Rabu, 24 Juni 2015

SERI BUKU NAHDLATUL ULAMA DAN ISLAM DI INDONESIA (5)




BAB III
NU : ORGANISASI DAN GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN (Lanjutan)

Suasana itu agaknya sudah diantisipasi sebelumnya. Dua pihak yang dalam beberapa hal tidak sejalan mengenai soal-soal keagamaan turut serta dalam kongres. Sedikitnya Muhammadiyah dan AI-Irsyad di satu pihak dan peserta sayap pesantren yang diwakili Kyai Abdul Wahab dan Kyai Asnawi yang datang atas nama Taswirul-Afkar.38 Sebagai jalan tengah untuk mengatasi perbedaan faham maka dipilih SI sebagai pimpinan kongres. Kalangan SI memang berusaha agar kongres tidak memperdebatkan soal-soal kecil yang bukan pokok agama, tetapi apa yang diharapkan justru sebaliknya yang terjadi. Agus Salim selanjutnya mengemukakan sebagai berikut:
Malah sebagian saudara kita lebih bersaudara dengan Majusi, Yahudi dan Nasrani dari pada dengan golongan Islam yang masuk perikatan Al-Irsyad dan Muhammadiyah.39
Ada pula yang datang mementingkan Agama Islam. Kedatangan mereka semata-mata untuk mengalahkan, akan menghancurkan haluan Islam yang lain-lain dari pada yang sudah menjadi pusaka turun-temurun di dalam bangsa dan tanah air kita, malah umumnya seluruh dunia. Pendek kata kedatangan mereka jauh dari mencari persatuan dan persaudaraan ummat Islam. Malah mereka tidak menghendaki perdamaian.40
 Tak lain tak bukan hanyalah kepentingan beberapa fihak yang sekedar berebut kemenangan faham atas beberapa cabang            yang sekali-kali tidak menjadi pokok agama.41

Sampai kongres Al-Islam Bandung 1926 pertentangan terus terjadi antara sayap pesantren dengan nonpesantren,42 selanjutnya setelah yang pertama mengundurkan diri dari kegiatan kongres Al-Islam pertentangan terus terjadi antara sayap nonpesantren sendiri.
Selain Muhammadiyah di Surabaya juga sudah berdiri cabang AI-Irsyad, berdiri tahun 1913 mendapat pengakuan badan hukum tahun 1915. Perhimpunan ini bermula dari perselisihan faham kalangan keturunan Arab yang tergabung dalam Jami'at Khair, berdiri tahun 1905.43 Perselisihan terjadi dalam soal kafa'ah antara golongan 'Alawi yang berdarah ningrat keturunan Nabi Muhammad dan golongan lain. Kebanyakan keluarga keturunan 'Alawi tidak menerima calon mempelai lelaki bukan 'Alawi. Pandangan ini menurut mereka memiliki dasar hukum yang sah.44 Tentu saja golongan Arab lain menolak anggapan tersebut dan akhirnya menjadi pangkal perselisihan yang berkepanjangan, karena itu keturunan Arab bukan 'Alawi bergabung dengan Al-Irsyad yang menentangnya.
Salah seorang tokoh yang berpengaruh dalam Al-Irsyad ialah Syikh Ahmad Ibn Muhammad Surkati berasal dari Sudan, datang ke Indonesia atas permintaan Jami'at Khair, tetapi kemudian keluar dari organisasi itu bergabung dengan AI-lrsyad.45 Sebagai tokoh yang berpengaruh banyak pemikiran Surkati yang diterima sebagai pemikiran Al-Irsyad. Surkati menulis buku Al-Masa'il al-Salas (tiga masalah) yang mengupas tiga persoalan: (1) ijtihad dan taqlid, (2) sunnah dan bid'ah, dan (3) ziarah kubur dan wasilah (permohonan dengan perantara) melalui Nabi Muhammad atau para wali.46
Ahmad Sukarti diundang debat untuk membicarakan tiga persoalan tersebut oleh kalangan ulama pesantren di Masjid Ampel, Surabaya, namun oleh karena dianggap akan menimbulkan dampak negatif maka debat itu dilarang. Walaupun begitu Sukarti perlu memberi keterangan lewat tulisan maka terwujudlah buku tersebut.47 Di samping menulis buku Sukarti juga menerbitkan majalah Al-Zakhirah al-Islmiyyah, majalah bulanan yang terbit kira-kira satu tahun lamanya. Kurang lebih isinya meniru majalah AI-Manar yang terbit di Kairo dan sangat populer ketika itu di Indonesia.
Selain Al-Irsyad. muncul pula perhimpunan Persatuan Islam (Persis) yang berpusat di Bandung. Mulanya dari kegiatan grup diskusi pengajian agama yang diselenggarakan pada awal tahun dua puluhan oleh sejumlah saudagar berasal dari Palembang yang tinggal di Bandung kemudian lahir Persis.48 A. Hassan, saudagar kelahiran Singapura berasal dari India tinggal di Surabaya kemudian bergabung dengan Persis dan akhirnya menjadi tulang punggung utama yang sangat berpengaruh. Melalui kegiatan pengajian dan perdebatan yang diselenggarakan, juga tulisan-tulisan yang tersebar melalui percetakan yang dipimpin sendiri, Hassan mengemukakan berbagai pandangan keagamaannya yang "menantang" pendapat umum yang telah melembaga dalam tradisi kehidupan keagamaan masyarakat Islam. Tidak mengherankan kalau kemudian timbul reaksi, baik dalam bentuk perdebatan agama yang berlangsung di beberapa daerah maupun reaksi sepihak yang diselenggarakan dalam banyak kesempatan pengajian maupun ceramah keagamaan.49
Munculnya orang-orang atau perhimpunan yang berfaham baru di Surabaya dan beberapa daerah Jawa lainnya tentu saja menimbulkan reaksi yang bermacam-macam. Ini tidak berarti bahwa faham baru yang dibawa itu tidak sesuai dengan kaitan penataan hubungan sosial keagamaan masyarakat Islam di Indonesia, tetapi merupakan gejala umum dan normal setiap transformasi ide baru ke dalam kehidupan sosial akan menimbulkan disharmoni dan ketidakstabilan bila penerapannya tidak didasari pemahaman yang baik tentang pranata dan kelembagaan sosial yang hidup di tengah masyarakat. Reaksi terhadap gagasan baru itu tentu ada yang menerima dan ada pula yang menentang. Mereka yang menentangnya ada yang bersifat pribadi dan ada pula yang melembagakan dalam perhimpunan atau jemaah pengajian dan lain-lain.
G.F.-Pijper dalam laporannya mengatakan bahwa di Kudus sekitar tahun 1926 terjadi seorang ayah yang menikahkan anak perempuannya mengajukan syarat ta'liq (syarat yang dinyatakan dalam akad perkawinan, jika syarat itu tidak dipenuhi maka jatuh talak), jika mempelai lelaki nanti menjadi anggota Muhammadiyah, maka perkawinan itu batal.50 Peristiwa semacam ini barangkali tidak hanya terjadi di Kudus saja, sebab pada umumnya reaksi masyarakat terhadap gagasan-gagasan pembaruan Muhammadiyah dan perhimpunan lain yang sejenis, ada yang keras dan ada pula yang lunak, bahkan menerimanya.51 Anekdot di atas hanyalah sebagian dari reaksi pribadi seorang yang menentangnya.
Sebenarnya persoalan yang muncul dari issue yang dibawa aliran baru adalah di seputar soal pokok ijtihad dan taqlid lalu dari soal pokok tersebut berkembang menjadi soal-soal yang bersifat furu' (ditil yang tidak disepakati), talqin, wasilah dan lain-lain.52 Soal kebangsaan atau nasionalisme diperdebatkan pada bagian kedua tahun tiga puluhan oleh Persis dengan Muhammadiyah atau orang-orang Muhammadiyah.53 Gagasan pembaruan Islam yang muncul di awal abad ini memang sebagian diilhami oleh gerakan serupa di Timur Tengah khususnya Mesir. Sejumlah referensi bacaan dari Mesir khususnya majalah yang diterbitkan Muhammad 'Abduh dan Rasyid Rida beredar di Indonesia dan dibaca secara terbatas oleh elite Islam terpelajar.54 Namun dampak dari pembaruan itu bagi masyarakat umum berbeda antara yang terjadi di Indonesia dengan yang terjadi di Mesir. Memang pembaruan yang dipelopori 'Abduh dan kawan-kawan serta pengikutnya menekankan pentingnya ijtihad dikembangkan kembali. Menurut 'Abduh salah satu penyebab kemunduran ummat Islam sehingga tertinggal dari Barat karena ijtihad tidak dikembangkan lagi.55 Ummat Islam dihinggapi rasa kebanggaan masa silam mereka dan menganggapnya sebagai puncak kemajuan Islam. Mereka merasa puas diri dengan masa silam itu dan mengikutinya sebagai kebenaran yang tidak terbantah.
Akan tetapi pembaruan di Mesir yang menegaskan perlunya ijtihad dikembangkan kembali itu lebih menekankan bidang mu'amalah (kemasyarakatan, termasuk ekonomi, politik dan pendidikan) dan ilmu pengetahuan, bukan dalam bidang ibadah yang seperti terjadi di Indonesia.56 Jika benar pembaruan Islam atau masyarakat Islam yang dikembangkan aliran baru di Indonesia awal abad ini dipengaruhi pembaruan 'Abduh dan kawan-kawan di Mesir, maka yang terjadi di Indonesia baru semangat dan lapisan luar belaka. Dampak pembaruan yang muncul ketika itu (barangkali sebagian sampai sekarang) justru lebih banyak di seputar soal-soal khilafiyah (masalah yang tidak disepakati) dalam bidang ibadah. Di Mesir sendiri, setidaknya sampai decade keempat abad ini, sekalipun soal-soal khilafiyah bidang ibadah itu ada, namun tidak menjadi issue sentral yang menegangkan, seperti yang tejadi di Indonesia.57 Mereka dapat berdamai dalam soal-soal yang tidak disepakati, khususnya dalam bidang furu', karena berbeda metode analisis dan argumentasinya.
Dalam soal ijtihad 'Abduh sendiri mengakui tidak semua orang Islam mampu dan memenuhi syarat untuk melakukannya.58 Hanya orang-orang tertentu yang mampu dan memenuhi syarat yang dapat melakukannya. Perdebatan mengenai soal ini di Indonesia lebih diwarnai soal terminologi daripada esensi ijtihad dan taqlid itu sendiri. Semua fihak sepakat tidak semua orang Islam mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad, dan mengenai yang tidak memenuhi syarat ini wajib taqlid atau tidak, di sini terjadi perbedaan faham. Satu pihak mengatakan bahwa orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad harus ittiba' (mengikuti) dengan kewajiban mengetahui dalil dari Qur'an dan hadis, sementara fihak lain beranggapan bahwa yang demikian itu sudah termasuk kategori taqlid. Satu fihak beranggapan bahwa taqlid adalah suatu bentuk mengikuti tanpa mengetahui dalil Qur'an dan hadis dan menyebutnya taqlid buta, perbuatan itu haram. Fihak lain beranggapan bahwa taqlid buta itu juga boleh, sebab kenyataan sampai waktu itu (barangkali juga sekarang) jumlah orang yang buta huruf Arab maupun latin masih tinggi. Terhadap orang yang demikian ini tidak bisa dituntut untuk mengatahui dalil dari Qur'an maupun hadis, membaca pun mereka tidak bisa.59
Dalam kongres Al-Islam yang pertama di Cirebon tahun 1922.60 sayap pesantren mendapat kecaman, jika tidak disebut serangan, aliran baru karena mereka mempertahankan taqlid, menolak menerapkan ijtihad mengingat kemampuan pada umumnya ulama di Indonesia belum memenuhi syarat karena belum tersedianya perangkat metodologi yang cukup, penguasaan bahasa Arab yang kurang dan tidak tersedianya bahan referensi yang cukup. Tiga tahun kemudian dalam kongres Al-Islam ketiga di Surabaya tahun 1924 terjadi kompromi. Surat kabar Hindia Baroe dipimpin oleh Agus Salim mengomentari hasil keputusan itu dengan anak judul "Moesjawarah Oelama, Boeah jang Lezat",61 mengingat dalam kongres sebelumnya terjadi perdebatan yang seru masing-masing fihak mempertahankan pendirian mereka. Keputusan musyawarah ulama telah diumumkan dalam openbare Congres Al-Islam Hindia di Surabaya: (1) Ijtihad dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu antara lain mengetahui nas Qur'an dan hadis; mengetahui ijma' ulama; mengerti bahasa Arab dengan baik; mengetahui tentang 'am, khas, mufassal, mujmal dalam Qur'an; naskh, mansukh, mutlaq, muqayyad, mujmal dan mufassal dalam Qur'an dan hadis; menguasai hadis dan muhaddisun; dan mengetahui asbab al-nuzul. "Barang siapa jang bersifat dengan sjarat-sjarat jang terseboet di atas, maka wadjiblah atasnja beridjtihad dan berdosalah djikalaoe tidak beridjtihad", ditegaskan dalam keputusan tersebut.62 (2) Salaf ialah ulama fuqaha', muhaddisun dan ahli tauhid abad pertama sampai dengan abah ketiga Hijriah, selain itu tidak termasuk kategori salaf. Kitab tafsir Qur'an diterima bila ditulis oleh orang yang mu'tamad (representatif) didasarkan atas penafsiran yang sah. (3) Mengakui bahwa Muhammadiyah dan Al-Irsyad tidak termasuk Wahabi, tidak keluar dari mazhab empat, dan tidak mengafirkan orang yang melakukan tawassul. Tentang tawassul masih akan dilanjutkan pembicaraannya di lain kesempatan. Tidak mengingkari adanya karamah, anugerah keistimewaan dari Tuhan kepada seorang hambaNya yang mukmin dan beramal saleh, dan menghormati kitab-kitab ulama yang mu'tamad dan diakui.63
Keputusan ini mengisyaratkan bahwa issue pembaruan yang dikemukakan aliran baru tidak menggoyahkan sayap pesantren, malah justru menimbulkan interaksi positif, bahwa pembaruan tidak selalu harus mencabut akar cultural keagamaan masyarakat yang telah hidup, dan sebaliknya tidak berarti akar kultural keagamaan itu harus dipertahankan mati-matian tanpa perbaikan. Dari satu segi argumentasi mereka dalam perdebatan agama kongres Al-Islam dapat mengendalikan argumentasi aliran baru. Ini antara lain dibuktikan dengan diterimanya keputusan tersebut di atas. Bahwa ijtihad tidak hanya dengan semangat yang menggebu tetapi perlu pemikiran yang jernih dan penguasaan materi yang cukup dan tidak mungkin dilakukan oleh semua orang Islam, apalagi ijtihad yang bersifat perorangan. Aspek ini saja tidak semudah yang disangka orang, sebab lembaga-lembaga kajian Islam yang ada di Indonesia waktu itu belum mendukung dilaksanakan kajian secara cukup memadai, apalagi di bidang muh'malah dan ilmu pengetahuan. Selain itu kategori salaf yang menjadi acuan penting pemikiran keagamaan sampai dengan abad tiga Hijriah memberi arti imam-imam mazhab mendapat pengakuan sebagai salaf, sebab mereka hidup di seputar abad tersebut. Tentu saja dengan demikian pemikiran keagamaan yang menggunakan referensi mazhab tersebut diakui sebagai salaf yang sah diikuti, di luar itu tidak termasuk salaf, walaupun tidak secara tegas ditolak, namun mengisyaratkan kesan ketidakabsahannya. Apakah dengan demikian faham aliran baru tidak bersumber dari salaf, tidak mendapat jawaban dari kongres tersebut.
Soal pengakuan bahwa dua aliran baru Muhammadiyah dan Al-Irsyad tidak termasuk aliran Wahabi64 dan tidak keluar dari mazhab empat, sebenarnya agak rancu. Keputusan itu mengindikasikan kedua organisasi tersebut memang tidak mengakui mereka beraliran Wahabi, sebab sekiranya mereka beraliran Wahabi tentulah mereka menolak keputusan tersebut. Muhammad 'Abd al-Wahab adalah pengikut Ibn Taymiyyah yang bermazhab Hanbali (Ahmad Ibn Hanbal), salah satu dari mazhab empat. Barangkali karena umumnya referensi keagamaan yang menjadi acuan ummat Islam di Indonesia dari mazhab Syafi'i, maka kemungkinan terjadi anggapan pukul rata bahwa yang tidak sesuai dengan ajaran mazhab Syafi'I sebagai tidak bermazhab. Atau paling tidak mereka yang berkecenderungan menggunakan metode dan mengikuti Imam Ahmad Ibn Hanbal dan pengikutnya antara lain Ibn Taymiyyah dan 'Abd al-Wahhab sebagai tidak bermazhab. Kitab-kitab mazhab Ahmad Ibn Hanbal memang tergolong langka di Indonesia. Kitab-kitab mazhab tersebut memang mengesankan metode literal sesuai dengan teks dan sedikit sekali atau bahkan menolak interpretasi analogi rasional.65
Agaknya kongres tersebut memutuskan kedua aliran tersebut bukan aliran Wahabi karena tidak menyadari bahwa aliran tersebut masih dalam kerangka mazhab empat atau ahlussunnah waljamaah yang lebih dekat atau pengikut mazhab Ahmad Ibn Hanbal. Akan tetapi memang sikap keras gerakan Wahabi terhadap aliran-aliran tarekat dan tradisi keagamaan mereka seperti penghargaan kepada para imam tarekat dan sufi sampai kepada yang sudah meninggal dunia agaknya diwarisi dari sikap serupa yang dilakukan Ibn Taymiyyah. Boleh jadi juga karena serangan Ibn Taymiyyah kepada al-Ghazali yang mendapat penghargaan tinggi dari ummat Islam di Indonesia menjadikan kalangan pesantren tidak menaruh simpati kepada Ibn Taymiyyah dan akhirnya juga kepada gerakan Wahabi dan yang diduga menganut Wahabi di Indonesia.66 Padahal sekiranya pendekatan pengetahuan normatif keagamaan yang dilancarkan aliran-aliran baru itu menggunakan metode-metode ilmiah dengan pemahaman yang baik terhadap konsep hidup, pranata sosial, sistem nilai, dan kelembagaan sosial lainnya, seperti yang dilakukan pendahulu mereka ketika membawa masuk agama Islam ke Indonesia, kemungkinan gerakan mereka lebih berhasil diterima kalangan pesantren dan masyarakat umumnya. Sampai sekarang pendekatan pengetahuan normatif keagamaan yang hitam putih, tanpa memandang medan yang dituju, kurang atau bahkan tidak mendapat sambutan yang luas. Kalaupun tindakan semacam itu berhasil, hanya dalam lingkup yang terbatas dan eksplosif.

_________________________________________________________

Catatan :

38. Deliar Noer, Gerakan Modern, h. 152. Cabang AI-lrsyrid di Surabaya berdiri tahun 1913.
39. H. Agus Salim, "Persatuan Pemimpin Islam", dalam Hindia Baroe, 19 Februari 1926. Penulisannya disesuaikan ejaan baru.
40. Ibid.
41. Ibid, 20 Februari 1926.
42. Kategori ini ingin memperlihatkan bahwa masing-masing pihak sebenarnya mengandung potensi pembaharuan (modernisasi) seperti diperlihatkan dalam kegiatan organisasi yang mereka kembangkan dan kesediaan mereka untuk menerima perubahan ke arab yang lebih balk. Memang diakui sebagian dari sayap non-pesantren terdapat beberapa orang atau banyak orang dari lingkungan pesantren, tetapi mereka tidak menempatkan basis dukungan mereka dari lingkungan pesantren, bahkan seringkali mereka menyerang ulama pesantren dan pesantrennya sendiri. Selanjutnya lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3ES, 1984).
43. G.F. Pijper, Beberapa Studi, h. 114-126.
44. Pandangan yang menganggap penting derajat calon mempelai lelaki dalam perkawinan karena faktor keturunan.
45. Pijper, Beberapa Studi, h. 114-126.
46. Al-Masa'il al-Salas Allati Quddimat lil-Ustaz alSyaikh Ahmad Mu-hammad Surkati fi Surabaya, Surabaya, 1925.
47. Pijper, Beberapa Studi, h. 114-126.
48. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern. Selanjutnya mengenai Persis juga dikutip dari buku tersebut.
49. Sebagian kegiatan debat direkam dalam bentuk buku atau ditulis dalam majalah oleh Hassan antara lain Soeal Djawab, Verslag Debat Talqin antara Hassan dengan Husein Tjitjalengka dan Hassan dengan Abdoelwahab di Cileduk (dua buku), Debat Kebangsaan antara Hassan dengan Moechtar Luthfie. Lihat AI-Lisan, nomer 51 tahun 1940. Soea2 Djawab diterbitkan secara berkala antara akhir tahun tiga puluhan samgai awal empat puluh. Sayang penerbitan serial itu tidak bisa dikonfirmasikan dengan pihak lawan debat karena mereka tidak menerbitkan serial serupa dengan yang diterbitkan Hassan. Berita mengenai perdebatan itu hanya dapat diperoleh secara sepihak dari Hassan sendiri.
50. Pijper, Beberapa Studi, h. 113.
51. Setelah NU lahir maka reaksi masyarakat yang tidak setuju terhadap faham aliran baru sebagian terwakili atau menggabungkan diri kedalam perhimpunan tersebut. Ini tidak berarti bahwa kelahiran NU semata-mata sebagai reaksi terhadap aliran baru yang muncul lebih dulu. Soal hubungan kekerabatan khususnya perkawinan antara keluarga pengikut NU dan pengikut Muhammadiyah kadang-kadang menjadi faktor penghambat, tetapi secara keseluruhan tidak menunjukkan adanya pertentangan. Seoarang anak keluarga NU yang akhirnya menjadi aktifis NU menceritakan kepada penulis, sekitar tahun tujuh puluhan pernah menjalin hubungan dengan teman putrinya sejak sekolah PGA. Setelah keduanya menginjak perguruan tinggi di IAIN, teman putri itu mengundurkan diri dengan alasan tidak disetujui orang tua karena calon menantu itu berasal dari keluarga NU sedang si putri dari keluarga Muhammadiyah. Seorang Kiyai di Jawa Timur juga tidak menyetujui putrinya mendapat calon suami dari keluarga Muhammadiyah dan akhimya perkawinan itu gagal. Seorang Kyai di Jawa Timur mengawini putri dari keluarga Muhammadiyah lebih dari 25 tahun yang lain sampai kini rukun bahagia. Sang istri kemudian menjadi aktifis Muslimat NU sementara keluarganya sendiri tetap Muhammadiyah. Ada pula seorang aktifis NU yang mulanya dari HMI ketika belajar di perguruan tinggi tetapi keluarganya pengikut NU yang fanatik, kemudian mengawini putri dari keluarga Muhammadiyah. Masing-masing tetap bertahan sebagai pengikut NU dan pengikut Muhammadiyah. Rumah tangganya rukun bahagia selama lebih dua puluh tahun lamanya
52. Persis pernah mengadakan pengajian akbar, 25 Januari 1925, di Bandung, yang membahas soal usalli (mengucapkan niat ketika akan mulai salat), selamatan tiga atau tujuh hari bagi orang yang meninggal dan memberi jamuan ketika mengalami musibah di tinggal mati salah seorang keluarga. Semua ini menurut mereka bid'ah. Hindia Baroe, 6 Februari 1925.
53. Fatwa tentang Gerakan Nasionalme dan Kebangsaan, dalam Al-Lisan, nomer 51, tahun 1940.
54. AI-'Urwah al-Wus'qa, majalah yang dipimpin 'Abduh dan Afghani. AI-Manar, majalah yang dipimpin 'Abduh dan Rasjid Rida.
55. Harun Nasution, Pembaharuan, h. 64.
56. ibid
57. Wawancara dengan Prof. Dr. Harun Nasution di Takarta tanggal 23 Agustus 1990. Tekanan yang dilakukan kalangan Azhar terhadap 'Abduh bukan mengenai pandangan 'Abduh dalam soal furu', sebab pandangan 'Abduh yang banyak dibicarakan antara lain seal sosial politik dan pendidikan.
58. Harun Nasution, Pembaharuan, h. 64.
59. Debat Idjtihad dan Taqlid, dalam AI-Lisan, 51, 1940. Lihat pula Djmawi Hadikusuma, Muhammdijah Ahlu Sunnah Wal Djama'ah?, (Yqgyakarta: Siaran, t.t).
60. Kongres-kongres Al-Islam diselenggarakan (1) di Cirebon, 1922, (2) Garut, 1923, (3) Surabaya, 1924, (4) Yogyakarta, 1925, (5) Bandung, 1926, (6) Surabaya, 1926, (7) Bogor, 1926, (8) Surabaya, 1931 ?, (9) Malang, 1932. Lihat Buku Kenangan MIAI 1937-1941, h. 5-6.
61. Hindia Baroe, 7 Tanuari 1925.
62. 1bid.
63. Hindia Baroe, 7 Januari 1925.
64. Wahabi diambil dari nama Mubammad Ibn 'Abd al-Wahhab (1703-1787) pemimpin gerakan reformis di Arabia. Gerakan ini tidak dilatar belakangi politik melainkan gerakan murni keagamaan yang bergulat dengan persoalan internal ummat Islam. Muncul sebagai reaksi terhadap faham tauhid masyarakat Islam yang telah dipengarahui ajaran tarikat yang sebagian eksesnya sangat menghargai para imam tarikat sebagai wall dan memuliakan makam mereka dan tradisi keagamaan yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
65. Lihat misalnya, Taqiy al-Din Ibn Taymiyyah, Kitab al-Radd 'Ala al-Mantiqiyyin, (Beirut : Dar al-Ma'rifah, t.t.); Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah Fi Naqd Kalam al-Syi'ah wal Qadariyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t.); dan Muwafaqat Sahih al-Manqul li Sarih al-Ma'qul, (Beirut: Dar al Kutub al-'Ilmiyyah, 1985).
66. Lihat ibid., juga Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taymiyyah, (Bandung, Pustaka, 1983).

Ditulis ulang dari Buku Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik Oleh : M. Ali Haidar, Gramedia, 1994

SERI BUKU NAHDLATUL ULAMA DAN ISLAM DI INDONESIA (4)




BAB III
NU : ORGANISASI DAN GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN

A. LATAR BELAKANG NU BERDIRI

Selama abad ke-19 Indonesia mengalami efek pengaruh Barat yang membawa akibat ganda sekaligus yaitu alinasi politik dan kemerosotan ekonomi yang semakin buruk.1 Pemerintah kolonial Belanda dalam usaha menunjang kebutuhan dalam negerinya menerapkan politik kerja paksa untuk menanam tanaman ekspor kepada para petani di Indonesia yang dikenal dengan politik Tanam Paksa (1830-1870). Setelah itu disusul para pemodal besar mengembangkan usahanya memasukkan barang-barang hasil produksi industri Belanda ke Indonesia dan sekaligus menanamkan modal mereka dengan membuka perkebunan besar untuk diekspor hasilnya ke luar negeri. Tentu saja kebijaksanaan politik itu tidak bisa tidak memerlukan mekanisme politik yang otoriter dengan mengontrol sejumlah besar elite priyayi dan pamong praja sebagai bemper pengaman yang tangguh atas kebijaksanaan itu. Sudah tentu mereka memperoleh keuntungan ekonomis atas jerih payah mereka, namun pada sisi lain menimbulkan alinasi antara kelas priyayi dengan para petani kian melebar. Kebijaksanaan itu kemudian disusul liberalisasi ekonomi dan kelonggaran impor barang konsumtif yang menimbulkan kemerosotan ekonomi petani, tidak mampu bersaing melawan pengusaha besar.
Situasi ini membawa akibat disintegrasi dan keresahan sosial yang hampir merata di seluruh Indonesia.2 Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1912), Perang Baderi (1821-1838), serta pemberontakan petani Banten (1888), merupakan sebagian dari fenomena di atas.3 Walaupun pada umumnya pemberontakan-pemberontakan itu dapat dipadamkan melalui operasi militer pemerintah kolonial, namun benih ketidakpuasan para petani itu terus tumbuh dengan suburnya dan mempengaruhi rakyat pedesaan umumnya. Akibatnya rasa ketidakpuasan itu berubah menjadi sikap anti pemerintah asing yang "kafir" setelah mereka memperoleh legitimasi kepemimpinan para ulama. Kombinasi dari dua hal tersebut bertaut menjadi satu sudah tentu akan tumbuh menjadi kekuatan yang merepotkan pemerintah kolonial. Pada umunya ulama menurut konsep hidup keagamaan yang mereka pegang teguh tidak mungkin menerima kehadiran penjajah Belanda yang langsung atau tidak langsung membawa misi agama Kristen yang merugikan mereka, di samping kenyataan yang mereka rasakan sendiri kehadiran penjajah itu membawa akibat buruk bagi kehidupan para petani ummat mereka sendiri.4 Pada sisi lain para petani sendiri memerlukan para ulama itu sebagai tumpuan harapan menghadapi kesulitan-kesulitan mereka terhadap kebijaksanaan kolonial yang merugikan mereka.
Seiring dengan gerakan perlawanan yang menyertai keresahan sosial di banyak tempat itu bermunculan pula gerakan kebangkitan kembali agama yang menampakkan diri dalam bentuk sekolah-sekolah dan perkumpulan tarekat di banyak tempat di seluruh Jawa dan luar Jawa.5 Bagaikan tanaman tersiram air hujan, kegelisahan para petani memperoleh wadah penyaluran aktualisasi diri bersama dengan menjamurnya lembaga-lembaga sosial keagamaan di bawah kepemimpinan para ulama. Menghadapi kenyataan itu pemerintah Belanda menyadari perlunya mengubah kebijaksanaan politik. Membiarkan rakyat dalam keresahan dan ketidakpuasan yang terus meningkat akan berarti memperbesar kesulitan sendiri dan memperbesar kerugian finansial yang tidak sedikit.
Menginjak tahun-tahun pertama abad ini Belanda kemudian mengubah kebijaksanaan politik dengan menerapkan politik etis untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial dan politik yang langgeng dan memberi kemakmuran rakyat.6 Untuk itu maka dilakukan pembaruan sosial politik antara lain membantu pendidikan rakyat dengan membuka sekolah-sekolah untuk pribumi, perbaikan prasarana dan fasilitas perekonomian dan memberi otonomi daerah kepada pribumi.7 Sayangnya kebijaksanaan politik etis itu tidak disertai pemahaman yang baik tentang lembaga-lembaga kekuasaan tradisional yang telah mapan dalam kehidupan sosial ekonomi pribumi. Pemerintah tetap menjalankan kekuasaan otoriter memaksakan kehendaknya, akibatnya lembaga-lembaga kekuasaan itu mengalami erosi yang pada akhirnya menimbulkan kegelisahan sosial yang berkepanjangan.8
Tidak seluruh proses modernisasi yang dijalankan pemerintah dengan kebijaksanaan politik etis itu membawa hasil negatif bagi rakyat pribumi. Sebagian dari mereka yang mengenyam pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial tumbuh menjadi pemimpin rakyat. Tumbuhlah di awal abad ini sejumlah perhimpunan sosial pendidikan, yang walaupun pada mulanya bersifat kedaerahan terus berkembang menjadi gerakan kebangkitan nasional.9
Dalam konteks Islam peralihan abad yang lalu juga ditandai munculnya gerakan pembaruan di Mesir, Turki dan India. Meskipun titik tolak mereka berangkat dari latar belakang yang berbeda, namun asumsi mereka memiliki titik persamaan. Kesadaran sosial politik yang diilhami pengenalan mereka terhadap kebudayaan Barat yang telah maju, menjadikan mereka lebih kritis dalam melihat realitas ummat Islam di negeri mereka. Sementara di Mesir dan sebagian Timur Tengah lainnya muncul gagasan Pan Islamisme yang dipelopori Jamal al-Din al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia Islam, di Turki kemudian muncul gagasan nasionalisme yang meruntuhkan Khalifah Usmani.10 Walaupun Pan Islamisme pada mulanya memperoleh sambutan luar biasa di negeri-negeri muslim, termasuk Turki pada mulanya, namun lambat laun surut di tengah gelombang gerakan nasionalisme negeri-negeri muslim untuk mempejuangkan kemerdekaan mereka dari penjajahan Barat sepanjang paruh pertama abad keduapuluh.
Berbeda dengan dua negeri tersebut di atas, di Saudi Arabia muncul kembali gerakan Wahabisme yang pernah berjaya sekitar abad ke-18 dengan keberhasilan dinasti Sa'udiyah merebut kekuasaan di semenanjung Arabia termasuk dua kota suci Mekkah dan Madinah pada permulaan dekade ketiga abad ini. Jika yang terdahulu gerakan pembaruan bergulat dengan kesadaran sosial politik atas ketertinggalan mereka dari Barat, maka di Saudi Arabia lain lagi Mereka meneruskan tradisi Wahabisme bergulat dengan persoalan internal ummat Islam sendiri yaitu reformisme faham tauhid dan konservatisme daiam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat dan kemusyrikan yang melanda kehidupan ummat Islam.11 Kedua hal tersebut tidak bisa tidak meniupkan hembusan angin yang mempengaruhi para pemimpin Islam di tanah air, sebab tidak sedikit di antara mereka merupakan alumni lembaga-lembaga pendidikan di Saudi Arabia maupun Mesir di samping tidak sedikit pula ummat Islam yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah menerima informasi baru mengenai perkembangan tersebut.
Dalam pada itu di Indonesia sendiri, seperti telah disinggung di muka, tumbuh organisasi sosial kebangsaan maupun sosial keagamaan yang bertujuan untuk memajukan kehidupan ummat seperti antara lain Budi Utomo12 dan Syarikat Islam13 yang kemudian disusul Muhammadiyah.14
Peristiwa-peristiwa ini membangkitkan obsesi sejumlah pelajar Indonesia yang menuntut pelajaran di Mekkah antara lain Abdul Wahab Chasbullah, Muhammad Dahlan, Asnawi dan Abbas. Mereka kemudian mendirikan Cabang SI di Mekkah.15 Belum sempat mereka mengembangkan organisasi tersebut karena mereka segera pulang ke Indonesia setelah perang dunia pecah. Namun obsesi mereka untuk memajukan kaum muslimin tidak berhenti setelah mereka pulang ke Indonesia. Terbukti sekitar tahun 1914 sebagian dari mereka mendirikan sebuah organisasi pendidikan dan da'wah yang diberi nama Nahdatul-Watan (kebangkitan tanah air) yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan (pengajaran) formal berupa sekolah (madrasah) dan kursus-kursus praktis kepemimpinan (waktu itu istilahnya perjuangan), organisasi dan administrasi.16 Selanjutnya tahun 1918 berdiri organisasi lain yaitu Taswirul-Afkar (representasi gagasan-gagasan) di Surabaya yang bergerak dalam kegiatan yang sama dengan pendahulunya tetapi lebih menekankan aspek sosialnya.17
Kedua organisasi itu dirintis bersama oleh pemuda Abdul Wahab dan Mas Mansur dibantu beberapa orang lain. Keduanya pernah bertemu di Mekkah ketika samasama belajar di sana. Oleh karena Abdul Wahab lebih tua umurnya (Abdul Wahab lahir tahun 1888 dan Mansur tahun 1896) dan mempunyai pengalaman belajar di pesantren lebih lama, Mansur menghargainya sebagai senior bahkan tidak jarang sebagai tempat bertanya soal-soal pelajaran yang dia terima; sebaliknya Abdul Wahab menghargai Mansur sebagai pelajar yang cerdas dan memiliki potensi untuk menjadi pemimpin ummat.18 Setelah akhirnya keduanya bertemu kembali di Surabaya sepulang mereka dari perantauan belajar di luar negeri, mereka pun kemudian giat dalam aktivitas kemasyarakatan dan pendidikan yang sama. Salah satu hasil rintisan mereka adalah dua organisasi yang berdiri di Surabaya itu.
Nahdatul-Watan dirintis tahun 1914 mendapat pengakuan badan hukum tahun 1916 dengan bantuan pemimpin SI Tjokroaminoto dan seorang arsitek bernama Soenjoto.19 Menyadari bahwa gerakan sosial pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit mereka melibatkan seorang saudagar kaya yang menaruh perhatian besar persoalan kaum muslimin bernama H. Abdul Qahar berasal dari Kawatan, perkampungan di sebelah selatan Tugu Pahlawan, Surabaya. Saudagar itu kemudian ditunjuk sebagai direktur yang segera memelopori pembangunan gedung sekolah berlokasi di Kawatan juga. Mas Mansur dipercaya sebagai guru kepala, sementara Abdul Wahab sendiri sebagai guru selain sebagai pengurus Nahdatul-Watan bersama Mas Mansur. Pribadi Kyai Abdul Wahab yang terbuka dalam pergaulan, cukup vokal dalam mengutarakan pendapat, serta pengaruhnya yang dirintis sejak belajar di pesantren Tebuireng20dan Bangkalan, membawa keuntungan bagi organisasi yang baru dibentuk itu. Dalam waktu yang singkat lima tahun pertama berdiri beberapa cabang madrasah di Malang, Semarang, Gresik, Jombang dan beberapa tempat di Surabaya sendiri. Sebagian ada yang tetap menggunakan nama Nahdatul-Watan sebagian lagi menggunakan nama lain seperti Far'ul-Watan, Hidayatul-Watan, Khitabatul-Watan atau Akhul-Watan dan lain-lain.21 Boleh dikata semua cabang-cabang itu dipelopori oleh kawan-kawan Kyai Abdul Wahab sendiri dan murid-muridnya, baik ketika di pesantren maupun di Mekkah.
Kegiatan yang dilakukan Nahdatul-Watan tidak hanya pengajaran sekolah formal belaka melainkan juga kursus-kursus kepemudaan, organisasi, da'wah (ketika itu menggunakan istilah nadwah berarti pertemuan pengajian untuk menyeru kebenaran), dan perjuangan. Kyai Mas Mansur lebih berperan memimpin sekolah sementara Kyai Abdul Wahab di bagian kursusnya. Sejumlah kyai muda turut serta dalam kursus itu yang kelak kemudian mereka inilah yang ikut membidani kelahiran Komite Hijaz yang kemudian berubah menjadi NU.22 Selanjutnya setelah beberapa cabang Nahdatul-Watan berdiri dan melakukan kegiatannya, di Surabaya didirikan sebuah organisasi baru Taswirul-Afkar frepresentasi gagasan-gagasan) oleh Kyai Ahmad Dahlan, pemimpin sebuah pesantren di Kebondalem, Surabaya, bersama Kyai Mas Mansur, Kyai Abdul Wahab dan Mangun.23 Sampai dengan tahun 1929, sejak berdiri tahun 1918, nama resmi organisasi itu ialah Suryo Sumirat Afdeling Taswirul-Afkar.24 Setelah itu organisasi tersebut mendapat pengakuan badan hukum resmi maka nama Suryo Sumirat dihapuskan.
Ada dua hal yang perlu dicatat mengenai nama organisasi ini. Kaitan nama dengan Suryo Sumirat, sebuah badan hukum resmi yang didirikan oleh anggota-anggota Budi Utomo dan mengenai nama Taswirul-Afkar. Menurut penuturan K.H. Hamim Sjahid yang pernah menjabat guru kepala Madrasah Taswirul-Afkar tahun 1925-1935, bahwa nama Suryo Sumirat digunakan untuk memudahkan perizinan karena Suryo Sumirat sudah terdaftar sebagai badan hukum secara resmi.25 Hal ini menandai kaitan, setidaktidaknya pengaruh, pembentukan Taswirul-Afkar dengan Budi Utomo, paling tidak dengan anggota-anggota Budi Utomo di Surabaya. Barangkali karena hubungan dua tokoh Kyai Abdul Wahab dan Kyai Mansur dengan kalangan Budi Utomo cukup akrab, lahirlah gagasan membentuk wadah organisasi bagi anggota Budi Utomo yang umumnya kurang pengetahuan agama agar mereka dapat belajar agama dengan baik.
Hal yang kedua mengenai nama organisasi itu sendiri merupakan wadah untuk merepresentasikan gagasan atau ide. Dengan demikian orang yang belajar tidak merasa dianggap lebih rendah sebagai murid, tetapi sejajar sebagai layaknya sebuah kegiatan diskusi. Berbeda dengan Nahdatul-Watan yang sejak semula bergiat dalam pendidikan (pengajaran) dan kursus-kursus, anggotanya dari lingkungan santri sendiri, bahkan pada dasawarsa dua puluhan menyelenggarakan pendidikan untuk yatim piatu dan miskin tanpa dipungut biaya.26 Kegiatan Taswirul-Afkar dasawarsa pertama lebih menitikberatkan diskusi dan kursus sampai kurang lebih tahun-tahun terakhir dua puluhan. Sesudah itu nama Suryo Sumirat dihapus dan kegiatannya tidak lagi terbatas seperti semula tetapi lebih mengarah ke pengajaran kelas dengan membuka sekolah biasa dan sekolah untuk yatim dan miskin. Dari gedung yang semula disewa terletak di Ampel, dekat masjid Sunan Ampel, kemudian dibeli dengan harga f. 6.000 ditambah biaya perbaikan dan pengadaan peralatan sekolah.27
Jika harus dikemukakan pemuda santri yang menonjol kepekaan sosialnya dan minat yang tinggi untuk kerja sama dengan kaum muslimin ketika itu maka pemuda Abdul Wahab adalah salah satu dari mereka. Pemuda ini bukanlah tipe orang yang mudah putus asa atau patah semangat, memiliki kemauan yang keras dan kepedulian sosial yang tinggi. Tidak berhenti dengan dua lembaga yang telah dirintis terdahulu, pada tahun 1918 atas restu gurunya yang sangat dihargai yaitu K.H. Hasjim Asj'ari didirikan sebuah usaha perdagangan dalam bentuk koperasi dengan istilah 'sjirkah al-'inan' yang diberi nama Nahdatut-Tujjarr (kebangkitan usahawan).28 Diangkat selaku ketua koperasi itu K.H. Hasjim Asj'ari dan pemuda Abdul Wahab selaku manajer yang menjalankan koperasi itu. Patungan saham dan modal usaha koperasi itu f. 1.125 yang ditanggung bersama oleh 45 orang anggota masing-masing f. 25 namun sayang bagaimana perkembangan koperasi itu selanjutnya tidak diketahui karena belum ditemukan bahan referensinya, kecuali hanya akte pendirian koperasi itu saja.29 Meskipun demikian pembentukan koperasi itu menunjukkan bahwa sekitar sepuluh tahun sebelum NU lahir telah dimulai suatu upaya dari lingkungan pesantren sendiri untuk menghimpun kegiatan bersama walaupun pada waktu itu masih bersifat lokal dan belum terencana secara utuh. Nahdatul-Watan berikut cabang-cabangnya, Taswirul-Afkar kemudian disusul Nahdatut-Tujjarr merupakan wujud dari obsesi mereka unhtk mengembangkan kaum muslimin yang telah tumbuh sejak mereka di perantauan belajar di luar negeri.

B. KONFLIK KEAGAMAAN DAN ALIRAN BARU

Awal dasawarsa dua puluhan Muhammadiyah mulai memasuki daerah Jawa Timur, setelah kurang lebih lima sampai delapan tahun pertama kegiatannya hanya terbatas di daerah Yogyakarta, bahkan lebih sempit di sekitar daerah Kauman saja.30 Sebelum mendirikan Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan adalah anggota Budi Utomo sejak tahun 1909.31 Ketika Budi Utomo mengadakan kongres di Yogyakarta tahun 1917 Kyai Ahmad Dahlan giat membantu acara tersebut, bahkan tempat tinggalnya dijadikan sebagai salah satu pusat kegiatan kongres. Sejak saat itu sejumlah kalangan Budi Utomo menaruh perhatian besar kepada Kyai Ahmad Dahlan dan perkumpulannya Muhammadiyah. Permintaan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah berdatangan dari berbagai daerah di Jawa. Untuk mengatasi ini anggaran dasar Muhammadiyah diubah, sebab sebelumnya anggaran dasar itu membatasi kegiatan Muhammadiyah di daerah Yogyakarta saja. Perubahan yang dilakukan tahun 1920 menegaskan bahwa daerah operasinya untuk seluruh pulau Jawa dan pada tahun berikutnya diubah lagi untuk seluruh daerah Indonesia.32
Dalam pada itu di Surabaya sendiri sudah muncul seorang saudagar Minangkabau murid H. Rasul bernama Pakih Hasjim yang menyempatkan diri berda'wah selain kegiatannya berdagang. Dalam berbagai kesempatan da'wahnya Pakih Hasjim antara lain menganjurkan penghapusan tradisi ibadah yang dilakukan masyarakat umum seperti 'usalli' (mengucapkan niat ketika akan mulai salat) dan lain-lain serta menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan ijtihad dengan menggali dari sumber pokok agama Islam yaitu Qur'an dan hadis, meninggalkan kebiasaan lama yang bersandar kepada kitab-kitab mazhab.33 Da'wah Pakih Hasjim seringkali diselenggarakan bekerja sama dengan Al-Irsyad yang memang memiliki pemikiran sejalan dengan Pakih Hasjim. Kunjungan Kyai Ahmad Dahlan ke Surabaya dan Kepanjen serta beberapa daerah lain di Jawa Timur pada waktu itu antara lain juga bertemu dengan Pakih Hasjim dan Mas Mansur. Dari hasil kunjungan-kunjungan itulah maka pada tanggal 1 November 1921 didirikan cabang Muhammadiyah di Surabaya. Sesudah itu berdiri cabang di Bangil, Kepanjen (selatan Malang) dan Lamongan.
Walaupun dakwah-dakwah yang diselenggarakan para penyokong Muhammadiyah berlawanan dengan pendapat umum yang berlaku dalam masyarakat, namun pertentangan yang muncul ke permukaan masih terbatas dari mulut ke mulut. G.F. Pijper mengibaratkan kehidupan sosial keagamaan masyarakat Indonesia sampai dengan tahun-tahun permulaan abad ke-20 sebagai "sebuah kolam yang tenang, permukaan airnya sekali-sekali saja beriak".34 Kurang lebih dua puluh tahun kemudian segalanya berubah, menjadi aliran sungai yang sewaktu-waktu airnya meluap.35 Ibarat itu kemudian terjadi, kongres Al-Islam tahun 1922 di Cirebon menjadi ajang perbedaan pendapat yang seru, "suasana perbantahan dan pertentangan yang tajam antara guru-guru dan ulama Islam", tulis H. Agus Salim.36 Kongres itu sendiri hampir gagal karena suasana perdebatan sedemikian rupa sampai "kafir-mengafirkan dan musyrik-memusyrikkan oleh karena pertikaian faham tentang perkara yang kecil-kecil sekali".37

_________________________________________________________

Catatan :
1. Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, (The Hague and Bandung, 1958) h. 32-36. Selanjutnya dikutip The Crescent.
2.  Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, terjemahan Hasan Basari, Uakarta: Pustaka Jaya), 1984, h. 13-14. Selan jutnya disingkat Pemberontakan Petani.
3.  Soekesi Soemoatmodjo, Perang Diponegoro, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), ejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme, (Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1973), h. 121-161. Teuku Ibrahim Alfian, Sejarah Singkat Perang di Aceh, dalam Sartono Kartodirdjo, ibid., h. 237-263. Kuntowidjojo, Perang Paderi, dalam Sartono Kartodirdjo, Ibid., h. 87-119.
4.  Pemberontakan Cikandi (1&45) dan Wakhia (1850) merupakan salah satu contoh munculnya kedua orientasi di atas; Lihat Sartono Karto-dirdjo, Pemberontakan Petani, h. 173-182.
5.  Dalam tahun 1860-an ada sekitar 300 pesantren di seluruh pulau Jawa. Di antaranya di Lengkong dan Punjul (Cirebon), Daya Luhur di Tegal dan sebagainya. Tarekat Naqsyabandi, Qadiriyah dan Satariyah juga bermunculan di desa-desa; Lihat Ibid.,  h. 207-242.
6.  Harry T. Benda, The Crescent, h. 34.
7.  Ibid., lihat pula Bemhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, tejemahan Hasan Basari, (Jakarta : LP3ES 1987), h. 11-12, selanjutnya dikutip Soekarno.
8.  The Crescent, h. 35.
9.  Selanjutnya lihat A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1964).
10. Pembaruan Islam di Mesir muncul karena perkenalan ulama dan intebktual Mesir dengan kebudayaan Perancis yang dibawa masuk oleh tentara Perancis zaman Napoleon. Hal yang serupa  juga tejadi di Turki, namum gagasan itu dirintis oleh kalangan militer dan para birokrat, bukan oleh para ulama seperti yang terjadi di Mesir. Selanjutnya lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), selanjutnya dikutip Pembaharuan.
11. Harun Nasution, Pembaharuan, h. 23-26.
12. Budi Utomo suatu perhimpunan Jawa berdiri tanggal 20 Mei 1908 kemudian berkembang menjadi organisasi pergerakan nasional. Dalam laporan Adviseur voor Inlandsche Zaken kepada Gubernur Jenderal tanggal 30 Dsember 1908 dikatakan:
         "Adalah beberapa orang Jawa dari Yogyakarta yang pertama kali embikin rencana... Pada tahun 1906 seorang Dokter Jawa pensiunan, Mas Ngabei Soediro Hoesodo (alias Wahidin).. mendapat kepercayaan yang luas disokong beberapa keluarga Raja yang maju dari Pakualaman    berkeliling Jawa dengan tujuan mengajak pegawai-pegawai Bumiputera bekerja sama untuk mendirikan serupa 'beasiswa'. Sebagai hasil dari propaganda itu sekarang ini adalah pendirian Budi Utomo, baru saja bulan Juli lalu mendapat 600 anggota ... Dan sebenamya dilihat dari kacamata itu pertemuan Yogya bulan Oktober 1908 adalah suatu kejadian penting dalam sejarah Jawa".
      Kilasan Petikan Sejarah Budi Utomo, terjemahan Darsjaf Rahmad, Jakarta: Yayasan Idayu, 1975), h. 62-65.
13. Serikat Islam berdiri tanggal 11 November 1912 di Solo me rupakan kelanjutan dari Serikat Dagang Islam yang berdiri satu tahun sebelumnya. Organisasi ini sedikitnya didorong oleh dua hal yaitu kompetisi yang meningkat dalam perdagangan batik terutama dari golongan Cina dan sikap superioritas orang-orang Cina terhadap orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina tahun 1911. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Uakarta: LP3ES, 1982), h. 115. Selanjutnya disingkat Gerakan Modern.
14. Muhammadiyah didirikan tanggal 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan atas saran murid-muridnya dan beberapa anggota Budi Utomo. Mendapat pengakuan badan hukum tanggal  22 Agustus 1914, nomer 81; diubah tanggal 16 Agustvs 1920, nomer 40; dan diubah lagi tanggal 2 September 1921 nomer 36. Lihat Bendera Islam, 1 januari 1925. Pada mulanya Muhammadiyah daerah operasinya hanya di Yogyakarta saja, bahkan hanya di sekeliling Kauman. Ketika Budi Utomo mengadakan kongres di Yogyakarta tahun 1917 beberapa anggota Budi Utomo menaruh perhatian kepada Kiyai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah maka sesudah itu mengalir permintaan pendirian cabang. Untuk mengatasi itu maka diadakan perubahan anggaran dasar yang membatasi kegiatannya. Gerakan Modern, h. 84-88.
15. Hubungan ulama pesantren dengan SI mulanya tidak berjalan baik. Setelah Kyai Chasbullah, ayahanda Kyai Wahab, dapat berkompromi dengan para aktifis SI maka pelajar Indonesia yang bermukim di Mekkah pun menyambutnya dengan mendirikan cabang SI di sana. Muhammad Dahlan berasal dari Kertosono. Dengan nama kota ini kemudian Dahlan dikenal, Kyai Dahlan Kertosono. Aktif di Nahdatul-Wafan dan NU sejak awal. Kyai Abas berasal dari Jember dan Kyai Asnawi dari Kudus. Sebenamya ada seorang lagi yaitu Bishri Sjansuri tetapi yang bersangkutan menangguhkan untuk minta izin dulu kepada gurunya Kyai Hasjim Asj'ari. Belum sempat izin diterima kemudian pecah perang dunia dan mereka pulang ke Indonesia. Lihat K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan Kyai Haji Abdul Wahab, (Bandung: Penerbit barn, 1970), h. 7. Selanjutnya disingkat Sejarah Perjuangan. Abdurrahman Wahid, NU dan Asal Usulnya, dalam Warta Nahdlatu2 Ulama, nomer 8, April 1986.
16. Nahdatul-Watan mendapat pengakuan badan hukum tahun 1916, tentu berdiri dua atau tiga tahun sebelnmnya sebab untuk mengurus pengesahan itu memerlukan waktu. Sejarah Perjuangan,  h. 8.
17. K.H. Hamim Sjahid, Riwayat Taswirul-Afkar, naskah pidato peringatan 50 tahun, Surabaya, 1968. Selanjutnya disingkat Riwayat. H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, h.7. Penulis buku ini  menceritakan pengalamannya belajar bersama Kiyai Wahab dan Kiyai Mansur di Mekkah, kemudian bertemu kembali di Surabaya bergabung dengan mereka. Sejak awal menjabat tata-usaha Nahdatul-Watan.
 18. Mengenai tahun pendirian Nahdatul-Watan tidak jelas tahun berapa, tetapi sumber-sumber yang diketahui penulis menyebutkan tahun 1916 karena tahun itu mendapat pengakuan badan hukumnya. Hal ini membuktikan bahwa tahun pendiriannya sebelum tahun itu, sebab pengurusan badan hukum memerlukan waktu yang lama. Taswirul-Afkar memerlukan waktu 11 tahun dan NU 3 tahun. Tahun 1914 sebagai perkiraan, dua tahun sebelum pengakuan badan hukumnya. Kyai Wahab dan Kyai Mansur baru pulang dari Mekkah antara tahun 1913 dan 1914. Diperkirakan mereka memerlukan waktu sedikitnya satu tahun untuk bertemu dan merancang kegiatan bersama. Jika benar mereka barn kembali tahun 1914, maka diperkirakan mereka segera bertemu seperti kebiasaan mereka yang baru kembali dari luar negeri untuk saling mengunjungi.
20. Kyai Wahab menjabat sebagai lurah santri, pemimpin para santri, ketika belajar di pesantren Tebuireng.
21. K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, h. 10. Lihat pula H. Abubakar Atjeh (ed.), Sejarah Hidup K.H. Wachid Hasjim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia Buku Peringatan, 1957), h. 469-473, selanjutnya dikutip Sejarah Hidup.
22. Dalam naskah K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, nama Komite ini tertulis Komite Hijaaj (seharusnya tertulis hijaj, tanpa maaddah, bentuk jamak dari kata hajj) tetapi dalam berbagai dokumen dan penerbitan tertulis hijaaz, nama daerah di semenanjung Arabia di tempat mana terletak kota Mekkah dan Madinah.
23. K.H. Hamim Sjahid, Riwayat. Mangun anggota Budi Utomo di Surabaya yang mempunyai hubungan dengan para ulama di Surabaya. Mangun hadir dalam Kongres Al-Islam di Surabaya tahun 1924 atas nama Nahdatul-Watan. Bendera Islam, 30 Oktober 1924.
24. K.H. Hamim Sjahid, Riwayat.
25. K.H. Hamim Sjahid, Riwayat.
26. K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, h. 10.
27. Swara Nahdlatul Oelama, nomor 5, Tumadil Awwal 1347, h. 98.
28. Akte pendirian koperasi berbahasa Arab dengan nama Syirkah al-'Inan Murabitah Nahdatut-Tujjrir, ditandatangani akhir Rajab 1336 Hijriah atau 1918 Masehi. Disebutkan akan dimintakan badan hukumnya dua atau tiga tahun lagi.
29. Anggota koperasi yang tertera dalam akte pendirian sebanyak 45 orang berasal dari Jombang, Surabaya, Malang, Pasuruan, Bangil dan lain-lain. Masing-masing anggota menyetorkan saham atau simpanan wajib sebesar Rp 25. Untuk tahap awal kegiatan koperasi dibidang pertanian.
30. Lihat catatan kaki nomer 14.
31. Daliar Noer, Gerakan Modern, h. 86.
32. Bendera Islam, 1 Januari 1925.
33. Deliar Noer, Gerakan Modern, h. 246.
34. G. F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, terjemahan Tudjimah dan Yessy Agusdin, (Jakarta: UI Press, 19&Q), h. 105. Selanjutnya disingkat Beberapa Studi.
35. G. F. Pijper, Beberapa Studi, h. 105.
36. Hindia Baroe, 27 Mei 1924.
37. H. Agus Salim, Persatuan Pemimpin Islam, dalam Hindia Baroe, 19 Februari 1926.

Ditulis ulang dari Buku Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik Oleh : M. Ali Haidar, Gramedia, 1994