Bab V
Nahdlatul Ulama Menerima Asas Pancasila
(Lanjutan)
B. Dasar-dasar Pemikiran Nahdlatul
Ulama Menerima Pancasila
Penerimaan NU atas Pancasila
benar-benar dipikirkan oleh NU secara matang dan mendalam. NU adalah organisasi
kemasyarakatan yang pertama menuntaskan penerimaannya atas Pancasila.(32)
Kendati demikian hal itu bukanlah
alasan untak menuduh bahwa penerirnaan itu karena ia bersikap akomodatif, dan
juga tidak benar bahwa kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan atau
meninggalkan politik praktis sebagai sikap yang emosional.(33) NU bukan hanya
pertama menerima tetapi juga yang paling mudah menerima Pancasila. Muhammadiyah
menerima Pancasila setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Kemasyarakatan.(34)
1. Konsep Fitrah
Penerimaan NU benar-benar telah
dipikirkan dari sudut pertimbangan keagamaan. Dalarn muktamar itu NU memahami
ulang dasar-dasar keagamaannya dan dari sana merumuskan sikapnya terhadap
perkembangan yang sedang dihadapinya. Dasar-dasar keagamaan paham ahlusunnah
wal jama'ah dijabarkan sebagai berikut:
Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian,
bahwa Islam adalah agama yang fithri, yang bersifat menyempurnakan segala
kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh
Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada
dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun
bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.(35)
Fithri atau fithrah (sifat asal,
keadaan murni) adalah konsep yang sangat penting dalam Islam. Fithrah adalah
dorongan yang sudah tertanam di dalam diri manusia untuk menemakan Tuhan,
demikian Ali Issa Othman mengawali bukunya tentang Manusia Menurut
Al-Ghazali.(36) Dorongan hati (fithrah) itulah yang menyebabkan manusia
menyerahkan diri (islam ) kepada Allah;
Inilah Islam pada hakekatnya:
menyerahkan diri (self-commitment) sebagai responsi terhadap gerak hati yang
tertanam di dalam fitrah manusia— suatu kedamaian batin yang tidak dapat
diperoleh tanpa menemukan Allah dan menyembah Dia.(37)
Dalam Quran seluruh alam dan manusia
pada dasarnya tunduk (islam) kepada Allah (lihat Sura 22:18; 16:49,50; 13:15;
3:83; dan lain-lain).(38) Bila dianalisis lebih lanjut, maka pengertian islam
menurut Quran mencakup hal-hal sebagai berikut, sebagaimana dirumuskan oleh
Othman,
Pertama : islam dari
kosmos;
Kedua : islam dari segala yang bernyawa (dawab) dan tidak
bernyawa;
Ketiga : islam dari semua manusia, baik sukarela atau terpaksa;
Keempat: islam dari mereka yang mengikatkan diri kepada Allah secara sukarela;
Kelima : islam dari mereka yang mengikuti agama dari Allah -Islam-diturunkan melalui Muhammad, dengan didahului oleh nabi-nabi lainnya.(39)
Kedua : islam dari segala yang bernyawa (dawab) dan tidak
bernyawa;
Ketiga : islam dari semua manusia, baik sukarela atau terpaksa;
Keempat: islam dari mereka yang mengikatkan diri kepada Allah secara sukarela;
Kelima : islam dari mereka yang mengikuti agama dari Allah -Islam-diturunkan melalui Muhammad, dengan didahului oleh nabi-nabi lainnya.(39)
Dengan kata lain segala sesuatu adalah islam
secara rela atau terpaksa dan hal itu adalah konsekuensinya, segala sesuatu
adalah ciptaanNya sebab tidak ada di dalam alam yang di luar jangkauan
Secara singkat islam tidak
terbatas pada manusia saja, islam mencaku seluruh unsur yang ada, islam
dari segala "sesuatu" dapat secara sukarela atau terpaksa. Tetapi
di dalam kedua-duanya ia tetap merupakan muslim, karena jika
tidak demikian ia harus berada di luar hal-hal yang ada dan bebas dari segala hukukmnya.(40)
Menurut al-Ghazali, dalam upaya manusia
mencapai kebahagiaan ia selalu terancam olein "kecintaan terhadap
nafsu" yang dapat menghalanginya mengikuti fithrah.(41) Berdasarkan hal
itu al-Ghazali melihat "ada tingkatan-tingkatan dalam islam, yang sesuai
dengan tingkat pengetahuan yang dimilikinya".(42)
Sikap keagamaan NU seperti yang
dirumuskan di atas dapat dipahami melalui pola pemikiran al-Ghazali ini. NU
tidak bersikap antitesis terhadap suatu nilai masyarakat. Sepanjang suatu nilai
atau sistem di dalam masyarakat tidak bertentangan dengan keyakinan Islam, maka
ia mempunyai potensi untuk diarahkan atau dikembangkan agar selaras dengan
tujuan-tujuan di dalam Islam. Dalam pengertian itulah ia bersikap
"menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia".
Sikap ini berbeda dengan sikap kaum pembaharuan, seperti yang sering
dilontarkan oleh Natsir bahwa —dengan mengutip H.A.R. Gibb— "Islam itu
sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia adalah satu kebudayaan yang
lengkap".(43)
Sikap seperti yang dilontarkan Natsir
ini cenderung membawa Islam ke dalam sikap antitesis; Islam sebagai suatu
totalitas yang lengkap akan dihadapkan dengan sistem lain yang dengan mudah
akan dicap tidak islami dan pada giliranya akan menimbulkan pertentangan dengan
nilai-nilai yang sudah ada. Ketika membicarakan pemikiran teoritis Islam, Wahid
membantah bahwa Islam mempunyai konsep baku tentang negara.(44) Pemikiran yang
demikian kata Wahid dianut oleh pemikiran idealistik. Bertentangan dengan itu ia
mengajukan pemikiran realistik,
Jenis pemikiran realistik tidak begitu
tergoda oleh bangunan utopis dari sebuah negara ideal menurut wawasan Islam,
melainkan lebih tertarik pada pemecahan masalah bagaimana perkembangan historis
dapat ditampung dalam pandangan Islam tentang negara. Tidak adanya bentuk baku
sebuah negara dan proses pemindahan kekuasaan... membuat perubahan historis
atas bangunan negara yang ada menjadi tidak terelakkan atau tercegah lagi.
Dengan kata lain, kesepakatan akan bentuk negara... dilandaskan... pada
kebutuhan masyarakat pada suatu waktu. Inilah yang membuat mengapa hanya
sedikit sekali Islam berbicara tentang bentuk negara...(45)
Berbicara tentang sesuatu masyarakat
dari sudut pandangan Islam, al-Ghazali berjasa besar menyumbangkan
pemikiran yang realistik. Timbulnya masyarakat hampir merupakan semacam
keharusan karena manusia itu dalam hidupnya berusaha mengisi kebutuhan dan
kenikmatan; usaha-usaha mengisi kebutuhan dan kenikmatan itu yang disebut oleh
al-Ghazali sebagai dunya. Selengkapnya, dunya itu berarti,
- hal-hal konkret
yang tertentu;
- kenikmatan yang
diperoleh manusia dari hal-hal konkret tersebut, dan
- pengolahan-pengolahan
yang dilakukan manusia terhadap hal-hal konkret tersebut untuk
dinikmatinya.(46)
Dunya adalah salah satu aspek dari aktivitas
manusia. Aspek lainnya yang tidak dapat dipisahkan dari dunya adalah
aktivitas keagamaan (din)(47). Masyarakat berkembang dalam kompleksitas
kebutuhan, ambisi, fungsi, tujuan, dan sebagainya. Kendatipun aktivitas manusia
dapat diselewengkan oleh berbagai nafsu dan ambisi, ia tetap diperlukan demi
kelestarian sesuatu masyarakat. "Adanya setiap sesuatu itu mempunyai
maksud tertentu. Jadi dari sudut pandangan ini tak ada sesuatu pun yang
buruk".(48) Baik buruknya sesuatu di dalam masyarakat "tergantung
kepada pengaruhnya terhadap kehidupan manusia".(49) Yang penting bagi
al-Ghazali mengenai aktivitas untuk mencapai kebahagiaan tertinggi atau
pemenuhan diri (Sa' adah)(50). Di sinilah masyarakat memerlukan
petunjuk, ajaran dan rahmat Allah.
Dilihat dari sudut pandangan al-Ghazali
itu maka titik berangkat menilai masyarakat bukanlah sejumlah doktrin yang
dikembangkan secara subyektif, melainkan perkembangan masyarakat dari sudut
potensi yang terdapat dalam diri manusia sebagai ciptaan Allah (fithrah).
Titik berangkat dari fithrah membuat NU bersikap inklusivistis karena mengakui
"nilai-nilai yang baik yang sudah ada" dan akan bersikap
positif-kritis karena bertujuan "menyempurnakan" nilai-nilai itu.
Dengan meminjam istilah Wahid NU akan menjadikan nilai-nilai yang sudah ada
sebagai "persambungan vertikal"(52), untuk mengantarkan masyarakat
berjalan sesuai dengan tujuan Islam.
Dalam Deklarasi tentang Hubungan
Pancasila dengan Islam seperti yang saya kutip di atas, dalam bagian pertama
ditegaskan bahwa Pancasila bukan agama dan tidak dapat menggantikan
agama. Pernyataan yang demikian sudah sering diucapkan oleh presiden Suharto
setelah P4 menjadi keputusan MPR tahun 1978.(53) Pancasila dipandang sebagai
suatu produk masyarakat yang diperlukan untuk kelestarian itu sendiri. Ia tidak
lagi dicurigai sebagai saingan agama seperti sikap NU ketika asyik menggumuli
politik praktis. Ketika NU mulai mengambil sikap untuk kembali menjadi
organisasi keagamaan maka ia dapat menilai secara lebih realistik. Pancasila
dinilai sebagai falsafah bangsa sedangkan agama adalah wahyu. "Pada
dasarnya, sila-sila dalam Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, kecuali
jika diisi dengan tafsiran atau perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Islam".(54)
Sering dikatakan bahwa Islam tidak dapat memisahkan agama dan politik. Itu
memang benar dan NU tidak memisahkan agama dan politik atau agama dengan
masyarakat, tetapi ia membedakan mana bidang yang berguna ditanggapi dan mana
yang tidak berguna; dan mana yang harus diterima dan mana yang harus ditolak
demi tujuan keagamaan. Tepat seperti yang dikatakan oleh al-Ghazali:
Mencari kebenaran meminta sang
pencarinya untuk membedakan antara hal-hal dan tujuan yang penting dan perlu
yang ada dalam masyarakat dengan hal-hal dan tujuan-tujuan yang tidak penting
dan tidak perlu.(55)
Dalam deklarasi termaktub penerimaan
atas Pancasila diputuskan sebagai dasar dan jalan bagi NU untuk menjalankan
syariat (hukum agama) Islam;
Penerimaan dan pengamalan Pancasila
merupakan perwujudan dari upaya ummat Islam Indonesia untuk menjalankan
syari'atnya.
2. Konsep Ketuhanan
NU menilai rumusan Ketuhanan Yang
Maha Esa menurut pasal 29 (ayat 1) UUD 1945 —yang menjiwai sila-sila
lainnya mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan Islam(56). Pasal 29 UUD
1945 itu berbunyi:
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esas.(57)
Di sini yang dinilai oleh NU adalah
kedudukan agama dalam negara atau hubungan agama dengan negara. Sebagaimana
kita ketahui hubungan antar agama dan negara adalah bersifat rumit dan
krusial.
Secara teoritis terdapat empat
kemungkinan hubungan antara negara dan agama:
- Negara
memperalat agama demi kepentingan politik; misalnya
Kekaisaran Romawi Kuno, pemerintah Tsar Rusia sampai 1917.
- Agama menguasai
masyarakat politis. Dengan demikian pemerintah
dianggap dilakukan menurut kehendak Ilahi seperti diwahyukan menurut
kepercayaan agama tertentu. Pola pemerintah yang disebut teokrasi itu
dapat dilaksanakan dengan cara yang berbeda-beda: (1) lewat seorang raja
keturunan 'Ilahi' atau penjelmaan suatu dewa (kerajaan-kerajaan kuno di
Timur Tengah, Dewa-Raj dalam Kerajaan Majapahit dan Kediri, Tenno Heika di
Jepang) atau (2) lewat kaum imam, ayatulah, brahma, biksu atau
pelaksana-pelaksana kultus lainnya (misalnya kaum Sadusi di Israel pada
jaman Jesus, Lamaisme di Tibet, Iran di bawah Khomeini), bentak itu
disebut hierokrasi, atau (3) lewat syariat agama tertentu yang ditafsirkan
oleh ahli-ahli hukum -suci (Turki sampai 1922, Saudi Arabia) pola itulah
yang disebut nomokrasi... Bentuk sekularistis dari 'teokratis' adalah
ideokratis: suatu ideologi merupakan norma tertinggi dan mutlak bagi
segala urusan politik dan sosial (misalnya Marxisme dalam negara
komunis).
- Agama dan Negara
dipisahkan. Itu dapat dilakukan secara radikal dan dalam semangat
anti-agama, sehingga merugikan agama, misalnya di Perancis pada tahun 1905
dan sekarang ini di negara-negara komunis ... Akan tetapi ada juga
pemisahan atau lebih tepat pembedaan antara negara dan agama, yang menguntungkan
kedua belah pihak. Sebab kedua-duanya saling menghargai wewenang dan
bidang masing-masing, misalnya di Amerika Serikat.
- Pola pembedaan
dan kerjasama di antara negara dan agama (—agama) tanpa mencampuradukkan
kedua itu; misalnya seperti dicita-citakan dalam Negara Pancasila yang
murni di Indonesia.(58)
Negara Pancasila sering disifatkan sebagai jalan tengah di
antara negara agama dan negara sekuler. Negara membantu mengembangkan kehidupan
beragama tetapi tidak mencampuri kehidupan intern umat beragama. Presiden
Suharto menjelaskan:
Sebagai Negara Pancasila kita tidak
menganut faham sekuler, sehingga Negara dan Pemerintah sama sekali bersikap
tidak memperdulikan peri kehidupan beragama kita. Karena itu Pemerintah tidak
menempatkan usaha dan kegiatan pembinaan dan pengembangan kehidupan beragama
sebagai masalah masyarakat dan umat beragama semata-mata. Di lain pihak, negara
kita juga bukan negara agama dalam arti didasarkan atas salah satu agama. Dalam
hubungan ini, maka negara tidak mengatur dan tidak ingin mencampuri urusan
syariah dan ibadah-ibadah agama yang umumnya terbentuk dalam aliran agama
masing-masing.(59)
Prinsip Ketuhanan yang merupakan pokok
perdebatan sengit di antara kalangan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler
sejak sebelum kemerdekaan diselesaikan secara tuntas oleh NU dengan menyatakan
bahwa sila itu mencerminkan tauhid Islam. Mencerminkan berarti membayangkan
atau menggambarkan sesuatu perasaan, keadaan, batin, dan sebagainya.(60) Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dinilai sudah membayangkan atau menggambarkan apa yang
diinginkan oleh tauhid Islam. K.H. Ahmad Siddiq yang sejak Muktamar 1984
terpilih sebagai Rois Am, orang yang boleh dikatakan konseptor utama
keputusan Munas 1983 dan Muktamar 1984, dalam makalahnya yang disampaikan pada
Muktamar mengatakan:
a) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
mencerminkan pandangan Islam akan keesaan Allah, yang dikenal pula dengan
sebutan Tauhid;
b) Adanya pencantuman anak kalimat "Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa" pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa.(61)
b) Adanya pencantuman anak kalimat "Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa" pada Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menunjukkan kuatnya wawasan keagamaan dalam kehidupan bernegara kita sebagai bangsa.(61)
Pengertian mencerminkan tampaknya
sudah dipilih secara matang. Tidak ada disebutkan bahwa itu sesuai dengan
ajaran tauhid Islam. Bukankah mempersamakan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan
tauhid dibantah oleh kalangan nasionalis sekuler dan kalangan lainnya yang
non-Islam?(62) Juga tidak dikatakan bahwa itu tak ada kaitan dengan tauhid
Islam.
Al-Ghazali dalam sebuah tulisannya (Essai
Mengenai Jerusalem) yang melukiskan perjalanannya berkelana sebagai seorang
sufi yang mencari kebenaran, tulisan yang ditujukan kepada kaum awam berkata
tentang asal mula kepercayaan:
Kepercayaan kepada Allah lahir di dalam
diri setiap manusia karena fitrahnya (sifat yang ditanamkan Allah ke dalam diri
manusia sewaktu menciptakannya), dan tak seorang pun dapat menghindari dorongan
fitrahnya untuk mencari pengetahuan mengenai Allah ... lagi pula, di dalam
Al-Qur'an kita jumpai banyak sekali "pertanda-pertanda" yang dapat
berperan sebagai dasar kepercayaan kepada Allah ... yang mudah dipahami ...
untuk membuatnya percaya kepada Pencipta Yang Tunggal yang memerintah dan
mengendalikan alam semesta.(63)
Selanjutnya, al-Ghazali mengenal
tingkatan pemahaman akan keesaan Allah sehubungan dengan perkembangan diri agar
sampai kepada pengenalan yang penuh —menurut kacamata sufisme— tetapi sepanjang
untuk orang-orang awam al-Ghazali cukup puas dengan pemahaman yang
sederhana.
Sejauh kepentingan orang-orang awam,
Al-Ghazali merasa cukup puas bahwa usaha mereka untuk mencari Allah cukup
dijamin oleh dorongan alamiah dari fitrah masing-masing dan petunjuk-petunjuk (syawahid)
yang banyak serta beraneka ragam yang dapat kita jumpai di dalam Al-Qur'an ..(64)
Ditinjau dari pandangan al-Ghazali ini
ditegaskan bahwa kendatipun Ketuhanan Yang Maha Esa tidak dikatakan identik
dengan Tauhid bukan berarti dapat dilepaskan dari penilaian Islam Secara
universal karya Allah seluas ciptaan dan dapat dikenal melalui ciptaanNya oleh
sebab itu Islam hanya perlu mengembangkan fithrah manusia itu. Karena itu Islam
tidak akan menerima suatu negara sekuler sebab hal itu melepaskan sesuatu
bidang dari keagamaan. Sebab Islam tidak mengenal pemisahan agama dari politik.
Bagi NU yang penting ia dapat menegakkan nilai-nilai keagamaan (Islam) di
segala bidang atau wilayah kehidupan. Dengan kata lain Islam dapat menjalankan
fungsinya terhadap masyarakat. Fungsi itu, menurut Wahid ketika ia berbicara
tentang kebudayaan adalah fungsi inspiratif, yaitu dapat "memberikan
kekuatan pendorong"; dan fungsi normatif, yaitu dapat
"mengatur dan mengarahkan" kehidupan masyarakat"(65). Peluang
untuk itu sudah terbuka secara potential dalam Negara Pancasila, karena dalam
negara ini NU menilai negara Indonesia terjamin wawasan keagamaannya! Ketuhanan
Yang Maha Esa sekarang menjadi suatu fithrah bangsa Indonesia untuk
dikembangkan lebih lanjut sehingga tercapai tingkat pemahaman Keesaan yang
sesuai dengan penilaian Islam dan pada gilirannya tercapai pula masyarakat
keagamaan (Islam) yang sejahtera!
Pada titik sebagai sumber inspiratif
dan sekaligus batasan normatif dari ajaran inilah sebuah konsep menyeluruh
tentang Islam sebagai Ad-Din (Agama, huruf besar untuk menunjukkan klaim
kebenaran tunggal bagi dirinya...) ... Islam sebagai keimanan, hukum agama
(Syari'at), dan pola pengembangan aspek-aspek kehidupan, dalam totalitasnya
berfungsi sebagai jalan hidup yang akan membawakan kesejahteraan bagi umat
manusia. Dalam totalitas jalan hidup itu dirumuskan arah, orientasi, wawasan
dan lingkup kehidupan perorangan dan bermasyarakat manusia, dengan pola
hubungan antara kaum muslimin dan yang bukan muslimin diatur didalamnya ...
Dalam keadaan demikian, tidak lagi akan ada hal-hal yang tidak berwawasan
keagamaan, antara wilayah agama dan wilayah-wilayah lain sudah tidak ada
perbedaan lagi.(66)
Konsep Islam sebagai sesuatu yang
menyeluruh (ad-Din) adalah konsekuensi logis dari ajaran Keesaan Allah (tauhid).
Ia adalah konsep bukan ideologi baku yang tinggal diterapkan saja
dalam masyarakat, melainkan dengan menghimpun segala sesuatu agar "berfungsi
secara harmonis di bawah kekuasaan Allah Yang Maha Esa"(67) Di mata
al-Ghazali segala ciptaan Allah tidak ada yang diciptakan dengan sia-sia,
karena apa yang baik dan yang buruk diukur manfaatnya terhadap kehidupan.(68)
Adalah menjadi tugas orang yang taat kepada Allah (islam) "menggunakan
setiap karunia (fadl) setiap hal yang rnenyejahterakan manusia
sedemikian rupa, sehingga menyempurnakan kebijaksanaan Allah di dalam
eksistensi karunia tersebut".(69)
Wawasan keagamaan yang diutamakan oleh
NU diperkuat pula oleh Pembukaan UUD 1945 yang memuat anak kalimat "Atas
berkat rakhmat Allah".(70) Menurut Sidjabat ketika membahas konsep
Ketuhanan dalam sila Pancasila dalam rangka tuntutan kalangan nasional muslirn
agar negara berdasarkan Islam, mengatakan bahwa anak kalimat "Atas berkat
rakhmat Allah" digunakan untuk memperkuat tuntutan itu.(71) Bagi kalangan
muslim nama itu khas nama Islam sebab tidak ada Allah lain kecuali yang dikenal
oleh kaum muslimin melalui Quran ("Qur'anic Allah").(72) Kendatipun
penghayatan keagamaan di kalangan Islam di Indonesia dapat saja diliputi oleh
pengaruh sinkretisme den mistisme, mempercayai Allah sebagai yang Esa dan maha
kuasa tetap merupakan sesuatu yang mutlak.(73 Memang, Pancasila itu sendiri
bersifat filosofi, tetapi bila kita perhatikan rumusan sila pertama Pancasila
dan anak kalimat "Atas berkat rakhrnat Allah" di dalam Pembukaan UUD
1945 maka negara Indonesia benar-benar mengutamakan landasan dan wawasan
keagamaan bagi kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Dan wawasan
keagamaan itu menurut Mukti Ali sesuai dengan watak kehidupan bangsa
Indonesia.
Dengan memperhatikan UUD 1945 dengan
Pembukaannya kami berpendapat bahwa pendekatan terhadap UUD 1945 harus
pendekatan agama. Ini berarti bahwa pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
pengertian agama, dan bukan pengertian falsafi. Hal ini disebabkan karena yang
dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah "Allah", dan "Allah"
adalah istilah agama, bukan istilah filsafat ...
Indonesia dengan Pancasilanya adalah
bukan negara sekuler dan tidak teokrasi. Di dalam Pancasila, Ketuhanan Yang
Mana Esa... memberikan bimbingan kepada tindak laku bangsa Indonesia. Ya,
bahkan kesanggupan Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya adalah atas
berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Mungkin hal ini juga memang sesuai dengan
watak kehidupan bangsa Indonesia ... yang hidup dan kehidupannya selalu
religious ..(74)
Watak kehidupan bangsa Indonesia yang
religius yang dibakukan dalam bentuk UUD 1945 —yang sebenarnya merupakan
pengejawantahan berbagai tradisi keagamaan— bila disimak lebih dalam tidak jauh
berbeda dengan watak NU sebagai organisasi keagamaan yang tradisional khususnya
penerimaan NU atas tradisi sufistik maka dengan mudah NU menerima Pancasila
dengan mengutamakan landasan keagamaan. Dengan menerima Pancasila berdasarkan
pertimbangan theologis seperti diuraikan di atas, NU telah menegaskan sikapnya
bahwa watak keagamaan (bagaimanapun itu ditafsirkan) sedikit banyak telah
memenuhi aspirasi Islam, yaitu segala tindak-laku di dalam masyarakat —terutama
kebijakan-kebijakan politis— akan menjadikan nilai-nilai keagamaan sebagai
tolok ukur!
3. Pemahaman Sejarah
Pertimbangan di atas dalam menerima Pancasila
diperkuat oleh Muktamar dengan mengetengahkan peranan umat Islam menentang
penjajahan dan mempertahankan kemerdekaan bangsa.
Beberapa pokok pikiran K.H. Ahmad
Siddiq menegaskan:
- Perjuangan ummat
Islam Indonesia untuk menolak penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan
bangsa dari tangan penjajah telah berlangsung sejak lama.
- Ketika
perjuangan merebut kemerdekaan sudah mendekati keberhasilannya, ummat
Islam memberikan saham yang sangat besar dalam persiapan lahirnya negara
Indonesia merdeka. Melalui para pemimpinnya, ummat Islam ikut menentukan
wujud, azas dan hakum negara yang akan lahir itu.
- Setelah Negara
Republik Indonesia diproklamasikan, ummat Islam tanpa ragu-ragu membela
dan mempertahankan kemerdekaan itu, bukan saja sebagai kewajiban nasional,
melainkan juga sekaligus sebagai kewajiban agama.
- Ketika revolusi
fisik telah selesai, ummat Islam rnemberikan saham pula dalam pengisian
kemerdekaan yang dicapai dengan penuh pengorbanan itu. Keikutsertaan ummat
Islam itu terbukti dalam dua jenis kerja besar . . . (a) ummat Islam
berhasil turut menjaga keutuhan negara dari gangguan gerakan-gerakan
separatis dan pemberontakan-pemberontakan bersenjata; (b) Dalam era Orde
Baru, ummat Islam turut mengisi kemerdekaan dalam bentuk partisipasi penuh
dalam Pembangunan Nasional yang sedang berlangsung dewasa ini.(75)
Fakta sejarah dibentangkan di mana peranan umat Islam besar
sekali, bukan untuk mengklaim status politis bagi umat Islarn, tetapi untuk
menegaskan umat Islam merupakan bagian yang integral dari perjuangan bangsa.
Nilai sejarah terletak dalan; pemahaman fakta-fakta yang ada. Dalam rangka
nasionalisme ia dapat menjadi pedang bermata dua, ia dapat membangkitkan
solidaritas dan dapat pula menimbulkan perpecahan, seperti yang terjadi di
dunia Arab modern yang mayoritas Islam.(76)
Nilai sejarah terletak pada bagimana
kita menafsirkan atau memahaminya dan tak jarang penafsiran atau pemahaman itu
disesuaikan dengan kebutuhan zaman.(77) Dengan diperkuat oleh dalil-dalil hukum
Islam (fiqh) K.H. Ahmad Siddiq mengambil kesimpulan keagamaan:
a) mendirikan dan membentuk kepemimpinan negara untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan duniawi wajib hukumnya.
b) kesepakatan bangsa Indonesia untuk mendirikan negara Republik Indonesia adalah sah dan mengikat semua pihak, termasuk ummat Islam;
c) hasil kesepakatan yang sah itu, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah sah dilihat dari pandangan Islam, sehingga harus dipertahankan dan dilestarikan eksistensinya;
d) sahnya kesepakatan, hasil kesepakatan dan keterikatan semua pihak itu berkelanjutan pada hal-hal berikut:
— kewajiban menurut wujud, azas dan hukum dasar negara sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan;
— kewajiban menjaga dan mengamalkan azas dalam hukum dasar sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan, berarti kewajiban menjaga agar azas dan hukum dasar itu tidak disimpangkan dan diselewengkan;
— kewajiban untuk taat kepada penguasa negara yang sah, dalam hal yang tidak mengajak kepada kekufuran! ingkar terhadap Allah! dan kemaksiatan yang nyata;
— kewajiban beramar ma'ruf nahi munkar (melakukan apa yang diketahui baik dan menjauhi apa yang dibenci Allah) dan saling menasehati, tidak terkecuali kepada Pemerintah, menurut cara-cara yang sebaik-baiknya;
— kewajiban untuk ikut serta secara aktif dan konstruktif dalam upaya mewujudkan tujuan didirikannya negara.(78)
Dari pendapatat-pendapat yang dijadikan
dalil untuk kesimpulan keagamaannya, dapat kita baca nama-nama yang terkenal
dalam sejarah Islam seperti Abu Huraira(79), Ahmad ibn Hanbal(80), Ibn
Khaldun(81), dan sebagainya. Terbukti bahwa kelompok tradisional seperti NU dalam menanggapi perkembangan sosial politik sanggup melakukannya tanpa kehilangan hakikatnya sebagai kelompok tradisional, kendatipun ia sering dituduh kaku dan lamban, karena justru kesetiaan kepada tradisi membuat ia sanggup merumuskan sikap-sikap keagamaan yang relevan dengan menafsirkan sumber-sumber klasik! Tepatlah apa yang dikatakan oleh Wahid dengan mengutip Hurgronje bahwa,
Khaldun(81), dan sebagainya. Terbukti bahwa kelompok tradisional seperti NU dalam menanggapi perkembangan sosial politik sanggup melakukannya tanpa kehilangan hakikatnya sebagai kelompok tradisional, kendatipun ia sering dituduh kaku dan lamban, karena justru kesetiaan kepada tradisi membuat ia sanggup merumuskan sikap-sikap keagamaan yang relevan dengan menafsirkan sumber-sumber klasik! Tepatlah apa yang dikatakan oleh Wahid dengan mengutip Hurgronje bahwa,
Islam di Indonesia yang kelihatan
statis dan tenggelam dalam kitab-kitab salaf abad pertengahan itu sebenarnya
mengalami perubahan perubahan yang fundamentil; perubahan-perubahan itu
demikian perlahan, rumit dan mendalam, sehingga hanya orang yang dapat
mengamatinya secara hati-hati dan teliti dapat mengetahui perubahan tersebut.(82)
Selanjutnya dia mengatakan —saya rasa
tentang potensi ulama sebagai penafsir ajaran agama,
Karena pemahaman atas isi ajaran agama dipegang
oleh pemuka-pemuka agama (religious elite) yang biasanya juga menjadi kelompok
pimpinan (elite class) dalam hampir semua struktur masyarakat, maka sesuai
dengan dinamika yang dimiliki oleh kelompok pimpinan itu sendiri, mau tidak mau
isi ajaran-ajaran agama itu akan selalu mengalami proses pembaharuan
pemahamannya.(83)
Pengakuan atas negara berdasarkan dua
dalil. Pertama berasal dari sebuah hadis yang berbunyi: "Tak diperkenankan
bagi tiga orang yang berada di sebuah lokasi di bumi ini kecuali menetapkan
salah satu di antara mereka sebagai pemimpin".(84) Dalil ini mirip dengan
asal mula negara menurut teori alamiah (naturalis); menurut Aristoteles yang
pertama kali mengemukakannya bahwa negara adalah ciptaan alam karena itulah
sudah kodrat manusia untuk hidup bernegara.(85) "Negara adalah organisasi
yang rasional dan ethis yang memungkinkan manusia mencapai tujuannya
dalam hidupnya, untuk mencapai yang baik dan adil".(86) Tampaknya teori
Aristoteles ini juga mempengaruhi al-Ghazali ketika ia berbicara tentang
masyarakat,
... Allah telah pula menciptakan ke
dalam diri manusia hasrat yang tak dapat dihindarinya untuk berhubungan dengan
manusia-manusia lain. Dengan perkataan lain, dalam menentukan sifat manusia
seperti telah dilakukan-Nya itu, Allah telah membuat masyarakat sebagai sebuah
keharusan.(87)
Yang penting di sini bukanlah kodrat
manusia melainkan adalah penegasan bahwa adanya negara sesuai dengan kehendak
Allah atas manusia ciptaanNya. Karena seperti yang ditegaskan oleh Rahman
Zainuddin dengan mengutip Ibn Khaldun bahwa timbulnya kepemimpinan dalam
masyarakat menurut Islam berkait erat dengan kelanjutan kehidupan manusia.(88)
"Dalam pandangan Islam, perincian-perincian tentang bagaimana penunjukan
penguasa dan bentuk-bentuk pelaksanaan kekuasaan seluruhnya terserah kepada
manusia itu sendiri".(89) Yang kedua, adanya negara dilihat oleh NU dalam
rangka "upaya mendatangkan kemaslahatan (kesejahteraan ) dan menjauhkan
kerugian/kerusakan, dan ini wajib menurut kesepakatan umat".(90) Dengan
kata lain negara diperlukan untuk peningkatan kehidupan manusia yang
berlandaskan nilai-nilai keagamaan. Sepanjang nilai-nilai keagamaan mendapat
perhatian negara maka upaya peningkatan kehidupan itu "sah dan mengikat
semua pihak, termasuk umat Islam". Konsepsi Islam yang universalistik
dikembangkan sehingga NU mempunyai landasan yang sah untuk mengintegrasikan
diri dengan perkembangan dan sekaligus menyingkirkan sikap yang ingin
mendominasi perkembangan! Secara asasi dan asali berdirinya negara sudah mencerminkan
manifestasi aspirasi Islam; kendati negara itu sendiri tidak berdasarkan Islam
tetapi ia mempunyai "kewajiban untuk ikut serta secara aktif dan
konstruktif dalam upaya mewujudkan tujuan didirikannya negara." Watak NU
yang tradisional dalam arti mempunyai sumber dalam tradisi, membuat NU mampu
memilih apa yang terbaik tetapi sah untuk kelangsungan dan perkembangan Islam
dalam situasi yang baru!
Pemahaman sejarah, peran serta umat
Islam dalam kehidupan bangsa, dan wawasan keagamaan yang dianut oleh negara,
yang dinilai sah menurut Islam, maka K.H. Ahmad Siddiq menyimpulkan sikap
NU,
Dengan demikian, Republik Indonesia
adalah bentuk upaya final seluruh nasion teristimewa kaum Muslimin untuk
mendirikan negara di wilayah Nusantara.(91)
Negara Indonesia yang berdirinya diakui
sah menurut Islam sekarang menjadi ruang lingkup umat Islam untuk menjalankan
syariat agamanya!
Penerimaan NU atas Pancasila ditegaskan
di dalam Anggaran Dasar. NU menerima dengan "panjang-lebar"; ia
menerima dengan sikap positif—menerima dalam rangka perjuangan bangsa dan
negara mencapai masyarakat adil dan makmur. Penerirnaan atas Pancasila sudah
dimuat di dalam Muqaddimah (Pembukaan) Anggaran Dasar,
Bahwa kemaslahatan dan kesejahteraan
warga NAHDLATUL ULAMA adalah bagian mutlak dari kemaslahatan dan kesejahteraan
masyarakat Indonesia, maka dalam perjuangan mencapai masyarakat adil dan makmur
yang menjadi cita-cita seluruh masyarakat Indonesia, dengan rahmat Allah
Subhanahu wa Ta'ala, organisasi NAHDLATUL ULAMA berazaskan Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa bagi
ummat Islam merupakan kepercayaan terhadap Allah SWT sebagai inti aqidah Islam
yang meyakini tidak ada Tuhan selain Allah SWT.(92)
Pada pasal 2 Anggaran Dasar dicantumkan
asas Pancasila dan Islam tidak lagi disebut asas tetapi sebagai aqidah.
Dalam pasal 3 disebutkan:
Nahdlatul Ulama sebagai Jam'iyah
Diniyah beraqidah Islam menurut faham Ahlusunnah wal Jama'ah dan mengikuti
salah satu madzhab
Hanafi,
Maliki, Syafi'i dan Hambali.(93)
Ketika NU menjadi partai politik Islam
disebutkan sebagai asas partai dan aqidah belum disebutkan entah sebagai
apa.(94) Demikian Juga Muktamar XXVI 1979 di Semarang juga tidak ada
menyebutkan aqidah dan Islam masih disebutkan sebagai asas.(95) Mengapa
sekarang menyebutkan Pancasila sebagai asas dan Islam sebagai aqidah?
Tentang perubahan itu, Sa'dullah
Assaidi menjelaskan:
.. masalah yang dihadapi bangsa,
termasuk ulama NU, sesuai dengan konstelasi politik adalah Pancasila sebagai
satu-satunya asas. Hal ini bagi Nahdlatul Ulama merupakan waqi'ah (peristiwa
aktual), yang tidak di-hadapi secara kaku namun dihadapi dengan teori
keagamaan.(96)
Dengan meneliti beberapa ayat-ayat
Qur'an terdapat tiga lafal yang berasal dari "asas" (Sura 9:108 dan
109) yang berkaitan dengan asas pendirian mesjid sehingga disimpulkan bahwa
mencantumkan asas bukanlah mutlak; yang mutlak adalah taqwa (ketaatan kepada
Tuhan). Taqwa itulah yang ingin ditegaskan oleh NU dengan mencantumkan aqidah
dan aqidah itu dijalankan menurut paham ahlusunnah wal
jamaah.
Dalam Islam, aqidah ialah iman atau
kepercayaan. Sumbernya yang pasti ialah Qur'an. Iman . . . yang dituntut
pertama-tama dan terdahulu dari segala sesuatu . . .
Aqidah adalah masalah fundamentil dalam
Islam, ia menjadi titik tolak permulaan untuk menjadi Muslim. Sebaliknya,
tegaknya aktivitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seseorang itulah yang
menerangkan bahwa orang itu memiliki aqidah...(98)
Saya rasa yang penting bukanlah
mempertanyakan mana yang lebih tinggi asas atau aqidah, karena di dalam
Anggaran Dasar 1926 tidak ada disebutkan asas maupun aqidah. Yang dicantumkan
adalah ciri khas NU sebagai penganut mazhab dalam memberlakukan Islam. Yang
penting bagi NU adalah pembedaan (bukan pemisahan!); asas berarti pengakuan
atau dukungan terhadap negara di mana ia hidup dan bergerak dan negara itu
diakui sah secara Islam, sedangkan aqidah menyatakan dengan tegas ciri-ciri
keislaman yang dianutnya yaitu ahlusunnah wal jamaah. Perubahan Anggaran
Dasar —merupakan penjabaran langsung dan tegas dari perkembangan pemikiran
keagamaan di dalam NU; kalau negara adalah "upaya final" seluruh
bangsa khususnya umat Islam dan kalau wawasan keagamaan negara sudah diakui
sah, maka pencantuman Pancasila sebagai asas merupakan suatu konsekuensi logis.
Karena persoalan Pancasila sudah tuntas maka yang tinggal sekarang bagi NU
adalah bagaimana memberlakukan Islam menurut aqidah (keyakinan) ahlusunnah
wal jamaah di bumi negara Pancasila.
____________________
32. Karim, Dinamika, hlm. 90.
33. Lihat, Ibid., hlm. 90-91.
34. Lihat, Lukman Harun, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, (Jakarta Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 33-69.
35. Muktamar Situbondo, hlm. 101.
36. Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, terjemahan dari The Concept of Man in Islam in the Writings of Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 3-4, Arief Mudatsir menjuluki manusia menurut al-Ghazali adalah Makhluk pencari kebenaran. Lihat, Arief Mudatsir, ''Makhluk Pencari Kebenaran: Pandangan al-Ghazali tentang Manusia", dalam Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam, ed., M. Dawam Raharjo, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 69-88. Pada bulan Januari 1985 (sebulan sesudah Muktamar NU) sebuah Simposium tentang Al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKSPTIS) se-Indonesia. Dalam simposium itu dipuji peranan al-Ghazali yang telah berjasa menciptakan ekuilibrium keagaamaan Muslim, Lihat, Kompas, 28 Januari 1985.
37. Ibid. hlm. 4; ". . . Sebab itulah Islam sesuai dengan fitrah Manusia. . . Di sinilah rahasianya mengapa agama Islam merupakan agama yang mudah diterima oleh manusia, dan akan tetap mudah diterima sepanjang masa. . ." Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1972), hlm. 81.
38. Ibid., hlm. 7-8.
39. Ibid., hlm. 9.
40. Ibid., hlm. 8. Bandingkan, F. Schuon, Memahami Islam, terjemahan dari 'Understandmg Islam., (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 9-10.
41. Ibid., hlm. 10; Bandingkan, Fazlur Rahman Tema Pokok Al-Qur'an, ter]ernahan dari 'Major Themes of The Qur'an, (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 32.
42. Ibid., hlm. 11.
43. Aslinya dalam bahasa Inggris, "Islam is indeed rnuch more than a system of theology, it is a complete civilization." Dikutip di dalam, M. Dawam Raharjo, Persepsi Gerakan Islam Terhadap Kebudayaan, dalam, Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan, ed., Alfian, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm 22. Tetapi definisi ini kemudian ditolak oleh Endang Saifuddin Anshari dan Fisal Ismail; bagi mereka Islam bukanlah complete civilization dan bukan pula suatu sistem teologi, karena keduanya adalah ciptaan manusia, sedangkan agama Islam menurut mereka berdua adalah wahyu Allah, Lihat, Ibid., hlm. 23.
44. Abdurahman Wahid, "Beberapa Aspek Teoritis dari Pemikiran Politik dan Negara Islam", dalam, Peranan Agama agama Dan Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila Yang Sedang Membangun, ed., J. Garang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hlm. 42.
45. Ibid., hlm. 42-43. Cetak tebal dari saya.
46. Othman, op. cit., hlm. 244.
47. Ibid., hlm. 246.
48. Ibid., hlm. 254.
49. Ibid., hlm. 260.
50. Ibid,, hlm. 249, 254; Bandingkan, hlm. 120.
51. Ibid., hlm. 259, 263, 265, 278, dan lain-lain.
52. Supra, hlm. 166-167.
53. Misalnya lihat "Sambutan Presiden Pada Pembukaan Rapat Kerja Departemen Agama Tanggal 24 April 1978 di Istana Negara", dalam, Agama dalam Pembangunan Nasional, himpunan sambutan Presiden Soeharto, ed., Djohan Effendi, et. al., (Jakarta: Pustaka Biru, 1981), hlm. 59-62; lihat juga, hlm. 50-53, dan lain-lainnya. Untuk memahami lebih jauh tentang Pancasila dalam pemikiran Suharto, lihat, Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, (Jakarta: CSIS, 1976)
54. Karim, Dinamika, hlm. 213.
55. Othman, op. cit., hlm. 252.
56. Lihat, Muktamar Situbondo, hlm. 84.
57. Undang-Undang Dasar, hlm. 7.
58. Ensiklopedi Politik, jilid 1, hlm. 47-49 di bawah "Agama dan Negara".
59. Dikutip dalam, Ibid., hlm. 44. Cetak tebal dari saya.
60. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 202.
61. Muktamar Situbondo, hlm. 84.
62. Supra, hlm. 99-100.
63, Othman, op. cit., hlm. 185-186.
64. Ibid., hlm. 187.
65. Abdurrahman Wahid, Persepsi Gerakan Islam Tentang Kebudayaan: Sebuah Tinjauan Dini Tentang Perkembangannya di Indonesia, dalam, Alfian, ed., op. cit., hlm. 62
66. Ibid., hlm. 62-63.
67. Othman, op. cit., hlm. 191.
68. Lihat catatan kaki no. 49.
69. Othman, op. cit., hlm. 263.
70. Bandingkan, Supra, hlm. 103.
71. Sidjabat, op. cit., hlm. 54.
72. Ibid.,
73. Ibid.,
74. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, kumpulan ceramah dan tulisan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hlm. 219-220.
75. Muktamar Situbondo, hlm. 83-84.
76. Lihat, Hazem Zaki Nuseibeh, Gagasan-gagasan Nasiosalisme Arab, terjemahan dari The Ideas of Arab Nationalism, (Jakarta: Bhratara, 1969), hlm. 70-76.
77. William H. Frederick dan Soeri Soeroto, ed., Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: LP3ES, 1982, hlm. 2-4).
78. Muktamar Situbondo, hlm. 85-86. Cetak tebal dari saya.
79. Abu Huraira adalah seorang sahabat dekat nabi Muhammad dan banyak
mencatat tradisi (hadis). Lihat, Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiography, semula tesis Ph. D pada University of New Delhi, (New Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delhi, 1979), hlm. 179.
80. Ahmad bin Hanbal adalah pendiri mazhab Hambali, Lihat, Abu Zaid, op.cit., hlm. 36-44.
81. Ibn Khaldun yang nama lengkapnya Abdu-ar-Rahman ibn Muhammad Khaldun adalah seorang ahli sejarah dan sosiologi Islam abad pertengahan (1332-1406). Lihat catatan tentang dirinya dalam Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah: Pilihan dariMuqaddimah Karangan Ibn Chaldun dari Tunis (1332-1406), Jakarta: Tintamas, 1962), hlm. xxiv-xxvi.
82. Wahid, op. cit., hlm. 59. Cetak tebal dari saya.
83. Ibid.,
84. Muktamar Situbondo, hlm. 93.
85. Lihat. F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Tanpa nama kota: Binacipta, 1980, hlm. 158-159.
86. Ibid., hlm. 159.
87. Othman, op. cit., hlm. 248. Cetak tebal dari saya.
88. A. Rahman Zainuddin, "Pokok-pokok pemikiran Islam dan Masalah Kekuasaan Politik", dalam, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, ed., Miriam Budiario, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 191.
90. Muktamar Situbondo, hlm. 94.
91. Ibid., hlm. 86.
92. Ibid., hlm. 152. Huruf besar sesuai dengan aslinya, sedangkan cetak tebal dari saya.
93. Ibid., hlm. 153.
94. Lihat, Machfoedz, op. cit., hlm. 118.
95. Lihat, Sa'dullah Assaidi, "Catatan dari Muktamar NU ke 27 di Situbondo, Kompas, 4 Januari 1985.
96. Ibid.
87. Ibid.
98. Razak, op. cit., hlm. 122-124. Cetak tebal dari saya.
32. Karim, Dinamika, hlm. 90.
33. Lihat, Ibid., hlm. 90-91.
34. Lihat, Lukman Harun, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, (Jakarta Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 33-69.
35. Muktamar Situbondo, hlm. 101.
36. Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al-Ghazali, terjemahan dari The Concept of Man in Islam in the Writings of Al-Ghazali, (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 3-4, Arief Mudatsir menjuluki manusia menurut al-Ghazali adalah Makhluk pencari kebenaran. Lihat, Arief Mudatsir, ''Makhluk Pencari Kebenaran: Pandangan al-Ghazali tentang Manusia", dalam Insan Kamil: Konsepsi Manusia Menurut Islam, ed., M. Dawam Raharjo, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 69-88. Pada bulan Januari 1985 (sebulan sesudah Muktamar NU) sebuah Simposium tentang Al-Ghazali diselenggarakan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Islam Swasta (BKSPTIS) se-Indonesia. Dalam simposium itu dipuji peranan al-Ghazali yang telah berjasa menciptakan ekuilibrium keagaamaan Muslim, Lihat, Kompas, 28 Januari 1985.
37. Ibid. hlm. 4; ". . . Sebab itulah Islam sesuai dengan fitrah Manusia. . . Di sinilah rahasianya mengapa agama Islam merupakan agama yang mudah diterima oleh manusia, dan akan tetap mudah diterima sepanjang masa. . ." Nasruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung: Al-Maarif, 1972), hlm. 81.
38. Ibid., hlm. 7-8.
39. Ibid., hlm. 9.
40. Ibid., hlm. 8. Bandingkan, F. Schuon, Memahami Islam, terjemahan dari 'Understandmg Islam., (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 9-10.
41. Ibid., hlm. 10; Bandingkan, Fazlur Rahman Tema Pokok Al-Qur'an, ter]ernahan dari 'Major Themes of The Qur'an, (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 32.
42. Ibid., hlm. 11.
43. Aslinya dalam bahasa Inggris, "Islam is indeed rnuch more than a system of theology, it is a complete civilization." Dikutip di dalam, M. Dawam Raharjo, Persepsi Gerakan Islam Terhadap Kebudayaan, dalam, Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan, ed., Alfian, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm 22. Tetapi definisi ini kemudian ditolak oleh Endang Saifuddin Anshari dan Fisal Ismail; bagi mereka Islam bukanlah complete civilization dan bukan pula suatu sistem teologi, karena keduanya adalah ciptaan manusia, sedangkan agama Islam menurut mereka berdua adalah wahyu Allah, Lihat, Ibid., hlm. 23.
44. Abdurahman Wahid, "Beberapa Aspek Teoritis dari Pemikiran Politik dan Negara Islam", dalam, Peranan Agama agama Dan Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa Dalam Negara Pancasila Yang Sedang Membangun, ed., J. Garang, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987), hlm. 42.
45. Ibid., hlm. 42-43. Cetak tebal dari saya.
46. Othman, op. cit., hlm. 244.
47. Ibid., hlm. 246.
48. Ibid., hlm. 254.
49. Ibid., hlm. 260.
50. Ibid,, hlm. 249, 254; Bandingkan, hlm. 120.
51. Ibid., hlm. 259, 263, 265, 278, dan lain-lain.
52. Supra, hlm. 166-167.
53. Misalnya lihat "Sambutan Presiden Pada Pembukaan Rapat Kerja Departemen Agama Tanggal 24 April 1978 di Istana Negara", dalam, Agama dalam Pembangunan Nasional, himpunan sambutan Presiden Soeharto, ed., Djohan Effendi, et. al., (Jakarta: Pustaka Biru, 1981), hlm. 59-62; lihat juga, hlm. 50-53, dan lain-lainnya. Untuk memahami lebih jauh tentang Pancasila dalam pemikiran Suharto, lihat, Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, (Jakarta: CSIS, 1976)
54. Karim, Dinamika, hlm. 213.
55. Othman, op. cit., hlm. 252.
56. Lihat, Muktamar Situbondo, hlm. 84.
57. Undang-Undang Dasar, hlm. 7.
58. Ensiklopedi Politik, jilid 1, hlm. 47-49 di bawah "Agama dan Negara".
59. Dikutip dalam, Ibid., hlm. 44. Cetak tebal dari saya.
60. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 202.
61. Muktamar Situbondo, hlm. 84.
62. Supra, hlm. 99-100.
63, Othman, op. cit., hlm. 185-186.
64. Ibid., hlm. 187.
65. Abdurrahman Wahid, Persepsi Gerakan Islam Tentang Kebudayaan: Sebuah Tinjauan Dini Tentang Perkembangannya di Indonesia, dalam, Alfian, ed., op. cit., hlm. 62
66. Ibid., hlm. 62-63.
67. Othman, op. cit., hlm. 191.
68. Lihat catatan kaki no. 49.
69. Othman, op. cit., hlm. 263.
70. Bandingkan, Supra, hlm. 103.
71. Sidjabat, op. cit., hlm. 54.
72. Ibid.,
73. Ibid.,
74. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini, kumpulan ceramah dan tulisan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hlm. 219-220.
75. Muktamar Situbondo, hlm. 83-84.
76. Lihat, Hazem Zaki Nuseibeh, Gagasan-gagasan Nasiosalisme Arab, terjemahan dari The Ideas of Arab Nationalism, (Jakarta: Bhratara, 1969), hlm. 70-76.
77. William H. Frederick dan Soeri Soeroto, ed., Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi, (Jakarta: LP3ES, 1982, hlm. 2-4).
78. Muktamar Situbondo, hlm. 85-86. Cetak tebal dari saya.
79. Abu Huraira adalah seorang sahabat dekat nabi Muhammad dan banyak
mencatat tradisi (hadis). Lihat, Nisar Ahmed Faruqi, Early Muslim Historiography, semula tesis Ph. D pada University of New Delhi, (New Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delhi, 1979), hlm. 179.
80. Ahmad bin Hanbal adalah pendiri mazhab Hambali, Lihat, Abu Zaid, op.cit., hlm. 36-44.
81. Ibn Khaldun yang nama lengkapnya Abdu-ar-Rahman ibn Muhammad Khaldun adalah seorang ahli sejarah dan sosiologi Islam abad pertengahan (1332-1406). Lihat catatan tentang dirinya dalam Charles Issawi, Filsafat Islam tentang Sejarah: Pilihan dariMuqaddimah Karangan Ibn Chaldun dari Tunis (1332-1406), Jakarta: Tintamas, 1962), hlm. xxiv-xxvi.
82. Wahid, op. cit., hlm. 59. Cetak tebal dari saya.
83. Ibid.,
84. Muktamar Situbondo, hlm. 93.
85. Lihat. F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Tanpa nama kota: Binacipta, 1980, hlm. 158-159.
86. Ibid., hlm. 159.
87. Othman, op. cit., hlm. 248. Cetak tebal dari saya.
88. A. Rahman Zainuddin, "Pokok-pokok pemikiran Islam dan Masalah Kekuasaan Politik", dalam, Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa, ed., Miriam Budiario, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984), hlm. 191.
90. Muktamar Situbondo, hlm. 94.
91. Ibid., hlm. 86.
92. Ibid., hlm. 152. Huruf besar sesuai dengan aslinya, sedangkan cetak tebal dari saya.
93. Ibid., hlm. 153.
94. Lihat, Machfoedz, op. cit., hlm. 118.
95. Lihat, Sa'dullah Assaidi, "Catatan dari Muktamar NU ke 27 di Situbondo, Kompas, 4 Januari 1985.
96. Ibid.
87. Ibid.
98. Razak, op. cit., hlm. 122-124. Cetak tebal dari saya.
Ditulis
ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam
perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai
satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid —
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar