Rabu, 17 Desember 2014

SERI NU DAN PANCASILA (12)



Bab V 
Nahdlatul Ulama Menerima Asas Pancasila (Lanjutan)


B. Dasar-dasar Pemikiran Nahdlatul Ulama Menerima Pancasila  

Penerimaan NU atas Pancasila benar-benar dipikirkan oleh NU secara matang dan mendalam. NU adalah organisasi kemasyarakatan yang pertama menuntaskan penerimaannya atas Pancasila.(32) 

Kendati demikian hal itu bukanlah alasan untak menuduh bahwa penerirnaan itu karena ia bersikap akomodatif, dan juga tidak benar bahwa kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan atau meninggalkan politik praktis sebagai sikap yang emosional.(33) NU bukan hanya pertama menerima tetapi juga yang paling mudah menerima Pancasila. Muhammadiyah menerima Pancasila setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.(34) 

  
1. Konsep Fitrah  
Penerimaan NU benar-benar telah dipikirkan dari sudut pertimbangan keagamaan. Dalarn muktamar itu NU memahami ulang dasar-dasar keagamaannya dan dari sana merumuskan sikapnya terhadap perkembangan yang sedang dihadapinya. Dasar-dasar keagamaan paham ahlusunnah wal jama'ah dijabarkan sebagai berikut: 

Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fithri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.(35) 

Fithri atau fithrah (sifat asal, keadaan murni) adalah konsep yang sangat penting dalam Islam. Fithrah adalah dorongan yang sudah tertanam di dalam diri manusia untuk menemakan Tuhan, demikian Ali Issa Othman mengawali bukunya tentang Manusia Menurut Al-Ghazali.(36) Dorongan hati (fithrah) itulah yang menyebabkan manusia menyerahkan diri (islam ) kepada Allah; 

Inilah Islam pada hakekatnya: menyerahkan diri (self-commitment) sebagai responsi terhadap gerak hati yang tertanam di dalam fitrah manusia— suatu kedamaian batin yang tidak dapat diperoleh tanpa menemukan Allah dan menyembah Dia.(37) 

Dalam Quran seluruh alam dan manusia pada dasarnya tunduk (islam) kepada Allah (lihat Sura 22:18; 16:49,50; 13:15; 3:83; dan lain-lain).(38) Bila dianalisis lebih lanjut, maka pengertian islam menurut Quran mencakup hal-hal sebagai berikut, sebagaimana dirumuskan oleh Othman, 

Pertama : islam dari kosmos; 
Kedua : islam dari segala yang bernyawa (dawab) dan tidak 
bernyawa; 
Ketiga : islam dari semua manusia, baik sukarela atau terpaksa
Keempat: islam dari mereka yang mengikatkan diri kepada Allah secara sukarela; 
Kelima : islam dari mereka yang mengikuti agama dari Allah -Islam-diturunkan melalui Muhammad, dengan didahului oleh nabi-nabi lainnya.(39) 

Dengan kata lain segala sesuatu adalah islam secara rela atau terpaksa dan hal itu adalah konsekuensinya, segala sesuatu adalah ciptaanNya sebab tidak ada di dalam alam yang di luar jangkauan 

Secara singkat islam tidak terbatas pada manusia saja, islam mencaku seluruh unsur yang ada, islam dari segala "sesuatu" dapat secara sukarela atau terpaksa. Tetapi di dalam kedua-duanya ia tetap merupakan muslim, karena jika tidak demikian ia harus berada di luar hal-hal yang ada dan bebas dari segala hukukmnya.(40) 

Menurut al-Ghazali, dalam upaya manusia mencapai kebahagiaan ia selalu terancam olein "kecintaan terhadap nafsu" yang dapat menghalanginya mengikuti fithrah.(41) Berdasarkan hal itu al-Ghazali melihat "ada tingkatan-tingkatan dalam islam, yang sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya".(42) 

Sikap keagamaan NU seperti yang dirumuskan di atas dapat dipahami melalui pola pemikiran al-Ghazali ini. NU tidak bersikap antitesis terhadap suatu nilai masyarakat. Sepanjang suatu nilai atau sistem di dalam masyarakat tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, maka ia mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembangkan agar selaras dengan tujuan-tujuan di dalam Islam. Dalam pengertian itulah ia bersikap "menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia". Sikap ini berbeda dengan sikap kaum pembaharuan, seperti yang sering dilontarkan oleh Natsir bahwa —dengan mengutip H.A.R. Gibb— "Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia adalah satu kebudayaan yang lengkap".(43) 

Sikap seperti yang dilontarkan Natsir ini cenderung membawa Islam ke dalam sikap antitesis; Islam sebagai suatu totalitas yang lengkap akan dihadapkan dengan sistem lain yang dengan mudah akan dicap tidak islami dan pada giliranya akan menimbulkan pertentangan dengan nilai-nilai yang sudah ada. Ketika membicarakan pemikiran teoritis Islam, Wahid membantah bahwa Islam mempunyai konsep baku tentang negara.(44) Pemikiran yang demikian kata Wahid dianut oleh pemikiran idealistik. Bertentangan dengan itu ia mengajukan pemikiran realistik, 

Jenis pemikiran realistik tidak begitu tergoda oleh bangunan utopis dari sebuah negara ideal menurut wawasan Islam, melainkan lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis dapat ditampung dalam pandangan Islam tentang negara. Tidak adanya bentuk baku sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan... membuat perubahan historis atas bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan atau tercegah lagi. Dengan kata lain, kesepakatan akan bentuk negara... dilandaskan... pada kebutuhan masyarakat pada suatu waktu. Inilah yang membuat mengapa hanya sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara...(45) 

Berbicara tentang sesuatu masyarakat dari sudut pandangan Islam, al-Ghazali berjasa besar menyumbangkan pemikiran yang realistik. Timbulnya masyarakat hampir merupakan semacam keharusan karena manusia itu dalam hidupnya berusaha mengisi kebutuhan dan kenikmatan; usaha-usaha mengisi kebutuhan dan kenikmatan itu yang disebut oleh al-Ghazali sebagai dunya. Selengkapnya, dunya itu berarti, 

  1. hal-hal konkret yang tertentu; 
  2. kenikmatan yang diperoleh manusia dari hal-hal konkret tersebut,  dan 
  3. pengolahan-pengolahan yang dilakukan manusia terhadap hal-hal konkret tersebut untuk dinikmatinya.(46)

Dunya adalah salah satu aspek dari aktivitas manusia. Aspek lainnya yang tidak dapat dipisahkan dari dunya adalah aktivitas keagamaan (din)(47). Masyarakat berkembang dalam kompleksitas kebutuhan, ambisi, fungsi, tujuan, dan sebagainya. Kendatipun aktivitas manusia dapat diselewengkan oleh berbagai nafsu dan ambisi, ia tetap diperlukan demi kelestarian sesuatu masyarakat. "Adanya setiap sesuatu itu mempunyai maksud tertentu. Jadi dari sudut pandangan ini tak ada sesuatu pun yang buruk".(48) Baik buruknya sesuatu di dalam masyarakat "tergantung kepada pengaruhnya terhadap kehidupan manusia".(49) Yang penting bagi al-Ghazali mengenai aktivitas untuk mencapai kebahagiaan tertinggi atau pemenuhan diri (Sa' adah)(50). Di sinilah masyarakat memerlukan petunjuk, ajaran dan rahmat Allah. 

Dilihat dari sudut pandangan al-Ghazali itu maka titik berangkat menilai masyarakat bukanlah sejumlah doktrin yang dikembangkan secara subyektif, melainkan perkembangan masyarakat dari sudut potensi yang terdapat dalam diri manusia sebagai ciptaan Allah (fithrah). Titik berangkat dari fithrah membuat NU bersikap inklusivistis karena mengakui "nilai-nilai yang baik yang sudah ada" dan akan bersikap positif-kritis karena bertujuan "menyempurnakan" nilai-nilai itu. Dengan meminjam istilah Wahid NU akan menjadikan nilai-nilai yang sudah ada sebagai "persambungan vertikal"(52), untuk mengantarkan masyarakat berjalan sesuai dengan tujuan Islam. 

Dalam Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam seperti yang saya kutip di atas, dalam bagian pertama ditegaskan  bahwa Pancasila bukan agama dan tidak dapat menggantikan agama. Pernyataan yang demikian sudah sering diucapkan oleh presiden Suharto setelah P4 menjadi keputusan MPR tahun 1978.(53) Pancasila dipandang sebagai suatu produk masyarakat yang diperlukan untuk kelestarian itu sendiri. Ia tidak lagi dicurigai sebagai saingan agama seperti sikap NU ketika asyik menggumuli politik praktis. Ketika NU mulai mengambil sikap untuk kembali menjadi organisasi keagamaan maka ia dapat menilai secara lebih realistik. Pancasila dinilai sebagai falsafah bangsa sedangkan agama adalah wahyu. "Pada dasarnya, sila-sila dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, kecuali jika diisi dengan tafsiran atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam".(54) Sering dikatakan bahwa Islam tidak dapat memisahkan agama dan politik. Itu memang benar dan NU tidak memisahkan agama dan politik atau agama dengan masyarakat, tetapi ia membedakan mana bidang yang berguna ditanggapi dan mana yang tidak berguna; dan mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak demi tujuan keagamaan. Tepat seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali: 

Mencari kebenaran meminta sang pencarinya untuk membedakan antara hal-hal dan tujuan yang penting dan perlu yang ada dalam masyarakat dengan hal-hal dan tujuan-tujuan yang tidak penting dan tidak perlu.(55) 

Dalam deklarasi termaktub penerimaan atas Pancasila diputuskan sebagai dasar dan jalan bagi NU untuk menjalankan syariat (hukum agama) Islam; 

Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari upaya ummat Islam Indonesia untuk menjalankan syari'atnya.  

 
2. Konsep Ketuhanan  
NU menilai rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut pasal 29 (ayat 1) UUD 1945 —yang menjiwai sila-sila lainnya mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam(56). Pasal 29 UUD 1945 itu berbunyi: 

Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esas.(57) 

Di sini yang dinilai oleh NU adalah kedudukan agama dalam negara atau hubungan agama dengan negara. Sebagaimana kita ketahui hubungan antar agama dan negara adalah bersifat rumit dan krusial. 

Secara teoritis terdapat empat kemungkinan hubungan antara negara dan agama: 

  1. Negara memperalat agama demi kepentingan politik; misalnya Kekaisaran Romawi Kuno, pemerintah Tsar Rusia sampai 1917. 
  2. Agama menguasai masyarakat politis. Dengan demikian pemerintah dianggap dilakukan menurut kehendak Ilahi seperti diwahyukan menurut kepercayaan agama tertentu. Pola pemerintah yang disebut teokrasi itu dapat dilaksanakan dengan cara yang berbeda-beda: (1) lewat seorang raja keturunan 'Ilahi' atau penjelmaan suatu dewa (kerajaan-kerajaan kuno di Timur Tengah, Dewa-Raj dalam Kerajaan Majapahit dan Kediri, Tenno Heika di Jepang) atau (2) lewat kaum imam, ayatulah, brahma, biksu atau pelaksana-pelaksana kultus lainnya (misalnya kaum Sadusi di Israel pada jaman Jesus, Lamaisme di Tibet, Iran di bawah Khomeini), bentak itu disebut hierokrasi, atau (3) lewat syariat agama tertentu yang ditafsirkan oleh ahli-ahli hukum -suci (Turki sampai 1922, Saudi Arabia) pola itulah yang disebut nomokrasi... Bentuk sekularistis dari 'teokratis' adalah ideokratis: suatu ideologi merupakan norma tertinggi dan mutlak bagi segala urusan politik dan sosial (misalnya Marxisme dalam negara komunis). 
  3. Agama dan Negara dipisahkan. Itu dapat dilakukan secara radikal dan dalam semangat anti-agama, sehingga merugikan agama, misalnya di Perancis pada tahun 1905 dan sekarang ini di negara-negara komunis ... Akan tetapi ada juga pemisahan atau lebih tepat pembedaan antara negara dan agama, yang menguntungkan kedua belah pihak. Sebab kedua-duanya saling menghargai wewenang dan bidang masing-masing, misalnya di Amerika Serikat. 
  4. Pola pembedaan dan kerjasama di antara negara dan agama (—agama) tanpa mencampuradukkan kedua itu; misalnya seperti dicita-citakan dalam Negara Pancasila yang murni di Indonesia.(58) 

Negara Pancasila sering disifatkan sebagai jalan tengah di antara negara agama dan negara sekuler. Negara membantu mengembangkan kehidupan beragama tetapi tidak mencampuri kehidupan intern umat beragama. Presiden Suharto menjelaskan: 

Sebagai Negara Pancasila kita tidak menganut faham sekuler, sehingga Negara dan Pemerintah sama sekali bersikap tidak memperdulikan peri kehidupan beragama kita. Karena itu Pemerintah tidak menempatkan usaha dan kegiatan pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama sebagai masalah masyarakat dan umat beragama semata-mata. Di lain pihak, negara kita juga bukan negara agama dalam arti didasarkan atas salah satu agama. Dalam hubungan ini, maka negara tidak mengatur dan tidak ingin mencampuri urusan syariah dan ibadah-ibadah agama yang umumnya terbentuk dalam aliran agama masing-masing.(59) 

Prinsip Ketuhanan yang merupakan pokok perdebatan sengit di antara kalangan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler sejak sebelum kemerdekaan diselesaikan secara tuntas oleh NU dengan menyatakan bahwa sila itu mencerminkan tauhid Islam. Mencerminkan berarti membayangkan atau menggambarkan sesuatu perasaan, keadaan, batin, dan sebagainya.(60) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dinilai sudah membayangkan atau menggambarkan apa yang diinginkan oleh tauhid Islam. K.H. Ahmad Siddiq yang sejak Muktamar 1984 terpilih sebagai Rois Am, orang yang boleh dikatakan konseptor utama keputusan Munas 1983 dan Muktamar 1984, dalam makalahnya yang disampaikan pada Muktamar mengatakan: 

a) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan pandangan Islam akan keesaan Allah, yang dikenal pula dengan sebutan Tauhid;  
b) Adanya pencantuman anak kalimat "Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa" pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa.(61) 

Pengertian mencerminkan tampaknya sudah dipilih secara matang. Tidak ada disebutkan bahwa itu sesuai dengan ajaran tauhid Islam. Bukankah mempersamakan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan tauhid dibantah oleh kalangan nasionalis sekuler dan kalangan lainnya yang non-Islam?(62) Juga tidak dikatakan bahwa itu tak ada kaitan dengan tauhid Islam. 

Al-Ghazali dalam sebuah tulisannya (Essai Mengenai Jerusalem) yang melukiskan perjalanannya berkelana sebagai seorang sufi yang mencari kebenaran, tulisan yang ditujukan kepada kaum awam berkata tentang asal mula kepercayaan: 

Kepercayaan kepada Allah lahir di dalam diri setiap manusia karena fitrahnya (sifat yang ditanamkan Allah ke dalam diri manusia sewaktu menciptakannya), dan tak seorang pun dapat menghindari dorongan fitrahnya untuk mencari pengetahuan mengenai Allah ... lagi pula, di dalam Al-Qur'an kita jumpai banyak sekali "pertanda-pertanda" yang dapat berperan sebagai dasar kepercayaan kepada Allah ... yang mudah dipahami ... untuk membuatnya percaya kepada Pencipta Yang Tunggal yang memerintah dan mengendalikan alam semesta.(63) 

Selanjutnya, al-Ghazali mengenal tingkatan pemahaman akan keesaan Allah sehubungan dengan perkembangan diri agar sampai kepada pengenalan yang penuh —menurut kacamata sufisme— tetapi sepanjang untuk orang-orang awam al-Ghazali cukup puas dengan pemahaman yang sederhana. 

Sejauh kepentingan orang-orang awam, Al-Ghazali merasa cukup puas bahwa usaha mereka untuk mencari Allah cukup dijamin oleh dorongan alamiah dari fitrah masing-masing dan petunjuk-petunjuk (syawahid) yang banyak serta beraneka ragam yang dapat kita jumpai di dalam Al-Qur'an ..(64) 

Ditinjau dari pandangan al-Ghazali ini ditegaskan bahwa kendatipun Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dikatakan identik dengan Tauhid bukan berarti dapat dilepaskan dari penilaian Islam Secara universal karya Allah seluas ciptaan dan dapat dikenal melalui ciptaanNya oleh sebab itu Islam hanya perlu mengembangkan fithrah manusia itu. Karena itu Islam tidak akan menerima suatu negara sekuler sebab hal itu melepaskan sesuatu bidang dari keagamaan. Sebab Islam tidak mengenal pemisahan agama dari politik. Bagi NU yang penting ia dapat menegakkan nilai-nilai keagamaan (Islam) di segala bidang atau wilayah kehidupan. Dengan kata lain Islam dapat menjalankan fungsinya terhadap masyarakat. Fungsi itu, menurut Wahid ketika ia berbicara tentang kebudayaan adalah fungsi inspiratif, yaitu dapat "memberikan kekuatan pendorong"; dan fungsi normatif, yaitu dapat "mengatur dan mengarahkan" kehidupan masyarakat"(65). Peluang untuk itu sudah terbuka secara potential dalam Negara Pancasila, karena dalam negara ini NU menilai negara Indonesia terjamin wawasan keagamaannya! Ketuhanan Yang Maha Esa sekarang menjadi suatu fithrah bangsa Indonesia untuk dikembangkan lebih lanjut sehingga tercapai tingkat pemahaman Keesaan yang sesuai dengan penilaian Islam dan pada gilirannya tercapai pula masyarakat keagamaan (Islam) yang sejahtera! 

Pada titik sebagai sumber inspiratif dan sekaligus batasan normatif dari ajaran inilah sebuah konsep menyeluruh tentang Islam sebagai Ad-Din (Agama, huruf besar untuk menunjukkan klaim kebenaran tunggal bagi dirinya...) ... Islam sebagai keimanan, hukum agama (Syari'at), dan pola pengembangan aspek-aspek kehidupan, dalam totalitasnya berfungsi sebagai jalan hidup yang akan membawakan kesejahteraan bagi umat manusia. Dalam totalitas jalan hidup itu dirumuskan arah, orientasi, wawasan dan lingkup kehidupan perorangan dan bermasyarakat manusia, dengan pola hubungan antara kaum muslimin dan yang bukan muslimin diatur didalamnya ... Dalam keadaan demikian, tidak lagi akan ada hal-hal yang tidak berwawasan keagamaan, antara wilayah agama dan wilayah-wilayah lain sudah tidak ada perbedaan lagi.(66) 

Konsep Islam sebagai sesuatu yang menyeluruh (ad-Din) adalah konsekuensi logis dari ajaran Keesaan Allah (tauhid). Ia adalah  konsep bukan ideologi baku yang tinggal diterapkan saja dalam  masyarakat, melainkan dengan menghimpun segala sesuatu agar  "berfungsi secara harmonis di bawah kekuasaan Allah Yang Maha Esa"(67) Di mata al-Ghazali segala ciptaan Allah tidak ada yang diciptakan dengan sia-sia, karena apa yang baik dan yang buruk diukur manfaatnya terhadap kehidupan.(68) Adalah menjadi tugas orang yang taat kepada Allah (islam) "menggunakan setiap karunia  (fadl) setiap hal yang rnenyejahterakan manusia sedemikian rupa,  sehingga menyempurnakan kebijaksanaan Allah di dalam eksistensi karunia tersebut".(69) 

Wawasan keagamaan yang diutamakan oleh NU diperkuat pula oleh Pembukaan UUD 1945 yang memuat anak kalimat "Atas berkat rakhmat Allah".(70) Menurut Sidjabat ketika membahas konsep Ketuhanan dalam sila Pancasila dalam rangka tuntutan kalangan nasional muslirn agar negara berdasarkan Islam, mengatakan bahwa anak kalimat "Atas berkat rakhmat Allah" digunakan untuk memperkuat tuntutan itu.(71) Bagi kalangan muslim nama itu khas nama Islam sebab tidak ada Allah lain kecuali yang dikenal oleh kaum muslimin melalui Quran ("Qur'anic Allah").(72) Kendatipun penghayatan keagamaan di kalangan Islam di Indonesia dapat saja diliputi oleh pengaruh sinkretisme den mistisme, mempercayai Allah sebagai yang Esa dan maha kuasa tetap merupakan sesuatu yang mutlak.(73 Memang, Pancasila itu sendiri bersifat filosofi, tetapi bila kita perhatikan rumusan sila pertama Pancasila dan anak kalimat "Atas berkat rakhrnat Allah" di dalam Pembukaan UUD 1945 maka negara Indonesia benar-benar mengutamakan landasan dan wawasan keagamaan bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dan wawasan keagamaan itu menurut Mukti Ali sesuai dengan watak kehidupan bangsa Indonesia. 

Dengan memperhatikan UUD 1945 dengan Pembukaannya kami berpendapat bahwa pendekatan terhadap UUD 1945 harus pendekatan agama. Ini berarti bahwa pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa adalah pengertian agama, dan bukan pengertian falsafi. Hal ini disebabkan karena yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah "Allah", dan "Allah" adalah istilah agama, bukan istilah filsafat ...  

Indonesia dengan Pancasilanya adalah bukan negara sekuler dan tidak teokrasi. Di dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Mana Esa... memberikan bimbingan kepada tindak laku bangsa Indonesia. Ya, bahkan kesanggupan Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya adalah atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Mungkin hal ini juga memang sesuai dengan watak kehidupan bangsa Indonesia ... yang hidup dan kehidupannya selalu religious ..(74) 

Watak kehidupan bangsa Indonesia yang religius yang dibakukan dalam bentuk UUD 1945 —yang sebenarnya merupakan pengejawantahan berbagai tradisi keagamaan— bila disimak lebih dalam tidak jauh berbeda dengan watak NU sebagai organisasi keagamaan yang tradisional khususnya penerimaan NU atas tradisi sufistik maka dengan mudah NU menerima Pancasila dengan mengutamakan landasan keagamaan. Dengan menerima Pancasila berdasarkan pertimbangan theologis seperti diuraikan di atas, NU telah menegaskan sikapnya bahwa watak keagamaan (bagaimanapun itu ditafsirkan) sedikit banyak telah memenuhi aspirasi Islam, yaitu segala tindak-laku di dalam masyarakat —terutama kebijakan-kebijakan politis— akan menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai tolok ukur! 

 
3. Pemahaman Sejarah  
Pertimbangan di atas dalam menerima Pancasila diperkuat oleh Muktamar dengan mengetengahkan peranan umat Islam menentang penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. 

Beberapa pokok pikiran K.H. Ahmad Siddiq menegaskan: 

  1. Perjuangan ummat Islam Indonesia untuk menolak penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah telah berlangsung sejak lama. 
  2. Ketika perjuangan merebut kemerdekaan sudah mendekati keberhasilannya, ummat Islam memberikan saham yang sangat besar dalam persiapan lahirnya negara Indonesia merdeka. Melalui para pemimpinnya, ummat Islam ikut menentukan wujud, azas dan hakum negara yang akan lahir itu. 
  3. Setelah Negara Republik Indonesia diproklamasikan, ummat Islam tanpa ragu-ragu membela dan mempertahankan kemerdekaan itu, bukan saja sebagai kewajiban nasional, melainkan juga sekaligus sebagai kewajiban agama. 
  4. Ketika revolusi fisik telah selesai, ummat Islam rnemberikan saham pula dalam pengisian kemerdekaan yang dicapai dengan penuh pengorbanan itu. Keikutsertaan ummat Islam itu terbukti dalam dua jenis kerja besar . . .  (a) ummat Islam berhasil turut menjaga keutuhan negara dari gangguan gerakan-gerakan separatis dan pemberontakan-pemberontakan bersenjata; (b) Dalam era Orde Baru, ummat Islam turut mengisi kemerdekaan dalam bentuk partisipasi penuh dalam Pembangunan Nasional yang sedang berlangsung dewasa ini.(75) 

Fakta sejarah dibentangkan di mana peranan umat Islam besar sekali, bukan untuk mengklaim status politis bagi umat Islarn, tetapi untuk menegaskan umat Islam merupakan bagian yang integral dari perjuangan bangsa. Nilai sejarah terletak dalan; pemahaman fakta-fakta yang ada. Dalam rangka nasionalisme ia dapat menjadi pedang bermata dua, ia dapat membangkitkan solidaritas dan dapat pula menimbulkan perpecahan, seperti yang terjadi di dunia Arab modern yang mayoritas Islam.(76) 

Nilai sejarah terletak pada bagimana kita menafsirkan atau memahaminya dan tak jarang penafsiran atau pemahaman itu disesuaikan dengan kebutuhan zaman.(77) Dengan diperkuat oleh dalil-dalil hukum Islam (fiqh) K.H. Ahmad Siddiq mengambil kesimpulan keagamaan: 

a) mendirikan dan membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan duniawi wajib hukumnya. 
b) kesepakatan bangsa Indonesia untuk mendirikan negara Republik Indonesia adalah sah dan mengikat semua pihak, termasuk ummat Islam; 
c) hasil kesepakatan yang sah itu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah sah dilihat dari pandangan Islam, sehingga harus dipertahankan dan dilestarikan eksistensinya; 
d) sahnya kesepakatan, hasil kesepakatan dan keterikatan semua pihak itu berkelanjutan pada hal-hal berikut: 
— kewajiban menurut wujud, azas dan hukum dasar negara sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan; 
— kewajiban menjaga dan mengamalkan azas dalam hukum dasar sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan, berarti kewajiban menjaga agar azas dan hukum dasar itu tidak disimpangkan dan diselewengkan; 
— kewajiban untuk taat kepada penguasa negara yang sah, dalam hal yang tidak mengajak kepada kekufuran! ingkar terhadap Allah! dan kemaksiatan yang nyata; 
— kewajiban beramar ma'ruf nahi munkar (melakukan apa yang diketahui baik dan menjauhi apa yang dibenci Allah) dan saling menasehati, tidak terkecuali kepada Pemerintah, menurut cara-cara yang sebaik-baiknya; 
— kewajiban untuk ikut serta secara aktif dan konstruktif dalam upaya mewujudkan tujuan didirikannya negara.(78) 

Dari pendapatat-pendapat yang dijadikan dalil untuk kesimpulan keagamaannya, dapat kita baca nama-nama yang terkenal dalam sejarah Islam seperti Abu Huraira(79), Ahmad ibn Hanbal(80), Ibn 
Khaldun(81), dan sebagainya. Terbukti bahwa kelompok tradisional seperti NU dalam menanggapi perkembangan sosial politik sanggup melakukannya tanpa kehilangan hakikatnya sebagai kelompok tradisional, kendatipun ia sering dituduh kaku dan lamban, karena justru kesetiaan kepada tradisi membuat ia sanggup merumuskan sikap-sikap keagamaan yang relevan dengan menafsirkan sumber-sumber klasik! Tepatlah apa yang dikatakan oleh Wahid dengan mengutip Hurgronje bahwa, 

Islam di Indonesia yang kelihatan statis dan tenggelam dalam kitab-kitab salaf abad pertengahan itu sebenarnya mengalami perubahan perubahan yang fundamentil; perubahan-perubahan itu demikian perlahan, rumit dan mendalam, sehingga hanya orang yang dapat mengamatinya secara hati-hati dan teliti dapat mengetahui perubahan tersebut.(82) 

Selanjutnya dia mengatakan —saya rasa tentang potensi ulama sebagai penafsir ajaran agama, 

Karena pemahaman atas isi ajaran agama dipegang oleh pemuka-pemuka agama (religious elite) yang biasanya juga menjadi kelompok pimpinan (elite class) dalam hampir semua struktur masyarakat, maka sesuai dengan dinamika yang dimiliki oleh kelompok pimpinan itu sendiri, mau tidak mau isi ajaran-ajaran agama itu akan selalu mengalami proses pembaharuan pemahamannya.(83) 

Pengakuan atas negara berdasarkan dua dalil. Pertama berasal dari sebuah hadis yang berbunyi: "Tak diperkenankan bagi tiga orang yang berada di sebuah lokasi di bumi ini kecuali menetapkan salah satu di antara mereka sebagai pemimpin".(84) Dalil ini mirip dengan asal mula negara menurut teori alamiah (naturalis); menurut Aristoteles yang pertama kali mengemukakannya bahwa negara adalah ciptaan alam karena itulah sudah kodrat manusia untuk hidup bernegara.(85) "Negara adalah organisasi yang rasional dan ethis  yang memungkinkan manusia mencapai tujuannya dalam hidupnya, untuk mencapai yang baik dan adil".(86) Tampaknya teori Aristoteles ini juga mempengaruhi al-Ghazali ketika ia berbicara tentang masyarakat, 

... Allah telah pula menciptakan ke dalam diri manusia hasrat yang tak dapat dihindarinya untuk berhubungan dengan manusia-manusia lain. Dengan perkataan lain, dalam menentukan sifat manusia seperti telah dilakukan-Nya itu, Allah telah membuat masyarakat sebagai sebuah keharusan.(87) 

Yang penting di sini bukanlah kodrat manusia melainkan adalah penegasan bahwa adanya negara sesuai dengan kehendak Allah atas manusia ciptaanNya. Karena seperti yang ditegaskan oleh Rahman Zainuddin dengan mengutip Ibn Khaldun bahwa timbulnya kepemimpinan dalam masyarakat menurut Islam berkait erat dengan kelanjutan kehidupan manusia.(88) "Dalam pandangan Islam, perincian-perincian tentang bagaimana penunjukan penguasa dan bentuk-bentuk pelaksanaan kekuasaan seluruhnya terserah kepada manusia itu sendiri".(89) Yang kedua, adanya negara dilihat oleh NU  dalam rangka "upaya mendatangkan kemaslahatan (kesejahteraan ) dan menjauhkan kerugian/kerusakan, dan ini wajib menurut kesepakatan umat".(90) Dengan kata lain negara diperlukan untuk peningkatan kehidupan manusia yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Sepanjang nilai-nilai keagamaan mendapat perhatian negara maka upaya peningkatan kehidupan itu "sah dan mengikat semua pihak, termasuk umat Islam". Konsepsi Islam yang universalistik dikembangkan sehingga NU mempunyai landasan yang sah untuk mengintegrasikan diri dengan perkembangan dan sekaligus menyingkirkan sikap yang ingin mendominasi perkembangan! Secara asasi dan asali berdirinya negara sudah mencerminkan manifestasi aspirasi Islam; kendati negara itu sendiri tidak berdasarkan Islam tetapi ia mempunyai "kewajiban untuk ikut serta secara aktif dan konstruktif dalam upaya mewujudkan tujuan didirikannya negara." Watak NU yang tradisional dalam arti mempunyai sumber dalam tradisi, membuat NU mampu memilih apa yang terbaik tetapi sah untuk kelangsungan dan perkembangan Islam dalam situasi yang baru! 

Pemahaman sejarah, peran serta umat Islam dalam kehidupan bangsa, dan wawasan keagamaan yang dianut oleh negara, yang dinilai sah menurut Islam, maka K.H. Ahmad Siddiq menyimpulkan sikap NU, 

Dengan demikian, Republik Indonesia adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum Muslimin untuk mendirikan negara di wilayah Nusantara.(91) 

Negara Indonesia yang berdirinya diakui sah menurut Islam sekarang menjadi ruang lingkup umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya! 

Penerimaan NU atas Pancasila ditegaskan di dalam Anggaran Dasar. NU menerima dengan "panjang-lebar"; ia menerima dengan sikap positif—menerima dalam rangka perjuangan bangsa dan negara mencapai masyarakat adil dan makmur. Penerirnaan atas Pancasila sudah dimuat di dalam Muqaddimah (Pembukaan) Anggaran Dasar, 

Bahwa kemaslahatan dan kesejahteraan warga NAHDLATUL ULAMA adalah bagian mutlak dari kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia, maka dalam perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur yang menjadi cita-cita seluruh masyarakat Indonesia, dengan rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, organisasi NAHDLATUL ULAMA berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.  

Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bagi ummat Islam merupakan kepercayaan terhadap Allah SWT sebagai inti aqidah Islam yang meyakini tidak ada Tuhan selain Allah SWT.(92) 

Pada pasal 2 Anggaran Dasar dicantumkan asas Pancasila dan Islam tidak lagi disebut asas tetapi sebagai aqidah. Dalam pasal 3 disebutkan: 

Nahdlatul Ulama sebagai Jam'iyah Diniyah beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama'ah dan mengikuti salah satu madzhab  Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali.(93) 

Ketika NU menjadi partai politik Islam disebutkan sebagai asas partai dan aqidah belum disebutkan entah sebagai apa.(94) Demikian Juga Muktamar XXVI 1979 di Semarang juga tidak ada menyebutkan aqidah dan Islam masih disebutkan sebagai asas.(95) Mengapa sekarang menyebutkan Pancasila sebagai asas dan Islam sebagai aqidah

Tentang perubahan itu, Sa'dullah Assaidi menjelaskan: 

.. masalah yang dihadapi bangsa, termasuk ulama NU, sesuai dengan konstelasi politik adalah Pancasila sebagai satu-satunya asas. Hal ini bagi Nahdlatul Ulama merupakan waqi'ah (peristiwa aktual), yang tidak di-hadapi secara kaku namun dihadapi dengan teori keagamaan.(96) 

Dengan meneliti beberapa ayat-ayat Qur'an terdapat tiga lafal yang berasal dari "asas" (Sura 9:108 dan 109) yang berkaitan dengan asas pendirian mesjid sehingga disimpulkan bahwa mencantumkan asas bukanlah mutlak; yang mutlak adalah taqwa (ketaatan kepada Tuhan). Taqwa itulah yang ingin ditegaskan oleh NU dengan mencantumkan aqidah dan aqidah itu dijalankan menurut paham  ahlusunnah wal jamaah

Dalam Islam, aqidah ialah iman atau kepercayaan. Sumbernya yang pasti ialah Qur'an. Iman . . . yang dituntut pertama-tama dan terdahulu dari segala sesuatu . . .  

Aqidah adalah masalah fundamentil dalam Islam, ia menjadi titik tolak permulaan untuk menjadi Muslim. Sebaliknya, tegaknya aktivitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang menerangkan bahwa orang itu memiliki aqidah...(98) 

Saya rasa yang penting bukanlah mempertanyakan mana yang lebih tinggi asas atau aqidah, karena di dalam Anggaran Dasar 1926 tidak ada disebutkan asas maupun aqidah. Yang dicantumkan adalah ciri khas NU sebagai penganut mazhab dalam memberlakukan Islam. Yang penting bagi NU adalah pembedaan (bukan pemisahan!); asas berarti pengakuan atau dukungan terhadap negara di mana ia hidup dan bergerak dan negara itu diakui sah secara Islam, sedangkan aqidah menyatakan dengan tegas ciri-ciri keislaman yang dianutnya yaitu ahlusunnah wal jamaah. Perubahan Anggaran Dasar —merupakan penjabaran langsung dan tegas dari perkembangan pemikiran keagamaan di dalam NU; kalau negara adalah "upaya final" seluruh bangsa khususnya umat Islam dan kalau wawasan keagamaan negara sudah diakui sah, maka pencantuman Pancasila sebagai asas merupakan suatu konsekuensi logis. Karena persoalan Pancasila sudah tuntas maka yang tinggal sekarang bagi NU adalah bagaimana memberlakukan Islam menurut aqidah (keyakinan) ahlusunnah wal jamaah di bumi negara Pancasila. 

____________________
32. Karim, Dinamika, hlm. 90.  
33. Lihat, Ibid., hlm. 90-91. 
34. Lihat, Lukman Harun, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, (Jakarta Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 33-69.  
35. Muktamar Situbondo, hlm. 101.  
36. Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, terjemahan dari The Concept of Man in Islam in the Writings of Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 3-4, Arief Mudatsir menjuluki manusia menurut al-Ghazali adalah Makhluk pencari kebenaran. Lihat, Arief Mudatsir, ''Makhluk Pencari Kebenaran: Pandangan al-Ghazali tentang Manusia", dalam Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam, ed., M. Dawam Raharjo, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 69-88. Pada bulan Januari 1985 (sebulan sesudah Muktamar NU) sebuah Simposium tentang Al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKSPTIS) se-Indonesia. Dalam simposium itu dipuji peranan al-Ghazali yang telah berjasa menciptakan ekuilibrium keagaamaan Muslim, Lihat, Kompas, 28 Januari 1985.  
37. Ibid. hlm. 4; ". . . Sebab itulah Islam sesuai dengan fitrah Manusia. . . Di sinilah rahasianya mengapa agama Islam merupakan agama yang mudah diterima oleh manusia, dan akan tetap mudah diterima sepanjang masa. . ." Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1972), hlm. 81.  
38. Ibid., hlm. 7-8.  
39. Ibid., hlm. 9.  
40. Ibid., hlm. 8. Bandingkan, F. Schuon, Memahami Islam, terjemahan dari 'Understandmg Islam., (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 9-10.  
41. Ibid., hlm. 10; Bandingkan, Fazlur Rahman Tema Pokok Al-Qur'an, ter]ernahan dari  'Major Themes of The Qur'an, (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 32. 
42. Ibid., hlm. 11.  
43. Aslinya dalam bahasa Inggris, "Islam is indeed rnuch more than a system of theology, it is a complete civilization." Dikutip di dalam, M. Dawam Raharjo, Persepsi Gerakan Islam Terhadap Kebudayaan, dalam, Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan, ed., Alfian, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm 22. Tetapi definisi ini kemudian ditolak oleh Endang Saifuddin Anshari dan Fisal Ismail; bagi mereka Islam bukanlah complete civilization dan bukan pula suatu sistem teologi, karena keduanya adalah ciptaan manusia, sedangkan agama Islam menurut mereka berdua adalah wahyu Allah, Lihat, Ibid., hlm. 23.  
44. Abdurahman Wahid, "Beberapa Aspek Teoritis dari Pemikiran Politik dan Negara Islam", dalam, Peranan Agama agama Dan Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila Yang Sedang Membangun, ed., J. Garang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hlm. 42.  
45. Ibid., hlm. 42-43. Cetak tebal dari saya.  
46. Othman, op. cit., hlm. 244. 
47. Ibid., hlm. 246.  
48. Ibid., hlm. 254.  
49. Ibid., hlm. 260.  
50. Ibid,, hlm. 249, 254; Bandingkan, hlm. 120.  
51. Ibid., hlm. 259, 263, 265, 278, dan lain-lain.  
52. Supra, hlm. 166-167.  
53. Misalnya lihat "Sambutan Presiden Pada Pembukaan Rapat Kerja Departemen Agama Tanggal 24 April 1978 di Istana Negara", dalam, Agama dalam Pembangunan Nasional, himpunan sambutan Presiden Soeharto, ed., Djohan Effendi, et. al., (Jakarta: Pustaka Biru, 1981), hlm. 59-62; lihat juga, hlm. 50-53, dan lain-lainnya. Untuk memahami lebih jauh tentang Pancasila dalam pemikiran Suharto, lihat, Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, (Jakarta: CSIS, 1976) 
54. Karim, Dinamika, hlm. 213.  
55. Othman, op. cit., hlm. 252.  
56. Lihat, Muktamar Situbondo, hlm. 84.  
57. Undang-Undang Dasar, hlm. 7.  
58. Ensiklopedi Politik, jilid 1, hlm. 47-49 di bawah "Agama dan Negara".  
59. Dikutip dalam, Ibid., hlm. 44. Cetak tebal dari saya.  
60. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 202.  
61. Muktamar Situbondo, hlm. 84.  
62. Supra, hlm. 99-100.  
63, Othman, op. cit., hlm. 185-186.  
64. Ibid., hlm. 187.  
65. Abdurrahman Wahid, Persepsi Gerakan Islam Tentang Kebudayaan: Sebuah Tinjauan Dini Tentang Perkembangannya di Indonesia, dalam, Alfian, ed., op. cit., hlm. 62  
66. Ibid., hlm. 62-63.  
67. Othman, op. cit., hlm. 191.  
68. Lihat catatan kaki no. 49.  
69. Othman, op. cit., hlm. 263.  
70. Bandingkan, Supra, hlm. 103.  
71. Sidjabat, op. cit., hlm. 54.  
72. Ibid.,  
73. Ibid.,  
74. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, kumpulan ceramah dan tulisan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hlm. 219-220.  
75. Muktamar Situbondo, hlm. 83-84.  
76. Lihat, Hazem Zaki Nuseibeh, Gagasan-gagasan Nasiosalisme Arab, terjemahan dari The Ideas of Arab Nationalism, (Jakarta: Bhratara, 1969), hlm. 70-76.  
77. William H. Frederick dan Soeri Soeroto, ed., Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: LP3ES, 1982, hlm. 2-4).  
78. Muktamar Situbondo, hlm. 85-86. Cetak tebal dari saya.  
79. Abu Huraira adalah seorang sahabat dekat nabi Muhammad dan banyak  
mencatat tradisi (hadis). Lihat, Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiography, semula tesis Ph. D pada University of New Delhi, (New Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delhi, 1979), hlm. 179. 
80. Ahmad bin Hanbal adalah pendiri mazhab Hambali, Lihat, Abu Zaid, op.cit., hlm. 36-44. 
81.  Ibn Khaldun yang nama lengkapnya Abdu-ar-Rahman ibn Muhammad Khaldun adalah seorang ahli sejarah dan sosiologi Islam abad pertengahan (1332-1406). Lihat catatan tentang dirinya dalam Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah: Pilihan dariMuqaddimah Karangan Ibn Chaldun dari Tunis (1332-1406), Jakarta: Tintamas, 1962), hlm. xxiv-xxvi. 
82. Wahid, op. cit., hlm. 59. Cetak tebal dari saya.  
83. Ibid.,  
84. Muktamar Situbondo, hlm. 93.  
85. Lihat. F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Tanpa nama kota: Binacipta, 1980, hlm. 158-159. 
86. Ibid., hlm. 159. 
87. Othman, op. cit., hlm. 248. Cetak tebal dari saya. 
88. A. Rahman Zainuddin, "Pokok-pokok pemikiran Islam dan Masalah Kekuasaan Politik", dalam, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, ed., Miriam Budiario, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 191. 
90. Muktamar Situbondo, hlm. 94. 
91. Ibid., hlm. 86. 
92. Ibid., hlm. 152. Huruf besar sesuai dengan aslinya, sedangkan cetak tebal dari saya. 
93. Ibid., hlm. 153. 
94. Lihat, Machfoedz, op. cit., hlm. 118. 
95. Lihat, Sa'dullah Assaidi, "Catatan dari Muktamar NU ke 27 di Situbondo, Kompas, 4 Januari 1985. 
96. Ibid. 
87. Ibid 
98. Razak, op. cit., hlm. 122-124. Cetak tebal dari saya.

Ditulis ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989


Tidak ada komentar:

Posting Komentar