Rabu, 24 Juni 2015

SERI BUKU NAHDLATUL ULAMA DAN ISLAM DI INDONESIA (4)




BAB III
NU : ORGANISASI DAN GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN

A. LATAR BELAKANG NU BERDIRI

Selama abad ke-19 Indonesia mengalami efek pengaruh Barat yang membawa akibat ganda sekaligus yaitu alinasi politik dan kemerosotan ekonomi yang semakin buruk.1 Pemerintah kolonial Belanda dalam usaha menunjang kebutuhan dalam negerinya menerapkan politik kerja paksa untuk menanam tanaman ekspor kepada para petani di Indonesia yang dikenal dengan politik Tanam Paksa (1830-1870). Setelah itu disusul para pemodal besar mengembangkan usahanya memasukkan barang-barang hasil produksi industri Belanda ke Indonesia dan sekaligus menanamkan modal mereka dengan membuka perkebunan besar untuk diekspor hasilnya ke luar negeri. Tentu saja kebijaksanaan politik itu tidak bisa tidak memerlukan mekanisme politik yang otoriter dengan mengontrol sejumlah besar elite priyayi dan pamong praja sebagai bemper pengaman yang tangguh atas kebijaksanaan itu. Sudah tentu mereka memperoleh keuntungan ekonomis atas jerih payah mereka, namun pada sisi lain menimbulkan alinasi antara kelas priyayi dengan para petani kian melebar. Kebijaksanaan itu kemudian disusul liberalisasi ekonomi dan kelonggaran impor barang konsumtif yang menimbulkan kemerosotan ekonomi petani, tidak mampu bersaing melawan pengusaha besar.
Situasi ini membawa akibat disintegrasi dan keresahan sosial yang hampir merata di seluruh Indonesia.2 Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1912), Perang Baderi (1821-1838), serta pemberontakan petani Banten (1888), merupakan sebagian dari fenomena di atas.3 Walaupun pada umumnya pemberontakan-pemberontakan itu dapat dipadamkan melalui operasi militer pemerintah kolonial, namun benih ketidakpuasan para petani itu terus tumbuh dengan suburnya dan mempengaruhi rakyat pedesaan umumnya. Akibatnya rasa ketidakpuasan itu berubah menjadi sikap anti pemerintah asing yang "kafir" setelah mereka memperoleh legitimasi kepemimpinan para ulama. Kombinasi dari dua hal tersebut bertaut menjadi satu sudah tentu akan tumbuh menjadi kekuatan yang merepotkan pemerintah kolonial. Pada umunya ulama menurut konsep hidup keagamaan yang mereka pegang teguh tidak mungkin menerima kehadiran penjajah Belanda yang langsung atau tidak langsung membawa misi agama Kristen yang merugikan mereka, di samping kenyataan yang mereka rasakan sendiri kehadiran penjajah itu membawa akibat buruk bagi kehidupan para petani ummat mereka sendiri.4 Pada sisi lain para petani sendiri memerlukan para ulama itu sebagai tumpuan harapan menghadapi kesulitan-kesulitan mereka terhadap kebijaksanaan kolonial yang merugikan mereka.
Seiring dengan gerakan perlawanan yang menyertai keresahan sosial di banyak tempat itu bermunculan pula gerakan kebangkitan kembali agama yang menampakkan diri dalam bentuk sekolah-sekolah dan perkumpulan tarekat di banyak tempat di seluruh Jawa dan luar Jawa.5 Bagaikan tanaman tersiram air hujan, kegelisahan para petani memperoleh wadah penyaluran aktualisasi diri bersama dengan menjamurnya lembaga-lembaga sosial keagamaan di bawah kepemimpinan para ulama. Menghadapi kenyataan itu pemerintah Belanda menyadari perlunya mengubah kebijaksanaan politik. Membiarkan rakyat dalam keresahan dan ketidakpuasan yang terus meningkat akan berarti memperbesar kesulitan sendiri dan memperbesar kerugian finansial yang tidak sedikit.
Menginjak tahun-tahun pertama abad ini Belanda kemudian mengubah kebijaksanaan politik dengan menerapkan politik etis untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial dan politik yang langgeng dan memberi kemakmuran rakyat.6 Untuk itu maka dilakukan pembaruan sosial politik antara lain membantu pendidikan rakyat dengan membuka sekolah-sekolah untuk pribumi, perbaikan prasarana dan fasilitas perekonomian dan memberi otonomi daerah kepada pribumi.7 Sayangnya kebijaksanaan politik etis itu tidak disertai pemahaman yang baik tentang lembaga-lembaga kekuasaan tradisional yang telah mapan dalam kehidupan sosial ekonomi pribumi. Pemerintah tetap menjalankan kekuasaan otoriter memaksakan kehendaknya, akibatnya lembaga-lembaga kekuasaan itu mengalami erosi yang pada akhirnya menimbulkan kegelisahan sosial yang berkepanjangan.8
Tidak seluruh proses modernisasi yang dijalankan pemerintah dengan kebijaksanaan politik etis itu membawa hasil negatif bagi rakyat pribumi. Sebagian dari mereka yang mengenyam pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial tumbuh menjadi pemimpin rakyat. Tumbuhlah di awal abad ini sejumlah perhimpunan sosial pendidikan, yang walaupun pada mulanya bersifat kedaerahan terus berkembang menjadi gerakan kebangkitan nasional.9
Dalam konteks Islam peralihan abad yang lalu juga ditandai munculnya gerakan pembaruan di Mesir, Turki dan India. Meskipun titik tolak mereka berangkat dari latar belakang yang berbeda, namun asumsi mereka memiliki titik persamaan. Kesadaran sosial politik yang diilhami pengenalan mereka terhadap kebudayaan Barat yang telah maju, menjadikan mereka lebih kritis dalam melihat realitas ummat Islam di negeri mereka. Sementara di Mesir dan sebagian Timur Tengah lainnya muncul gagasan Pan Islamisme yang dipelopori Jamal al-Din al-Afghani untuk mempersatukan seluruh dunia Islam, di Turki kemudian muncul gagasan nasionalisme yang meruntuhkan Khalifah Usmani.10 Walaupun Pan Islamisme pada mulanya memperoleh sambutan luar biasa di negeri-negeri muslim, termasuk Turki pada mulanya, namun lambat laun surut di tengah gelombang gerakan nasionalisme negeri-negeri muslim untuk mempejuangkan kemerdekaan mereka dari penjajahan Barat sepanjang paruh pertama abad keduapuluh.
Berbeda dengan dua negeri tersebut di atas, di Saudi Arabia muncul kembali gerakan Wahabisme yang pernah berjaya sekitar abad ke-18 dengan keberhasilan dinasti Sa'udiyah merebut kekuasaan di semenanjung Arabia termasuk dua kota suci Mekkah dan Madinah pada permulaan dekade ketiga abad ini. Jika yang terdahulu gerakan pembaruan bergulat dengan kesadaran sosial politik atas ketertinggalan mereka dari Barat, maka di Saudi Arabia lain lagi Mereka meneruskan tradisi Wahabisme bergulat dengan persoalan internal ummat Islam sendiri yaitu reformisme faham tauhid dan konservatisme daiam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh khurafat dan kemusyrikan yang melanda kehidupan ummat Islam.11 Kedua hal tersebut tidak bisa tidak meniupkan hembusan angin yang mempengaruhi para pemimpin Islam di tanah air, sebab tidak sedikit di antara mereka merupakan alumni lembaga-lembaga pendidikan di Saudi Arabia maupun Mesir di samping tidak sedikit pula ummat Islam yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah menerima informasi baru mengenai perkembangan tersebut.
Dalam pada itu di Indonesia sendiri, seperti telah disinggung di muka, tumbuh organisasi sosial kebangsaan maupun sosial keagamaan yang bertujuan untuk memajukan kehidupan ummat seperti antara lain Budi Utomo12 dan Syarikat Islam13 yang kemudian disusul Muhammadiyah.14
Peristiwa-peristiwa ini membangkitkan obsesi sejumlah pelajar Indonesia yang menuntut pelajaran di Mekkah antara lain Abdul Wahab Chasbullah, Muhammad Dahlan, Asnawi dan Abbas. Mereka kemudian mendirikan Cabang SI di Mekkah.15 Belum sempat mereka mengembangkan organisasi tersebut karena mereka segera pulang ke Indonesia setelah perang dunia pecah. Namun obsesi mereka untuk memajukan kaum muslimin tidak berhenti setelah mereka pulang ke Indonesia. Terbukti sekitar tahun 1914 sebagian dari mereka mendirikan sebuah organisasi pendidikan dan da'wah yang diberi nama Nahdatul-Watan (kebangkitan tanah air) yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan (pengajaran) formal berupa sekolah (madrasah) dan kursus-kursus praktis kepemimpinan (waktu itu istilahnya perjuangan), organisasi dan administrasi.16 Selanjutnya tahun 1918 berdiri organisasi lain yaitu Taswirul-Afkar (representasi gagasan-gagasan) di Surabaya yang bergerak dalam kegiatan yang sama dengan pendahulunya tetapi lebih menekankan aspek sosialnya.17
Kedua organisasi itu dirintis bersama oleh pemuda Abdul Wahab dan Mas Mansur dibantu beberapa orang lain. Keduanya pernah bertemu di Mekkah ketika samasama belajar di sana. Oleh karena Abdul Wahab lebih tua umurnya (Abdul Wahab lahir tahun 1888 dan Mansur tahun 1896) dan mempunyai pengalaman belajar di pesantren lebih lama, Mansur menghargainya sebagai senior bahkan tidak jarang sebagai tempat bertanya soal-soal pelajaran yang dia terima; sebaliknya Abdul Wahab menghargai Mansur sebagai pelajar yang cerdas dan memiliki potensi untuk menjadi pemimpin ummat.18 Setelah akhirnya keduanya bertemu kembali di Surabaya sepulang mereka dari perantauan belajar di luar negeri, mereka pun kemudian giat dalam aktivitas kemasyarakatan dan pendidikan yang sama. Salah satu hasil rintisan mereka adalah dua organisasi yang berdiri di Surabaya itu.
Nahdatul-Watan dirintis tahun 1914 mendapat pengakuan badan hukum tahun 1916 dengan bantuan pemimpin SI Tjokroaminoto dan seorang arsitek bernama Soenjoto.19 Menyadari bahwa gerakan sosial pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit mereka melibatkan seorang saudagar kaya yang menaruh perhatian besar persoalan kaum muslimin bernama H. Abdul Qahar berasal dari Kawatan, perkampungan di sebelah selatan Tugu Pahlawan, Surabaya. Saudagar itu kemudian ditunjuk sebagai direktur yang segera memelopori pembangunan gedung sekolah berlokasi di Kawatan juga. Mas Mansur dipercaya sebagai guru kepala, sementara Abdul Wahab sendiri sebagai guru selain sebagai pengurus Nahdatul-Watan bersama Mas Mansur. Pribadi Kyai Abdul Wahab yang terbuka dalam pergaulan, cukup vokal dalam mengutarakan pendapat, serta pengaruhnya yang dirintis sejak belajar di pesantren Tebuireng20dan Bangkalan, membawa keuntungan bagi organisasi yang baru dibentuk itu. Dalam waktu yang singkat lima tahun pertama berdiri beberapa cabang madrasah di Malang, Semarang, Gresik, Jombang dan beberapa tempat di Surabaya sendiri. Sebagian ada yang tetap menggunakan nama Nahdatul-Watan sebagian lagi menggunakan nama lain seperti Far'ul-Watan, Hidayatul-Watan, Khitabatul-Watan atau Akhul-Watan dan lain-lain.21 Boleh dikata semua cabang-cabang itu dipelopori oleh kawan-kawan Kyai Abdul Wahab sendiri dan murid-muridnya, baik ketika di pesantren maupun di Mekkah.
Kegiatan yang dilakukan Nahdatul-Watan tidak hanya pengajaran sekolah formal belaka melainkan juga kursus-kursus kepemudaan, organisasi, da'wah (ketika itu menggunakan istilah nadwah berarti pertemuan pengajian untuk menyeru kebenaran), dan perjuangan. Kyai Mas Mansur lebih berperan memimpin sekolah sementara Kyai Abdul Wahab di bagian kursusnya. Sejumlah kyai muda turut serta dalam kursus itu yang kelak kemudian mereka inilah yang ikut membidani kelahiran Komite Hijaz yang kemudian berubah menjadi NU.22 Selanjutnya setelah beberapa cabang Nahdatul-Watan berdiri dan melakukan kegiatannya, di Surabaya didirikan sebuah organisasi baru Taswirul-Afkar frepresentasi gagasan-gagasan) oleh Kyai Ahmad Dahlan, pemimpin sebuah pesantren di Kebondalem, Surabaya, bersama Kyai Mas Mansur, Kyai Abdul Wahab dan Mangun.23 Sampai dengan tahun 1929, sejak berdiri tahun 1918, nama resmi organisasi itu ialah Suryo Sumirat Afdeling Taswirul-Afkar.24 Setelah itu organisasi tersebut mendapat pengakuan badan hukum resmi maka nama Suryo Sumirat dihapuskan.
Ada dua hal yang perlu dicatat mengenai nama organisasi ini. Kaitan nama dengan Suryo Sumirat, sebuah badan hukum resmi yang didirikan oleh anggota-anggota Budi Utomo dan mengenai nama Taswirul-Afkar. Menurut penuturan K.H. Hamim Sjahid yang pernah menjabat guru kepala Madrasah Taswirul-Afkar tahun 1925-1935, bahwa nama Suryo Sumirat digunakan untuk memudahkan perizinan karena Suryo Sumirat sudah terdaftar sebagai badan hukum secara resmi.25 Hal ini menandai kaitan, setidaktidaknya pengaruh, pembentukan Taswirul-Afkar dengan Budi Utomo, paling tidak dengan anggota-anggota Budi Utomo di Surabaya. Barangkali karena hubungan dua tokoh Kyai Abdul Wahab dan Kyai Mansur dengan kalangan Budi Utomo cukup akrab, lahirlah gagasan membentuk wadah organisasi bagi anggota Budi Utomo yang umumnya kurang pengetahuan agama agar mereka dapat belajar agama dengan baik.
Hal yang kedua mengenai nama organisasi itu sendiri merupakan wadah untuk merepresentasikan gagasan atau ide. Dengan demikian orang yang belajar tidak merasa dianggap lebih rendah sebagai murid, tetapi sejajar sebagai layaknya sebuah kegiatan diskusi. Berbeda dengan Nahdatul-Watan yang sejak semula bergiat dalam pendidikan (pengajaran) dan kursus-kursus, anggotanya dari lingkungan santri sendiri, bahkan pada dasawarsa dua puluhan menyelenggarakan pendidikan untuk yatim piatu dan miskin tanpa dipungut biaya.26 Kegiatan Taswirul-Afkar dasawarsa pertama lebih menitikberatkan diskusi dan kursus sampai kurang lebih tahun-tahun terakhir dua puluhan. Sesudah itu nama Suryo Sumirat dihapus dan kegiatannya tidak lagi terbatas seperti semula tetapi lebih mengarah ke pengajaran kelas dengan membuka sekolah biasa dan sekolah untuk yatim dan miskin. Dari gedung yang semula disewa terletak di Ampel, dekat masjid Sunan Ampel, kemudian dibeli dengan harga f. 6.000 ditambah biaya perbaikan dan pengadaan peralatan sekolah.27
Jika harus dikemukakan pemuda santri yang menonjol kepekaan sosialnya dan minat yang tinggi untuk kerja sama dengan kaum muslimin ketika itu maka pemuda Abdul Wahab adalah salah satu dari mereka. Pemuda ini bukanlah tipe orang yang mudah putus asa atau patah semangat, memiliki kemauan yang keras dan kepedulian sosial yang tinggi. Tidak berhenti dengan dua lembaga yang telah dirintis terdahulu, pada tahun 1918 atas restu gurunya yang sangat dihargai yaitu K.H. Hasjim Asj'ari didirikan sebuah usaha perdagangan dalam bentuk koperasi dengan istilah 'sjirkah al-'inan' yang diberi nama Nahdatut-Tujjarr (kebangkitan usahawan).28 Diangkat selaku ketua koperasi itu K.H. Hasjim Asj'ari dan pemuda Abdul Wahab selaku manajer yang menjalankan koperasi itu. Patungan saham dan modal usaha koperasi itu f. 1.125 yang ditanggung bersama oleh 45 orang anggota masing-masing f. 25 namun sayang bagaimana perkembangan koperasi itu selanjutnya tidak diketahui karena belum ditemukan bahan referensinya, kecuali hanya akte pendirian koperasi itu saja.29 Meskipun demikian pembentukan koperasi itu menunjukkan bahwa sekitar sepuluh tahun sebelum NU lahir telah dimulai suatu upaya dari lingkungan pesantren sendiri untuk menghimpun kegiatan bersama walaupun pada waktu itu masih bersifat lokal dan belum terencana secara utuh. Nahdatul-Watan berikut cabang-cabangnya, Taswirul-Afkar kemudian disusul Nahdatut-Tujjarr merupakan wujud dari obsesi mereka unhtk mengembangkan kaum muslimin yang telah tumbuh sejak mereka di perantauan belajar di luar negeri.

B. KONFLIK KEAGAMAAN DAN ALIRAN BARU

Awal dasawarsa dua puluhan Muhammadiyah mulai memasuki daerah Jawa Timur, setelah kurang lebih lima sampai delapan tahun pertama kegiatannya hanya terbatas di daerah Yogyakarta, bahkan lebih sempit di sekitar daerah Kauman saja.30 Sebelum mendirikan Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan adalah anggota Budi Utomo sejak tahun 1909.31 Ketika Budi Utomo mengadakan kongres di Yogyakarta tahun 1917 Kyai Ahmad Dahlan giat membantu acara tersebut, bahkan tempat tinggalnya dijadikan sebagai salah satu pusat kegiatan kongres. Sejak saat itu sejumlah kalangan Budi Utomo menaruh perhatian besar kepada Kyai Ahmad Dahlan dan perkumpulannya Muhammadiyah. Permintaan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah berdatangan dari berbagai daerah di Jawa. Untuk mengatasi ini anggaran dasar Muhammadiyah diubah, sebab sebelumnya anggaran dasar itu membatasi kegiatan Muhammadiyah di daerah Yogyakarta saja. Perubahan yang dilakukan tahun 1920 menegaskan bahwa daerah operasinya untuk seluruh pulau Jawa dan pada tahun berikutnya diubah lagi untuk seluruh daerah Indonesia.32
Dalam pada itu di Surabaya sendiri sudah muncul seorang saudagar Minangkabau murid H. Rasul bernama Pakih Hasjim yang menyempatkan diri berda'wah selain kegiatannya berdagang. Dalam berbagai kesempatan da'wahnya Pakih Hasjim antara lain menganjurkan penghapusan tradisi ibadah yang dilakukan masyarakat umum seperti 'usalli' (mengucapkan niat ketika akan mulai salat) dan lain-lain serta menganjurkan kaum muslimin untuk melakukan ijtihad dengan menggali dari sumber pokok agama Islam yaitu Qur'an dan hadis, meninggalkan kebiasaan lama yang bersandar kepada kitab-kitab mazhab.33 Da'wah Pakih Hasjim seringkali diselenggarakan bekerja sama dengan Al-Irsyad yang memang memiliki pemikiran sejalan dengan Pakih Hasjim. Kunjungan Kyai Ahmad Dahlan ke Surabaya dan Kepanjen serta beberapa daerah lain di Jawa Timur pada waktu itu antara lain juga bertemu dengan Pakih Hasjim dan Mas Mansur. Dari hasil kunjungan-kunjungan itulah maka pada tanggal 1 November 1921 didirikan cabang Muhammadiyah di Surabaya. Sesudah itu berdiri cabang di Bangil, Kepanjen (selatan Malang) dan Lamongan.
Walaupun dakwah-dakwah yang diselenggarakan para penyokong Muhammadiyah berlawanan dengan pendapat umum yang berlaku dalam masyarakat, namun pertentangan yang muncul ke permukaan masih terbatas dari mulut ke mulut. G.F. Pijper mengibaratkan kehidupan sosial keagamaan masyarakat Indonesia sampai dengan tahun-tahun permulaan abad ke-20 sebagai "sebuah kolam yang tenang, permukaan airnya sekali-sekali saja beriak".34 Kurang lebih dua puluh tahun kemudian segalanya berubah, menjadi aliran sungai yang sewaktu-waktu airnya meluap.35 Ibarat itu kemudian terjadi, kongres Al-Islam tahun 1922 di Cirebon menjadi ajang perbedaan pendapat yang seru, "suasana perbantahan dan pertentangan yang tajam antara guru-guru dan ulama Islam", tulis H. Agus Salim.36 Kongres itu sendiri hampir gagal karena suasana perdebatan sedemikian rupa sampai "kafir-mengafirkan dan musyrik-memusyrikkan oleh karena pertikaian faham tentang perkara yang kecil-kecil sekali".37

_________________________________________________________

Catatan :
1. Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, (The Hague and Bandung, 1958) h. 32-36. Selanjutnya dikutip The Crescent.
2.  Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, terjemahan Hasan Basari, Uakarta: Pustaka Jaya), 1984, h. 13-14. Selan jutnya disingkat Pemberontakan Petani.
3.  Soekesi Soemoatmodjo, Perang Diponegoro, dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), ejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme, (Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1973), h. 121-161. Teuku Ibrahim Alfian, Sejarah Singkat Perang di Aceh, dalam Sartono Kartodirdjo, ibid., h. 237-263. Kuntowidjojo, Perang Paderi, dalam Sartono Kartodirdjo, Ibid., h. 87-119.
4.  Pemberontakan Cikandi (1&45) dan Wakhia (1850) merupakan salah satu contoh munculnya kedua orientasi di atas; Lihat Sartono Karto-dirdjo, Pemberontakan Petani, h. 173-182.
5.  Dalam tahun 1860-an ada sekitar 300 pesantren di seluruh pulau Jawa. Di antaranya di Lengkong dan Punjul (Cirebon), Daya Luhur di Tegal dan sebagainya. Tarekat Naqsyabandi, Qadiriyah dan Satariyah juga bermunculan di desa-desa; Lihat Ibid.,  h. 207-242.
6.  Harry T. Benda, The Crescent, h. 34.
7.  Ibid., lihat pula Bemhard Dahm, Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan, tejemahan Hasan Basari, (Jakarta : LP3ES 1987), h. 11-12, selanjutnya dikutip Soekarno.
8.  The Crescent, h. 35.
9.  Selanjutnya lihat A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1964).
10. Pembaruan Islam di Mesir muncul karena perkenalan ulama dan intebktual Mesir dengan kebudayaan Perancis yang dibawa masuk oleh tentara Perancis zaman Napoleon. Hal yang serupa  juga tejadi di Turki, namum gagasan itu dirintis oleh kalangan militer dan para birokrat, bukan oleh para ulama seperti yang terjadi di Mesir. Selanjutnya lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), selanjutnya dikutip Pembaharuan.
11. Harun Nasution, Pembaharuan, h. 23-26.
12. Budi Utomo suatu perhimpunan Jawa berdiri tanggal 20 Mei 1908 kemudian berkembang menjadi organisasi pergerakan nasional. Dalam laporan Adviseur voor Inlandsche Zaken kepada Gubernur Jenderal tanggal 30 Dsember 1908 dikatakan:
         "Adalah beberapa orang Jawa dari Yogyakarta yang pertama kali embikin rencana... Pada tahun 1906 seorang Dokter Jawa pensiunan, Mas Ngabei Soediro Hoesodo (alias Wahidin).. mendapat kepercayaan yang luas disokong beberapa keluarga Raja yang maju dari Pakualaman    berkeliling Jawa dengan tujuan mengajak pegawai-pegawai Bumiputera bekerja sama untuk mendirikan serupa 'beasiswa'. Sebagai hasil dari propaganda itu sekarang ini adalah pendirian Budi Utomo, baru saja bulan Juli lalu mendapat 600 anggota ... Dan sebenamya dilihat dari kacamata itu pertemuan Yogya bulan Oktober 1908 adalah suatu kejadian penting dalam sejarah Jawa".
      Kilasan Petikan Sejarah Budi Utomo, terjemahan Darsjaf Rahmad, Jakarta: Yayasan Idayu, 1975), h. 62-65.
13. Serikat Islam berdiri tanggal 11 November 1912 di Solo me rupakan kelanjutan dari Serikat Dagang Islam yang berdiri satu tahun sebelumnya. Organisasi ini sedikitnya didorong oleh dua hal yaitu kompetisi yang meningkat dalam perdagangan batik terutama dari golongan Cina dan sikap superioritas orang-orang Cina terhadap orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina tahun 1911. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Uakarta: LP3ES, 1982), h. 115. Selanjutnya disingkat Gerakan Modern.
14. Muhammadiyah didirikan tanggal 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan atas saran murid-muridnya dan beberapa anggota Budi Utomo. Mendapat pengakuan badan hukum tanggal  22 Agustus 1914, nomer 81; diubah tanggal 16 Agustvs 1920, nomer 40; dan diubah lagi tanggal 2 September 1921 nomer 36. Lihat Bendera Islam, 1 januari 1925. Pada mulanya Muhammadiyah daerah operasinya hanya di Yogyakarta saja, bahkan hanya di sekeliling Kauman. Ketika Budi Utomo mengadakan kongres di Yogyakarta tahun 1917 beberapa anggota Budi Utomo menaruh perhatian kepada Kiyai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah maka sesudah itu mengalir permintaan pendirian cabang. Untuk mengatasi itu maka diadakan perubahan anggaran dasar yang membatasi kegiatannya. Gerakan Modern, h. 84-88.
15. Hubungan ulama pesantren dengan SI mulanya tidak berjalan baik. Setelah Kyai Chasbullah, ayahanda Kyai Wahab, dapat berkompromi dengan para aktifis SI maka pelajar Indonesia yang bermukim di Mekkah pun menyambutnya dengan mendirikan cabang SI di sana. Muhammad Dahlan berasal dari Kertosono. Dengan nama kota ini kemudian Dahlan dikenal, Kyai Dahlan Kertosono. Aktif di Nahdatul-Wafan dan NU sejak awal. Kyai Abas berasal dari Jember dan Kyai Asnawi dari Kudus. Sebenamya ada seorang lagi yaitu Bishri Sjansuri tetapi yang bersangkutan menangguhkan untuk minta izin dulu kepada gurunya Kyai Hasjim Asj'ari. Belum sempat izin diterima kemudian pecah perang dunia dan mereka pulang ke Indonesia. Lihat K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan Kyai Haji Abdul Wahab, (Bandung: Penerbit barn, 1970), h. 7. Selanjutnya disingkat Sejarah Perjuangan. Abdurrahman Wahid, NU dan Asal Usulnya, dalam Warta Nahdlatu2 Ulama, nomer 8, April 1986.
16. Nahdatul-Watan mendapat pengakuan badan hukum tahun 1916, tentu berdiri dua atau tiga tahun sebelnmnya sebab untuk mengurus pengesahan itu memerlukan waktu. Sejarah Perjuangan,  h. 8.
17. K.H. Hamim Sjahid, Riwayat Taswirul-Afkar, naskah pidato peringatan 50 tahun, Surabaya, 1968. Selanjutnya disingkat Riwayat. H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, h.7. Penulis buku ini  menceritakan pengalamannya belajar bersama Kiyai Wahab dan Kiyai Mansur di Mekkah, kemudian bertemu kembali di Surabaya bergabung dengan mereka. Sejak awal menjabat tata-usaha Nahdatul-Watan.
 18. Mengenai tahun pendirian Nahdatul-Watan tidak jelas tahun berapa, tetapi sumber-sumber yang diketahui penulis menyebutkan tahun 1916 karena tahun itu mendapat pengakuan badan hukumnya. Hal ini membuktikan bahwa tahun pendiriannya sebelum tahun itu, sebab pengurusan badan hukum memerlukan waktu yang lama. Taswirul-Afkar memerlukan waktu 11 tahun dan NU 3 tahun. Tahun 1914 sebagai perkiraan, dua tahun sebelum pengakuan badan hukumnya. Kyai Wahab dan Kyai Mansur baru pulang dari Mekkah antara tahun 1913 dan 1914. Diperkirakan mereka memerlukan waktu sedikitnya satu tahun untuk bertemu dan merancang kegiatan bersama. Jika benar mereka barn kembali tahun 1914, maka diperkirakan mereka segera bertemu seperti kebiasaan mereka yang baru kembali dari luar negeri untuk saling mengunjungi.
20. Kyai Wahab menjabat sebagai lurah santri, pemimpin para santri, ketika belajar di pesantren Tebuireng.
21. K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, h. 10. Lihat pula H. Abubakar Atjeh (ed.), Sejarah Hidup K.H. Wachid Hasjim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia Buku Peringatan, 1957), h. 469-473, selanjutnya dikutip Sejarah Hidup.
22. Dalam naskah K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, nama Komite ini tertulis Komite Hijaaj (seharusnya tertulis hijaj, tanpa maaddah, bentuk jamak dari kata hajj) tetapi dalam berbagai dokumen dan penerbitan tertulis hijaaz, nama daerah di semenanjung Arabia di tempat mana terletak kota Mekkah dan Madinah.
23. K.H. Hamim Sjahid, Riwayat. Mangun anggota Budi Utomo di Surabaya yang mempunyai hubungan dengan para ulama di Surabaya. Mangun hadir dalam Kongres Al-Islam di Surabaya tahun 1924 atas nama Nahdatul-Watan. Bendera Islam, 30 Oktober 1924.
24. K.H. Hamim Sjahid, Riwayat.
25. K.H. Hamim Sjahid, Riwayat.
26. K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, h. 10.
27. Swara Nahdlatul Oelama, nomor 5, Tumadil Awwal 1347, h. 98.
28. Akte pendirian koperasi berbahasa Arab dengan nama Syirkah al-'Inan Murabitah Nahdatut-Tujjrir, ditandatangani akhir Rajab 1336 Hijriah atau 1918 Masehi. Disebutkan akan dimintakan badan hukumnya dua atau tiga tahun lagi.
29. Anggota koperasi yang tertera dalam akte pendirian sebanyak 45 orang berasal dari Jombang, Surabaya, Malang, Pasuruan, Bangil dan lain-lain. Masing-masing anggota menyetorkan saham atau simpanan wajib sebesar Rp 25. Untuk tahap awal kegiatan koperasi dibidang pertanian.
30. Lihat catatan kaki nomer 14.
31. Daliar Noer, Gerakan Modern, h. 86.
32. Bendera Islam, 1 Januari 1925.
33. Deliar Noer, Gerakan Modern, h. 246.
34. G. F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, terjemahan Tudjimah dan Yessy Agusdin, (Jakarta: UI Press, 19&Q), h. 105. Selanjutnya disingkat Beberapa Studi.
35. G. F. Pijper, Beberapa Studi, h. 105.
36. Hindia Baroe, 27 Mei 1924.
37. H. Agus Salim, Persatuan Pemimpin Islam, dalam Hindia Baroe, 19 Februari 1926.

Ditulis ulang dari Buku Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik Oleh : M. Ali Haidar, Gramedia, 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar