Selasa, 23 Juni 2015

SERI BUKU NAHDLATUL ULAMA DAN ISLAM DI INDONESIA (2)



BAB II
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN POLITIK DALAM ISLAM

Persoalan politik dalam sejarah Islam terjadi setelah Nabi Muhammad wafat dalam suatu pertemuan di teras Bani Sa'idah. Pertemuan itu pada mulanya diselenggarakan oleh golongan Ansar tetapi kemudian diikuti pula oleh golongan Muhajirin. Menurut kebiasaan Arab pra Islam suatu dewan suku akan berkumpul setelah pemimpin mereka meninggal untuk mengangkat pemimpin baru.1 Ini membuktikan walaupun kebiasaan semacam itu dikecam Nabi Muhammad masih muncul polarisasi struktur kesukuan lama dalam awal sejarah Islam. Nabi Muhammad sendiri pada dasarnya tidak menghendaki kebiasaan itu dipelihara terus.2 Hal itu bisa dipahami dalam kaitan dengan usahanya untuk mengembangkan kesatuan ummah dalam Islam. Jika pengakuan terhadap kelompok-kelompok kesukuan itu masih dapat dilihat secara tersurat dalam Piagam Madinah, tetapi bisa dipastikan bahwa hak hidupnya diarahkan secara sistematis dalam rangka kesatuan Islam.
Perdebatan dalam pertemuan itu berjalan cukup seru sampai memerlukan waktu tiga hari untuk akhirnya menetapkan Abu Bakar sebagai khalifah. Golongan Ansar mengusulkan pemimpin mereka Sa'd Ibn Ubadah untuk diangkat menduduki jabatan itu. Golongan Muhajirin yang datang kemudian dalam pertemuan berkehendak keras untuk mewarisi tradisi Nabi Muhammad memelihara kesatuan ummah tidak terpecah dalam kelompok-kelompok kabilah; dan ini berarti mereka tidak akan bisa mewujudkannya jika seorang dari golongan Ansar diangkat menjadi khalifah.3 Ternyata di belakang hari tidak seorang pun dari golongan lain mencapai kepemimpinan puncak, setidaknya sampai kekuasaan 'Abbasiah berakhir.
Banyak pertimbangan yang diperdebatkan untuk menentukan siapa yang sepatutnya diangkat menjadi khalifah. Sebagaimana dimaklumi Abu Bakar terpilih. Golongan Ansar mengklaim kedudukan itu dengan alasan sebagai pelindung Nabi --di tempat mana akhirnya Nabi menetap sampai akhir hayatnya. Golongan Muhajirin berpendirian, ini tidak mungkin sebab antara dua kabilah Ansar. Aws dan Khazraj, sulit mengatasi hubungan internal mereka sendiri.4 Kabilah Quraisy relatif lebih utuh dan paling mungkin menjaga kesatuan ummah, karena itu klaim golongan Ansar selanjutnya untuk mendirikan dua kekuasaan ditolak sidang. Atas nama golongan Ansar Sa'd Ibn 'Ubadah menegaskan: "Kalian amir sendiri dan kami amir yang lain". Pihak Muhajirin menegaskan: "Kami amir dan kalian wazir".5
Nabi Muhammad sendiri tidak pernah mengakui secara eksplisit kekuasaan yang dimilikinya merupakan kekuasaan politik atau kekuasaan kenegaraan; dan nampaknya Nabi pun tidak terlalu memberi perhatian misi politiknya dalam arti terbatas untuk menciptakan negara berdaulat.6 Menurut Ibnu Taymiyyah kepemimpinan Nabi Muhammad telah menyatu dengan risalah kenabiannya.7 Konsekuensi dari pendapat tersebut ialah bahwa kekuasaan politik Nabi tidak dibatasi wilayah suatu negara saja. Nabi Muhammad ditaati ummatnya tidak terbatas pada suatu wilayah territorial maupun waktu. Akan tetapi dalam kenyataannya ketika Nabi Muhammad wafat tahun 623 M adalah seorang Nabi dan penguasa politik yang efektif atas sebagian besar semenanjung Arabia, dan dibalik itu Nabi pun ditaati ummat yang tidak terbatas wilayah maupun waktunya. Hanya saja soal yang kedua ini ditegaskan berulang kali dalam berbagai kesempatan, sedang soal yang pertama tidak sedikit pun pernah disinggung.8
Sekalipun soal pertama tidak disinggung secara tegas, namun terhadap soal ini para sahabat menanggapinya sebagai realitas historis, bahwa kekuasaan politik itu mesti ada dan perlu dilestarikan dengan tujuan untuk mengatur kehidupan bersama serta menjaga dan menegakkan agama. Sedang soal kedua, Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah, diterima oleh sahabat sebagai rahmat karena diangkat Tuhan.
Sementara itu perkembangan Islam yang pesat menimbulkan berbagai persoalan yang mesti dihadapi. Bermula dari soal politik mengenai siapa yang hendak dipilih menggantikan Nabi kemudian berkembang sampai munculnya al-fitnah al-kubra yang berpuncak dengan kematian dua orang khalifah, 'Usman Ibn 'Affan dan 'Ali Ibn Abi Talib. Masalah sentral yang berkembang kemudian ialah soal dosa besar, kafir dan mukmin, yang kemudian melahirkan berbagai konsep dan pemikiran dalam bidang politik, hokum dan teologi atau kalam. Akan tetapi dalam soal politik, menurut al-Syahrastani, terjadi perselisihan yang paling besar. "Tidak pernah tejadi pedang terhunus dan darah mengucur dalam sejarah perselisihan keagamaan seperti yang terjadi dalam soal keagamaan yang berkaitan dengan politik perebutan kekuasaan".9 Seiring dengan itu kajian bidang politik memperoleh perhatian yang cukup besar dalam perdebatan ilmu kalam, kajian politik menjadi bagian dari kajian kalam. Tidak sedikit buku yang membahas ilmu kaIam menempatkan kajian politik sebagai bagian penting dari buku itu. Contoh klasik dari fenomena ini ialah karya al-Asy'ari Maqalat al-lslamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin sebagai buku kalam yang membahas panjang lebar perselisihan pendapat dalam bidang politik, demikian pula karya al-Gazali al-lqtisd fi al-I'tiqad.
Dalam sejarah Islam kajian politik pada mulanya dilakukan golongan syi'ah sebagai bagian dari konsep mereka mengenai imamah, bahkan ilmu ini pun kemudian diberi nama itu. Tetapi karena konsep imamah golongan syi'ah terkait erat dengan konsep teologi, maka pembahasannya pun termasuk bagian ini. Ke dalam bidang kalam inilah perdebatan centang perentang berlangsung antara berbagai golongan mazhab, antara syi'ah, khawaarij, mu'tazilah dan lain-lain.10 Sementara mereka tenggelam dalam perdebatan yang melelahkan, golongan ahli hadis tersisih dari kancah dan mereka lebih sibuk menekuni studi sumber pokok agama dengan memilah-milah hadis untuk disusun sedemikian rupa sehingga ditemui hadis yang benar dan sahih. Bahkan mereka untuk waktu tertentu lamanya tidak menyenangi dan menghindari pembahasan kalam.11 AI-Razi menyebutkan dalam karyanya mengenai biografi al-Syafi'I yang mengatakan "Hati-hatilah Anda dalam kajian kalam! Aku melihat para ahli mereka saling mengafirkan satu terhadap yang lain. Aku pun melihat para ahli hadis saling menyalahkan. Namun yang kedua ini lebih ringan daripada saling mengafirkan".12
Hasil studi hadis kemudian melahirkan hadis-hadis imamah yang dibukukan dalam koleksi mereka. Bukhari menyusun hadis ini pada bab kitab al-ahkam sementara Muslim dalam kitab al-imarah, dan ahli hadis lain dengan berbagai variasi menyusun hadis-hadis temuan mereka dalam bab al-khilafah fi Quraisy, bab istikhlaf wa tarkih dan lain-lain. Kajian politik yang dilakukan mazhab sunni muncul belakangan sejalan dengan kemunculan mazhab ini sebagai peneguhan kembali pemikiran yang dianut para sahabat sebelumnya. Dari mereka inilah kemudian lahir pendekatan baru dalam bidang politik melalui pendekatan fikih, pembahasan tentang imamah memperoleh wadah baru sebagai bagian dari kajian fikih. AI-Syafi'i; merupakan pelopor pendekatan ini ketika untuk pertama kalinya sebuah buku fikih yang ditulisnya al-Mabsut. menguraikan sebuah bab tentang imamah dalam kaitannya dengan upaya pelembagaan hukum Islam.13 Dari Al-Syafi'i ini pula masalah imamah memperoleh dasar baru sebagai akibat dari penemuan suatu teori usul al-fiqh yang di kembangkan untuk menyusun ilmu fikih berupa ijma'.
Di tengah kemelut perdebatan keagamaan yang kemudian melahirkan berbagai mazhab dan kelompok itu, suatu upaya pembenaran dilakukan dengan memanipulasi hadis. Riwayat hadis disusun sedemikian rupa sehingga suatu pendapat mazhab memperoleh pembenaran dari hadis tersebut. Keadaan ini dirasakan sangat tidak adil. Terobosan yang dilakukan al-Syafi'i untuk mencari pemecahan ialah bahwa suatu kebenaran agama lebih dekat dilihat dari konvensi yang hidup di tengah masyarakat sahabat daripada hadis-hadis yang berdiri sendiri terlepas dari konteks sosiologis. Realitas yang hidup dan diterima sebagai suatu yang berlaku di tengah masyarakat sahabat lebih dapat diterima sebagai sumber hukum Islam daripada hadis yang ternyata tidak pernah berlaku di zaman sahabat itu. Dari sinilah kemudian al-Syafi'i merumuskan teori ijma' dan menempatkannya sebagai salah satu sumber pokok hukum Islam.14 Dan sejak saat itu kajian politik memperoleh dasar baru, tidak semata-mata merujuk kepada pertimbangan hadis yang ternyata disisipi kepalsuan dan fanatisme mazhab, tetapi dipertimbangkan pula dari fakta yang hidup di tengah masyarakat sahabat.

A. IMAMAH, KHILAFAH, DAN SULTANAH

Ketiga kata tersebut boleh jadi mempunyai arti yang sama, dan demikianlah agaknya para penulis modern tidak teramat peduli dengan perbedaan yang mungkin ada di antara ketiga kata tersebut.l5 Meskipun demikian ada baiknya melacak perkembangan terbentuknya istilah yang berbeda itu agar lebih memberi kejelasan maknanya.
Imamah dan ummah berasal dari akar kata yang sama 'amm' berarti kehendak atau maksud.16 Selanjutnya dari akar kata ini terbentuk kata imam yang artinya orang yang diikuti dan imamah kekuasaan atau kekuatan yang ditaati dan diikuti. Sampai akhir abad dua Hijriyah istilah imamah belum dipergunakan secara resmi dalam literatur maupun dalam percakapan sehari-hari, kecuali dalam arti ibadah seperti imam dalam salat. Istilah ini kemudian muncul pada akhir abad kedua atau permulaan abad ketiga dalam buku fikih karya al-Syafi'i dan Abu Yusuf. Sejak saat itu istilah ini menjadi sangat populer dan hampir secara eksklusif dalam kaitannya dengan politik untuk menyebut khalifah, sedang untuk menyebut pemimpin suatu lembaga lain, misalnya militer, dipergunakan istilah amir.17 Penggunaan istilah ini nampaknya juga sebagai reaksi terhadap konsep imamah golongan syi'ah yang telah berkembang sebelumnya. Al-Safah (w.136/ 754/) khalifah pertama 'Abbasiyah menyebut dirinya secara tidak resmi dengan sebutan imam dan al-Ma'mun (w.198/813) mempergunakan secara resmi,18 barangkali tujuannya untuk menyangkal klaim golongan syi'ah atas imamah 'Ali dan keturunannya.
Mazhab syi'ah berpendapat bahwa imamah asas terpenting dari agama dan merupakan elemen iman.19 Menurut mereka imamah adalah berkah (lutf) Allah yang dianugerahkan kepada hambaNya.20 Manusia mampu berbuat baik dan menghindari yang tidak baik adalah semata karena berkah Allah. Tesis ini kemudian ditarik untuk merumuskan kesimpulan bahwa seorang imam mutlak diperlukan agar kewajiban dan larangan agama dapat dilaksanakan dan agar manusia tidak terjerumus ke dalam dosa dan kejahatan. Menjadi kewajiban Tuhan mengangkat imam untuk melaksanakan hukum dan ketentuanNya, karena tidak mungkin Tuhan menurut titahNya sendiri turun tangan secara langsung. Tidak bisa tidak imam yang demikian ini mesti ma'sum (terlindungi dari salah) karena jika tidak tujuan imamah pasti tidak akan tercapai. Menurut syi'ah tidak seorang pun memiliki 'ismah (perlindungan dari salah) setelah Nabi Muhammad kecuali 'Ali. Secara berturut-turut diwarisi keturunannya sampai imam ke-12 Muhammad al-Muntazar yang menghilang. Sementara kelompok dari golongan syi'ah yang lain tidak membatasi jumlah imam. Menurut mereka imam akan lahir setiap waktu sepanjang masa.21
Kata khilafah dari mana kata khalifah juga terbentuk memang terdapat dalam al-Qur'an, tetapi selalu dalam konteks pengertian "pewarisan", "penerimaan pewarisan", atau "penggantian", bukan sebagai institusi politik.22 Sementara itu ada pula pendapat bahwa kata khalifah seperti yang terdapat dalam al-Qur'an (Q, 2:30; 10:14; 6:165; 7:69; 35:39; dan 27:62) menunjukkan arti sebagai "penguasa" atau "pengatur", dengan demikian dipandang dapat berkaitan dengan institusi politik. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa menurut fitrahnya sendiri manusia dengan sendirinya terdorong untuk membangun kekuasaan ini bagi kepentingan mengatur kehidupan politiknya. Secara historis tidak bisa dibantah bahwa setelah Nabi Muhammad wafat institusi politik yang dilembagakan secara formal disebut dengan istilah ini, walaupun pada mulanya tidak dimaksudkan sebagai nama lembaga politik tertentu, tetapi lebih berarti sebagai penerimaan atau penggantian dari suatu kekuasaan terdahulu.23 Abu Bakar sendiri menyebut dirinya Khalifah Rasulillah yang berarti sebagai pengganti Rasul untuk melaksanakan sebagian dari tugas-tugasnya, karena tidak mungkin memikul tugas sebagai pembawa risalah (Rasul). Akan tetapi juga berarti sebagai "pengatur" atau "penguasa" untuk memimpin masyarakat, sejalan dengan makna kata tersebut di atas.
Sebutan ini kemudian hari menjadi konvensi yang mapan dan berkembang lebih jauh pada dinasti-dinasti yang pengaruh Arabnya (atau tepatnya pengaruh Quraisynya) tetap kuat seperti Abbasiyah, Umayyah maupun Fatimiyyah. Kelembagaan politik dinasti-dinasti ini secara formal disebut khilafah dan pelakunya disebut khalifah. Adapun ras lain seperti India, Persia, Turki atau Mongol menggunakan istilah amir atau sultan. Keengganan para penguasa politik non-Arab menggunakan sebutan khalifah karena alasan formal yang secara umum diyakini untuk kedudukan itu merupakan monopoli ras Quraisy yang pada mulanya bersifat tunggal dan sentral. Sejak abad IX Masehi struktur khilafah tidak lagi tunggal karena munculnya dua khilafah lain, khalifah di Mesir dan Spanyol.   Kata sultan dan sultah berasal dari akar kata yang sama dengan 'sallata' berarti memberi kekuasaan, sultan orang yang berkuasa atau mampu, sultah berarti kekuasaan (dalam arti umum), sultanah lembaga kekuasaan politik (yang dipimpin sultan).24 Kata ini muncul pertama kali sekitar abad ke tiga Hijriyah sebagai gelar khalifah yang perkasa.25 Gelar ini pun dipakai sebagian khalifah 'Abbasiah antara lain al-Qadir (w.381/991) menyebut dirinya Sultanullah.26 Setelah sejumlah amir dalam khalifah 'Abbasiah juga menggunakan gelar ini, maka lambat laun gelar itu melembaga sebagai suatu kekuasaan otonom di bawah khalifah. Ketika zaman keluarga Barmak sekitar abad 9-10 memasuki gelanggang kekuasaan yang disusul kemudian oleh munculnya Banu Buaih di tengah khilafah Abbasiah dan kekuasaan defakto di tangan mereka, maka institusi sultanah sudah menjadi resmi diakui. Bahkan Tughril Bek dari Banu Sayuk resmi menggunakan gelar Sultan al-Mu'azzam (Sultan Agung).27
Secara efektif memang akhirnya sultan memegang kendali kekuasaan politik, namun karena mereka tidak memiliki legitimasi kekuasaan secara sah menurut pandangan hukum agama yang diyakini, betapapun mereka masih bergantung secara simbolik kepada khalifah. Di tangan lembaga inilah otoritas keagamaan diakui sebagai pemegang kendali resmi kekuasaan untuk menjalankan (tanfiz) syari'at Islam. Khalifah merupakan simbol kekuasaan keagamaan yang sah, sementara sultan hanya pelaksana setelah mendapat pengesahan khalifah.28

B. KONSEP POLITIK BERSENDI AGAMA

Suatu hal yang patut dicatat ialah bahwa setelah Nabi Muhammad mendirikan tatanan sosio-politik Islam di Madinah, lebih tiga abad kemudian para pemikir hukum baru mulai berspekulasi menyusun teori politik mereka secara lebih sistematis. Selama periode sebelumnya belum ditemukan suatu pemikiran politik yang jelas.29 Beberapa orang terkemuka yang penting dikemukakan dari golongan sunni ialah 'Ali Ibn Hasan al-Mawardi (991-1031) dan Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111). Selain dari dua orang ini juga nama lain yaitu Abu Bakr Muhammad al-Baqillani (w.1013)  dan Taqiyyudin Ibn Taymiyyah (w.1328). Namun dari dua nama yang pertama itulah beberapa pandangan politik Islam di Indonesia, khususnya NU, mendasarkan rujukan mereka.
Al-Mawardi pengikut mazhab syafi'i memulai karir sebagai guru dan hakim di berbagai tempat dan akhirnya menempati posisi puncak sebagai 'qadi al-qudat'. Karyanya al-Ahkam al-Sultaniyah yang terkenal itu dipandang sebagai pembelaan kepada khalifah 'Abbasiyah dari ancaman amir-amir Buwaihi yang secara efektif memegang kontrol kekuasaan dan administrasi politik khilafah itu.30 Risalah itu dianggap orang sebagai dasar teori untuk menghambat pengaruh kekuasaan politik para amir Buwaihi terhadap khalifah yang makin merosot kekuatan politiknya. Walaupun akhirnya kekuasaan efektif benar-benar berada di tangan para amir Buwaihi, namun mereka masih tetap mengakui supremasi simbolik khalifah 'Abbasiyah. Mereka masih tetap bersedia menyebut secara resmi dalam upacara khutbah Jum'at nama khalifah sebagai pemegang supremasi kekuasaan yang sah. Hal ini, menurut Rosenthal, adalah bukti bahwa konsep kenegaraan yang diyakini dibangun dari asas kesatuan politik dan keagamaan di bawah otoritas hukum Islam atau syari'ah.31 Kekuasaan imamah atas ummat yang dipegang khalifah dianggap telah memiliki legalitas kekuasaan yang sah berdasar ijma' yang wajib ditaati.
Menurut al-Mawardi imamah dibangun sebagai pengganti kenabian untuk melindungi agama dan mengatur dunia.32 Dikemukakan bahwa membangun lembaga imamah adalah suatu kewajiban, bila ternyata telah berdiri lembaga ini dan memenuhi persyaratan yang berlaku, artinya personel yang memegang kekuasaan dipandang telah cakap dan mampu melaksanakan tugasnya, maka kewajiban dipandang telah mencukupi. Tetapi bila tidak seorang pun memegang kekuasaan lembaga itu, maka ada dua kemungkinan untuk menyusunnya. Ahlul-ikhtiyar berkewajiban memilih seorang imam dan ahlul-imamah yang akan dipilih menjadi imam.33
Tentang dasar kewajiban membangun lembaga imamah ada tiga pendapat. Pertama, imamah wajib karena pertimbangan akal ('aql), kedua, karena pertimbangan agama, dan yang terakhir ini berbeda pendapat, satu pihak mendasarkan pertimbangan kepada teks, yang lain kepada ijma'.
Menurut pendapat pertama sudah menjadi fitrah manusia dalam-sejarah kehidupannya membangun kekuasaan politik untuk mengatur kehidupan mereka. Termasuk dalam kelompok ini adalah Ibn Taymiyyah. Dia berpendapat bahwa kekuasaan politik Nabi Muhammad bukanlah imamah atau khilafah dalam arti institusi politik, negara atau kerajaan, sekalipun mungkin persyaratan untuk itu ada. Kekuasaan Nabi hanyalah semata-mata kekuasaan nubuwwah atau khilafah nubuwwah. Nabi Muhammad ditaati hanya semata-mata karena kenabiannya dan karena kedudukannya sebagai rasul Allah, bukan karena kedudukannya sebagai penguasa politik atau raja. Menurut Ibn Taymiyyah, khilafah sebagai institusi politik lahir karena alasan-alasan praktis untuk memenuhi kebutuhan menyelenggarakan kehidupan bersama setelah Nabi Muhammad wafat. "Mestilah ada seorang pemimpin walaupun hanya terdapat tiga orang yang mendiami bumi ini", ditegaskannya mengutip salah satu hadis Nabi.34
Pendapat kedua mendasarkan pertimbangan karena perintah agama secara tekstual berasal dari sumber pokok agama yang ditegaskan dalam al-Qur'an untuk taat kepada ulul-amr, yaitu orang yang berkuasa memimpin. Pendapat ketiga mendasarkan pertimbangan kepada dasar ijma'. Menghadapi tiga kubu pendapat ini al-Mawardi menegaskan posisinya, yaitu bahwa lembaga imamah berasal dari perintah agama lewat ijma' seperti yang terjadi ketika mula pertama pembentukan lembaga itu pada zaman sahabat. Menurut al-Mawardi lembaga imamah hanyalah mungkin terwujud bila konsep taat melekat pada lembaga itu. Dasar pertimbangan yang dikemukakan ialah penegasan al-Qur'an: "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada rasul, dan kepada ulul-amr di antaramu" (Q. IV:59), yaitu orang yang berkuasa memimpin, baik formal maupun informal. Menurut al-Mawardi ketaatan menjadi soal yang inti dalam sistem kekuasaan imamah karena itu dia menegaskan menjadi kewajiban kita untuk taat kepada pihak yang berkuasa yaitu a'immah yang memerintah kita. Bahkan sebagai model ketaatan yang bagaimana yang harus dilaksanakan al-Mawardi menunjuk kepada hadis riwayat Muslim Ibn 'Urwah dari Abu Hurairah:
Akan memerintah kalian sesudahku nanti penguasa (pemerintah) yang baik dengan kebaikannya, dan yang jahat dengan kejahatannya. Dengarkanlah mereka dan patuhilah segala apa yang sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, itu adalah untuk kalian dan untuk mereka; jika mereka berbuat jahat, akibat baiknya untuk kalian sedangkan akibat buruknya untuk mereka.35

Dengan pendekatan konsep taat ini al-Mawardi dianggap melakukan pembelaan kepada kekuasaan dinasti 'Abbasiyah yang sedang mengalami kemerosotan karena ancaman para amir di seputar khalifah. "Dengan demikian taat kepada para khalifah itu kewajiban agama", kata Syafi'I Maarif yang mengomentari pendapat al-Mawardi.36 Inilah cara al-Mawardi menggunakan ayat al-Qur'an dalam usaha mempertautkan kembali imperium 'Abbasiyah dari kehancuran total, sekalipun usaha ini tidak berhasil.37 Pasukan Saljuk sunni yang berhasil mengalahkan Buwaihi, menolak memberikan otonomi kepada para khalifah 'Abbasiyah, bahkan tidak mengizinkan mereka memiliki satu kemampuan administratif yang efekfif.38 Meskipun demikian mereka masih tetap mengakui otoritas, setidaknya wibawa dan pengaruh, khalifah atas mereka, karena mereka masih mengakui khalifah secara simbolik. Khalifah masih tetap menempati kedudukannya walaupun secara efektif tidak mempunyai kekuasaan apa pun.
Penilaian terhadap al-Mawardi yang demikian boleh jadi memang ada benarnya dilihat dari rangkaian yang timbul kemudian, tetapi bahwa dia sebagai seorang birokrat yang merasa ikut bertanggung jawab memelihara stabilitas dan keamanan agaknya bukan sesuatu yang aneh. Ditambah lagi bahwa pemikiran yang senada juga dikemukakan al-Ghazali yang bisa dianggap tidak punya kepentingan untuk mempertahankan dinasti 'Abbasiyah ternyata memiliki pandangan yang sama dengan al-Mawardi. Pendekatan kedua orang tokoh ini menegaskan bahwa perubahan yang revolusioner dan total seringkali akan menimbulkan akibat kemacetan dalam berbagai hal, termasuk tentu saja kemacetan pelaksanaan hukum agama atau syari'ah dan kemaslahatan secara umum. Pandangan legalistis yang berorientasi pada hukum menekankan pentingnya ketaatan dalam kehidupan imamah diharapkan akan lebih menjamin pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan imamah secara baik. Al-Mawardi agaknya lebih menempuh jalan damai untuk melakukan perubahan dan perbaikan, dengan tetap taat kepada institusi imamah yang ada masih mungkin menegakkan tujuan dan prinsip imamah yang benar.
Selanjutnya dikemukakan bahwa suksesi kepemimpinan imamah bisa ditempuh melalui dua cara. Dengan pemilihan yang dilakukan oleh ahlul-hall wal-'aqd yaitu orang yang memiliki kapasitas mewakili lembaga atau pribadi yang dipandang cakap untuk memecahkan masalah-masalah sosial dan kemasyarakatan, atau dengan penunjukan oleh imam sebelumnya. Mengenai yang pertama Al-Mawardi mengemukakan beberapa pendapat. Sebagian berpendapat bahwa imam tidak bisa dipilih kecuali oleh mayoritas (jumhur) ahlul-hall wal-'aqd yang tersebar merata ke semua penjuru daerah dan mewakili berbagai golongan agar mencerminkan persetujuan umum dan kepatuhan yang merata. Dasar pertimbangan pendapat ini ialah preseden bai'ah kepada Abu Bakar. Bai'ah itu dilakukan orang-orang yang hadir dalam pertemuan di Balai Banu Sa'idah telah memenuhi representasi kepemimpinan kesukuan tanpa menunggu kehadiran semua orang.
Pendapat kedua mengatakan cukup dengan persetujuan lima orang ahlul-hall wal-'aqd dengan pertimbangan bahwa bai'ah kepada Abu Bakar hanya dilakukan empat orang saja karena salah satu dari mereka terpilih menjadi khalifah.39 Pertimbangan lainnya ialah ketika 'Umar menetapkan formatir enam orang untuk menentukan siapa di antara mereka yang disepakati menjadi kahalifah penggantinya kelak. Dari enam orang tersebut dua tidak ikut pertemuan karena dinominasikan menjadi khalifah, yaitu 'Usman dan 'Ali. Pendapat lainnya mengatakan bahwa suksesi imam cukup dilakukan tiga orang atau bahkan hanya satu orang saja. Al-Mawardi tidak menentukan posisinya menghadapi pendapat di atas dan membiarkan pembaca memutuskan sendiri pendapat mana yang disetujui.
Suksesi imam dilakukan ahlul-hall wal-'aqd terhadap calon yang memiliki kelebihan dan kemampuan untuk kepentingan itu. Syarat-syarat calon dikemukakan panjang lebar oleh Al-Mawardi tetapi di antara syarat itu ialah calon imam haruslah memperoleh dukungan dan kepatuhan ummat. Al-Mawardi juga memberi kemungkinan jika terdapat beberapa calon pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara.

________________________________________________________
Catatan :
1.  W. Montgomery Watt, Pergolakan Pemikiran Politik Islam, (Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), 37.
2.  Ibid.
3.  Abu Muhammad 'Abd al-malik Ibn Hisyam, al-Sirah al-    Nabawiyyah, (kairo: Matba'ah al-Babi al-Halbi, t.t), IV, 435-9. Lihat pula Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al-lslam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Saqafi wa al-Ijtima'i (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1876), I, h. 206-7.

4.  Hasan, Tarikh al-Islam, I, 206.
5.  Hasan, Tarikh al-Islam, I, 206.
6.  Ahmad Syarif Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 19.
7.  Ibnu Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqdi Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyah, (Makkah: Dar al-Bat, t.t.), I, h. 131-137.
8.  Syafii Maarif, Islam, h. 19.
9.  Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Kairo: Dar al-Fikr, t.t.), I, h. 20.
1O. Muhammad Diya' al-Din al-Rayes, al-Nazariyyat al-Siyasah al Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Turas, 1979), h, 95 dan 99.
11. lbid.
12. Muhammad Abu Zahrah, al-Syafi'i Hayatuh wa 'Asaruh Fiqhuh wa Ara'uh, (Kairo: Matba'ah Mukhaimar, 1975), h.134-135.
13. lbid., h. 178. Lihat pula Diya' Al-Din, al- Nazariyyat, h. 101.
14. Muhammad Abu Zahrah, al-Syafi'i, h.134-5.
15. Rasyid Rida, al-Khilafah, h.10, dikutip dari Diya' al-Din, al-Nazariyyat, h. 118.
16. Abu al-qasim al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, (Kairo: Mastafa al-Babi al-Halabi t.t.), h.24.
17. Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, (Bandung: Pustaka, 1983), h. 125. Khalifah Umar juga disebut amir al-mu'minin, karena kedudukannya sebagai panglima militer.
18. Ibid., h. 126.
19. Muhammad Fathi 'Usman, Min Usul al-Fikr al-Siyasi al-Islami, (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1984), h.366.
20. Ibnu Taymiyyah, Minhaj, I, h.24 dan Qamaruddin, Pemikiran, h.55.
21. Fathi 'Usman, Min Usul, h. 366-371.
22. Ibid., 366-362.
23. Ibnu Taymiyyah, Minhaj, I, h. 137.
24. Muhammad Sabit al-Afandi, Da'irah al-Ma'arif al-lslamiyyah, 1973, WI, h.418.
25. Ibid.
26. Ibid., h. 93.
27. Amir Hasan Siddiqi, Caliphate and Sultanate, (Karachi: Jamiya ul-Falah Publication, 1942), h. 93-96. Al-Mawardi juga menguraikan bab tentang pemerintahan daerah atau negara bagian dengan istilah imarah al-bilad. Kekuasaan pemerintah daerah ini dimungkinkan dengan dua cara, penunjukan oleh khalifah atau dengan     pengesahan kekuasaan defakto yang sudah ada. Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Kairo: Dar al-fikr.1983), h. 2731.
28. Selanjutnya lihat S. Khuda Bakhsh, Politics in Islam, (Delhi: Daerah Adabiyati Delhi, 1975), h. 127-156.
29. Syafii Maarif, Islam, h. 22.
30. Erwin I.J.Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, (Cambridge: University Press, 1962), h. 27-28.
31. Ibid.
32. Al-Mawardi, Al-Ahkam, h. 5.
33. Ibid.
34. Ibnu Taymiyyah, Minhaj, I, h. 131-137.
35. Dikutip dari al-Mawardi, al-Ahkam, h. 5.
36. Syafii Maarif, Islam, h. 27.
37. Ibid.
38. Ibid.
39. Al-Mawardi, al-Ahkam, h. 7. Tidak dikemukakan dari unsure apa saja lima orang itu.

Ditulis ulang dari buku Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik Oleh : M. Ali Haidar, Penerbit Gramedia, 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar