Selasa, 11 November 2014

SERI : NU DAN PANCASILA (3)

Bab I
Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama (Lanjutan)



B. Munculnya Nasionalisme dan Gerakan Pembaharuan Islam 

Politik Etis Belanda (41) —yang ingin "membalas budi" kepada jajahannya Indonesia (dicetuskan 1901)— membuka pintu bagi bangsa Indonesia meraih pendidikan modern. Tetapi yang dapat menikmatinya hanyalah kalangan tertentu saja, yaitu rnereka yang disebut priyayi (bangsawan). Merekalah yang kemudian mendirikan Budi Utomo (untuk selanjutnya disingkat BU atau BO untuk Boedi Oetomo) pada tahun 1908. Dan jangan dilupakan bahwa mereka yang menjadi pendiri atau aktivisnya adalah beragama Islam, faktor yang ikut mempengaruhi kiprah BU dan kemunculan organisasi lain. Kemunculan BU adalah awal kemunculan berbagai aspirasi di dalam pergerakan bangsa Indonesia menghadapi penjajahan. Para pendiri atau aktivisnya sering disebut sebagai golongan priyayi Jawa. 

Walaupun mereka disebut priyayi, mereka harus dibedakan dari para priyayi yang diberikan jabatan birokratis oleh Belanda. Mereka adalah "priyayi profesional bukan ningrat" — orang-orang yang mengembangkan dirinya bukan dalam birokrasi Belanda.Mereka adalah "priyayi profesional bukan ningrat" — orang-orang yang mengembangkan dirinya bukan dalam birokrasi Belanda (yang dibenci oleh masyarakat) tetapi dengan mengembangkan profesi yang diperoleh melalui pendidikan.(42) "Mereka tergolong pada masyarakat priyayi Jawa dan sekalipun demikian, mereka tidak cocok benar-benar kepada golongan itu," kata Savitri Scherer mengenai Soewardi Soerjaningrat, Cipto Mangoenkoesoemo, dan Soetomo, tiga tokoh utama BU.(43) 

Walaupun dianggap sebagai Kebangkitan Nasional, sebenarnya gagasan nasionalisme atau persatuan bangsa Indonesia tidak eksplisit nampak dalam BU. Sesungguhnya pada awalnya ia adalah gerakan kebudayaan (Jawa), tetapi mungkin karena ia diprakarsai oleh orang pribumi dan merupakan organisasi modern dari orang pribumi yang berpendidikan tinggi serta bertujuan memajukan orang pribumi, maka ia dianggap awal kebangkitan nasional. BU merupakan wujud solidaritas kaum intelektual terhadap nasib malang masyarakatnya akibat penjajahan. Sartono Kartodirdjo menulis: 
Perasaan harga diri yang menjadi awal dari kesadaran nasional hendak mengusahakan kemajuan bangsa dengan memajukan pengajaran sebagai stadium pertama ke arah emansipasi dalam lapangan sosial dan politik. Indiferentisme terhadap nasib bangsa karena penjajahan mulai ditinggalkan dan disadari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam masyarakatnya. Bukankah menjadi prinsip B.0 untuk mempertinggi derajat perkembangan intelektual rakyat agar keadaan ekonomis menjadi lebih baik? .... B.0 telah bertindak sebagai pelopor.(44) 

Dari segi latar belakang sosial kaum priyayi adalah orang yang berakar kuat dalam kebudayaan Jawa, akibat pendidikan Barat yang modern, untuk sementara mengalami kegoncangan, merasa  tercabut dari kosmos Jawanya.(45) Sehingga agaknya tidak meleset sinyalemen Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat) bahwa BU "terutama pada permulaan berdirinya adalah pergerakan bagi rakyat untuk memperhatikan perikehidupan bangsa dalam perkara batin".(45) Soewardi yang dijuluki oleh Scherer sebagai tradisionalis(47), lebih suka memilih jalur kebudayaan ketimbang jalur politik. Sedangkan Tjipto memilih politik.(48) Tetapi mengapa kemudian Soewardi keluar dari BU dan menjadi aktivis SI yang dianggap radikal?(49) Rupanya pandangannya kemudian hari menunjukkan terjadinya perkembangan baru. "Ia berpendapat bahwa pendekatan terbaik untuk menghadapi problema-problema yang ada adalah dengan melalui tradisi kebudayaan sendiri".(50) Untuk memenuhi hasrat politiknya Tjipto Mangoenkoesoemo bersarna Douwes Dekker kemudian mendirikan Indische Partij (Partai Indonesia) tahun 1911.(51) 

Ciri kebudayaan memang merupakan ciri penampilan BU pada awalnya untuk menghadapi pengaruh Barat, 
Goenawan Mangoenkoesoemo berpendapat bahwa peristiwa berdirinya Boedi Oetomo bersama dengan tahun pemugaran Borobudur merupakan suatu perlambang. Borobudur merupakan salah sebuah prestasi puncak bangsa Jawa di masa lalu, yang memperkaya diri dengan kebudayaan dan peradaban asing tidak dengan mengkhianati milik dan warisan kebangsaan. Mencari kekuatan di dalam kebudayaan dan dunia Jawa dalam perpaduan dengan dunia Barat dan akhirnya memperkokoh kesadaran budaya di seluruh Nusantara yang merupakan hakekat pokok organisasi Boedi Oetomo.(52) 

Ciri kebudayaan Jawa disebarluaskan oleh para aktivis BU. Mungkin cara inilah yang dirasakan oleh para aktivis BU sebagai cara yang paling mudah dan tepat untuk menghimpun potensi. Tetapi karena rasionalitas sudah mulai menonjol akibat pendidikan ala Barat yang mereka terima dan lagipula suku-suku non-Jawa tidak tertarik dengan gagasan kebudayaan Jawa, akibatnya penonjolan ciri kebudayaan Jawa mendapat protes keras dari berbagai kalangan.(53) 

Karena berciri kebudayaan, Belanda tidak ragu-ragu segera mengakuinya dan karena kebudayaan pula BU relatif lebih stabil proses perjalanannya. Dengan sedikit anggap remeh — dianggap sebagai angan-angan Majapahit dan Mataram — Belanda tidak perlu menghiraukannya. D.A. Rinkes, penasehat soal-soal dalam negeri, menulis kepada van Idenburg pada tahun 1913: 
Cita-cita yang menghendaki dibangunnya kembali kerajaan Jawa sebagai kelanjutan tradisi Majapahit dan Mataram, sebenarnya sesudah perjanjian Gianti (1755) dan juga pada tahun 1803, praktis tidak perlu dihiraukan lagi: Raja-raja Jawa sendiri mungkin justru paling tidak menaruh harapan terhadap hal itu, sebab kedudukan pribadi mereka berkat campur tangan pihak Belanda sama sekali tidak berubah menjadi jelek, sebalikaya hak-hak mereka justru dipertahankan dan diperkuat.(54) 

Belanda tidak membedakan siapa pendiri BU; bahwa mereka bukanlah priyayi-birokrat pendukung Belanda tetapi priyayi profesional yang sedang menggumuli keberadaannya dalam masyarakat dan menemakan identitasnya melalui pemahaman sejarah. "Angan-angan terhadap kebudayaan Majapahit yang membawa kelak ke nasionalisme".(55) 

Kebudayaan (Jawa) sebagai embrio nasionalisme bukan hanya reaksi terhadap kebudayaan Barat (Belanda), tetapi dikonfrontasikan dengan Islam. Goenawan Mangoenkoesoemo menuliskannya dalam memperingati ulang tahun X berdirinya BU pada tahun 1918: 
Tanpa sengaja saya teringat akan dongeng berikut ini. Pada suatu hari dua orang Jawa yang bijak bertemu di jalan; yang seorang penganut agama baru yang diajarkan para utusan Nabi, yang lain penganut agama lama, yang terusir dan telah banyak kehilangan daerah pengaruhnya. Segera muncullah perbantahan. Masing-masing ingin minta bukti agama siapa yang benar. 
Yang satu melemparkan kendi yang berisi air sumber yang segar ke atas. Yang lain mengikutinya dengan melemparkan kudi (sejenis parang). Kedua benda tersebut, kendi dan kudi membubung makin lama makin tinggi, hingga akhirnya kendi dibentur kudi. Kendi pecah airnya jatuh membasahi tanah berupa hujan lembut. Pemilik kudi si bijak penganut agama baru berseru: "Tuh lihat! kudiku telah memecahkan kendimu." "Memang benar," jawab yang lain, "tetapi air membasahi garapan kita dan akan tetap membasahinya. Air itu adalah isi kendiku. Semua yang hidup di tanah ini akan mengambil tenaga dari air itu." Betapa benar hal itu. 
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya mengunjungi seseorang ahli pikir Jawa di pertapaannya di salah sebuah gunung yang sangat tinggi di Jawa, dalam kaitan dengan cerita di atas ahli pikir itu berkata: "Minyak di dalam lampu ini adalah air di dalam cerita tadi. Lampunya, yaitu bentuknya yang kelihatan, adalah Islam. Jika sudah satu dua tahun kemudian kita membeli perhiasannya di pasar, maka perhiasan-perhiasan ini kita sebut saja peradaban Barat."(56) 

Ada pengakuan bahwa memang Islam (agama baru) telah menang melawan Hindu-Majapahit (agama lama), tetapi sejak itu ia hidup di tanah yang telah dibasahi oleh agama lama! Dengan kata lain secara politik agama lama telah kalah tetapi secara kultural ia masih bertahan, dan bahkan menuntut pengakuan dari agama baru, agar tercapai "perkembangan harmonis" sebagaimana yang menjadi tujuan BU pada awalnya(57), dengan Islam dan Barat. 

Mengagungkan kebudayaan Jawa sebagai dasar nasionalisme ditandaskan oleh Soewardi, tokoh BU yang kemudian menjadi salah seorang pengurus SI: — dalam waktu yang bersamaan dengan ucapan Goenawan di atas: 
Jika kita memperhatikan sebentar keadaan masyarakat hidup Jawa yang tetap kebal terhadap pengaruh-pengaruh moderen — contoh paling khas untuk itu adalah daerah keraton-keraton Jawa — tentu kita akan melihat, bahwa dalam soal ketatanegaraan orang di sana hidup di dunia dan zaman lain, dari pada dunia dan zaman kita sekarang ini. Apa yang bagi kita merupakan sejarah tanah air, jadi hal yang selalu di belakang kita, di sana masih merupakan realitas sosial dan politik yang berpadu dengan masa sekarang menjadi satu keseluruhan. 
Apa artinya pengetahuan kita tentang sejarah Jawa? Kita telah belajar begitu banyak di sekolah-sekolah Belanda. Namun apa arti pengetahuan kita tentang kehidupan nenek moyang kita jika dibandingkan dengan pengetahuan para raja Jawa dan kalangan bangsawan tinggi tentang hal itu? Di sekolah-sekolah Belanda, bahkan di sekolah-sekolah Jawa juga, sejarah bangsa kita tidak diajarkan. Di daerah keraton-keraton Jawa orang tahu benar bagaimana keadaan tanah Jawa dulu. Di sana orang tahu juga betapa dulu tanah Jawa disegani di luar negeri. Tetapi di sana pula orang tahu apa yang telah diderita tanah Jawa. Di sana juga orang tahu jika ditinjau dengan baik bahwa sebenarnya orang-orang Belanda sangat menghina raja-raja Jawa. Kekuasaan dan pengaruh raja-raja Jawa itu makin lama makin ditindas oleh Belanda. Tetapi justru karena itu orang-orang di daerah keraton-keraton Jawa itu lebih tahu apa yang di sebut 'cinta tanah air', yaitu cinta pada tanah Jawa, hanya pada tanah tumpah darah ini. Hindia dikenal hanya sebagai daerah di luar tanah air, sebagai negara ciptaan Belanda, dan tanah air Jawa dengan paksa dimasukkan menjadi bagian negara itu. Memang benar, dahulu memang ada kaitan antara Jawa dan daerah-daerah seberang, tetapi bukan Jawa yang menjadi daerah bagian suatu kerajaan besar. Sebaliknya Jawalah kerajaan itu, sedangkan seluruh tanah seberang merupakan daerah kerajaan Jawa. Jadi nasionalisme Jawa, yaitu pulihnya kembali Jawa merdeka, berarti dihancurkannya, pemerintah asing. Cukup sedikit saja bertukar pikiran tentang sejarah Jawa dengan penduduk Jogja, maka anda akan mengetahui bahwa di daerah yang masih tulen Jawa itu, masih terus hidup harapan akan kedatangan Heroe Tjokro, penyelamat tanah Jawa yang diramalkan Prabu Jayabaya di dalam buku ramalannya.(55) 

Tulisan yang merupakan 'soembangsih' untuk BU ini ingin "melawan pendapat yang merata bahwa Islam adalah identik dengan anti Belanda".(59) Dari segi perjalanan sejarah — Soewardi yang pernah masuk SI dan kemudian mendirikan Indische Partij — mengungkapkan betapa kuatnya arus yang kadang berbenturan mencari dasar perjuangan, apakah nasionalisme yang berakar pada kebudayaan atau pada agama Islam. "Memang dalam B.O. dirasakan pula daya tarik Islam, bahkan B.O. sangat menyadari kemunduran organisasinya semenjak meluasnya S.I. Tetapi juga sepenuhnya disadari kelanggengan hidup kebudayaan pra-Islam. Dalam tulisannya De Geboorte van Boedi Oetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo menulis: "Levend noeg in Majapahit, noemen wij ons Islamieten," ("Dengan masih hidup di alam Majapahit, kita menyebut diri kita Islam").(60) Seorang tokoh lainnya Soetomo yang sangat terikat kepada tradisi Jawa tetapi akrab pula dengan tokoh-tokoh Islam pernah melancarkan kritik terhadap Islam seperti misalnya, terhadap ibadah haji yang dianggap tidak ekonomis, "uang yang digunakan untuk naik haji ke Mekah sebenarnya lebih baik digunakan untuk usaha-usaha di bidang ekonomi dan kepentingan nasional''.(6l) Bahkan dengan tegas ia menyatakan dirinya pengikut Pantheisme-Monisme Jawa seperti yang terungkap dalam percakapannya dengan Mas Mansoer seorang tokoh SI (kemudian Muhammadiyah): "Penjelmaan Tuhan yang paling akhir adalah umat manusia".(62) 

Soetomo percaya bahwa saya adalah Dia dan Dia adalah Saya. Aku dan Dia satu hakekat, yakni penjelmaan Tuhan. Aku penjelmaan Tuhan yang sadar. Dari sebab itu aku harus menolong menyadarkan aku yang belum sadar. Aku harus berbnat baik kepada diriku.(63) 

Kuatnya desakan arus nasionalisme Islam dan nasionalisme kebudayaan menuntut penyelesaian tegas. Dan hal itu terlaksana dalam kongres BU tahun 1917 dengan mengambil sikap kebebasan beragama (saat itu juga ada tuntutan agar BU "terbuka bagi orang-orang Kristen dari bangsa sendiri").(64) Poespoprodjo melengkapi gambaran suasana dalam kongres: "Kecuali itu, bukankah sudah ada partai yang memperjuangkan Islam, yakni Sarekat Islam. Begitu suara-suaranya yang santer terdengar selama kongres".(65) 

Memang, rupanya BU boleh dikatakan tidak berhasil menjadi penghimpun kekuatan yang bersatu, bukan saja karena desakan aspirasi Islam yang tidak tertampung tetapi juga karena komposisi para tokohnya yang umumnya golongan priyayi (yang paling tahu dan merasakan arti peradaban Hindu-Jawa) ia jadi kurang merakyat, ia tidak mendapat dukungan yang luas. Namun demikian ia dapat dinilai berhasil dalam arti berhasil memunculkan aspirasi yang berbeda-beda yang hidup di dalam bangsa Indonesia. 

Akhirnya BU mengambil sikap — sesuai dengan usul Dr. Radjiman — mempertahankan kebebasan dalam soal agama.(66) Suatu penyelesaian khas Jawa telah diambil, seperti yang terungkap dalam pendapat Goenawan Mangoenkoesoemo: 
Mosi ini, menurut pendapat saya, cocok dengan ucapan saya: Biarlah tiap orang bebas mengekspresikan cinta yang mengikatnya dengan Dia yang oleh orang banyak disebut Tuhan atau Bapak. Mengapa mencela buah, yang kita tidak tahu bagaimana rasanya; mengapa cara kita melihat harus sama sedangkan Tuhan memberi kita mata batin yang berlain-lainan? Memang sesungguhnyalah, orang Jawa dapat menerima tiap agama, tiap sekte sebagai pembawa peradaban.(67) 

Gerakan pembaharuan muncul dan berkembang dalam sosok Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah pada dekade pertama abad XX. Gerakan pembaharuan muncul akibat persentuhan yang sangat intensif antara Islam dan peradaban Barat pada abad XIX yang berawal dari Mesir. Memang, tak dapat disangkal sebelumnya telah muncul di Arab semacam gerakan pembaharuan yang dicetuskan oleh Abd Al-Wahhab (1703-1787) yang kemudian dikenal sebagai gerakan Wahhabiyah. Gerakannya lebih tepat disebut pemurnian Islam. Gagasan inilah yang harus tertera dalam pikiran kita memahami gerakan pembaharuan dalam Islam. Karena gerakan pembaharuan ingin memacu perkembangan dalam Islam agar dapat menghadapi perubahan zarnan akibat modernisasi (Barat) berlandaskan sumber-sumber yang berwibawa yaitu Quran dan Hadis. Karena itu, "untuk dapat maju lagi umat Islam harus kembali kepada Islam sejati, Islam sebagai dipraktekkan di zaman klasik," demikian Nasution tentang Muhammad Abduh (1849-1905).(68) 

Gerakan Wahhabiyah yang mengejutkan dunia Islam ini berangkat dari kesadaran bahwa kehidupan keagamaan telah merosot sekali akibat penyelewengan sufisme, sebagaimana dirumuskan oleh Gibb, 
Gerakan Wahhabi ini . . . pertama-tama ditujukan menghadapi kemunduran tata sila dan kemerosotan agama . . ., mengutuk pemujaan orang suci dan bid'ah-bid'ah lain dari kaum Sufi sebagai penyelewengan dan kekufuran, dan akhirnya juga menyerang mazhab-mazhab lain karena komprominya dengan bid'ah-bid'ah yang dibenci itu.(69) 

Sebagai konsekuensi dari semangat pembaharuan itu maka digalakkanlah semangat ijtihad (penalaran bebas), 
Muhammad Abd Al-Wahhab tidak mempertahankan faham taqlid (tunduk kepada pendapat ulama-ulama terdahulu). Bahkan sebagai pengikut Ibn Hambal dan Ibn Taimiyah, ia berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap dibolehkan dan ijtihad dijalankan dengan kembali kepada kedua sumber asli dari ajaran-ajaran Islam, Al Quran dan Hadis.(70) 

Gagasan Wahhabiyah yang kemudian mempengaruhi pembaharuan dari al-Afghani, Abduh dan Rashid Ridha, benar-benar secara revolusioner menggoncangkan tatanan Islam di segala penjuru dunia. Atas jasa mereka yang disebut belakangan gagasan Wahbabi meyebar luas dan mendapat bentuk modernnya.(71) 

Dengan semangat pembaharuan umat Islam menghadapi imperialisme Barat dan dengan semangat rasionalisme menggali potensi Islam. Dalam semangat ijtihad, anti taqlid (ketaatan tanpa dasar) dan anti terhadap fatwa (keputusan) ulama yang sering dinilai turun-temurun, kaum pembaharu, khususnya Abduh, mengajak umat Islam keluar dari sifat jumud (stagnasi) agar mampu memacu perkembangan zaman.(72) Akal sangat dihargai oleh Abduh. "Penghargaan tinggi yang diberikannya kepada akal membuat faham-f ahamnya mempunyai persamaan dengan faham-faham Mu'tazilah."(73) Nanti, dalam pembicaraan lahirnya NU kita akan lihat NU menegaskan bahwa dalam tauhid ia menganut faham al-Asyari dan al-Maturidi, dua tokoh yang menentang faham Mu'tazilah yang rasional itu. 

Ajaran Muhammad Abduh mendapat tanggapan luas di Indonesia. Tanja merumuskannya: 
Belakang hari ajaran 'Abduh itu mendapat tanggapan luas di Indonesia berkat kegiatan gerakan Salafiyah yang didirikan oleh Muhammad Rashid Rida, seorang teman 'Abduh dari angkatan yang lebih muda. Menjunjung tinggi seruan 'Abduh untuk kembali pada ajaran-ajaran Quran dan Hadith seperti ditafsirkan oleh para leluhur pertama yang layak (salaf), gerakan Salafiyah bahkan bersikap lebih lanjut dengan menolak tegas-tegas untuk berbaik-baik terhadap gagasan-gagasan moderen Barat dan sebaliknya bersitumpu kepada cara kaum fundamentalis yang tegar dalam menafsirkan doktrin-doktrin Quran dan Hadith.(74) 

Dengan demikian maka kita dapat memahami mengapa gerakan pembaharuan di Indonesia mempunyai dampak yang luas, yaitu bagaimana ia berhadapan dengan penjajah Belanda, dan dengan kelompok tradisional (NU), serta dengan kaum nasionalis. 

SI didirikan pada tahun 1911 dan diakui sebagai kelanjutan Serikat Dagang Islam yang didirikan di Solo tahun 190575. Dilihat dari sisi para tokoh dan pendirinya, SI tidak terlepas dari kiprah kaum priyayi Jawa. SI banyak ditentukan oleh kiprah dan penampilan Cokroaminoto (nama lengkapnya Raden Mas Haji Umar Said Cokroaminoto), Ia adalah anak bupati Ponorogo dan cicit Kyai Bagus Kasan Besari dari pesantren Tegalsari.(76) 

Dengan meminjam ucapan Ruslan Abdulgani, kalau BU disebut sebagai wujud nasionalisme kebudayaan (cultural nationalism) maka SI adalah nasionalisme politik religius (religious political nationalism).(77) Sedangkan Poespoprodjo menyebutkan SI sebagai kaum nasionalis muslim (muslim nationalist) dan BU disebutnya nasionalis yang tidak acuh agama (religiously indifferent nationalist).(78) Keduanya menekankan corak nasionalisme SI, yaitu nasionalisme yang berlandaskan Islam. Sesungguhnya SI memang dapat dinilai sebagai pergerakan kebangsaan (bahkan yang pertama menurut sementara pendapat)(79) karena dengan berlandaskan Islam, SI telah berhasil menyatakan dirinya sebagai organisasi politik. Dengan cepat ia mendapat dukungan dari kaum pedagang (karena ekonomi adalah salah satu tujuannya) yang tinggal di kota-kota yang sedang menghadapi kekuatan dagang golongan Cina yang sedang bangkit sejak awal abad XX. Semangat masyarakat pribumi ingin mengimbangi kemajuan golongan Cina, memperkuat identitas keagamaan Islam. 

Terlepas dari setuju atau tidak terhadap SI sebagai pergerakan kebangsaan yang pertama, Islam adalah inti kekuatannya. Dari penelitian Noer yang sangat rinci dan dalam tentang gerakan pembaharuan, ditegaskan bahwa pada peralihan abad XIX ke XX, Islam telah menjadi identitas kebangsaan: 
Pada masa itu Islam adalah identik dengan kebangsaan. Pada waktu itu orang yang beragama Islam selalu digolongkan kepada penduduk pribumi, apakah ini Melayu, Jawa atau yang lain . . .  
Di Jawa semua orang bumi putera disebut wong selam, orang Islam. Nama Sarekat Islam, satu-satunya partai politik kebangsaan yang berpengaruh besar dalam tahun belasan, yaitu kepribumiannya, daripada sifat agama dari organisasi tersebut; atau agaknya lebih tepat untuk mengatakan bahwa nama perkumpulan tersebut menggambarkan kedua aspek itu, yaitu aspek agama serta aspek kebangsaan atau kepribumiannya.(80) 

Dengan dasar Islam, SI menarik banyak anggota dari luar Jawa seperti Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan. Di Jawa Timur SI mendapat dukungan dari para petani. Korver yang meneliti perkembangan SI pada masa jayanya (1912-1916) memaparkan aspek milenaristis (pengharapan mesianistis) sangat kuat pada waktu itu dan orang Jawa melihat Cokroaminoto sebagai Ratu Adil yang kedatangannya telah diramalkan.(81) Kalau demikian suasana batin masyarakat Jawa turut mengarahkan kemajuan SI. Aspek milenaristis ini dengan gigih ditentang oleh Agus Salim (yang membawa gagasan Pan-Islam ke dalam SI)(82) 

Apakah agarna Islam bagi SI hanya sekedar alat? Apakah Cokroaminoto sungguh-sungguh meyakini dasar Islam bagi perjuangan SI? 

Dalam Anggaran Dasar 1912 kita dapat membaca empat tujuan(83), yang dapat disederhanakan menjadi dua tujuan pokok kemajuan agama dan ekonomi bumi putera (Indonesia). Bila dikaji lebih dalam maka program ekonomi dan agama dalam SI adalah penemuan kembali keprihatinan awal agama Islam sejak nabi Muhammad menyampaikan dakwahnya. Bagi nabi Muhammad, monotheisme Tuhan sejak awal sudah "terkait dengan suatu humanisme dan rasa keadilan ekonomi dan sosial yang intensitasnya tidak kurang dari intensitas monotheistik ketuhanannya".(84) 

Islam adalah pilihan yang sengaja dan sadar bagi SI. Melalui Cokroaminoto, SI seolah menjawab kesangsian akan potensi Islam: "Memang Sarekat Islam memakai nama agama sebagai ikatan persatuan bangsa, buat mencapai cita-cita sebenarnya, dan agama tidak akan menghambat kita mencapai tujuan itu."(85)Dengan mengutip ayat Quran — antara lain — yang bernada eskatologis — ia menganalisis masyarakat agar Islam harus bertindak: 
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.  (Sura 30:41 ).(86) 

Karena dasar Islam itu pula, SI berbeda dari BU dalam sikap terhadap Belanda; kalau BU (nasionalisme) menentang Belanda karena ia adalah pemerintahan asing, maka SI menentang karena ia adalah pemerintahan kafir! Dari segi ini dinilai secara obyektif, Islam telah memberikan sumbangan besar bagi gerakan kemerdekaan karena sikap itu bersenyawa dengan sikap anti penjajahan. Ia telah memberi sumbangan menemukan identitas kebangsaan dalam arti yang lebih tajam terhadap penjajahan. BU sebagai organisasi kalangan atas dengan hanya mengandalkan kebudayaan dan program pendidikan (bagaimana pendidikan kala itu digalakkan oleh Belanda) gagal untuk merakyat pada lapisan luas, sedangkan SI dengan keislamannya yang dipadu dengan keprihatinan ekonomi pribumi telah mampu merakya di segala lapisan masyarakat khususnya di kota-kota. 

Dengan program ekonomi pribumi, SI sebagai wujud gerakan pembaharuan bukanlah duplikasi pembaharuan ala Mesir yang menekankan pembaharuan politik dan intelektual, atau ala Turki yang kemudian memisahkan agama dari kiprah negara. Agaknya gerakan pembaharuan dalam wadah SI hanya menerima inspirasinya dari luar tetapi mempunyai semacam ideologi yang lain karena keprihatinannya terhadap situasi masyarakat. Perkembangan kemudian dari SI membenarkan hal ini. Setelah periode kejayaannya (1912-1916) berlalu, SI mengalami kemerosotan. Penyebabnya di samping pertikaian organisasi intern juga adalah karena digalakannya Pan-Islam (yang banyak bersangkut paut dengan situasi politik internasional) serentak dengan itu dikikisnya aspek milenaristis (sehingga entusiasme masyarakat Jawa berkurang terhadap SI) dan muncullah Marzisme (SI Merah) yang menginginkan cara yang radikal (non-koperatif) dalam perjuangan SI.(87) Sejak itu sampai dengan kemunculan "Orde Baru", SI tak putus dirundung pertikaian.(88) 

Menarik untuk dipertanyakan mengapa SI dapat dimasuki oleh Marzis? Sejak kemunculannya gerakan pembaharuan yang muncul dalam zaman modern dan dalam pertemuan dengan Barat, berada dalam dilema. Di satu pihak ia ingin mengatasi dominasi Barat, tetapi pada lain pihak ia dipengaruhi oleh Barat> Di Timur Tengah gagasan nasionalisme (sebagian pengaru Barat) bentrok dengan gagasan Pan-Islam (yang didorong oleh kerinduan akan pulihnya kembali kejayaan Islam masa lalu). SI sebagai wujud gerakan pembaharuan langsung melakukangebrakan politik sedangkan dasar Islam mungkin hanya dikuasai oleh para pimpinan yang telah menerima pendidikan modern, padahal "Islam dari SI pada periode awal itu belum begitu dipahami oleh para pendukungnya". Dengan mengutip Anthony Reid yang menulis buku The Indonesian Revolution: 1945-1950, Ahmad Syafii Maarif melukiskan potret SI pada waktu itu: 
...pengaruh SI semakin merosot sebagai gerakan politik anti kolonial. Tantangan yang dihadapi menjadi semakin berat pada waktu kaum Marzxis/komunis mendirikan PKI pada tahun 1920. Selama enam tahun sesudah kelahiran resminya, PKI telah mencatat kemajuan-kemajuan luar biasa di bidang organisasi di samping memasyarakatkan faham Marxis dan komunis. Marxisme tidak saja menarik bagi massa rakyat, tetapi juga berhasil mengikat kaum intelektual Indonesia.(89) 
SI terjun ke dalam gelanggang politk dengan basis yang rapuh. Karena gerakan pembaharuan berdampingan erat dengan semangat rasionalisme (karena itu anti tradisi dan wibawa ulama sebagai pengemban tradisi) maka ia harus mengeluarkan banyak energi untuk mempertahankan diri secara rasional pula(90), ia jadi tak semat membenahi landasannya. Di sinilah Muhammadiyah tampil sebagai pahlawan pembaharuan dengan program pendidikan dan pembinaan umat. 

Organisasi Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan yang tidak pernah menempu pendidikan modern. Deliar Noer langsung mencatatnya sebagai organisasi Islam yang terpenting di Indonesia "sebelum Perang Dunia II dan mungkin juga sampai saat sekarang ini".(91) Dahlan pernah aktif di BU "dengan maksud memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotanya. Dengan jalan ini ia berharap akhirnya akan dapat memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah".(92) Agaknya harapannya ini sesuai, dengan wataknya sebagaimana dilukiskan oleh Peacock, "ia melakukan perjuangannya denga tenang dan sistematis, lebih meupakan suatu perubahan daripada sebuah protes terhadap keadaan".(93) Sejak semula Muhammadiyah menjauhi jalur perjuangan politik dan memilih jalur pendidikan. Ia juga sempat memasuki SI. Rupanya ia tidak puas kepada kedua organisasi itu (BU dan SI) sehingga merasa perlu membentuk organisasi sendiri. Dengan mengutip Nakamura (yang menulis tesi nya tentang Muhammadiyah, The Crescent Arises Ouer the Baya Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in A Central Ja vanese Town), Jainuri mengatakan bahwa "mungkin Ahmad Dahlan merasakan bahwa kedua organisasi tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan akan memajukan dakwah Islam dan pendidikan sebagaimana yang ia kehendaki."(94) 

Begitu muncul Muhammadiyah segera melakukan program pembaharuannya (pemurnian) agama Islam. Jainuri mengelompokkan pembaharuan itu dalam tiga bidang, yaitu keagamaan, kemasyarakatan dan pendidikan.(95) Uraian saya selanjutnya menekankan bidang keagamaan, yang merupakan ikhtisar dari uraian Jainuri.(96) 

Gerakan Muhammadiyah berupaya mengembalikan kemurnian agama Islam berlandaskan Quran dan Hadis. Untuk itu kebenaran dari beberapa fatwa dan amalan-amalannya harus ditinjau kembali dengan semangat ijtthad (penalaran bebas). Umat harus melepaskan diri dari jumud (stagnasi) yang disebabkan unsur-unsur yang tidak murni Islam atau praktek-praktek yang tidak lazim dalam Islam, seperti misalnya acara selamatan (kenduri) yang dianggap sebagai kebiasaan animisme, ziarah kubur yang dibarengi denga tawassul (mengharapkan perantara para wali atau orang suci). Praktek yang terakhir ini merupakan warisan tasawuf (sufi) yang juga dilakukan oleh sebagian orang Arab yang datang dari Hadramaut. Muhammadiyah juga melakukan langkah baru dalam ibadah, khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Indonesia yang selama ini dalam bahasa Arab, bahkan kalau perlu boleh dalam bahasa daerah. Dalam menentukan hari raya Muhammadiyah mengikuti perhitungan astronomis (hisab) bukan lagi seperti yang lazirn berdasarkan munculnya bulan (rukyat). Muhammadiyah juga melancarkan kritik terhadap pendidikan tradisional; pesantren dianggap tidak mampu menjawab tantangan karena tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan pendidikan modern. 

Ada beberapa hal yang menarik untuk diamati di sini. Pertama, gerakan pembaharuan dengan semboyan 'Qur'an dan Hadis' menilai keadaan secara doktriner atau dengan meminjam istilah Geertz menjadi skripturalis.(97) Dengan kata lain semangat rasional dari gerakan pembaharuan membatasi rujukan penilaiannya hanya pada sumber yang sudah baku sehingga akan mudah jatuh pada sikap yang konservatif.(98) Kedua, gerakan pembaharuan anti kepada sufisme, yang pengaruhnya telah berbaur tradisi lokal (terlepas dari penilaian terhadap pengaruh itu). Ketiga, gerakan pembaharuan Muhammadiyah dengan program pendidikannya lebih menekankan aspek pengertian terhadap agama ketirnbang penghayatan (di mana dalam hal penghayatan pertanyaan yang utama adalah nilai guna ketimbang nilai kebenaran). Keempat, harus diakui bahwa Muhammadiyah telah berhasil mendekatkan Islam kepada perkembangan modern. Muhammadiyah telah menjawab tantangan modern (politik pendidikan Belanda) dengan menjauhkan sikap anti yang membuta, tetapi menjawaboya dengan kritis, meniru atau mengambil alih apa yang baik bagi perkembangan Islam. Kelima, penilaian Muhammadiyah terhadap pesantren agak kurang adil. Diukur dari sudut pendidikan formal penilaian itu dapat diterima. Tetapi dari sudut misi awalnya pesantren harus dinilai secara arif; karena ia bertujuan "bagaimana harus menjadi orang Islam yang baik."(99) Harus diingat bahwa pada awal abad XX pengaruh perubahan sosial, pengaruh perubahan politik Belanda, belum menyentuh daerah pedesaan. Karena itu untuk apa berubah kalau belum perlu, bukan? 
 
____________________
41. Untuk mengetahui lebih lannjut Politik Etis dan Pengaruhnya terhadap pendidikan, lihat, Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia terjemahan dari "The Emergence of the Modern Indonesia Elite", (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984 ), hlm. 50-138.  
42. Savitri Prastiti Scherer, Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX, semula tesis Ph.D pada Cornell University Amerika Serikat tahun 1975, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm 32-35.  
43. Ibid., hlm. 42-43.  
44. W. Poespoprodjo, Jejak-jejak Sejarah 1908-1926; Terbentaknya suatu Pola, (Bandung: Remaja Karya, 1984), hlrn. 29.  
45. Ibid., hlm 22.  
46. Ibid., hlm.23.  
47. Scherer, op.cit., hlm. 74; Lihat K. Tsuchiya, "Gerakan Taman Siswa: Delapan Tahun Pertama dan Latar Belakang Jawa Taman Siswa" dalam S. Ichimura & Koentjaraningrat, ed., Indonesia — Masalah dan Peristiwa Bunga Rampai, (Jakarta: Gramedia, 1976), hlm.27-55.  
48. Poespoprodjo, op.cit., hlm. 30.  
49. Lihat, Ensiklopedi Umum, ed., A.G. Pringgodigdo dan Hassan Shadily (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1977), hlm. 268. Untuk selanjutnya disebut, Ensiklopedi Umum.  
50. Lihat, Poespoprodjo, loc.cit. 
51. Ibid., hlm. 30-31.  
52. Ibid., hlm. 27.  
53. Ibid, hlm.28.  
54. Ibid., hlm.32.  
55. Ibid., hlm.33.  
56. Ibid., hlm. 33-34.  
57. Ibid., hlm. 27.  
58. Ibid., hlm. 3 5 -3 6.  
59. Ibid., hlm. 36.  
60. Ibid. 
61. Ignatius Gatut Saksono, "Soetomo: Tradisionalis di Tengah Kemelut Pergerakan Nasional', (Resensi buku Paul W. van der Veur, ed., Kenang-henangan Dokter Soetomo, Sinar Harapan, Jakarta, 1984), dalam Prisma, nomor 8, Agustus 1984, hlm. 86-88.  
62. Ibid., hlm. 88.  
63. Ibid 
64. Poespoprodjo, op.cit., hlm. 39.  
65. Ibid 
66. Ibid., hlm. 40.  
67. Ibid 
68. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 2 jilid (jilid I, Jakarta: Universitas Indonesia, 1979; jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1974), jilid II, hlm. 99. Untuk selanjutnya disebut, Nasution, Islam Ditinjau 
69. H.A.R. Gibb, Islam Dalam Lintasan Sejarah, terjemahan dari 'Mohammedanism', (Jakarta: Bhratara, 1983), hlm. 123.  
70. Nasution, Islam Ditinjau, jilid II, hlm. 96.  
71 Untuk mengetahui pemikiran pembaharuan dan perkembangannya dalam berbagai gagasan di berbagai negara, lihat, John J. Donohue & John L. Esposito, ed., Islam dan Pembaharuan, terjemahan dari 'Islam in Transition, Muslim Perspectives', (Jakarta: Rajawali, 1984 ). 
72. Bandingkan, Nasution, Islam Ditinjau, jilid II, hlm. 100-102.  
73. Ibid., hlm. l00.  
74. Tanja, Himpunan, hlm. 30: Bandingkan, A. Shamad Hamid, Islam dan Pembaharuan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), hlm. 58-61. 
75. Lihat, M.A. Gani, Cita Dasar & Pola Perjuangan Syarikat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 6-13. 
76. Ensiklopedi Umum, hlm. 1116.  
77. H. Roeslan Abdulgani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1983), hlm. 39. 
78. Poespoprodjo, op. cit., hlm. 55-56. 
79. Tanja, Himpunan, hlm. 32.  
80. Noer, Gerakan Modern, hlm. 8 -9.  
81. Lihat, A.P.E. Korver; Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil? semula tesis Doktor pada Universiteit van Amsterdam Belanda pada tahun 1982 dengan judul 'Sarekat Islam 1912-1916', (Jakarta: Grafiti Pers, hlm. 73-88). 
82. Poespoprodjo, op.cit., hlm. 55-56. 
83. Lihat, Gani, op.cit., hlm. 15.  
84. Rahman, Islam, hlm. 3.  
85. Dikutip oleh, Gani, op.cit., hlm. 15.  
86. Dikutip oleh, Ibid., hlm. 29.  
87. Poespoprodjo, loc.cit 
88. Lihat, Ensiklopedi Umum, hlm 875-979 di bawah "Sarekat Islam".  
89. Ahmad Syafii Maarif, Potret Perkembangan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Shalabudin Press, 1983), hlm. 7. Untuk selanjutnya disebut, Maarif, Potret Perkembangan. 
90. Tantangan Komunisme dijawab oleh Tjokroaminoto dengan menulis 'Islam dan Sosialisme'. Lihat, Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, (Jakarta: Lembaga Penggali dan Penghimpun Sejarah Revolusi Indonesia, 1963). 
91. Noer, Gerakan Moderen, hlm. 84.  
92. Ibid., hlm. 86.  
93. James L. Peacock, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan, Ajaran Islam  
di Indonesia, terjemahan dari 'The Muhammadiyah Movement in Indonesia Islam', (Jakarta: Cipta Kreatif, 1986), hlm. 38.  
94. A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad XX, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), hlm. 38.  
95. Ibid., hlm. 51-74.  
96. Ibid 
97. Clifford Geertz, Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia, terjemahan 'Islam Observed', (Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1982), hlm. 72-73.  
98. Bandingkan, Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, semula tesis Doktor pada Universitas Katolik Nijmegen Belanda tahun 1974, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 33-34.  
99. Ibid., hlm. 17.



Ditulis ulang dari buku Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989

Tidak ada komentar:

Posting Komentar