Minggu, 21 Desember 2014

Seri Buku Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia : Pendekatan Fikih dalam Politik (1)


BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan Islam di Indonesia merupakan proses yang berkaitan dengan berbagai sektor kehidupan lainnya yang sangat kompleks. Untuk sebagian dapat diterangkan melalui keterlibatan kegiatan perdagangan yang berkembang sejak abad XI. Intensitas kontak-kontak perdagangan itu selanjutnya menghasilkan tumbuhnya pemukiman masyarakat muslim di pesisir kepulauan Nusantara. Melalui proses sejarah yang sangat panjang, cukup alasan untuk menyimpulkan bahwa lambat laun Islam telah menjadi bagian yang begitu dalam menguasai batin masyarakat Indonesia.1

Meski demikian, keberhasilan Islam menembus akar kehidupan masyarakat Indonesia, tidak berarti akar lama yang bersumber dari tradisi dan budaya setempat, hilang sama sekali. Kondisi semacam ini juga bisa diamati di bagian lain di belahan bumi ini. Pergumulan Islam dengan nilai budaya setempat menuntut adanya penyesuaian terus menerus tanpa harus kehilangan ide aslinya sendiri. Penghadapan Islam dengan realitas sejarah, akan memunculkan realitas baru, bukan saja diakibatkan pergumulan internalnya menghadapi tantangan yang harus dijawab, tetapi juga keterlibatannya dalam proses sejarah sebagai pelaku yang ikut menentukan keadaan zaman.2 Dalam proses seperti ini Islam tidak saja harus menjinakkan sasarannya, tetapi dirinya sendiri terpaksa harus diperjinak. Dengan demikian akan terjadi keragaman dalam Islam akibat dari tuntutan ajarannya sendiri yang universal.3

Organisasi jami'iyah Nahdatul Ulama (4 yang didirikan tahun 1926 di Surabaya merupakan salah satu wujud dari fenomena di atas. Dipelopori oleh ulama yang berpusat di pesantren-pesantren, organisasi ini memiliki wawasan keagamaan yang berakar pada tradisi keilmuan tertentu, berkesinambungan menelusuri mata rantai historis sejak abad pertengahan, yaitu apa yang disebut ahlussunnah wal ja-
maah. Pandangan ini menekankan pada tiga prinsip yaitu mengikuti faham Asy'ariyah dan Maturidiyah dalam bidang teologi, mengikuti salah satu dari mazhab empat dalam bidang fikih, dan mengikuti faham al-Junaid dalam bidang tasawuf. Konsep-konsep ini tertuang dalam sejumlah referensi yang sangat luas. Dengan ketiga prinsip ini dapat dikembangkan pandangan keagamaan yang utuh dan pada tingkat tertentu tercermin pula dalam prilaku politik maupun kultural.5  Keberhasilan ulama menghimpun pengikut yang besar, menumbuhkan solidaritas dan integritas yang kuat, menjadikan organisasi ini sebagai salah satu kekuatan social politik, kultural dan keagamaan yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun. Gagasan yang pertama kali ketika NU dibentuk bukanlah dari wawasan politik, melainkan dari wawasan sosial keagamaan. Meskipun demikian wawasan tersebut tidak lantas menjadikan NU mengabaikan soal-soal politik. Sekitar awal tahun tiga puluhan NU terlibat dalam perumusan tata cara pelaksanaan hukum perkawinan dengan pemerintah Hindia -Belanda. Tidak bisa tidak seal ini kemudian melibatkan NU dalam soal politik antara lain soal pengangkatan penghulu. Namun perubahan orientasi ini lebih kelihatan ketika sejumlah eksponen muda NU terlibat dalam polemik mengenai dasar-dasar negara yang sedang diperjuangkan menjelang akhir tahun tiga puluhan. Kemudian disusul dengan pembentukan MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) yang kemudian digantikan Masyumi ketika zaman Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tahun 1945, sejumlah organisasi Islam kemudian membentuk partai politik Islam Masyumi. Walaupun pada mulanya dapat dipertahankan keutuhan partai tersebut, namun tidak sampai sepuluh tahun setelah pembentukannya dua unsur utama pendukungnya memisahkan diri, SI (Syarikat Islam) tahun 1947 dan NU tahun 1952.

Sebagaimana akan dijelaskan nanti, kemelut dalam tubuh Masyumi akibat keanggotaan yang ganda, tidak dapat diselesaikan dengan baik. Tuntutan NU agar struktur organisasi Masyumi diubah menjadi badan federasi tidak memperoleh tanggapan semestinya.8 Akibatnya NU menyatakan keluar dari Masyumi dan membentuk partai tersendiri dengan tetap mengharapkan terbentuknya badan federasi atau koalisi partai politik Islam. Meskipun demikian badan federasi yang akhirnya terbentuk tanpa ikut sertanya Masyumi, yaitu Liga Muslimin Indonesia, tidak berkembang sesuai dengan harapan dan akhirnya mati karena badan federasi
tersebut tidak memiliki daya pengikat yang kokoh.

Menjelang kemerdekaan terjadi perdebatan yang sengit dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) khususnya mengenai dasar negara dalam rangka menyusun UUD. Setidaknya ada
kelompok yang saling berlawanan. Satu pihak menghendaki Indonesia menjadi negara Islam atau dasar Negara adalah Islam, sementara pihak yang lain berpendirian Indonesia harus menjadi negara kesatuan nasional yang memisahkan soal agama dari negara.9  Hasil kompromi yang telah dicapai oleh Panitia Kecil, yang dibentuk dalam sidang BPUPKT yang terdiri atas sembilan orang, yang akhimya dikenal dengan Piagam Jakarta, tidak berhasil diterima sidang. Perdebatan bahkan makin seru berlangsung. Akhirnya dengan kebesaran hati sejumlah pemimpin nasionalis muslim antara lain Wachid Hasjim, Kasman Singodimedjo dan Bagus Hadikusumo dalam pertemuan dengan Hatta menjelang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945 disepakati untuk menghapuskan anak kalimat dalam Piagam tersebut dari konstitusi. Anak kalimat tersebut tidak lain adalah tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Walaupun ketika itu telah diyakini bahwa asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 pada hakekatnya mencerminkan asas tauhid dalam Islam, namun masalah dasar mengenai kedudukan negara menurut pandangan Isiam dan sebaliknya bagaimana kedudukan agama dalam negara, belumlah dianggap final. Konferensi alim ulama yang diselenggarakan Kementerian Agama antara tahun 1952-1954 memutuskan bahwa kekuasaan kenegaraan Republik Indonesia merupakan kekuasaan yang zu syaukah (defakto) dengan sebutan waliyyul-amr ad-ddarurri bisy-syaukah (pemegang kekuasaan temporer yang defakto memegang kuasa.10 Keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan tidak mungkin membangun kekuasaan politik tersendiri untuk menjalankan hukum Islam di dalam negara Republik Indonesia, maka kekuasaan yang zu syaukah tersebut diterima dalam keadaan tidak ada pilihan lain (daruri).

Jauh sebelum itu, dalam muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, telah ditetapkan bahwa daerah Jawa (ardu Jawa) dalam arti Nusantara adalah dar al-islam, padahal ketika itu daerah tersebut dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda.11 Muktamar NU mendasarkan pertimbangan keputusannya bahwa masyarakat Islam di kawasan Nusantara dapat menjalankan agamanya dan melaksanakan hokum Islam tanpa terusik meskipun secara formal kekuasaan politik berada di tangan Hindia Belanda.12 Sebelum penjajahan Belanda daerah tersebut dikuasai kerajaan Islam dan bagian terbesar penduduknya beragama Islam. Kalau kemudian daerah tersebut dikuasai Belanda dan secara politik ummat Islam tidak mampu mengusirnya, tidak menghalangi status kawasan tersebut sebagai dar al-Islam.13

Tiga peristiwa tersebut memberi gambaran mengenai sikap NU tentang pemerintah dan negara RI. Sejak muktamar Banjarmasin 1936 sampai penerimaan asas tunggal Pancasila 1984 NU memperlihatkan garis pemikirannya secara linier sejak tahun 1936 NU telah menegaskan bahwa wilayah nusantara adalah dar al-Islam (negeri muslim). Ini berarti merupakan tanggung jawab ummat Islam untuk mempertahankan negerinya, khususnya ditujukan terhadap pemerintah kolonial penjajah. Namun dalam mengapresiasikan sikap itu NU selalu berpijak dari tradisi pemikiran fikihnya, sejauh mungkin menghindari anarki dan pertumpahan darah. Melaksanakan perintah agama tidak selalu harus mengakibatkan timbulnya anarki dan pertumpahan darah. Untuk mencapai tujuan membentuk negeri muslim yang sesungguhnya ditempuh melalui proses dan tahap tertentu, menghindari sikap mutlak-mutlakan.

Ketika proklamasi 17 Agustus 1945 diumumkan, NU turut pula memainkan peranan memecahkan problem yang paling krusial dalam sejarah bangsa. Akhirnya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 disepakati. Ketika saatnya kesepakatan itu menghadapi ujian berat dari ancaman agresi Belanda yang hendak kembali merebut wilayah Indonesia, NU mengeluarkan resolusi jihad Oktober 1945 yang dilanjutkan dengan keputusan muktamar 1946.14 Resolusi itu memberi gambaran yang jelas konsistensi sikap NU sebelumnya dalam muktamar Banjarmasin dan kesepakatan proklamasi. Setelah itu tahap selanjutnya ialah sikap NU tentang penerimaan terhadap kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan RI melalui keputusan konferensi alim ulama tahun 1954. Kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan RI dinilai sebagai waliyy al-amr al-daruri bi al-syaukah (kekuasaan kenegaraan yang defakto memiliki kekuatan).15 Dengan sikap itu NU menilai bahwa lembaga-lembaga kenegaraan RT berwenang melaksanakan hukum Islam, meskipun ketika itu hanya dalam kaitan dengan masalah perkawinan.16 Jika sikap-sikap NU yang terdahulu berorientasi pada wadah atau wilayah kepulauan nusantara, maka sikap yang terakhir ini langsung menyentuh pada isi, kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan. Setelah itu maka ideology nasional Pancasila diterima sebagai asas kolektif kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

Sikap-sikap NU tersebut bukan hanya kebetulan belaka, sebab tahap-tahap pemikiran NU sebenarnya memiliki pijakan tradisi pemikiran fikih yang kuat. Sebagai organisasi Islam motivasi yang mempengaruhi setiap langkah NU ialah untuk mengamalkan dan melaksanakan ajaran Islam. Namun dalam mengantisipasi berbitgai gejala sosiaal NU tidak bersikap mutlak-mutlakan, Kewajiban untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan memperhatikan berbagai faktor lain.l7 Jika kemampuan hanya menghasilkan sebagian saja maka yang sebagian itu tidak ditinggalkan.18 Dasar kedua ialah orientasinya dalam melaksanakan diukur seberapa jauh dampak positif dan negatifnya. Jika ternyata mengakibatkan dampak negatif yang besar langkah pertama yang dilakukan manghindari dampak negatif itu. Kewajiban tidak bisa dipaksakan jika ternyata, dengan itu berakibat munculnya dampak negatif yang menimbulkan kerugian bagi diri atau orang lain.19 Jika ternyata dalam hal itu harus menghadapi pilihan langkah yang diutamakan ialah memilih yang paling kecil resiko negatifnya. Memilih yang akhaff al-dararain.20

Sudah tentu dengan tradisi pemikiran itu tidak berarti NU selalu bersikap pesismistis, menyerah sebelum bertanding. Dalam berbagai kesempatan NU juga pernah menampilkan sikap ofensif untuk melakukan jalb al-masalih. (melaksanakan kewajiban), tidak dalam kaitannya dengan aspek darurah (temperer) yang mungkin akan menimbulkan mafsadah (kerusakan). Peristiwa-peristiwa dalam sidang BPUPKI, Majelis konstituante, maupun ketika NU memelopori walk out dalam sidang MPR tentang P4, memperlihatkan sikap NU itu.21 Namun ketika hal itu dilihat tidak membawa hasil bahkan ternyata akan menimbulkan bahaya, NU segera merevisinya kembali dan menerima kesepakatan, meskipun mulanya ditolak. Mengapa? Oleh karena motivasi utama yang mendasari langkah NU ialah adanya tertib sosial dan politik, sebab dengan tertib itulah kemungkinan bisa dikembangkan tertib agama. Tertib sosial politik menjadi prasyarat bagi terwujudnya tertib agama (nizam al-dunya syart  li nizam al-dini).22

Sebagai syarat untuk memperoleh tujuan tertib agama, maka tertib sosial itu pun wajib. Kaidah yang digunakan NU untuk memecahkan masalah itu ialah 'Kewajiban yang tidak dapat dijalankan dengan sempurna kecuali dengan syarat tertentu maka syarat itu pun wajib'.23 Dengan logika kaidah-kaidah tersebut di atas NU mencoba memecahkan berbagai persoalan sosial, politik, maupun keagamaan yang dihadapi ummat Islam dan bangsa Indonesia umumnya. Dengan kerangka pemikiran menurut tradisi fikih itu pula NU menerima asas tunggal PancasiIa. Agama dan Pancasila dicoba untuk didudukkan pada posisinya masing-masing secara proporsional. Hakekatnya orang berasas Pancasila kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedang orang berakidah Islam adalah sebagai tindakan nyata menkongkretkan Pancasila dalam salah satu bidang kehidupan bangsa, yaitu kehidupan beragama.24 Hubungan antara agama dengan Pancasila adalah hubungan yang saling mengisi.

Sudah tentu masalahnya tidak berhenti sampai, di situ aja. Hubungan agama dengan negara sepanjang sejarah Islam merupakan masalah yang paling krusial. Tidak terkecuali di Indonesia. Sejak proklamasi 1945 pergumulan seringkali terjadi dalam kerangka itu. Dalam kaitan dengan upaya mendudukkan syari'ah Islam dalam konteks kenegaraan di Indonesia, NU menafsirkan pengertian yang elastis, bukan saja pendekatan untuk memecahkan masalah, tetapi mengenai substansi syari'ah itu sendiri. Pada satu sisi pengertian itu menyusut dalam arti yang lebih sempit sebagai aturan formal yang dituangkan dalam perangkat kenegaraan sebagai undang-undang dan peraturan-peraturannya. Sementara pada sisi lain syari'ah sebagai hokum agama dalam arti sebagai etika sosial.25

Dengan pendekatan ini diharapkan akan dapat ditemukan alterbatif pemecahan dari kemelut politik dan ideology yang berlarut-larut dalam sejarah kenegaraan di Indonesia. Sudah tentu pemecahan itu bukanlah yang paling ideal dalam sekala normatif, sebab sejauh mengenai upaya penerapan syari'ah ke dalam kehidupan praktis, dalam kehidupan sosial sampai ke tingkatan hirarki yang luas seperti negara diperlukan pemahaman kreatif  mengingat kompleksnya masalah yang dihadapi dan pada sisi lain tetap dapat dipertahankan wawasan Islam yang rentangannya sangat luas.

Studi tentang NU tidak bisa dilepaskan dari tradisi pemikiran fikih baik kerangka teoritis (usul al-fiqh) maupun kaidah-kaidah fikih (al-qawa'id aI-fiqhiyyah). Dengan tradisi pemikiran ini NU mencoba memberi jawaban terhadap tantangan perubahan yang dihadapi untuk melembagakan nilai-nilai baru serta tingkah laku dan peran sosio-politiknya. Oleh karena itu analisis yang disajikan mencoba mengungkapkan dinamika dan perubahan yang terjadi di dalam NU dan bagaimana refleksinya dengan tradisi pemikiran fikih itu. Analisis dengan kerangka pemikiran tersebut diharapkan dapat memahami rekonstruksi pola perubahan dan dinamika NU menghadapi tantangan problematic sosio-kultural dan politik. Untuk kepentingan tersebut di bawah ini disajikan beberapa kaidah fikih yang dipakai NU
untuk mengantisipasi gejala-gejala perubahan tersebut.


Pertama kali yang perlu dikemukakan ialah pengertian tiga hal yaitu usul al-fiqh, fikih, dan qawa'id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih). Usul al-fiqh sebenarnya merupakan metode untuk mengukur derajat kebenaran istinbat. (penemuan atau penciptaan) hukum agar tidak salah; dan bagaimana prosedur menemukan atau merumuskan hokum ditil (furu') dalam fikih.26 Dengan metode ini kemudian dapat disusun hukum fikih yang beraneka ragam. Hukum yang beraneka ragam itu kemudian dapat disusun kembali dengan memperhatikan kesamaan-kesamaan berbagai factor yang dapat dipertemukan menjadi kaidah-kaidah fikih yang berlaku umum.

Usul al-fiqh terbentuk dari hasil kajian menurut pengertian dan logika kebahasaan yang bersumber dari al-Qur'an dan sunnah serta dari kajian maqasid syari'ah (tujuan syari'ah).27 Usul al-fiqh mengandung dua unsur pokok yaitu dari segi pengertian dan logika kebahasaan serta dari segi maqasid syari'ah. Dua unsur pokok tersebut merupakan aspek penting untuk mengukur atau menilai hasil ijtihad dan sekaligus sebagai metode untuk melakukan ijtihad.

Kaidah fikih dihasilkan dari analisis induktif (istiqra') dengan memperhatikan faktor-faktor kesamaan (asybah) berbagai macam hukum fikih lalu disimpulkan menjadi kaidah umum.28 Sedang fikih ialah pengetahuan praksis ('amaIiyyah) hukum syari'ah yang dihasilkan dari dalil-dalil tafsili, yaitu yang berkaitan dengan masalah tertentu dan menunjukkan hukum tertentu pula.29

Dengan pengertian di atas dapat dibedakan obyek masing-masing. Obyek usul al-fiqh ialah dalil umum (ijmal) dan hukum universal (kulli) serta prosedur penemuan hokum universal dari dalil umum.30 Obyek fikih ialah tindakan orang dewasa (mukallaf) dilihat dari segi wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.31 Sedang obyek qawa'id al-fiqh ialah masalah dan hukum fikih yang memiliki kesamaan yang dapat diikat menjadi kesatuan berupa kaidah umum.32 Ada lima kaidah pokok yang lazim disebut al-qawa'id al-khams al-kubra (lima kaidah induk)33 :
1. "Al-umur bi maqasidiha", artinya setiap perbuatan tergantung kepada niatnya (tujuan).
2. "Al-yaqin la yazulu bi al-syakk", artinya keyakinan tidak hilang karena keraguan.
3. "Al-darar yuzal atau la darara wa la dirar", artinya "bahaya dihilangkan" atau "tidak ada bahaya dan tidak ada yang  membahayakan.
4. "AI-masyaqqah tajlib al-taisir", artinya kesulitan dapat memberikan kemudahan.
5. "Al-adah muhakkamah", artinya sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan diakui.

Kaidah-kaidah pokok tersebut memiliki cabang atau pecahan. Antara lain dari kaidah la darara wa la dirar dapat dirumuskan beberapa kaidah lain seperti :34

1. "Dar' al-mafasid muqaddam 'ala  jalb al-masalih", artinya  menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan.
2. "Iza ta'arada mafsadatani ru'iya a'zamuha dararan bi irtikabi akhaf fihima", artinya jika terjadi pertentangan beberapa bahaya dipertimbangkan bahaya yang paling besar akibatnya dengan melaksanakan yang paling kecil resikonya.

Kaidah-kaiddah lain yang menjadi bagian dari lima kaidah induk tersebut ialah :35

1. "Ma la yatim al-wajib illa bihi fa huwa wajib", artinya kewajiban yang tidak lengkap kecuali dengan syarat tertentu maka syarat itu pun wajib.
2. "Al-maisur la yasqutu bi al-ma'sur", artinya kemudahan tidak gugur karena kesulitan.

Kaidah-kaidah tersebut merupakan generalisasi masalah, baik yang bersumber dari dasar-dasar hukum syari'ah maupun dari kesamaan-kesamaan hukum fikih yang beraneka ragam. Dengan memahami prinsip-prinsip pokok berupa kaidah fikih tersebut akan memudahkan memahami hokum fikih yang beraneka ragam dan kompleks sehingga akan mempermudah pula mengambil keputusan hukum terhadap problematik yang muncul. Dinamika dan perubahan yang tejadi di dalam NU sebagian dapat diamati melalui prinsip-prinsip dalam kaidah fikih tersebut.

Buku ini disusun dalam beberapa bab dan anak bab sebagai berikut :

Bab I menguraikan latar belakang pemikiran mengapa buku ini ditulis.

Bab II menguraikan tentang perkembangan pemikiran politik dalam sejarah Islam, khususnya pemikiran politik abad pertengahan yang hidup di kalangan ahli fikih. Hal ini dianggap penting karena berkaitan dengan tradisi yang berkembang di kalangan NU. Studi politik muncul dalam proses sejarah bersamaan dengan perkembangan Islam itu sendiri. Secara lebih sistematis mendapat perhatian sesudah abad kedua Hijriah. Namun peristiwa sejarahnya sendiri terjadi sejak awal karena perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam dan stabilitas politik yang berhasil dikembangkan. Polemik yang sampai kini berkembang ialah apakah kekuasaan politik Nabi Muhammad sebagai bagian dari risalah Nabi ataukah merupakan kebutuhah historis yang terlepas dari risalah itu. Konsep-konsep yang dimunculkan mengenai soal ini cukup kontroversial. Namun peristiwa sejarah politik Islam sendiri cukup relevan mengundang kontroversi itu. Bab ini mencoba menelusuri secara ringkas fenomena ini dan mencoba menganalisis refleksinya dalam konteks ajaran.

Bab III menguraikan tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU. Opini umum para pengamat, termasuk sebagian di lingkungan NU sendiri, menganggap kelahiran NU sebagai reaksi belaka dari aliran baru yang muncul sebelumnya. Namun fakta historis membuktikan kesimpulan yang berbeda. Kalau kemudian konflik keagamaan dengan aliran baru itu dianggap sebagai bukti karena NU lahir di sekitar peristiwa yang terjadi itu, masih tidak bisa menutup fakta lain adanya pergulatan panjang yang terjadi sebelumnya, sejak awal tahun belasan, ketika sejumlah ulama muda pesantren mengembangkan kegiatan sosial kemasyarakatan dengan obsesi mengenai hari depan ummat Islam Indonesia. Mereka inilah yang kemudian membidani kelahiran NU. Hal ini juga terbukti dari visi keagamaan NU yang sampai sekarang tetap berkembang. Untuk dapat memahami ini diuraikan pula konsep-konsep ahlussunnah waljamaah tentang kalam, tasawwuf, dan fikih. Sisi lain dari watak keagamaan ini ialah kesediaannya untuk berdialog dan bersikap toleran dengan tradisi dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Dari proses akulturasi ini kemudian melahirkan fenomena yang saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Ini menyebabkan watak NU bukan hanya sebuah organisasi formal, melainkan sebagai gerakan kultural yang berakar di tengah masyarakat.

Bab IV menguraikan tentang peristiwa-peristiwa sejarah politik yang dilalui NU dan bagaimana NU memecahkan problematik yang terjadi, khususnya dalam soal pembentukan kabinet. Konflik dengan Masyumi, selama NU tergabung di dalamnya maupun sesudah NU keluar, lebih berwama ketegangan kultural selain karena pendekatan pemecahan masalah yang berbeda. Visi keagamaan ini juga terlihat ketika NU menghadapi pemilihan umum dengan sikap yang lebih toleran, akomodatif dan rekonsiliatif. Dengan sikap-sikap politik NU itu tidak lantas berhasil diperankan dengan baik. Kelemahan-kelemahan manajerial dan organisasi seringkali menghambat langkah politik NU sehingga mengesankan NU terbawa arus terus menerus tanpa mampu mengubahnya menjadi terobosan yang menguntungkan.

Pada bab V selanjutnya diuraikan refleksi diri yang dilakukan NU terhadap eksistensi politiknya. NU mengoreksi langkah yang selama ini dijalani untuk kembali menjadi jam'iyah sebagai organisasi nonpolitik tahun 1983. Proses menuju ke arah ini bukannya tanpa pergulatan internal yang menegangkan, karena begitu kentalnya kehidupan politik sebelumnya. Di samping itu ketegangan juga terjadi antar berbagai unsur, termasuk NU, yang berfusi ke dalam PPP.

Masalah yang cukup penting lain ialah mengenai pandangan NU dan tentu saja masyarakat Islam umumnya tentang kedudukan negara Indonesia menurut pandangan Islam dan sebaliknya tentang agama dalam negara itu. Persoalannya ialah sejauh mana negara ini memenuhi kualifikasi sebagai negara yang sah dengan akibat tanggungjawab ummat Islam untuk tunduk kepada hukum dan ketentuan lain yang ditetapkan; dan sebaliknya bagaimana seharusnya negara menerima agama (Islam) tanpa terjebak sebagai negara agama atau negara sekuler. Kemudian ditambah tentang proses penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh NU. Masalah-masalah ini diuraikan pada bab VI yang diakhiri bab VII sebagai kesimpulan dan penutup.


_____________________________________________________________

Catatan :

1.  G.J.W. Drewes, "Indonesia: Mistisisme dan Aktivisme", dalam von Grunebaum (ed.), Islam Kesatuan daIam Keragaman, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983), h. 327.
2.  Taufik Abdullah, Islam di Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1974), h. 3-8.
3.  Ibid.
4.  Dalam berbagai naskah dan penerbitan lain maupun surat resmi organisasi tertulis Nahdlatul Ulama. Namun sesuai dengan pedoman transliterasi penulisan Arab Latin keputusan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomer 158 tahun 1987 dan nomer 0534 b/U/1987, seharusnya tertulis Nahdatul Ulama dengan ejaan d (d titik bawah) untuk menulis huruf Ö , bukan dl. Selanjutnya naskah ini menggunakan transliterasi tersebut.
5.  Abdurraman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini", Prisma, nomer 4, edisi April, 1984, h. 31-38. Selanjutnya dikutip Nahdlatul Ulama.
6.  B. Anderson, Religion and Politics in Indonesia Since Independence, dikutip dari Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesatren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 4.
7.  Abdurrahman Wahid, Nahdlatul Ulama, h. 31-38.
8.  Mengenai ketegangan NU-Masyumi selanjutnya lihat bab IV, khususnya sub bab tentang "Kemelut dan Gagasan Federasi.
9.  Himpunan Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, (Jakarta: Seker tariat Kabinet RI, tt), h. 32-33.
10. Laporan Tahunan 1954, (Jakarta: Bagian Penerbitan Departemen Agama, 1955), h. 804-810. Konferensi itu diselenggarakan selama tiga kali. Pertama tahun 1952, kedua 1953, dan ketiga 1954. Keputusan konferensi itu intinya sama, tetapi yang menjadi perhatian luas ialah konferensi tahun 1954, karena dipersoalkan di Parlemen.
11. Istilah 'ard Jawa' menurut referensi fikih ialah daerah Asia Tenggara, tetapi yang dimaksud dalam keputusan NU itu Nusantara.
12. Keputusan Muktamar NU 1936 di Banjarmasin, Ahkam al-Fuqaha', jilid 3, (Semarang: Menara Kudus, 1980), h. 8.
13. Ahkam aI- Fuqaha, h. 8.
14. Resolusi jihad NU 22 Oktober 1945 diputuskan dalam rapat  besar konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura. Resolusi itu mendesak kepada pemerintah RI agar mengambil tindakan nyata melawan Belanda. Resolusi juga menyerukan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda. Kedaulatan Rakjat, 24 Oktober 1945. Resolusi itu kemudian dikokohkan dalam muktamar NU ke 16 di Purwokerto, 26-29 Maret 1946.
15. Konferensi itu memutuskan bahwa alat kekuasaan negara sesuai dengan UUDS 1950 pasal 44 yaitu presiden dan wakil, kabinet,  DPR, mahkamah agung, dan DPK. Kementerian Agama, Laporan Tahunan 1954, (Jakarta: Bagian Penerbitanp, 1955), h. 804-810.
16. Keputusan itu mulanya dalam kaitan dengan keputusan Menteri Agama mengenai pengangkatan (tauliah) wali hakim bagi perkawinan wanita yang tidak mempunyai wali (nasab) sendiri. Namun dalam perkembangannya keputusan tersebut menyangkut inti pokok mengenai kedudukan kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan menurut pandangan Islam. Lihat, Ibid. Muktamar NU 1954 selanjutnya menyetujui keputusan konferensi alim ulama tersebut. Ahkam al-Fuqaha' III, (Semarang: Menara Kudus, 1980), h. 8.
17. Dalam hadis Nabi Muhammad disebutkan 'Jika aku melarangmu tentang sesuatu tinggalkanlah; tetapi jika aku memerintahkan sesuatu kerjakan sebatas kemampuanmu'. Lihat Ibn Hajar al-'Asyqalani, Fath al-Bari bi syarh Sahih al-Bukhari, jilid 28, (al-Qahirah: Maktabah al-Qahirah, 1989)', h. 16-18. Rujukan dalil-dalil selanjutnya lihat hal. 21-23 serta bab VI khususnya hal. 365-387.
18. Kaidah itu ialah 'Kewajiban yang tidak dapat dilakukan sempurna (seluruhnya), tidak ditinggalkan semuanya'.
19. Kaidah itu ialah 'Menghindarkan kerusakan (bahaya) didahulukan daripada melaksanakan kewajiban'.
20. Kaidah itu ialah 'Jika tejadi benturan dua bahaya kerusakan dipertimbangkan yang paling besar kemungkinan bahayanya dengan melaksanakan yang paling kecil resikonya'.
21. Dalam sidang BPUPKI NU tidak diwakili sebagai organisasi, tetapi orang-orang NU bersama pemimpin Islam lainnya menuntut Islam sebagai dasar negara. Kompromi Yang dicapai melahirkan Piagam Jakarta, akhirnya gagal. Ketika sidang Konstituante NU dan partai Islam lainnya juga menghendaki demikian,namun akhirnya gagal.
22. Al-Ghazali, AI-Iqtiqsad fi al-I'tiqad (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1983), h. 147-154.
23. "Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib"
24. Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar", dalam E. M. Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), h. 9-18.
25. Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar", dalam E. M. Sitompul, NU dan Pancasila, Jakarta: Sinar Harapan, 1989), h. 9-18. Etika sosial mengandung arti akhlak, baik dalam hubungan antarmanusia maupun manusia dengan Tuhan. Ada beberapa hal dalam aspek-aspek tersebut yang tidak bisa dituangkan dalam perangkat perundang-undangan maupun peraturan kenegaraan seperti aturan mengenai doa, syarat/rukun salat dan ibadah lainnya, zikir atau aturan mengenai salam dan sebagainya. Apalagi bila hal-hal tersebut dikaitkan dengan perbedaan mazhab yang dianut atau ijtihad masing-masing. Dalam hal penetapan awal Ramadan maupun Syawwal keputusan pemerintah tidak wajib diikuti kalau ternyata ada yang membuktikan lain dengan keputusan itu, seperti hilal Ramadan atau Syawwal dengan ru'yah yang berbeda dengan dasar keputusan pemerintah.
26. Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (al-Qahirah: Dar al- Fikr al-'Arabi, 1985), h. 10. Selanjutnya dikutip Usul al-Fiqh.
27. Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah, jilid I, (Beirut: Dar al-Ma'arif, t.t.), h. 12.
28. Usul al-Fiqh, h. 10-11.
29. Muhammad Sidqi ibn Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idahi Qawa'id al-Fiqhiyyah al-Kulliyyah, (Beirut: al-Risalah, 1983), h. 22.
30. AI-Wajiz h.22.
31. Ibid.
32. Ibid.
33. Ibid. Ibn Nujaim menambahkan satu kaidah "Tidak ada pa hala kecuali dengan niat" (la tsawaba illa bi al-niyat) Al-Asybah waal  Naza'ir, Damsyq: Dar al-Fikr, 1983), h. 14-21. Sementara Jalal al-Din al-Sayuti menambahkan satu kaidah yang lain yaitu kaidah: "Al-hajah tanzilu manzilat al-darurat 'amatan kanat au khassatan" (kebutuhan menempati kedudukan darurat, baik khusus maupun umum); al-Asybah wa al-Naza'ir fi al-Furu' (Semarang: Tohaputera, t.t), h. 83-89.
34. Al-Wajiz, h 83-89.
35. Ibid. Kalangan NU juga menggunakan kaidah lain yaitu "ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh, artinya kewajiban yang tidak dapat dijalankan selengkapnya maka elemen yang dapat dijalankan tidak ditinggalkan. Kaidah ini sama dengan "al-maisur la yasqutu bi al-ma'sur (kemudahan tidak gugur karena kesulitan).



Ditulis ulang dari buku : Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik Oleh: M. Ali Haidar, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar