Senin, 03 November 2014

SERI : NU dan PANCASILA (1)


Kata Pengantar

oleh Abdurrahman Wahid*

Dalam tahun 1936 Muktamar Nahdlatul Ulama di Banjarmasin membuat keputusan yang sangat unik, yang nantinya akan melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik dan pemerintahan di Indonesia. Terhadap pertanyaan status tanah Hindia Belanda, yang sedang diperintah oleh para penguasa non-muslim Belanda, haruskah ia dipertahankan den dibela dari serangan luar, dikemukakan jawaban bahwa hal itu wajib dilakukan menurut hukum agama (fiqh). Diambilkan jawabannya dari salah satu genre 'kitab kuning' yang berjudul Bughyatul Mustarsyidin karya Syaikh Hasan Al-Hadhrami, dikemukakan alasan pendapat tersebut: negeri ini pernah mengenal adanya kerajaan-kerajaan Islam, penduduknya sebagian masih menganut dan melaksanakan ajaran Islam, dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu atau diusik. 

Herankah kita, jika nantinya NU dengan mudah saja dapat menerima Pancasila sebagai ideologi negara den falsafah hidup bangsa setelah kemerdekaan dicapai? Hasil dari pemerintahan yang berdasarkan ideologi dan falsafah hidup tersebut tentunya, secara teoretik, tidak akan lebih buruk dari hasil pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Duduk persoalannya, jelas sekali: selama kaum muslimin dapat menyelenggarakan kehidupan beragma mereka secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi menjadi pusat pemikiran. Pikiran seperti ini pula yang melandasi pandangan dasar kaum ahlus sunnah waljama'ah, seperti penerimaan mereka atas kekhalifahan (caliphate) Usmaniyah di Turki atas seluruh Dunia Islam, padahal mereka bukan dari suku Quraisy (Menurut pandangan klasik faham Sunni, kepemimpinan negara atau imamah, termasuk yang berbentuk kekhalifahan, haruslah berada di tangan orang Quraisy, karena adanya ketentuan dari Nabi Muham-mad sallallahu ‘alaihi wasallam tentang hal itu). Dengan ungkapan lain, pemerintahan ditilik dan dinilai dari fungsionalisasinya, bu-kan dari norma formal dari eksistensinya, negara Islam atau bukan. 

Konsep yang seperti itu dalam mendudukkan pemerintahan pada “posisi netral” adalah inti dari pandangan mazhab Syafi'i tentang “tiga jenis negara”: dar islam, dar harb dan dar sulh (negara Islam, negara perang dan negara damai/sangga). Menurut faham ini negara Islam harus dipertahankan dari serangan luar, karena ia merupakan perwujudan normatif dan fungsional dari cita-cita kenegaraan dalam Islam, dengan ciri utama berlakunya syari'ah Islam sebagai undang-undang negara. Negara perang atau negara anti-Islam, harus diperangi, karena berbahaya bagi kelangsungan hidup negara Islam, dan dengan demikian akan mengakibatkan dihilangkannya pemberlakuan syari'ah Islam dari undang-undang negara. Negara damai atau sangga harus dipertahankan, karena syari'ah (dalam bentuk hukum agama/fiqh atau etika masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara. 

Hukum yang demikian rinci, yang selama ini terpendam dalam khazanah kitab kuning bacaan para ulama mazhab Syafi'i, ternyata diaplikasikan dengan tuntas dalam kehidupan bernegara kita dewasa ini oleh NU. Kalau hakikat keagamaan dari sikap NU ini tidak dimengerti, maka orang akan dengan mudah melihat NU tidak konsisten dalam pandangannya tentang Republik Indonesia. Di tahun 1945 menerima adanya negara berideologi Pancasila, kurang lebihnya negara dari kategori dar sulh atau negara damai/sangga, bukan negara Islam dan tidak pula menentang Islam). Dalam Konstituante di tahun 1958-59 memperjuankan berlakunya syari’ah dalam undang-undang negara (berarti membuat negara Islam), di tahun 1959 menerim dekrit Presiden Soekarno untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dan di tahun 1983-4 menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan. Penerimaan lain-lainnya adalah dalam konteks Republik lndonesia sebagai dar sulh, sedangkan “perjuangan” di Konstituante sebagai komitmen kepada idealisme dar Islam, gagasan mengaplikasikan syari'ah melalui legislasi undang-undang negara. Dengan ungkapan lain, sikap mendirikan dar Islam pernah dilakukan, karena memang demikianlah perintah keagamaan yang harus diikuti. Namun, begitu upaya itu menemui jalan buntu, kenyataan adanya dar sulh baru diterima dengan penuh kesungguhan. Atas dasar cara berpikir beginilah diikuti kaidah fiqh (legal maxim) yang berbunyi “ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh”, yang berarti “apa yang tak mungkin terwujud seluruhnya, tak boleh ditinggalkan yang terpenting (di dalamnya)”. Secara keseluruhan, tentu wujud formal negara Islam yang semula diharapkan, tetapi dengan lahirnya Republik Indonesia, harus diterima yang terpenting di dalamnya, yaitu adanya negara yang memungkinkan kaum muslimin melaksanakan ajaran agama mereka secara nyata. 

Kulminasi 
Kalau ditelusuri dengan tekun, dapatlah dibuat garis linear dari sikap NU terhadap berbagai aspek pemerintahan dan negara kita. Sebagaimana dikemukakan di atas, Muktamar Banjarmasin membahas dan menentukan sikap dalam hubungan dengan status Indonesia sebagai tanah air dan bangsa, yang wajib dipertahankan dari serangan luar, tanpa melihat sistem kekuasaan yang memerintah. Kemudian, dalam tahun 1945 NU turut rnenerima dan merumuskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (melalui kehadiran KHA Wahid Hasyim, KH Masykur dan Zainul Arifin). Keterlibatan mereka dalam berbagai kegiatan nasional untuk menyongsong lahirnya kemerdekaan, berujung pada Resolusi Jihad pada bulan Oktober 1945, yang mewajibkan ummat Islam untuk memperjuangkan kemerdekaan dan membela tanah air sebagai perjuangan di jalan Allah (jihad fi sabilillah). Sikap itu berarti tahap baru dalam pandangan NU, yaitu tahap menerima Indonesia tidak hanya sebagai tanah air (nusa) dan bangsa belaka, melainkan juga sebagai negara. Tahap berikutnya adalah penempatan Presiden Republik Indonesia sebagai 'waliyyul amri dharuri bissyaukah' (pemegang kekuasaan temporer atas pemerintahan, dengan kekuasaan effektif, yang akan diuraikan panjang lebar dalam buku ini oleh penulisnya). Tahap tersebut adalah tahap penerimaan pemerintahan dari sudut pandangan keagamaan Islam, setelah penerimaan atas nusa-bangsa dilakukan di Banjarmasin dan penerimaan atas negara beserta ideologinya di Jakarta tanggal 17-18 Agustus 1945. Jika dilihat dari kacamata pandangan NU atas berbagai bidang kenegaraan kita selama ini secara linear, kita dapati kulminasinya dalam penerimaan asas Pancasila oleh NU. Setelah keharusan mempertahankan nusa-bangsa, kemudian negara dan pemerintahan, maka pada akhirnya diterimalah supremasi ideologi nasional dalam kehidupan kolektif bangsa secara keseluruhan, dengan menjadikan ideologi tersebut sebagai asas bagi semua organisasi politik dan kemasyarakatan. 

Namun, penerimaan atas Pancasila sebagai asas itu juga dilakukan secara keagamaan, da1am arti mendudukkan agama dan Pancasila pada tempat masing-masing, tanpa harus dipertentangkan. Antara Pancasila sebagai landasan ideologis-konstitusional dan dan aqidah Islam menurut faham ahlus sunnah waljama'ah sebagai landasan keimanan, tidak dapat dipertentangkan, karena pada hakikatnya orang berasas Pancasila karena kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa (dan dengan demikian mengambil salah satu dasar dalam Pancasila), sedangkan ber-aqidah adalah tindakan mengkonkretkan Pancasila dalam salah satu bidang kehidupan bangsa, yaitu kehidupan beragama. Hubungan yang saling mendukung antara aqidah dan asas, dus antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi, adalah hubungan saling mengisi yang kreatif, yang akan menyuburkan kedua-duanya. 

Sudah tentu permasalahannya tidak berhenti pada titik ini saja. Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab, dan semuanya harus dijawab dari sudut pandangan keagamaan. Bagaimanakah kedudukan syari'ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jika asas Pancasila telah diterima? Sampai di manakah wewenang negara dalam mengatur kehidupan beragama, dan sebaliknya di manakah ditarik garis batas wewenang agama untuk mencampuri urusan negara? Bagaimanakah pembedaan wewenang itu dapat dilakukan, tanpa membuat negara kita menjadi negara sekuler? Deretan pertanyaan itu barulah merupakan sebagian kecil saja dari hal-hal yang masih harus dicarikan pemecahannya oleh NU di masa datang. Hanya dengan mampu memberikan jawaban yang tepat sajalah NU akan mampu memelihara peranannya dalam kehidupan bangsa, dan mampu memimpin pengembangan kehidupan kaum muslimin, seperti dilakukannya selama ini. Lestarinya peranan konstruktif NU itu hanyalah dapat dipertahankan, jika memang NU sendiri mampu menjalankan peranan yang berubah-rubah namun tetap dalam jalur linear seperti diperlihatkannya selama ini. 

Syari'ah, dalam artinya semula, adalah totalitas cara hidup yang dianut oleh kaum muslimin. Kemudian ia menyusut dalam pengertian, dan digunakan hanya untuk sejumlah aturan formal yang diundangkan melalui perangkat kenegaraan. Kemudian lambat-laun ia lebih banyak diartikan sebagai hukum agama atau fiqh. Dan pengertian inilah yang kemudian dibakukan oleh NU secara intern. Dengan tidak menutup kemungkinan adanya partikel-partikel syari'ah yang diundangkan, seperti halnya Undang-Undang Perkawinan no. 1 tahun 1974, pada dasarnya syari'ah dalam pengertian orang NU adalah pengertiannya sebagai hukum agama itu. Umpamanya saja, akomodasi terhadap kepercayaan setempat (al-'urf, al-'adah) tidak boleh bertentangan dengan syari'ah, dengan sendirinya arti istilah syari'ah itu di sini adalah hukum agama. Jadi, terbentuknya syari'ah tidak tergantung kepada penumbuhan undang-undang negara, walaupun tidak tertutup upaya untuk melakukan hal itu. Dalam konteks kehidupan bernegara kita, dengan sendirinya pengertian syari'ah sebagai hukum agama itulah yang relevan, bukannya sebagai undang-undang negara. Dengan demikian pemberlakuan syari'ah adalah melalui persuasi kepada masyarakat, bukannya melalui pengundangan, atau dengan kata lain melalui kesadaran masyarakat sendiri, atau lebih tepatnya sebagai etika sosial atau akhlaq masyarakat (sudah tentu akhlaq dalam artinya yang luas, bukannya sekedar tatasusila belaka). Kemungkinan melalukan fungsionalisasi syari'ah dalam konteks kontemporer seperti dikemukakan di atas adalah salah satu contoh yang dapat dikemukakan sebagai model pemecahan masalah di masa datang, bila diinginkan rekonsiliasi antara agama dan ideologi bangsa ingin dikembangkan secara kreatif. 

Rancu 
Hubungan antara agama dan negara, jika diikuti alur pemikiran keagamaan di atas, haruslah dirumuskan lebih jelas lagi. Pada saat ini seringkali kita lihat pemerintah mengambil sikap keagamaan tertentu dari sudut tertentu agama terhadap sesuatu persoalan, seperti kasus keluarga berencana. Memang kita memerlukan keluarga berencana, dan ada pandangan keagamaan yang menyatakan perlunya keluarga berencana, tetapi ada pula pendapat sebaliknya. Sebenarnya negara tidak boleh mengambil hanya satu pendapat, dan memperlakukan pendapat itu seolah-olah sebagai yang benar, karena itu berarti pendapat yang berbeda sama dengan salah. Hubungan antara agama dan negara lalu menjadi bersifat manipulatif, dalam arti agama membenarkan apa yang diingini negara. Agama dengan demikian lalu berfungsi suplementer terhadap kerangka acuan pemikiran yang dikembangkan oleh negara, seperti halnya dalam strategi pembangunan kita yang sepenuhnya disandarkan pada asumsi-asumsi materialistik, seperti tingkat pendapatan rata-rata pertahun perkapita, produk domestik bruto dan sebagainya. Untuk memperoleh kedudukan dominan terhadap agama itu, seringkali negara harus menerima manipulasi dari pihak agama pula, walaupun dalam hal-hal tidak fundamental, seperti pemihakan dalam sengketa intern sesuatu agama (seperti terlihat dalam kasus antara Walubi dan aliran Nichiren di kalangan ummat Buddha akhir-akhir ini). Atau pengambilalihan wewenang intern ummat oleh pemerintah, seperti dalam kasus pembentukan sekian banyak badan amil zakat atas inisiatif pemerintah daerah. Sebenarnya, pemerintah sama sekali tidak berhak memungut zakat, karena Republik Indonesia bukan negara Islam dan syari'ah tidak diberlakukan sebagai negara in toto. Dalam keadaan demikian, ia tidak memiliki fungsi yuridis, kecuali dalam hal-hal yuridisial belaka, seperti mengatur perkawinan-perceraian-rujuk, di samping warisan dan wakaf serta hibah (endowment). Dalam hal yang sifatnya non-yuridisial, seperti misalnya zakat, negara sama sekali tidak memiliki hak untuk itu, karena memang tidak akan mungkin ada legislasi di bidang itu. Namun, dalam praktek hal itu telah dilanggar, dengan akibat menularnya praktek-praktek korup dari aparat pemerintahan ke dalam pola pengelolaan zakat. Jika diinginkan efesiensi dan pelaksanaan lebih efektif, seharusnya dilakukan cara-cara persuasi dan edukasi bagi ummat, bukannya dengan pengambilalihan peranan begitu saja. Ekses yang telah terjadi saat ini jelas menunjukkan kerugian besar dalam penerapan zakat sebagai Rukun Islam ketiga dewasa ini. 
Sudah sedemikian jauh kerancuan orang tentang hubungan antara negara dan agama, sehingga tumbuh pula tuntutan masyarakat yang tidak pada tempatnya, seperti gagasan menjadikan zakat dan pajak dalam hubungan substitusional. Jika telah membayar pajak maka tidak harus membayar zakat, demikian pula sebaliknya. Malaysia dikemukakan sebagai contoh bagi hal ini. Tentunya hal itu tidak tepat diberlakukan di Indonesia, karena memang Malaysia menetapkan Islam sebagai agama resmi negara dan Indonesia tidak demikian halnya. Di samping itu, baik zakat maupun pajak memiliki aturan-aturan teknisnya sendiri, yang tidak dapat dibuat bertumpangtindih demikian saja. Zakat memiliki batas minimal (nisab) dan siklus waktu (haul) tertentu, untuk menjadi kewajiban.  

Jika karena membayar pajak seorang muslim lalu tidak memenuhi batas minimal dalam penghasilannya, lalu tidak membayar zakat, ia tidak bersalah apapun dan tidak meninggalkan kewajiban agama. Kewajiban itu baru bersifat potensial pada saat itu, karenanya tidak ada yang dirugikan jika zakat tidak dibayarkan karenanya. Berbeda halnya dengan pajak, karena potongan atas kewajiban membayar pajak memang sudah ditentukan secara spesifik dalam undang-undang dan peraturan pemerintah, sehingga tidak bisa orang membebaskan diri dari kewajiban membayar pajak kalau ia membayar zakat. Potongan bebas pajak (tax exemption) tidak sampai meliputi zakat, kecuali jika ada peraturan demikian di kemudian hari. 

Jika kita telah sampai pada titik ini dalam hubungan antara negara kita dan agama, maka jelas diperlukan adanya kejelasan tentang sifat hubungan itu sendiri. Jelas ada pemisahan antara fungsi keagamaan dan fungsi kenegaraan oleh lembaga yang berlainan.  Fungsi kenegaraan dilakukan oleh pemerintah dalam artian luas, bukan hanya pihak eksekutif belaka, sedangkan fungsi keagamaan  pada dasarnya dilaksanakan oleh masyarakat. Pemisahan wewenang fungsional antara agama dan negara ini tidak berarti bahwa  negara kita adalah negara yang murni sekuler, selama ia masih  memberlakukan wawasan keagamaan dan mengembangkan spiritualitas keagamaan dalam batas-batas wewenang fungsionalnya,  seperti dalam memberikan pelayanan keagamaan, menyelenggarakan pendidikan agama, menghindari hal-hal yang berlawanan dengan ajaran-ajaran umum agama. Jika pun terjadi proses sekularisasi dalam kehidupan bernegara dalam pelaksanaan pemisahan  fungsional seperti itu, tidak dengan sendirinya negara kita lalu bersifat sekuler. Kejelasan ini perlu dirumuskan lebih jauh, karena ketakutan akan hilangnya aspek-aspek keagamaan dari kehidupan pemerintahan kita itulah yang justeru menimbulkan kebutuhan semu (yang dirasakan sebagai sesuatu yang serius oleh yang merasakannya) untuk melakukan formalisasi fungsi keagamaan dari pemerintah di bidang keagamaan, sesuatu yang menyalahi prinsip negara  damai/sangga (dar sulh) yang dianut oleh faham ahlus sunnah wal-jama'ah mengikuti mazhab Syafi'i, yang diikuti mayoritas kaum  muslimin di negeri ini. Benarkah negara lalu menjadi sekuler, jika ada pemilahan wewenang antara pemerintah dan masyarakat dalam soal-soal keagamaan dan kenegaraan? Sekularisasi dalam arti pemilahan wewenang seperti itu harus dibedakan secara tajam dari sekularisme ataupun situasi sekuler, karena dalam yang belakangan ini tidak ada hubungan sama sekali antara agama dan negara (bahkan di Amerika Serikat, Mahkamah Agung melarang upacara do'a dalam kelas). 

Dengan sepintas-lintas meninjau beberapa hal yang harus dipikirkan seperti diuraikan di atas, maka dengan sendirinya menjadi jelas, bahwa sikap menerima kehadiran Republik Indonesia sebagai dar sulh yang harus ditaati dan dibela sebagai kewajiban agama, NU justeru harus aktif memikirkan bentuk-bentuk hubungan yang layak antara Islam dan negara di masa datang. Tidak dapat lalu NU hanya berpangku tangan saja, berhenti pada titik penerimaan negara itu sendiri. Aspek-aspek hubungan itu akan berkembang terus, karena pemerintah sesuatu negara bagaimanapun juga harus melakukan langkah-langkah pembangunan, yang bagaimanapun juga tidak mungkin menghindarkan diri dari dampak positif atau negatifnya atas kehidupan beragama. Sedangkan pola kehidupan beragama juga akan mengalami perkembangan, yang mau tidak mau akan membawa pengaruhnya sendiri atas kehidupan berbangsa dan bernegara. Refleksi terus-menerus akan hal itu akan membuat perkembangan yang terjadi tidak menjauhkan agama dari negara, dan sebaliknya. Konsep dar sulh adalah konsep yang penuh vitalitas, sehingga ia akan mampu menjawab banyak tantangan zaman, jika ia dimengerti dengan baik dan dikembangkan dengan penuh kejujuran sikap. 

Terima kasih 
Sebuah catatan kecil atas buku ini. Ia ditulis dengan sikap yang menunjukkan simpati besar kepada upaya (dan pergulatan yang kadangkala penuh kepahitan dan kegetiran) NU dalam mendudukkan hubungannya dengan negara dalam konteks pandangan keagamaan. Pendeta Einar Sitompul telah berhasil menyajikan sebuah eksposisi menarik akan dimensi keagamaan dari pemikiran kenegaraan kita sebagai bangsa. Karenanya, ia patut dihargai dan memperoleh gema dalam bentuk kajian lebih lanjut akan dimensi tersebut di kalangan keagamaan yang lain-lain. Sebagai seorang warga NU, saya sendiri akan lebih bergembira jika dilakukan pagelaran pemikiran kaum Kristen, ummat Katholik, jama'ah Muhammadiyah, lingkungan Hindu Dharma dan para pengikut Sang Buddha. Proses saling belajar antara kita semua tentu akan memperkaya pengetahuan dan pengenalan kita akan negara kita sendiri, dan masalah-masalah yang masih dihadapi bangsa kita. Terima kasih warga NU atas eksposisi pendeta Einar Sitompul ini akan berlanjut dengan ucapan terima kasih serupa kepada kajian-kajian dari pandangan lain tentang hal yang sama. 

Dalam telaahannya, pendeta Sitompul berhasil mengungkapkan tabir rahasia yang masih banyak menyelimuti persoalan intern ummat Islam, seperti sebab-sebab keluarnya NU dari Masyumi dalam tahun 1952. Ironisnya, gambaran obyektif tentang hal itu tidak dikemukakan oleh seorang muslim, melainkan seorang yang beragama lain. Tetapi memang demikianlah hakikat ilmu pengetahuan, yaitu bahwa obyektivitas ilmiyah harus dipegang teguh, tanpa menghiraukan siapa yang menyatakannya. Hadis Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan hal itu dengan gamblang: Lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan (unzhur ma qala, wa la tanzhur man qala). Namun, di balik ekspose pendeta Sitompul atas hal itu, ada sebuah sisi yang harus dilanjutkan telaahan atasnya: pergulatan NU-Masyumi adalah pergumulan antara dua kecenderungan, yaitu kecenderungan memperlakukan Islam secara ideologis ataukah secara theologis. Jika dilihat dari sudut pandangan ini, maka tidak ada yang perlu disesalkan atau disayangkan. Jika seandainya dominasi Masyumi atas kepemimpinan ummat Islam dapat dipertahankan, sudah tentu perbenturan lebih keras antara Islam dan Republik Indonesia (sebagaimana difahami oleh banyak kalangan di luar 'golongan Islam') tentu akan lebih keras lagi. Yang dibubarkan tentu bukan hanya Masyumi saja, tetapi keseluruhan gerakan Islam akan mengalami akibatnya. Dalam keadaan demikian, tentu tidak tersedia kekuatan cukup untuk melakukan refleksi tuntas seperti dilakukan NU dan organisasi-organisasi Islam lainnya selama tiga dasawarsa belakangan ini. Jadi terdapat hikmah dalam kejadian pecahnya NU-Masyumi itu, yang sekaligus memberikan peringatan keras kepada kita untuk tidak mencoba-coba lagi menyusun kepemimpinan tunggal bagi ummat Islam (apakah itu dalam bentuk langsung maupun tidak, seperti dilakukan MUI saat ini). Kepemimpinan tunggal yang terpusat diperlukan hanya oleh orientasi ideologis belaka. Yang diperlukan adalah upaya terus-menerus untuk mencari konsensus melalui kepemimpinan yang beragam. 

Hakikat kebutuhan akan jenis kepemimpinan ummat yang tepat ini tampaknya masih kurang difahami, termasuk oleh pihak pemerintah sendiri. Karenanya, sering dikemukakan ajakan dan anjuran agar dijauhkan perbedaan dan dicari titik-titik yang menyatukan ummat. Walaupun kedengarannya baik dan mulia, ajakan seperti itu dengan segera akan menyimpang dari arah yang seharusnya, yaitu pemudahan cara mencari konsensus di kalangan ummat. Kasus Majlis Ulama Indonesia dapat dikemukakan dalam hal ini. Sebagai wahana pencarian konsensus, akhirnya ia bergerak dengan momentumnya sendiri, memaksakan pendiriannya atas orang lain dan mengajukan klaim seolah-olah pendiriannya mewakili pendirian ummat Islam secara keseluruhan. Kecenderungan ini tampak dalam beberapa kasus, seperti kasus 'lemak babi' di suku terakhir tahun 1988. Klaim yang diajukannya ternyata kosong belaka, terbukti dari reaksi masyarakat yang tidak mengindahkan pendapat MUI. Adalah sangat menarik untuk melihat bahwa justeru Muhammadiyah dan NU sebagai dua organisasi Islam dengan pendukung terbanyak tidak mengeluarkan sikap secara terbuka dalam masalah itu. Merosotnya wibawa MUI karena kasus tersebut merupakan peringatan bahwa dalam negara menurut konsep dar sulh, seperti Republik Indonesia, tidak ada pihak yang dapat memaksakan fatwa atas ummat. Karenanya, tidak perlu dilakukan upaya penawaran fatwa secara berlebih-lebihan dan demonstratif, karena tokh akan muncul juga fatwa (atau sikap lain yang tidak difatwakan, seperti sikap diam dalam kasus 'lemak babi'). Ummat tidak mengenal lembaga supra yang melindih lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya, dan semakin cepat hal ini disadari semua pihak akan semakin baik kehidupan beragama berkembang di negeri ini. 

Kata pengantar ini ditutup dengan penghargaan atas karya tulis pendeta Sitompul yang berada di tangan pembaca ini, semoga ia diikuti karya-karya lain yang berharga bagi perkembangan pemikiran keagamaan kita di bumi Nusantara ini. 
 
Jakarta, 5 Januari 1989
 
* Abdurrahman Wahid adalah Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ularna. 

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar