Sudah
maklum diakui, bahwa munculnya wacana dan gerakan civil society di Indonesia pada akhir tahun 80-an dan awal
90-an lebih banyak disuarakan oleh kalangan "tradisionalis"
(Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan "modernis." Hal ini bisa
dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya
terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan.
Sedangkan kalangan modernis adalah kelompok yang kepentingannya relatif
terakomodasi.
Dalam
kondisi semacam ini, wacana civil society yang secara sederhana dipahami
sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara,
sangat populer dan berkembang di kalangan intelektual NU. Kalangan muda NU
menjadi begitu "keranjingan" dengan wacana civil society dan pada
saat yang sama mereka menjadi kekuatan "antinegara".
Dalam
kondisi dimana negara (Orde Baru) begitu kuat (strong state) di satu pihak, dan
rakyat begitu lemah di pihak lain, menjadikan wacana civil society menemukan
momentumnya yang begitu kuat. Munculnya gerakan sosial baru (new social movement)
sebagai pilar civil society pada era 90-an merupakan salah satu bukti kuatnya
momentum tersebut.
Kebangkitan wacana civil society
dalam NU diawali dengan momentum kembali ke Khittah 1926 pada tahun 1984.
Peristiwa tersebut telah mengubah hampir semua tatanan kehidupan komunitas NU,
terutama yang berkaitan dengan orientasi gerakannya. Kembali ke Khittah 1926
bukan semata-mata berarti NU meninggalkan kehidupan politik, tetapi lebih
sebagai perubahan orientasi gerakan politik. Jika sebelumnya NU menempuh
strategi "politik panggung", politik struktural yang disediakan oleh
pemerintah Orba, maka dengan kembali ke Khittah NU menempuh strategi
"politik tanpa panggung", artinya dalam kehidupan politik NU
menciptakan "panggung permainannya" sendiri dan-pada saat yang
sama-mengabaikan panggung yang disediakan Pemerintah Orba.
Strategi politik yang demikian,
tidak jarang menempatkan NU dalam posisi yang tidak mengenakkan karena selalu
"berhadapan" dengan pemerintah. Efek dari strategi ini menjadikan NU
semakin terpinggir dari pusat kekuasaan (centre
of power) di satu sisi, namun di sisi yang lain, justru karena
keterpinggiran itu peran NU sebagai embrio tumbuhnya civil society di Indonesia
semakin mantap.
Para pengamat menilai, peran NU
yang demikian merupakan horison baru yang cukup menjanjikan serta memiliki
ruang gerak yang cukup lebar. Bila ditinjau dari kepentingan civil society di Indonesia, peran baru yang dilakukan NU
mempunyai relevansi karena beberapa hal. Pertama, lahan garapan NU bukan
semata-mata persoalan internal warga NU, namun menyangkut persoalan kebangsaan
secara keseluruhan, seperti masalah keadilan politik, ekonomi dan sosial.
Kedua, NU mengakui bahwa wilayah esensial bagi sebuah civil society yang
mandiri kini menjadi komitmen perjuangannya melalui pemberdayaan rakyat
(empowering society). Ketiga, NU pasca-Khittah 1926 menitikberatkan gerakannya
pada level masyarakat yang ditujukan untuk memperkuat kemandirian dan
kepercayaan dirinya (self confidence).
Wilayah kerja NU yang baru
tersebut, wilayah kultural, memungkinkannya membuka wacana pemikiran baru
sebagai counter discourse terhadap
"wacana resmi" yang hegemonik. NU berhasil merebut dan membuka ruang
publik (public sphere) yang selama
ini dikuasai negara, sebagai "zona netral" yang memungkinkan rakyat
untuk berdialektika secara intens dengan negara dalam posisi yang berimbang (balance). Peran demikian tidak mungkin
dapat dilakukan oleh NU jika ia tidak berani melakukan "reposisi"
peran politiknya dengan kembali ke Khittah 1926.
Dalam konteks ini, KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan tokoh sentral yang sejak tahun 1984 mengawal
Khittah NU. Sebagaimana diketahui, Gus Dur adalah sosok yang selalu gelisah
untuk menyikapi realitas sosial yang mencerminkan adanya involusi dalam
kehidupan berbangsa. Apa yang dilakukan NU di bawah komando Gus Dur, secara
nyata merupakan geliat baru ormas yang selama ini hampir seluruhnya di bawah
kooptasi negara.
Tantangan
Pertama:
Saat Gus Dur Menjadi Presiden
TERPILIHNYA Gus Dur sebagai
presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek civil society di
Indonesia, khususnya di kalangan NU. NU yang dulu menjadi komunitas non-negara
yang selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi "negara"
itu sendiri. Di samping Gus Dur, banyak tokoh NU yang dulu penyeimbang negara,
kini "tersedot" ke dalam poros negara. Muhammad AS Hikam yang selama
ini dikenal sebagai "pendekar" civil society, kini juga sudah menjadi
bagian dari negara, anggota kabinet Gus Dur. Belum lagi banyak kader NU
unggulan yang menjadi anggota parlemen, yang pada tingkat tertentu merupakan
elemen kenegaraan.
Kenyataan tersebut
mengisyaratkan bahwa wacana civil society dalam NU seolah kehilangan momentum.
Pertama, NU yang dulu menjadi kekuatan non-negara, dengan Gus Dur menjadi
presiden berarti NU telah terserap menjadi bagian dari negara itu sendiri.
Kedua, secara makro kondisi negara sekarang berbeda sama sekali dengan ketika
wacana civil society mengemuka di Indonesia. Jika pada awalnya negara begitu
kuat dan rakyat lemah, sekarang kondisinya berbalik, negara lemah dan rakyat
cukup kuat, atau paling tidak rakyat dan negara dalam posisi berimbang.
Permasalahan semakin rumit jika
dikaitkan dengan psikologi masyarakat NU yang sekian lama
"memanjakan" Gus Dur karena mewarisi "darah biru", bahkan
dipercaya sebagai "wali". Akibatnya, muncul keengganan di kalangan
orang NU untuk melakukan kritik terhadap Gus Dur. Kondisi demikian tentu saja
tidak cukup sehat untuk menumbuhkan civil society.
Dalam situasi umit ini, muncul
pertanyaan bagaimana prospek civil society di kalangan NU. Peran apa yang akan
dilakukan dan bagaimana NU akan memposisikan diri dalam konstelasi politik
nasional. Pertanyaan ini memang cukup problematis, karena ada kecanggungan
kultural bagi warga NU untuk melakukan kritik terhadap Gus Dur. Oleh karena
itu, agak sulit membayangkan NU tetap bertindak sebagai "oposan"
sebagaimana yang diperankan sebelumnya terhadap orde Baru.
Terhadap pertanyaan tersebut,
lantas muncul beberapa pilihan yang mungkin dilakukan NU. Pertama, secara
organisatoris NU "memotong" Gus Dur dan elemen kenegaraan yang lain
sebagai entitas lain di luar entitas NU. Bila NU menempuh langkah ini, maka ia
akan tetap menjadi kekuatan civil society
dan itu berarti NU akan tetap menjadi kekuatan penyeimbang di luar
negara sebagaimana yang selama ini dilakukan.
Kedua, NU melakukan
"reposisi" atas peran yang selama ini diambil. Hal itu dilakukan
dengan cara mengubah wacana civil society yang hanya dipahami sebagai kelompok
non-negara yang berkepentingan untuk membentuk historical bloc (benteng sejarah) untuk menghadapi hegemoni negara.
Di samping fungsi di atas, civil society sebenarnya dapat juga berperan sebagai
komplemen (dan juga suplemen) terhadap peran yang dilakukan negara.
Jika dulu NU lebih memerankan
fungsi civil society yang pertama, maka pasca-Gus Dur menjadi presiden, NU
dapat mengambil fungsi civil society yang lain, yaitu fungsi komplemen terhadap
tugas negara. Dalam hal pendidikan misalnya, meskipun negara sudah
menyelenggarakan pendidikan sendiri, masyarakat tetap masih bisa melengkapi
tugas kependidikan yang tidak dilakukan negara seperti pengembangan pesantren
dan sejenisnya.
Ketiga, NU sepenuhnya mem-back up negara, artinya, apa pun yang
dilakukan oleh Gus Dur sebagai representasi negara harus didukung. Menentang
negara berarti menentang Gus Dur, dan itu berarti pula mencoreng wajah NU
sendiri.
Dri
tiga alternatif pilihan tersebut, pilihan ideal yang muncul di kalangan
intelektual dan kaum muda NU adalah pilihan bahwa kekuatan CS masih sangat
dibutuhkan di negeri ini sehingga NU tidak perlu meninggalkan posnya dalam
penguatan civil society di Indonesia, apalagai mabuk dengan kekuasaan politik
yang diperolehnya.
Tapi pandangan itu belum
menyebar kepada seluruh pemimpin formal dan informal NU, khususnya di
daerah-daerah basis (khususnya daerah Tapal Kuda, termasuk Pasuruan). Sebab
yang terjadi adalah, kecintaan kepada Gus Dur dan ‘nama baik’ NU di pentas
politik praktis jauh lebih dominan dari pada kecintaan untuk mempertahankan
posisi NU di luar negara sebagai kekuatan masyarakat yang melakukan kontrol.
Perdebatan masih terus berlangsung, sementara kekuasaan Gus Dur sudah raib
menghilang.
Tantangan Kedua:
Era Pemilihan Presiden Secara Langsung
Hal yang sama terulang dalam
Pemilu 2004, khususnya dalam pemilihan presiden seperti terlihat pada fenomena
KH Hasyim Muzadi yang kini resmi menjadi cawapres bagi Megawati serta KH
Salahuddin Wahid yang dilirik Partai Golkar untuk mendampingi Wiranto. Demikian
pula pada pemilihan tahap kedua, ketika tinggal menyisakan Pasangan
Megawati-Hasyim Muzadi dengan SBY-Yusuf Kalla.
Terasa berat bagi NU untuk tetap
memegang prinsip khittah dalam situasi politik semacam ini. Sementara tidak
dapat dipungkiri, para elit dan pemimpin NU memiliki ‘syahwat’ berpolitik
praktis yang sangat besar. Memang bila dilihat sejarah NU, organisasi ini
memang hampir-hampir tidak pernah lepas dari politik praktis. Politik
seolah-olah sudah mendarah daging. Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan,
jenis kelamin NU memang organisasi sosial keagamaan; tetapi semangatnya adalah
semangat politik.
Bahkan, keputusan kembali ke
khittah 1926 sebetulnya juga keputusan politik. Paling tidak, nuansa politik di
balik keputusan itu sangat kental. Sikap Orde Baru “melarang” NU menjadi partai
politik – melalui kebijakan penyederhanaan partai (1973) – jelas sangat
mengecewakan warga nahdliyin. Namun ketika bergabung dengan PPP, NU justru
mengalami kekecewaan yang lebih besar dengan terus tersingkirnya tokoh-tokoh NU
dari posisi-posisi strategis di tubuh PPP.
Puncak kekecewaan NU
dilampiaskan dengan tekad bulat kembali ke khittah 1926 (1984) yang diwujudkan
tidak hanya dalam bentuk “talak tiga” dengan PPP, tetapi juga menggembosi
partai yang pernah dibesarkannya sehingga perolehan suara PPP dalam pemilu 1987
turun drastis, khususnya di Jawa Timur. Ini hanya bisa diartikan satu hal:
keputusan kembali ke khittah memang menjadi terobosan strategis yang sangat visioner,
tetapi semangat yang terkandung di dalamnya adalah semangat politik.
Kentalnya darah politik dalam
tubuh NU tentu tidak bisa dilepaskan dari besarnya massa nahdliyin. Meski NU
jelas-jelas organisasi sosial keagamaan dan bukan organisasi politik, namun
besarnya massa NU merupakan kekuatan politik yang tidak bisa dianggap sepele.
Jangankan organisasi sosial, organisasi politik pun belum tentu memiliki massa
sebanyak yang dimiliki NU.
Anehnya, ini baru betul-betul
diperhitungkan setelah massa NU terfragmantasi secara politik. Dalam
pemilu-pemilu sebelumnya NU seolah-olah dianggap angin lalu padahal suara
nahdliyin relatif solid dan tidak terpecah-pecah. Baru pada pemilu 2004,
khususnya pemilu presiden 5 Juli mendatang, NU betul-betul diperhitungkan,
padahal suara nahdliyin sudah terpecah-pecah. Kontroversi pencalonan Gus Dur di
satu pihak dan munculnya KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid sebagai
cawapres di pihak lain, merupakan bukti yang sangat telanjang betapa suara NU
dianggap sedemikian penting sebagai faktor penentu kemenangan.
Di tengah persaingan keras
perebutan kursi presiden-wakil presiden inilah, PBNU mengambil keputusan
penting di Rembang pertengahan Mei 2004 dengan menonaktifkan KH Hasyim Muzadi
dan KH Solahudin Wahid, melarang pengurus NU dan badan-badan otonom di tubuh NU
mengeluarkan pernyataan maupun fatwa yang mendukung salah satu capres-cawapres,
serta melarang pemanfaatan institusi maupun fasilitas NU untuk kekepentingan
kampanye capres-cawapres. Bahkan pengurus NU yang menjadi Tim Sukses dari
capres-cawapres tertentu juga diharuskan non-aktif sementara.
Keputusan itu mengukuhkan
kembali NU sebagai civil society yang sempat diragukan banyak orang. Dengan
tersedotnya berbagai ormas ke dalam orientasi politik praktis, NU nyaris
“sendirian” sebagai organisasi sosial keagamaan yang secara tegas bersikap
netral dalam masalah pemilihan presiden-wakil presiden 5 Juli mendatang.
Dengan keputusan itu, NU memikul
tanggung jawab lebih besar ketimbang masa-masa sebelumnya. Tanggung jawab ini
terutama menyangkut stagnasi peran-peran NU sebagai salah satu kekuatan civil
society. Stagnasi civil society dalam era reformasi memang tidak hanya terjadi
pada NU. Sejak Orde Baru tumbang, hampir semua kekuatan civil society tenggelam
oleh arus politik yang demikian besar.
Keputusan yang dihasilkan
pertemuan Rembang memang sudah lama ditunggu banyak pihak, terutama kelompok
kultural di NU. Sejak KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid resmi menjadi
calon wakil presiden masing-masing mendampingi Megawati dan Wiranto,
bermunculan dukungan dan penolakan. Untunglah Syuriyah PBNU segera mengambil
sikap, sehingga kontroversi berkepanjangan bisa dihindari dan konflik
kepentingan bisa ditekan sekecil mungkin.
Namun Keputusan Rembang memang tidak selalu ditanggapi
positif, baik bagi NU dan nahdliyin maupun bagi pihak-pihak lain. Banyak tokoh
NU berpendapat, apa salahnya mendukung capres-cawapres yang di dalamnya ada
tokoh NU, sebagaimana Muhammadiyah yang secara resmi mendukung Amien Rais, toh
mereka nantinya akan menjadi “wakil NU” yang diharapkan dapat memperjuangkan
kepentingan NU. Pendapat ini ada benarnya; dan untuk kepentingan jangka pendek,
keputusan Rembang jelas kurang menguntungkan NU.
Namun
Syuriyah PBNU yang terdiri dari kiai-kiai berpengaruh agaknya lebih berpikir
jauh ke depan. Inilah saatnya NU kembali kepada garis perjuangan sebagai
organisasi sosial keagamaan (jam’iyah
diniyah) dengan lebih mengutamakan kepentingan jangka panjang ketimbang
kepentingan pragmatis yang sifatnya hanya sesaat.
Walhasil, tampaknya NU memang
tidak perlu ditarik-tarik ke pilihan politik tertentu dalam pemilihan presiden
mendatang. Politik garam harus dikedepankan dengan asumsi substansiasi
nilai-nilai politik yang memajukan keadilan dan kesetaraan bisa ditawarkan
kepada siapapun yang memperoleh amanat selama lima tahun ke depan. Meminjam
bahasa Ketua Pelaksana PBNU, K.H Masdar F. Mas’udi, kalangan NU sebaiknya lebih
memikirkan lima tahun ke depan daripada menghabiskan energi untuk lima menit:
waktu yang biasa dihabiskan voter untuk mencoblos di dalam bilik suara.
Perlunya Memperioritaskan Kembali Agenda Kultural
Sampai batas-batas tertentu, keterlibatan NU dalam arus kekuasaan bukan saja akan mengancam keutuhan jam’iyah dan jama’ah intern NU-karena disadari atau tidak, fenomena itu akan mempertajam polarisasi di tubuh NU-tetapi juga mengancam eksistensi NU sebagai civil society. Masuknya tokoh-tokoh puncak NU dalam bursa pemilihan presiden bisa menjadi preseden buruk di masa datang. NU akhirnya hanya akan menjadi batu loncatan menuju ke tampuk kekuasaan. Pilihan untuk kembali ke khittah 1926 sebetulnya merupakan keputusan strategis.
Dengan komitmen ini, NU
sebetulnya sudah menentukan langkah untuk bermain di luar arena kekuasaan.
Kenyataan bahwa NU telah "memiliki" PKB justru membuat NU lebih bisa
berkonsentrasi untuk menggarap wilayah-wilayah kultural. Sebab, wilayah
struktural (politik praktis) sudah "diurusi" PKB. Dengan demikian,
hubungan NU dan kekuasaan relatif bisa dibangun secara obyektif, rasional, dan terbuka,
terlepas apakah tokoh-tokoh NU berada di kekuasaan atau tidak. Inilah agenda
kultural yang mesti segera dilakukan oleh NU.
Harapan ini memang tidak mudah
karena pengalaman NU selama ini belum sepenuhnya bisa membuktikan daya tahannya
terhadap godaan politik. Namun demikian, salah satu yang bisa diharapkan untuk
terus menjaga eksistensi NU sebagai civil society adalah kelompok yang tetap
konsisten di jalur kultural yang memainkan peran cukup sentral sejak NU kembali
ke khittah 1926. Kelompok ini memang hanya salah satu dari tiga kelompok
dominan di NU . Meminjam analisis Laode Ida (Prisma,
Mei 1995), paling tidak ada tiga faksi dominan yang muncul dalam dinamika
internal NU.
Pertama, faksi politik. Mereka
ini terlibat langsung dalam percaturan politik praktis, baik di PKB maupun
partai-partai lainnya, serta saling berebut pengaruh di basis-basis NU.
Kelompok ini, karena keniscayaan harus bermain politik praktis, jelas sulit
untuk bisa bisa diharapkan untuk bisa mendukung NU sebagai kekuatan civil society,
kecuali mereka bisa menjalin komunikasi dan kerjasama strategis dengan aktivis
civil society.
Kedua, faksi syuriyah/kiai.
Sebagai kiai dan ulama, mereka adalah tokoh-tokoh sentral NU meski tidak
semuanya duduk dalam struktur NU. Faksi ini, dalam era kembali ke khittah,
mencoba merekonstruksi peran NU dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Mereka berusaha agar NU tetap setia kepada khittah 1926 dan memainkan
peran-peran penting sebagai civil society. Sebagian dari kelompok ini kemudian
tergoda orientasi politik, namun sebagian besar kelompok ini mencoba tetap
setia terhadap cita-cita khittah 1926 sehingga dari kelompok terakhir inilah NU
diharapkan akan terus memainkan peran penting sebagai kekuatan civil society.
Ketiga, faksi cendekia. Mereka
ini adalah (1) kecuali memiliki ilmu pengetahuan agama (Islam) yang mendalam
juga disiplin atau keahlian tertentu yang diperoleh dari lembaga pendidikan
umum, atau (2) mereka berasal dari lembaga pendidikan pesantren dan IAIN yang
secara fleksibel membuka diri mendalami ilmu selain agama, (3) mereka juga
memiliki banyak gagasan yang secara terbuka dipublikasikan untuk kepentingan
kalangan nahdliyin maupun masyarakat umum, serta memiliki komitmen sosial yang
tinggi.
Jika dua faksi terakhir bisa
bekerja lebih maksimal dalam menjaga independensi NU terhadap kekuasaan serta
terus berusaha mengawal dan memantapkan posisi NU sebagai civil society seperti
diamanatkan khittah 1926, NU tidak perlu menghabiskan energi untuk terlibat
dalam berbagai tetek bengek politik praktis. Toh sudah ada PKB yang menjalankan
tugas itu. Sebaliknya, NU bisa mencurahkan segenap energinya dalam
gerakan-gerakan kultural untuk memberikan pelayanan lebih maksimum tidak hanya
kepada komunitasnya tetapi juga kepada bangsa ini.
Namun, menjalankan tekad untuk
“kembali ke jalan yang benar” seperti salah satunya ditunjukkan dengan sangat
elegan dalam keputusan Rembang, bukannya tanpa kendala. Dalam satu segi, NU
telah memberikan contoh yang sangat bagus bagaimana seharusnya organisasi sosial
menempatkan diri sebagai kekuatan civil society di tengah gelombang politik
yang demikian besar. Dengan keputusan itu, NU diharapkan menjadi kontrol moral
tidak hanya terhadap proses perebutan kekuasaan, tetapi juga terhadap
proses-proses politik berikutnya setelah kompetisi itu selesai.
Dalam segi yang lain, NU harus
betul-betul bekerja keras untuk menunjukkan komitmennya melaksanakan misi
kultural di atas. Persoalannya adalah, mesin organisasi NU seringkali tidak
cukup efektif di tingkat akar rumput. Tingkat pemahaman akan konsep khittah dan
wawasan politik yang cukup beragam serta lemahnya bangunan struktur organisasi (instituional building) merupakan
penyebab penting munculnya permasalahan tersebut. Oleh karena itu, konsolidasi
jam’iyyah harus tetap ditumbuhkan. (Disadur
dari berbagai sumber).
Sumber Tulisan
"Civil Society" dan NU Pasca-Gus Dur, ditulis oleh
Rumadi, staf pada Institute for the Study and Advancement of Civil Society
(ISACS) Jakarta, mahasiswa Pascasarjana (S3) IAIN Jakarta http://www.incis.or.id/ar_18.htm
Masa Depan NU sebagai
"Civil Society" ditulis oleh
Agus Muhammad, Peneliti P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren
dan Masyarakat), Jakarta, Kompas, 13 Mei 2004
Menggugat Khittah NU, Humaniora Utama Press Bandung
Menilai “Kecerdasan”
Politik NU dalam Pilpres, ditulis oleh Kholilul
Rohman Ahmad, dimuat tanggal 12/7/2004 di http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=618
NU Setelah Pertemuan
Rembang, ditulis oleh Agus
Muhammad,
peneliti pada Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta,
Koran Tempo, 21 Mei 2004
Pedoman Berpolitik Warga NU, ditulis oleh KH A. Mustofa Bisri, Rais Syuriyah PBNU, Duta
Masyarakat, 3 Agustus 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar