. 

Seperti para wali, NU membiarkan amal kebudayaan yang ada hidup dalam masyarakat, sambil mengisinya dengan jiwa dan semangat ajaran Islam. Dan malah salah satu sumber kekuatan NU, sehingga kebangkitan ulama yang ditandai oleh lahirnya NU tidak serta merta berhadapan dengan budaya yang ada di masyarakat, tetapi menyatakan aspirasi kebudayaan dengan aspirasi keislaman. 

Inilah antara lain yang menyebabkan NU secara sangat cepat diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia. Dan pada gilirannya nanti, kita melihat, NU kemudian mampu berkembang menjadi organisasi keagamaan yang terbesar di Indonesia.(68) 

______________________ 
34. Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta, Universitas Indonesia, 1986), hlm. 64. Untuk selanjutnya disebut, Nasution, Teologi Islam. 
35. Anam, op. cit, hlm. 135.  
36. Ibid., hlm. 137.  
37. Nasution, Teologi Islam, hlm. 61. 
38. Ibid., hlm. 63-64. 
39. Ibid., hlm. 63, Bandingkan, W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi Islam dan Filsafat Islam, terjemahan dari Islamic Theology and Philosophy, (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 73-74. Untuk selanjutnya akan disebut, Watt, Pemikiran. 
40. Lihat, Ibid., hlm. 61-78. 
41. Anam, op.cit., hlm. 61 Cetak tebal dari saya. Naskah Muqadimah dari Hasyim Asyari ini juga menjadi lampiran Keputusan Muktamar ke 27 1984 di Situbondo. Lihat, Muktamar Situbondo, hlm. 161-172. 
42. Dhofier, op,cit., hlm. 148.  
43. Ibid., hlm. 151. 
44. Ibid., hlm. 149; Umar Hasyim dalam bukunya Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlusunnah Wal-Jama'ah? menekankan pengertian Ahlu Sunnah Wal-Jamaah dianut oleh seluruh umat Islam kalangan Sunni dan menolak anggapan bahwa ahlu sunnah wal jamaah hanya dianut oleh golongan tradisi saja. Lihat, Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah?, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 5-6. Secara terang-terangan Hasyim menolak ajaran Al-Junaid yang dinilainya sesat, bahkan ia menolak kehadiran sufisme dalam golongan yang disebut ahlusunnah wal jamaah. Lihat, Ibid., hlm. 194-204. 
45. Farouq Abu Zaia. Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, terjernahan dari 'Al-Syari'at al-Islamiyah bayn al-Muhafizhin wa'l-Mutajaddidin', (Jakarta P3M 1986) hlm. 28. 
46. Ibid., hlm. 30-31. 
47. Dikutip di dalarn Jalaluddin Abdurrahman A.S., Lima Kaidah Pokok dalam Fikih Syafi'i, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 163; Bandingkan, hlm. 163-181. 
48. Dhofier, op.cit. hlm. 159. 
49. Lihat pengertian Tauhid dalam Kamus Istilah Agama, hlm. 369-370. 
50. Kurshid Ahmad, "Islam: Prinsip-prinsip Dasar dan Karakteristik-karakteristiknya", dalam Pesan Islam, ed. Kurshid Ahmad, terjemahan dari 'Islam: Its Meaning and Message', (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 14-15. 
51. Lihat, Watt, Pemikiran, hlm. 74. "Di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan serta tehnik sekarang, ajaran-ajaran kaum Mu'tazilah yang bersifat rasional itu mulai timbul kembali dikalangan umat Islam terutama di kalangan kaum terpelajar. Secara tak sadar mereka telah mempunyai faham-faham yang sama atau dekat dengan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Mempunyai faham-faham yang demikian tidaklah membuat mereka ke luar dari Islam," Nasution, Teologi Islam, hlm. 60. 
52. Ibid., hlm. 88-98. 
53. Ibid, hlm. 103-104. 
54. Ibid., hlm, 102. Cetak tebal dari saya. 
55. Nasution, Teologi Islam, hlm. 71; untuk Pengertian istilah mukmin dan fasiq saya mengikuti, Kamus Istilah Agama, hlm. 90-91, 225. 
56, Choirul Anam, op.cit., hlm. 152. Ketiga karakter itu disimpulkan dalam tiga istilah: At Tawassuth, berarti pertengahan, Al I'tidal, berarti tegak lurus dan At Tawaazun, berarti keseimbangan. Ketiganya berasal dari ayat-ayat Quran Sura Al-Baqarah: 143, Al Maidah: 9 dan Al Hadid: 25. Ibid,, hlm. 151 lihat catatan no. 30. 
57. Rahardjo, ed., op,cit., hlm. 103-105. "Kekuatiran perpisahan tasauf dan syariah ahlussunnah wal jama'ah memang selalu ada. Karena tu dalam salah satu kongresnya, Nahdlatul Ulama yang merupakan tempat bernaung sebagian besar gerakan tasauf di Indonesia, merasa perlu membuat perincian tentang tarekat mana yang sah (mu'tabarah) dan tarekat mana yang tidak sah sehingga tidak boleh diamalkan". Ibid., hlm. 105. 
58. Nasution, Teologi Islam, hlm. 73. 
59. Abingdon Dictionary, hlm. 392 di bawah "Al-Junayd, Abi'l Qosim".  
60. Lihat, Rahman, Islam, hlm. 183-189. 
61. Ibid., hlm. 197. 
62. Ibid., hlm. 199.  
63. Ibid. Cetak miring dari saya.  
64. Ibid., hlm. 202.  
65. Anam, op. cit., hlm. 169. 
66. Mitsuo Nakamura, Agama dan Perubahan Politik, terjemahan dari The Radical Traditionalism of the Nahdlatul Ulama in Indonesia: A Personal Account of the 26th National Congress, June 1979, Semarang, (Surakarta. Hapsara, 1982) hlm. 22-24 
67. Dhofier, op. cit., hlm 149. Golongan Syiah muncul akibat pertentangan Khalifah Ali dengan lawannya kelompok Ummayah, setelah Ali terbunuh para pengikutnya menuntut agar kekhalifahan dikembalikan kepada keturunannya (sebagai keturunan nabi Muhammad). Inilah satu-satunya skisma dalam Islam. Dalam perkembangan lebih lanjut Syiah tidak mengakui keutamaan ijma (konsensus) sebagaimana Islam Sunni dan peranan ijma digantikan oleh otoritas imam. Lihat, Rahman, Islam, hlm. 249-256. 
68. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 31.


Ditulis ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989