Minggu, 07 Desember 2014

SERI NU DAN PANCASILA (7)



Bab III
Nahdlatul Ulama dan Masyumi 
Perlu secara khusus meninjau hubungan NU debgab Masyumi karena di dalam organisasi ini untuk pertama kali golongan Islam bersatu dalam satu wadah politik di dalam degara yang sudah merdeka. Kalau Partai Persatuan Pembangunan merupakan gabungan partai politik Islam karena anjuran pemerintah melalui undang-undang kepartaian, maka Masyumi adalah gabungan semua golongan Islam yang didorong oleh semangat persatuan agar umat Islam mempunyai kekuatan yang utuh dan padu untuk memperjuangkan aspirasi Islam. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa berdirinya negaa R.I. didahului oleh perdebatan yang sengit tentang dasar negara. Perdebatan itu terjadi di dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan yang dibentuk oleh Jepang bulan April 1945, badan yang beranggotakan 62 orang ini diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat (seorang tokoh Budi Utomo dulu (1)). Walapun badan ini dibentuk oleh Jepang tetapi bagi para pemimpin perjuangan yang duduk di dalamnya, diarahkan bagi kepentingan kehidupan bangsa. "Tidak saja Bdan itu sekedar 'menyelidiki segala sesuatu mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia', tetapi badan ini langsung membicarakan dasar-dasar negara Indonesia Merdeka dan merencanakan, Undang-undang Dasar Indonesia."(2) Dalam badan inilah terjadi erdebatan yang sengit dan tajam antara yang disebut kelompok nasionalis sekuler (nasionalis yang netral agama) dan nasionalis muslim.(3) Kelompok Islam melupakan perbedaan di antara mereka; golongan pembaharuan bersatu dengan golongan tradisional untuk mewujudkan aspirasi Islam dalam Indonesia Merdeka, karena itu mereka menuntut negara harus  berdasarkan Islam.(4) Bagi Islam kemerdekaan bukan saja kemerdekaan bangsa tetapi juga kemerdekaan Islam. Hal ini sudah tentu wajar terjadi mengingat saham Islam dalam perjuangan dan apa lagi keuntungan yang diperoleh Islam oleh karena kebijaksanaan  Jepang, tidak akan dilepaskan begitu saja.(5) Setelah serangkaian  pidato, khususnya dari Muhammad Yamin(6) dan Supomo(7),  Soerkarno mengajukan lima prinsip yang kemudian disebutkan sebagai Pancasila (Lima Dasar), yaitu: a. Kebangsaan; b. Internasionalisme atau Perikemanusiaan; c. Permusyawaratan; d. Kesejahteraan dan e. Ketuhanan. Ketiga pidato, dari Yamin, Supomo dan Soekarno ini — yang dimuat dalam Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945 yang disusun oleh Yamin — dinilai oleh Anshari hanya mewakili para nasionalis sekuler sambil menyesalkan bahwa "tidak ada satu pun pidato para anggota nasionalis Islami yang dimuat."(9) Sebagaimana kita ketahui pertentangan yang tajam di  dalam Badan Penyelidik itu diselesaikan dengan "kesepakatan kehormatan"(10) yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Piagam itu ditandatangani oleh para tokoh terkemuka yang berjumlah sembilan orang (karena itu juga disebut Panitia Sembilan yang terdiri Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin.(11) Seolah ingin menyatakan itulah hasil maksimal yang dapat diperoleh Islam. Anshari membuat perbandingan kekuatan dalam Panitia Sembilan antara golongan nasionalis sekuler dan nasionalis muslim berbanding: 

5 dan 4.(12) Dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) prinsip Ketuhanan dirumuskan dengan penambahan "dengan kewajiban untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluk".(13) 

Bagi pihak muslim nasionalis hal ini merupakan sebagian kemenangan baginya karena, walaupun piagam tersebut tidak secara khusus menyebutkan tentang pembentukan sebuah negara Islam bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, maka dengan mengakui berlakunya Jakarta Charter hal itu berarti memperlakukan kewajiban hukum bagi pemerintah Indonesia untuk memaksakan hukum Islam sebagai pengikat bagi semua umat tanpa memandang latar belakang kultural atau kemasyarakatan mereka.(14) 

Tetapi Piagam Jakarta hanya penyelesaian sementara. Perdebatan masih tetap berlangsung dalam Badan Penyelidik. Sehari setelah proklamasi para tokoh merasa perlunya pemantapan ideologi negara dan lagi pula ada pihak yang keberatan terhadap Piagam Jakarta yang dianggap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Atas prakarsa Hatta "seorang tokoh yang oleh muslim nasionalis lebih dipercaya daripada Sukarno,"(15) diadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh muslim nasionalis. Pertemuan itu menghasilkan rumusan Pancasila yang baru yang kemudian akan menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Prinsip pertama Piagam Jakarta dirumuskan secara singkat menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.(16) Atas usul seorang penganut Hindu-Bali, I Gusti Ktut Pudja istilah Allah (yang dianggap "nama khas dalam Islam" (17)) diganti dengan Tuhan. "Menurut Wahid Hasjim," demikian Noer mencatat berdasarkan keterangan Hatta, "kata Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan tauhid dalam Islam, dan oleh sebab itu pergantian ini akan memuaskan kalangan Islam. Hanya Islam yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, pikir Wahid Hasjim."(18) Noer langsung menyambut pemikiran ini; 

Memang, menurut pendapat umum kalangan Islam di Indonesia, hanya Islam di antara agama-agama di dunia yang menegakkan tauhid dalam arti yang murni. Dipandang dari sudut ini, memang benar hanya Islam yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.(19) 

Tetapi ini hanyalah pendapat sepihak. Bagi kalangan nasionalis sekuler prinsip Ketuhanan itu bukanlah konsep agama tertentu, melainkan hanya merupakan gagasan Ketuhanan saja.(20) Atau, seperti yang ditegaskan oleh Boland dengan mengutip Sidjabat, merupakan gagasan yang bersifat umum dan netral yang memberikan ruang gerak bagi setiap orang memuja Tuhan.(21). Memang, menjadi pergumulan berat bagi segenap bangsa setelah proklamasi mencari legitimasi dukungan terhadap negara sendiri. Kalau dalam masa penjajahan perlawanan terhadap penjajah dengan mudah ditemukan legitimasinya apakah dalam agama Islam (menentang kafir Belanda) atau dalam nasionalisme (menentang penguasa asing) dan di saat perlu kedua motif dengan mudah bersatupadu, tetapi cerita menjadi lain setelah penjajah angkat kaki. Persoalan sekarang adalah bagaimana membangun persatuan agar negara dapat melangsungkan kehidupannya. 

Mengapa tokoh-tokoh muslim nasionalis dalam waktu yang sangat singkat menerima perubahan atas rumusan Piagam Jakarta?(22)  Noer mengajukan beberapa alasan: Pertama, kalangan Islam sangat  mempercayai integritas Hatta; Kedua, kalangan Islam menyadari  sepenuhnya situasi yang masih gawat yang dihadapi oleh negara,  yaitu bagaimana mempertahankan negara dari ancaman kekuatan  asing; Ketiga, kalangan Islam yakin akan memenangkan pemilihan 
umum yang direncanakan akan berlangsung dalam waktu singkat.(23) Saya rasa analisis Noer ini benar dan patut disimak. Untuk pertama kali — dan di dalam negara yang baru berumur sehari kalangan Islam menunjukkan sikap yang positif terhadap pengelola negara yang menilai perkembangan baru secara realistis! Sejak itu hubungan hubungan negara dan agama menjadi unik, dalam negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara agama, tetapi berupaya mengembangkan kehidupan keagamaan.(24) Boland mengungkapkan hal itu dengan tepat: 

Demikian pula suatu Indonesia baru telah lahir, bukan sebagai suatu negara Islam seperti yang dimaksud dalam konsepsi Islam ortodoks, dan juga bukan sebagai suatu negara sekuer yang memandang agama hanya sebagai masalah pribadi. Pembahasan mengenai masalah ini telah berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu dalam adanya gagasan mengenai suatu negara yang ingin mengakui suatu asas keagamaan, dan ingin bersikap positif terhadap agama pada umumnya serta dalam berbagai bentuk perwujudannya, atau menurut suatu slogan yang timbul belakangan, suatu negara yang ingin memandang agama sebagai suatu sumbangan yang mutlak terhadap nation-building dan character-building 'pembentukan bangsa serta pembinaan watak'. Jadi, penyelesaiannya secara Indonesia dari masalah ini bukanlah suatu undang-undang dasar yang mempergunakan peristilahan Islam tanpa sungguh-sungguh menerima makna Islaminya, tetapi penerimaan nilai-nilai kerohanian milik bersama seperti tercantum dalam Pancasila, dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Mahaesa.(25) 

Pada tanggal 3 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat (yang dikenal sseagai Maklumat No.X) yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad hatta yang berisi anjuran tentang berdirinya partai-partai politik; yang merupakan penegasan bahwa pemerintah menyukai timbulnya partai-partai "karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat" dan merupakan harapan pemerintah "supaya partai-partai politik itu telah tersusun, sebelumnya dilangsungkan pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946."(26) Setelah dikeluarkannya maklumat pemerintah ini, kalangan Islam menyambutnya dengan cepat. Masyumi (singkatan dari Majelis  Syuro Muslimin Indonesia) diumumkan berdiri tanggal 7 November 1945 dengan Sukiman sebagai ketua.(27) NU menjadi anggota istimewa dan pimpinan tertingginya Hasyim Asyari menjabat Ketua Majelis Syuro dan Wahid Hasyirn sebagai salah seorang wakil ketua Majelis Syuro.(28) Agaknya bagi NU peranan Majelis Syuro inilah penting agar dengan demikian NU menjadi tulang punggung Masyumi. Peranan Majelis Syuro sebagai penentu politik partai terlebih dalam hubungannya dengan masalah keagamaan ditegaskan dalam Anggaran Rumah Tangga, antara lain: 

  1. Majelis Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik kepada pimpinan partai. 
  2. Dalam soal politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama maka pimpinan partai meminta fatwa dari Majelis Syuro. 
  3. Keputusan Majelis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat pimpinan partai. 
  4. Jika Muktamar/Dewan Partai berpendapat lain daripada keputusan Majelis Syuro, maka pimpinan partai dapat mengirimkan utusan untuk berunding dengan Majelis Syuro dan hasil perutusan untuk berunding dengan Majelis Syuro dan hasil perundingan itu merupakan keputusan tertinggi.(29)

Melihat hak dan kewaian Majelis Dyuro ini maka yang ingin ditugaskan adalah peranan ulama dalam partai! Dengan penegasan ini NU cukup puas walaupum di dalam pimpinan partai yang diketuai oleh Sukiman tidak terdapat wakil NU. 

Ada dua macam keanggotaan dalam Masyumi: 1) Perseorangan dan 2) Organisasi. Sistem keanggotaan yang demikian menjadi salah satu kelemahan Masyumi karena sejak terbentuk sistem ini selalu menjadi pokok pembahasan dalam setiap kongres partai. Semula tujuan struktur keanggotaan ini adalah agar Masyumi demgan cepat dapat memperoleh banyak anggota. Pada mulanya hanya empat organisasi yang masuk Masyumi: Muhammadiyah, NU, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Dua terakhir kemudian bergabung menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia.(30) Noer mengatakan keempat anggota merupakan wakil pembaharuan (Muhammadiyah), tradisional (NU), dan Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam bersifat tradisional dalam agama tetapi cenderung modern dalam soal dunia "sehingga memudahkannya untuk bekerja sama dengan kalangan modernis."(31) Kalau demikian hanya NU saja yang mewakili kelompok tradisional murni dalam kiprah politik di awal kemerdekaan. Karena PSII belum dibentuk kembali sejak dibubarkan oleh Jepang, para tokohnya menjadi anggota secara perseorangan seperti Sukiman dan Adikusno. Struktur keanggotaan memang berhasil menghimpun banyak anggota. 

Jika dilihat dari perkembangannya maka sampai 31 Desember 1950 di tiap-tiap Kabupaten terdapat cabang, hampir di tiap kecamatan ada anak cabang dan hampir-hampir tiap desa di Jawa terdapat rantingnya. Sambil memperluas pembentukan di desa-desa di luar Jawa telah tercatat 237 cabang, 1080 anak cabang dengan 4982 ranting dengan lebih kurang 10.000.000 anggota.(32) 

Dilihat dari segi angka memang struktur keanggotaan di atas menjadi kekuatan Masyumi. Namun demikian struktur itu pula merupakan kelemahan. Sebenarnya sejak semula NU lebih condong kebentuk federasi dalam arti yang menjadi anggota adalah organisasi seperti Masyumi di zaman Jepang.(33) Mungkin maksud NU ialah dengan berbentuk federasi eksistensi keanggotaan organisasi pendukung dapat berperan lebih besar dalam perjalanan partai. Memang NU dihornnati dengan memberikan kepadanya Majelis Syuro, tetapi kiprah partai lebih banyak dilakukan oleh eksekutif partai.(34) Dengan adanya keanggotaan perseorangan, Masyumi berhasil menghimpun para intelektual yang tangguh seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem dan Sjafruddin Prawiranegara dan lain-lain. Tiga orang inilah yang banyak mengarahkan perjalanan partai karena kefasihan mereka merumuskan pemikiran politiknya. Namun demikian mewakili siapakah mereka melontarkan pemikiran politiknya? Apakah artinya keanggotaan organisasi kalau juru bicara partai orang yang tidak mempunyai basis organisasi? Mampukah mereka menghayati aspirasi para anggota berdasarkan organisasi? Pertanyaan-pertanyaan ini agaknya dapat mewakili keberatan NU sehingga, ia lebih condong kepada bentuk federasi. 

Walaupun NU, seperti dikatakan di atas, agaknya cukup puas dengan kedudukan di dalam Majelis Syuro, bukan berarti ia tidak menyadari bahwa eksekutif dipegang oleh tokoh-tokoh modernis (pembaharuan ) atau "orang-orang sekolahan" menurut ucapan Nurcholis Madjid kepada Ahmad Syafii Maarif.(35). Seolah ingin mengungkapkan suatu kekecewaan Saifuddin Zuhri mengatakan: "Soalnya sederhana saja, Nahdlatul Ulama merasa diperlakukan tidak adil oleh dominasi golongan dan perorangan yang kuat kedudukannya lantaran struktur organisasi yang berlaku."(36) Ucapan ini ditujukan kepada kelompok pembaharuan.(37) Bahwa NU diperlakukan tidak adil dibantah oleh Maarif sambil mengajukan rekaannya terhadap pandangan kaum pembaharu: 

Dari sisi pandangan modernis, cara menempatkan kedudukan para ulama (kyai) itu sudah dipandang cakup adil, karena Dewan Partai (Majelis Syuro) memang diciptakan untuk mereka, sedangkan Dewan Eksekutif untuk para politisi yang berpengalaman, yang kebetulan sebagian terdiri dari golongan modernis. Pihak NU mungkin akan bertanya: Mengapa pintu ditutupi bagi para kyai untuk dilatih menjadi politisi yang berpengalaman?(38) 

Selanjutnya ia menambahkan: 

Pada waktu itu tampaknya kelompok modernis kekurangan data sosial dalam membaca faktor religius-psikologis yang amat penting ini. Sekiranya waktu itu mereka cukup arif dan bijaksana, sayap pesantren dan umat mungkin tidak menarik diri dari Masyumi, sebab bukankah para kyai ini pula yang juga menjadi Bapak Pendiri partai yang dibentuk tiga bulan setelah kemerdekaan RI diproklamasikan?(39) 

Pandangan Maarif ini benar-benar mewakili visi kelompok pembaharu yang menganggap diri lebih mampu karena latar belakang pendidikan modern yang mereka peroleh. Keluhan yang diajukan oleh Maarif belum mewakili keluhan NU. Secara lebih tajam keluhan itu harus diungkapkan demikian: Mengapa kaum pembaharu tidak memperhatikan sejarah di mana para ulama dengan caranya sendiri telah berjuang aktif? Atas dasar apakah kaum pembaharu meremehkan kemampuan politik para ulama, apakah berdasarkan pendidikan atau berdasarkan pandangan keagamaan? Terlepas dari latar belakang para ulama dalam NU, yang sangat kurang mengecap pendidikan modern, menyingkirkan NU dari panggung politik sebenarnya menyangkal peranan klasik ulama di mana aspek politik selalu terkait erat. G.H. Jansen seorang diplomat Inggris yang lama bekerja di kota-kota Kairo, Istambul, Jakarta dan Beirut selama 25 tahun, dengan tepat melukiskan potensi ulama kendatipun mereka dijuluki tradisional dan konservatif: 

Adalah sama sekali tak islami kalau seorang ulama Islam tidak tertarik dan bergerak dalam bidang politik, karena itu berarti bahwa mereka bermasa bodoh terhadap nasib ummat muslimin. Salah satu alasan mengapa ulama mendapat kedudukan di dunia politik, ialah terutama karena mereka adalah kelompok orang-orang yang dihormati di setiap negara muslim . . . Mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh tradisionalis dan konservatif tetapi justru karena itu mereka dianggap berhasil. Maksudnya berhasil memelihara tradisi Islam dalam bentuk yang hidup, bukan sebagai mummi.(40) 

Selanjutnya dia menambahkan, dengan mengutip L. Binder 

Islam tradisional telah disatukan oleh tradisi dan organisasi para ulama. Mereka adalah tokoh-tokoh terpelajar Islam yang sampai hari ini berhasil mempertahankan kedudukan mereka sebagai penjaga-penjaga simbol Islam. Hak eksklusif mereka dalam menafsirkan Islam hanya akhir-akhir ini saja dibantah orang. Mereka juga berhasil memelihara semua pokok-pokok ajaran Islam sejak abad pertengahan. Ini adalah hasil yang besar bagi suatu lembaga yang tidak berbentuk semacam itu.(41) 

Bagi NU kedudukan Majelis Syuro bukan sekedar kehormatan. Agaknya bagi NU kedudukan Majelis Syuro dalam Masyumi merupakan pengalihan model struktur NU sendiri yaitu yang disebut di dalam organisasi NU sebagai Majelis Syuriah (ketuanya disebut Rois Am). Dalam NU ia merupakan badan tertinggi yang tugas utamanya "mengawasi dan memimpin gerak langkah" NU. Kemudian hari setelah NU keluar, Masyumi menetapkan "dalam Anggaran Rumah Tangga tahun 1953, perkataan wajib dalam rangka Majelis Syuro itu dihapuskan".(42) Selama NU masih bergabung dalam Masyumi tampaknya kedudukan Majelis Syuro dianggap atau diusahakan menjadi semacam badan penasehat, suatu hal yang dengan gigih di tentang oleh NU.(43) 

Fungsi hanya sebagai penasehat yang diberikan kepada Majelis Syuro juga dirasakan sebagai usaha, untuk mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan keagamaan dalam keputusan-keputusan dan kebijaksanaan partai. NU menuntut agar Majelis Syuro yang sudah berdiri sejak tahun 1945 itu berfungsi sebagai badan yang dipimpin oleh ulama terkemuka yang bertugas meninjau keputusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan Majelis Dewan Partai (Eksekutif) yang dianggap bertentangan dengan Islam.(44) 

Dalam pandangan NU, kalau Masyumi sungguh-sungguh akan meniadi partai Islam, maka peranan ulama harus diakui sebagai pengawas kiprah partai agar partai selalu bekerja sesuai dengan gagasan keislaman. Pandangan inilah yang menyebabkan NU seperti sudah saya katakan cukup puas dengan kedudukan di dalam Majelis Syuro walaupun eksekutif didominasi oleh kalangan pembaharuan. Bukankah itu menandakan NU telah menunjukkan sikap yang arif? Para pemimpin Masyumi (eksekutif) — yang memperoleh pendidikan modern (Barat) — mungkin melupakan bahwa NU adalah organisasi yang khas, organisasi massa yang bersifat keagamaan (Jamiah diniyah) dengan basis pesantren dan kedudukan ulama. Kedudukan ulama yang kuat dan menentukan diperoleh bukan karena gagasan yang gemilang atau karena kepandaian merumuskan pemikiran politik tetapi karena statusnya di mata umat sebagai, meminjam istilah Zuhri, "penggembala umat".(45) 

Perbedaan latar belakang pendidikan dan paham keagamaan (akibat politik etis Belanda dan paham pembaharuan dalam agama (46) ) para tokoh eksekutif Masyumi dengan para ulama mencuat dalam konflik intern Masyumi. Para tokoh eksekutif Masyumi merasa dirinya lebih mampu mengelola partai dan merasa juga bahwa pemahaman keislaman mereka dan aktivitas mereka di dalam pergerakan Islam tak perlu diragukan lagi.(47) Dengan demikian Masyumi sebenarnya partai yang rapuh. 

Masyumi yang sangat diharapkan oleh kalangan muslim sebagai satu-satunya saluran aspirasi politik Islam, hanya kurang lebih dua tahun saja mampu bertahan. Harapan itu sudah sirna pada tahun 1947 ketika beberapa tokoh eks Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Arudji Kartawinata dan Wondoamiseno, keluar dari Masyumi dan mendirikan kembali PSII.(48) Tindakan partai ini karena ada peluang untuk mendapat posisi dalam kabinet Amir Sjarifuddin. Dan PSII memang kemudian memperoleh enam kursi dalam kabinet.(49) Masyumi yang semula menolak untuk mendukung kabinet menjadi goyah dan kemudian memberikan dukungannya.(50) Hancurlah mitos Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik Islam. Dari sudut persatuan muslim sudah tentu sikap PSII dikecam habis-habisan, namun demikian dari sudut politik — yang senantiasa mementingkan kemenangan golongan — sikap PSII sudah tentu cukup wajar. Keluarnya PSII menunjukkan kurangnya komitmen persatuan di kalangan tokoh pendukung Masyumi. Dengan ikutnya Masyumi mendukung kabinet maka "dalam satu kabinet ada dua partai Islam yang duduk di dalamnya."(51) 

Kiprah Masyumi banyak sekali diwarnai oleh pemikiran para tokohnya — dan jangan lupa — umumnya berlatar belakang pendidikan Barat. Kendatipun kedua tokoh PSII yang telah kita sebut tadi — menurut Noer —  keluar dari Masyumi karena kedudukan mereka yang kurang memuaskan (52), agaknya kerapuhan partai ini juga disebabkan oleh perbedaan orientasi ideologi politik para tokohnya. Pengamatan Abu Hanifah, seorang tokoh Masyumi, mengungkapkan hal itu: 

Ketua Masyumi pertama adalah pemimpin muslim terkenal dari Sarekat Islam lama, yaitu Dr. Soekiman. Kelompok pemikirnya terdiri dari pemimpin-pemimpin intelektual muslim yang lebih muda. seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman, Jusuf Wibisono dan saya sendiri. Kelompok yang lebih muda ini termasuk ke dalam golongan sosialis 'religius'. Jalan pikiran mereka sedikit berbeda dengan kelompok pemimpin muda muslim yang lain dibawah pimpinan Mohammad Natsir. Dalam perkembangan selanjutnya terdapat tiga kelompok dalam Masyumi: Kelompok konservatif yang umumnya terdiri dari pemimpin-pemimpin agama muslim; kelompok moderat yang terdiri dari Mohammad Natsir, Sjafruddin, Roem; dan kelompok sosialis religius yang lebih berpikir secara Barat seperti Dr. Soekiman, Jusuf Wibisono dan saya sendiri. Kelompok moderat secara politis lebih dekat kepada Sjahrir. sementara kelompok konservatif dan sosialis religius kebetulan lebih sering berdampingan terutama selama tabun-tahun pertama revolusi.(53) 

Boland setuju dengan George Kahin yang melukiskan para pemimpin Masyumi (Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Jusuf Wibisono dan Abu Hanifah) banyak dipengaruhi oleh ajaran Muhammad Abduh, dan di pihak lain terdapat golongan  konservatif (unsur NU dan Muhammadiyah) dan sebagai golongan  penengah disebutkan Sukiman dan Prawoto Mangkusasmito.(54) 

Walaupun terdapat perbedaan di antara Abu Hanifah dan Kahin dalam cara pengelompokan dan dalam penempatan nama-nama tokoh, sekurang-kurangnya keduanya menegaskan pengaruh tokoh terhadap kiprah partai. Masyumi mengalami kesukaran merumuskan langkah dan kebijaksanaannya. "Kegagalan mengarahkan dan menangani secara bijak perbedaan-perbedaan pendapat dan kecenderungan ideologi tersebut ke arah persamaan sikap secara wajar, kemudian ternyata telah menghadapkan Masyumi pada problem-problem yang serius," demikian Maarif.(55) Problem yang serius itu — mungkin yang paling serius — adalah ketegangan antara kelompok intelektual (dari kalangan pembaharuan, para eksekutif partai) dan kelompok ulama. 

Apakah tujuan berdirinya Masyumi? Dalam Anggaran Dasar tahun 1945 ditetapkan tujuan berdrinya Masyumi : 

a. Menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan Agama Islam. 
b. Melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.(56) 

Apakah Masyumi mengutamakan berdirinya 'masyarakat Islam' atau 'negara Islam'? Yang tegas menyebutkan negara Islam sebaga tujuan Masyumi adalah sumber dari Wahid Hasyim: "untuk mewujudkan masyarakat dan negara Islam".(57) Boland menyangsikan ketepatan kutipan dari Hasjim ini.(58) Kemungkinan sekali Masyumi berharap perwujudan negara Islam akan mudah terlaksanakan bila ia kemudian memenangkan pemilihan umum. Harapan itu termaktub dalam program aksi yang dikeluarkan tanggal 17 Desember 1945 yang bermaksud "memperkuat dan menyempurnakan dasar-dasar pada Undang-Undang Dasar Rl sehingga dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam" dan karena itu partai menuntut suatu pemilihan umum "yang umum dan langsung".(59) Ada dua bidang, bidang sosial dan ekonomi, yang ditekankan oleh program tersebut: 

Dalam bidang sosial partai menuntut: 1. adanya undang-undang guna kesejahteraan umum yang mencakup larangan segala macam perjudian minuman keras dan madat, perzinahan dan riba; 2. undang-undang yang memberi perlindungan kepada kaum buruh secukupnya dengan kesempatan cukup untuk rnelakukan syariat Islam dalam waktu kerja, upah umum, pembatasan jam kerja, bantuan kecelakaan dan bantuan hari tua, penjagaan keamanan dalam bekerja, kesehatan dan perumahan, serta mempertinggi kecerdasan dan juga kesempatan untuk beristirahat; 3. undang-undang yang memberi jaminan pada kaum tani dalam hak memiliki sebidang tanah untuk jaminan hidup berumah tangga, perbaikan alat dan bibit pertanian, perlindungan penjualan hasil bumi di dalam dan di luar negeri, peningkatan derajat dan modernisasi rumah tangga desa serta peningkatan kecerdasan kaum tani khususnya mengenai pertanian; 4. hal yang sama dilakukan untuk keperluan para nelayan. Partai juga menuntut terbit dan terlaksananya undang-undang kewajiban belajar.  

Dalam bidang ekonomi partai berpendapat bahwa: 1) negara wajib mengadakan kemungkinan berusaha dan memberikan lapangan kerja kepada warga negaranya; 2) perekonomian rakyat perlu disusun atas dasar gotong royong, yang di dalamnya usaha perseorangan tidak boleh merugikan kepentingan umum, 'bahkan harus ditujukan ke arah menjamin kemakmuran bersama'; 3) pembatasan hak milik perseorangan dengan 'ketentuan-ketentuan agama Islam (pemberian zakat, kurban dan lain sebagainya)'; 4) sistem kapitalisme yang nyata mengandung kepentingan perseorangan belaka harus ditentang.(60) 

Kesan kita dengan bunyi program di atas adalah sifat pragmatismenya. Sesuatu yang tidak mengherankan karena program itu banyak persamaannya dengan Tafsir Asas PSII tahun 1917 dan memang besar sekali pengaruh Sukiman (eks PSII) ketua Masyumi dalam perumusannya.(61) Menurut Noer kepemimpinan di dalam Masyumi pada tahap awal (1945-1949) didominasi oleh "kalangan yang lebih tua" yang disebut kelompok Sukiman dan barulah pada tahap selanjutnya (1952-1960) didominasi oleh "kalangan yang lebih muda" yang disebut kelompok Natsir.(62) "Antara kedua masa ini (1950-1952) dijumpai fase peralihan, ketika kalangan yang lebih tua tampak berusaha bertahan dan kalangan yang lebih muda mendesakkan garis dan kedudukan kepemimpinannya."(63) Berarti garis perjuangan partai tidak konsisten, tetapi mudah berubah sesuai dengan pemikiran pimpinannya (eksekutif). Kesan keagamaan lebih kuat dalam Manifesto Politik tanggal 6 Juni 1947; "Republik Indonesia, yang penduduknya sebagian besar menganut agama Islam, haruslah merupakan suatu negara dengan suatu undang-undang yang berlandaskan asas-asas yang sesuai dengan agama ini atau tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.(64) Dan pada tahun 1948 Masyumi memutuskan "agar pemerintah harus didesak untuk mewajibkan pendidikan agama di sekolah dasar dan sekolah menengah".(65) Mengenai ini Kahin memberi komentar bahwa "kelompok kecil yang bersikap konservatif dalam Majelis Syuro lebih banyak memberikan perhatian kepada pendidikan Islam dan amal keagamaan secara formal daripada segi sosiai ekonomi dalam program Masyumi tersebut".(66) Ini menunjukkan bahwa sejak semula Masyumi telah mengalami ketegangan yang serius antara kepentingan politik yang cenderung pragmatis dan kepentingan keagamaan (dalam visi tradisional para ulama). Oleh karena itu keluarnya NU dari Masyumi hanya soal waktu saja. Ketika Masyumi menolak calon NU untuk duduk sebagai menteri agama dalam Kabinet Wilopo tahun 1952 melalui "pemungutan suara"(67), maka NU menyatakan diri keluar dari Masyumi. Seperti yang dikatakan oleh Saifuddin Zuhri soal menteri agama hanyalah picu peledak saja: 

Masalah Menteri Agarna cuma picu peledak dari ketidakpuasan akibat kebijaksanaan-kebijaksanaan partai. Keliru kalau orang hanya melihat itu sebagai masalah pokoknya. Soalnya bisa dipahami dengan pertanyaan, cukup pantaskah suatu kekuatan besar seperti NU secara terus menerus dikurangi perannya, lalu satu-satunya yang masih dimiliki diambil lagi.(68) 

Menurut hemat saya, kalau NU menuntut dengan gigih kursi menteri agama didorong oleh ciri khas NU sebagai organisasi ulama dan lagi pula ciri khas itu secara tidak langsung diakui Masyumi dengan menyerahkan pimpinan Majelis Syuro kepadanya. NU mengharapkan melalui jabatan menteri agama pemberlakuan ajaran Islam — sepanjang dimungkinkan di negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dapat dilakukan secara maksimal! Dengan nada pahit Idham Chalid (dalam kepengurusan NU 1952 menjabat sekretaris umum dan 1956 ketua umum(69) ) mengungkapkan kekecewaan NU: 

Ini terus terang saja waktu itu 5 menteri Masyumi, 4 sudah diambilnya. Departemen Agama masih diambilnya juga. Kalau orang mengatakan, NU pecah, karena kursi meninggalkan Masyumi kata Masyumi.  

Baik, baik — karena kursi. Apa tidak pantas, tuan-tuan mengambil 4 kursi, satu yang dituntut oleh NU. Karena sekarang tuan-tuan tidak mau memberikan, tuan-tuan mau NU pecah karena kursi, sedang tuan-tuan telah punya, salah siapa. Kalau kita bersaudara mempunyai milik lima lantas tuan-tuan sudah ambil 4, kita cuma nuntut satu tidak diberi, kita pecah. Hujjahnya salah siapa — kalau memang benar karena kursi — saya mau tanya.(70) 

Keputusan untuk keluar dari Masyumi diambil dalam Muktamar di Palembang Mei 1952 sambil memberi amanat kepada pengurus: 

 
  1. Pelaksanaan keputusan tersebut agar jangan sampai menimbulkan kegoncangan di kalangan umat Islam Indonesia. 
  2. Pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan dengan perundingan terlebih dahulu dengan Masyumi, dan 
  3. Keputusan ini dijalankan dalam hubungan yang lebih luas yang berkenan adanya keinginan untuk membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya lebih tinggi, dimana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam baik yang sudah maupun belum tergabung dalam Masyumi dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama.(71) 

Muktamar di Palembang juga memutuskan NU menjadi partai politik dengan asas dan tujuan: 

Nahdlatul Ulama berasas agama Islam dan bertujuan:  
a. Menegakkan syari'at Islam, dengan berhaluan salah satu daripada 4 madzhab: Syafi'i, Maliki, Hanafi dan Hambali.  
b. Melaksanakan hukum-hukum Islam dalam masyarakat.(72) 

Rumusan ini hampir tidak ada bedanya dengan rumusan Anggaran  Dasar 1926. NU dalam wujudnya sebagai partai politik tetap mempertahankan ciri-cirinya sebagai penganut ajaran mazhab. Orang yang tidak mengakui wibawa keempat mazhab tidak dapat menjadi anggota. Tradisi Islam khususnya tradisi keempat mazhab akan tetap menjadi rujukan kiprah politiknya. 

Menekankan peranan mazhab merupakan letak kekuatan NU, sementara Masyumi dengan tokoh-tokohnya yang berlatar belakang pendidikan Barat masih bergantung pada pemikiran individu. Nanti kita akan melihat bahwa Masyumi baru pada akhir Agustus 1952 menyusun ideologinya yang disebut sebagai Tafsir Asas (Penjabaran Anggaran Dasar).(73) Saya kurang setuju dengan pendapat Boland bahwa "rumusan politik keagamaan mereka malahan tidak begitu jelas watak Islamnya dibanding dengan Masyumi".(74) Karena, sesuai dengan watak tradisionalnya ia cukup mengajukan rumusan bila diperlukan, dengan menggali dari khazanah tradisi. G.H Jansen melukiskannya dengan fasih: 

... NU selalu dituduh oportunis dan tidak mempunyai program atau ideologi sendiri yang jelas. Dan memang ia tak membutuhkannya, karena dengan hanya mengulang ulang tujuan-tujuan tradisional dan skolastiknya ia dapat dengan leluasa melakukan langkah-langkah politik demi kelangsungan hidupnya...(75) 

Segera setelah memutuskan keluar dari Masyumi, NU menggalang persatuan yang bersifat federatif bersama dengan PSII dan  Persatuan Tarbiyah Islamiyah (untuk selanjutnya disingkat PER TI) dalam wadah yang disebut Liga Muslimin Indonesia.(76) PERTI  didirikan pada tahun 1930 di Bukit Tinggi.(77) Organisasi ini juga 
berwatak tradisional; bedanya dengan NU adalah bahwa ia hanya 
berpegang teguh pada satu mazhab saja, yaitu mazhab Syafii.(78) Liga Muslimin Indonesia yang dibentuk pada tanggal 30 Agustus 1952 ini bertujuan "untuk mencapai masyarakat Islamiyah" yang sesuai dengan hukum Allah dan Sunnah Rasul.(79) Dalam mencapai tujuan itu disusunlah usaha yang menekankan perlunya kerja sama sesuai dengan keinginan NU sebelumnya: 

  1. Mengatur rencana bersama mengenai tindakan-tindakan besar bagi kepentingan umat Islam Indonesia dalam segala lapangan hidup dan kehidupan. 
  2. Menghimpun organisasi-organisasi Islam Indonesia untuk bekerja atas dasar rencana bersama yang telah ditentukan. 
  3. Membantu menyuburkan kemajuan organisasi-organisasi Islam Indonesia. 
  4. Mengadakan kesatuan aksi bagi gerakan-gerakan Islam sewaktu-waktu yang bersifat umum. 
  5. Menyelenggarakan hubungan dan kerja sama antara umat Islam Indonesia dan umat Islam sedunia. 
  6. Mengadakan Kongres Islam Indonesia atau permusyawaratan yang bersifat demikian, baik dalam tingkat lingkungan dunia. 
  7. Lain-lain usaha dalam hubungan soal-soal yang tersebut pada angka 1 sampai 6 di atas.(80) 

Walaupun makna Liga ini dapat saja dinilai kecil oleh beberapa sarjana seperti Noer(81) dan Boland(82), namun ada beberapa hal menarik untuk dicatat. Pertama PSII (sebelum menjadi partai, termasuk golongan pembaharuan) dapat bergabung dengan golongan tradisional (NU dan PERTI) dalam wadah yang bersifat federatif. Kedua, terlepas dari sifat wadah, dengan berdirinya Liga ini maka ada dua wadah perhimpunan kalangan Islam, berarti makin luas pula perpecahan di kalangan umat Islam. Ketiga, NU tetap berusaha menyatakan niatnya membina hubungan atau kerja sama dengan golongan muslim lainnya. Keempat, agaknya perlu dicatat pendapat Maksoem Machfoedz tentang terbentuknya Liga ini, yang memudahkan, katanya adalah, bahwa PSII walaupun tidak mencantumkan mazhab dalam asasnya tetapi ia "tidak pernah mempersoalkan sistematika penyerapan agama Islam".(83) Sudah tentu yang ingin dikatakannya bahwa walaupun PSII termasuk kalangan pembaharuan tetapi ia tidak suka mempersoalkan masalah keagamaan sehingga NU dapat bekerja sama dengan PSII. Memang dalam Kongres Islam pada dekade duapuluhan adalah Muhammadiyah yang gencar menyerang tradisi, sedangkan PSII (ketika itu SI) lebih suka menggalang persatuan ketimbang mempersoalkan masalah keagamaan.(84) Perpecahan antara Masyumi dengan NU merupakan ulangan peristiwa yang telah terjadi pada masa penjajahan Belanda. 

Fenomena ini dapat pula berarti bahwa corak bersatu-berpecah dikalangan umat Islam adalah ulangan belaka dari peristiwa yang terjadi pada periode pra-MIAI, dan sesudah kemerdekaan muncul ke permukaan kembali. Dengan demikian ikrar November (berdirinya Masyumi) ternyata belum mampu mencegah umat dari bencana perpecahan. Bila sebelumnya berpecah karena khilafiah, maka sesudah kemerdekaan berpecah karena soal-soal politik 

Tentang gejala bersatu-berpecah dikalangan umat, menurut K.H.A. Sjaichu (seorang tokoh NU), memang cerminan dari kelemahan yang disebabkan oleh dua faktor: 1. Umat masih belum memiliki kepemimpinan yang dapat diandalkan. Inilah salah satu sebab mengapa persatuan masih sering goyah; 2. Sebagai konsekuensi logis dari faktor pertama, maka pemimpin-pemimpin umat sering benar membuat keputusan-keputusan politik tanpa mempertimbangkan secara mendalam dampak masa depan bagi umat secara keseluruhan.(85) 

Dan bersamaan waktu dengan terbentuknya Liga, pada akhir Agustus Masyumi mencetuskan Tafsir Asas dan Program Perjuangan Partai.(86) Tafsir Asas ini terutama merupakan karya Mohammad Natsir dan Program Perjuangan karya Jusuf Wibisono.(87) Dengan demikian barulah pada tahun 1952 — sesudah NU keluar dari Masyumi — Masyumi mempunyai rumusan ideologi dan program yang baku. Dan, Masyumi sekarang dikendalikan oleh tokoh Natsir, seorang tokoh pembaharuan yang progresif dan fasih dalam merumuskan pemikirannya. 

Tafsir Asas ini disusun dengan kesadaran yang tinggi tentang situasi internasional yaitu, persaingan ideologi kapitalisme dan komunisme. "Perkembangan terjadinya kedua kekuatan itu juga dikemukakan, dan analogi dibuat dengan membandingkannya dengan cerita-cerita dalam Quran".(88) Seolah dengan itu ingin ditegaskan bahwa Islam adalah alternatif di antara kedua ideologi tadi. Noer merangkum pokok-pokok Tafsir Asas itu sebagai berikut: 

  1. Paham kebendaan bertentangan dengan Islam. Islam mengajarkan untuk mempergunakan harta dan sumber alam untuk memperbesar kebahagiaan hidup bagi segenap manusia tanpa melupakan bagian akhiratnya. 
  2. Kekuasaan sewenang-wenang tidak dapat menghasilkan kepuasan dan kebahagiaan. Ini menghendaki kemerdekaan. Islam menuntut menciptakan masyarakat yang ber-ulil amri (pemerintahan yang memegang kekuasaan menurut hukum dan musyawarah) berdasar musyawarah untuk tegaknya keadilan sesuai dengan kitab-kitab suci agama, dan akhirnya Quran. 
  3. Hak-hak dasar manusia tidak akan bermanfaat bagi rakyat kebanyakan bila hak didahulukan dan kewajiban segan dilaksanakan. Islam menyadarkan manusia pada syarat pelaksanaan hak tersebut, yaitu syarat tamyiz (kesengajaan) dan tertib.
  4. Paham perpecahan dan golongan hendaklah ditolak. Persaudaraan ditegakkan, damai dipelihara, dan perselisihan diselesaikan tanpa kekerasan. Muslim adalah "umat pertengahan". 
  5. Muslim Indonesia, di samping mempunyai kewajiban terhadap bangsa dan tanah air, juga mempunyai kewajiban terhadap dunia dan umat manusia.(89) 

Sebelum menguraikan Tafsir Asas, Noer banyak memberikan uraian mengenai paham Natsir. "Menurut Natsir, Islam bukan semata-mata religi, yaitu agama dalam pengertian rohaniah saja. Islam mengatur hubungan antara manusia dan Allah, dan antara sesama manusia ... yang tidak rnengenal pemisahan agama dari politik".(90) Dari sini Natsir menegaskan bahwa "menegakkan Islam tidak dapat dengan membiarkan pembinaan masyarakat dan negara dengan cara dan paham lain".(91) Tetapi Natsir rajin sekali menekankan bahwa konsep politik Islam sangat sesuai dengan perkembangan modern, seperti penerimaannya terhadap sistem demokrasi, parlemen, dan bahwa Islam tidak bertentangan dengan Pancasila, dan sebagainya.(92). Namun demikian, "Natsir mengingatkan pula bahwa sungguhpun Pancasila 'mengandung tujuan-tujuan Islam, Pancasila itu bukanlah berarti Islam'. Oleh sebab itu, ada cita-cita lain lagi yang perlu ditegakkan oleh muslim".(93) Cita-cita lain itulah yang kemudian akan diperjuangkan oleh Masyumi di dalam Konstituante.(94) 

Kembali kepada Tafsir Asas. Ditinjau dari sistematika bahasan dan pokok-pokok yang dibahas sungguh suatu karya yang pantas dipuji dan sangat setia mencari rujukan pada ayat-ayat Quran. Tetapi sepintas kilas Tafsir Asas ini sangat kabur napas keislamannya dan mungkin sekali hanya dimengerti oleh orang yang berpendidikan modern atau oleh orang yang hidup di kota-kota! Dan, memang para pendukung Masyumi adalah orang-orang yang hidup di kota, kelas menengah dan kaum pedagang.(95)

Demikian pula Program Perjuangan, tidak lebih dari mensakan pemikiran modern (Barat) dalam bidang kenegaraan, ekonomi keuangan, sosial, pendidikan dan kebudayaan, dan sebagainya 

 
  1. Kenegaraan. Masyumi memperjuangkan negara hukum menurut Islam dalam bentuk Republik dan agar negara menjamin keselamatan jiwa dan benda dan kebebasan agama. 
  2. Perekonomian. Perekonomian hendaklah diatur menurut asas ekonomi terpimpin untuk kesejahteraan rakyat. Monopoli dilarang. Dan sebagainya. 
  3. Keuangan. Perlu dikeluarkan undang-undang Bank dan pengawasan kredit, serta penyederhanaan pajak. Dan sebagainya. 
  4. Sosial. Perlu penyempurnaan undang-undang perburuhan dan memperhatikan jaminan sosial. Dan sebagainya. 
  5. Pendidikan dan Kebudayaan. Agar pernerintah membantu sekolah swasta, memajukan pendidikan agama, serta menekankan perlunya ketrampilan disamping pengetahuan. Dan sebagainya. 
  6. Dan seterusnya.(96) 

Sementara itu Anggaran Dasar Masyumi mendapat rumusan baru. Dalam Anggaran Dasar 1945 (menurut Boland berlaku sejak 1952)(97) tercantum bahwa tujuan Masyumi: "Terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang-seorang, masyarakat dan Negara Republik Indonesia, menuju keridlaan Ilahi".(98) Boland melihat rumusan ini agak samar-samar dan menanyakan: "Sampai di manakah rumusan ini memang sengaja disusun secara samar-samar dan karena itu dapat diberi tafsiran beraneka ragam dalam umat Islam itu sendiri?," demikian antara lain pertanyaan Boland.(99) Terlepas dari segi apakah ia samar-sarnar atau tidak, ada pergeseran rumusan dari "cita-cita Islam" (dalam Anggaran Dasar 1945) menjadi "ajaran dan hukum Islam", mungkin dengan maksud mendapat dukungan yang lebih luas setelah keluarnya NU. Saya rasa istilah "ajaran dan hukum Islam" akan lebih akrab bagi golongan tradisional. Tetapi ini hanyalah kemungkinan saja. .Namun demikian, sekurang-kurangnya kita melihat bahwa Masyumi setelah keluarnya NU berusaha memantapkan ideologinya. 

 
Mengamati ideologi (Tafsir Asas) dan Program Perjuangan Masyumi suatu kenyataan terungkap, bahwa rumusan Masyumi nyata sekali menggunakan bingkai pemikiran modern (Barat) dan mengisinya dengan semangat Islam. Hal ini mungkin didorong Oleh semangat menjadi modern dan rasional sehingga yang menonjol akhirnya kaum intelektual dengan pemikirannya ketimbang peranan ulama yang bertumpu pada tradisi. Pengamatan Rahman hampir secara tepat mengungkapkan fenomen ini ketika ia mengamati peranan kaum pembaharuan (modernis) dalam beberapa negara Islam: 

Sebagian besar tokoh teras dalam pemerintahan-pemerintahan Islam adalah modernis: meskipun banyak yang pada dasarnya (jiwanya) sekuler. Namun setidaknya secara lahir mereka mengaku sebagai modernis baik demi kepentingan politik belaka maupun karena berusaha untuk menjaga perasaan khalayak (masyarakat). Tetapi di bidang ini pun para modernis tidak mampu rnenyusun teori yang konsisten tentang negara Islam, yang bisa disesuaikan dengan konsep-konsep demokrasi Barat mereka dengan citra ideal Islam. Sebenarnya bukan Islam yang mereka pakai sebagai titik tolak, melainkan konsep-konsep demokrasi itu.(100) 

Jika pengamatan ini dapat dikenakan kepada Masyumi, maka besar sekali jurang perbedaan antara Masyumi dengan NU! Lagi pula, upaya menyingkirkan ulama dari panggung politik memang bersesuain dengan watak kaum pembaharuan yang menekankan ijtihad ketimbang pendapat tradisi dan pendapat ulama. Dengan meminjam kalimat Rahman: Sebenarnya, dengan menampik 'kelas kyai' dalam Islam, para modernis bermaksud menurunkan para ulama dari panggung. Kemudian mengganti otoritas ulama dengan kelompok lain yakni mereka sendiri bersama para legislator awam sesamanya.(101) Ucapan seorang tokoh Masyumi yang menjadi walikota Yogyakarta, Mohammad Saleh, dalam Kongres Masyumi 1949, memperkuat kesan Rahman ini: "Ini adalah politik . . . Politik ini saudara-saudara tidak bisa dibicarakan sambil memegang tasbih, jangan dikira skop (scope)-nya politik ini hanya di sekeliling pondok dan pesantren saja. Dia luas menyebar keseluruh dunia."(102) Ketika tuntutan wakil NU agar Mohammad Saleh menarik kembali ucapannya ditolak, "sekitar tiga puluh orang NU meniggalkan ruangan."(103) NU sangat tersinggung akibat ucapan itu, karena untuk pertama kali wibawa dan peranan ulama digugat dalam suatu forum justru setelah berada di alam kemerdekaan. Penepatan Majelis Syuro — yang diharapkan menjadi pengakuan peraan ulama sebagai penasehat partai, merupakan penyingkiran secara tidak langsung peranan ulama dari politik. 

Bergabungnya NU dalam Masyumi menjadi pengalaman berharga bagi NU; ia mulai mengalami liku-liku politik, sesuai yang relatif baru baginya. Bahkan, mempertegas perbedaan visi kaum pembaharuan dengan visi ulama; bagi NU politik ingin dijadikan perluasan peranan ulama, sedangkan bagi kaum pembaharuan untuk mewujudkan cita-cita Islam tetapi mengabaikan pengemban utamanya ynitu ulama. Peranan ulama digantikan oleh analis intelektual para eksekutif partai tanpa rujukan tradisi yang menjadi anutan NU. Kalau begitu Masyumi akhirnya merupakan organisasi ideologi (keislaman), sedangkan NU sejak semula adalah organisasi massa (dengan peranan ulama dan pesantren sebagai basis) Siapa atau apakah yang menentukan? Politisi atau ulama? Ideologi atau tradisi? Inilah pertanyaan dilematis yang dipecahkah dengan perpecahan!
___________________________ 
  1. Lihat, Supra, hlm. 36. 
  2. C.S.T. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1981, edisi baru), hlm. 29.
  3. Lihat, Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta dan Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis "Sehuler" tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, semula tesis MA di McGill University Montreal Kanada, 1976, (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), hlm. 3-12. 
  4. Lihat, Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, semula tesis Ph.D pada University of Chicago Amerika Serikat 1982, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 101-110. Untuk selanjutnya disebut Maarif, Islam
  5. Tanja, op. cit., hlm. 35. 
  6. Lihat, Pranarka, op.cit., hlm. 26-28. 
  7. Lihat, Ibid., hlm. 28-30. 
  8. Lihat, Ibid., hlm. 31-33. 
  9. Anshari, op. cit., hlm. 29. 
  10. Boland, op cit., hlm. 27.; Biasanya dimengerti sebagai "jalan tengah" antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam, Ibid., hlm. 29; Menurut Pranarka sebenarnya ada tiga ideologi dalam Badan Penyelidik; Ideologi kebangsaan (nasionalisme), Ideologi Islam dan Ideologi Barat Modern Sekuler. Lihat, Pranarka, op. cit., hlm. 47-51, 281-282. 
  11. Lihat, Ibid., hlm. 28-29. 
  12. Anshari, op.cit., hlm. 47; Bandingkan, Maarif, Islam, hlm 102. 
  13. Lihat, Ibid., hlm. 2 9-4 8. 
  14. Tanja, Himpunan., hlm. 36, Bandingkan, Maarif, op.cit., hlm 108. 
  15. Ibid., hlm. 37; Bandingkan Noer, Partai Islam. hlm. 41. 
  16. Boland, op. cit., hlm. 3 9. 
  17. Noer, Partai Islam, hlm. 39-40. 
  18. Ibid., hlm. 41. 
  19. Ibid., hlm. 42. 
  20. Lihat, Tanja, Himpunan hlm. 37-38. 
  21. Boland, op.cit., hlm. 41; Bandingkan, W.B Sidjabat, Religious Tolerance and the Christian Faith, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1965), him. 74. 
  22. Lihat, Noer, Partai Islam, hlm. 41. 
  23. Ibid., hlm. 4I-42. 
  24. Bandingkan, Tanja, Himpunan, hlm. 38-39. 
  25. Boland, op.cit., hlm. 40-41.
  26. Lihat, Pranarka, op. cit., hlm. 66; Segera setelah keluarnya Maklumat maka berdirilah partai-partai politik. Secara khronologis dapat disebut: 1. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), dipimpin oleh Dr Sukiman, berdiri 7 November 1945; 2. PKI (Partai Komunis Indonesa), dipimpin oleh Mr. Moh. Jusuf, berdiri 7 November 1945; 3. PBI (Partai Buruh Indonesia), dipimpin oleh Njono, berdiri 8 November 1945; 4. Partai Rakyat Jelata, dipimpin oleh Sutan Dewanis, berdiri 8 November 1945; 5. Parkindo (Partai Kristen Indonesia), dipimpin oleh Ds. Probowinoto, berdiri 10 November 1945; 6. PSI (Partai Sosialis Indonesia), dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin, berdiri 10 November 1945; 7. PRS (Partai Rakyat Sosialis), dipimpin oleh Sutan Sjahrir, berdiri 20 November 1945; 8. PKRI (Partai Katolik Republik Indonesia), dipimpm oleh I.J. Kasimo; 9. Permai (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia), dipimpm oleh J.B. Assa, berdiri, 17 Desember 1945; 10. PNI (Partai Nasional Indonesia), dipimpin oleh Sidik Djojosukarto, sebagai gabungan Partai Rakyat Indonesia (PRI), Gerakan Republik Indonesia (Gerindo) dan Serikat Rakyat Indonesia, berdiri 29 Januari 1946. Lihat, Ibid., hlm. 66-67. 
  27. Ibid., hlm. 
  28. Lihat, Susunan Pengurus Masyumi, dalam Noer, Partai Islam, hlm. 150-101. 
  29. Lihat, Machfoedz, op. cit., hlm. 80. 
  30. Tentang Struktur dan Keanggotaan dalam Masyumi, lihat, Noer, Partai Islam, hlm. 48-49. 
  31. Ibid., hlm. 49. 
  32. Data dari, M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1983), hlm. 70-71.
  33. Lihat, Supra hlm. 95; Bandingkan, hlm. 88. 
  34. Lihat, Maarif, Islam, hlm. 117-118. 
  35. Ibid., hlm. 117. 
  36. Ibid., hlm. 117-118. 
  37. Ibid., hlm.. 118. 
  38. Ibid.
  39. Ibid
  40. G.H. Jansen, Islam Militan, terjemahan dari Militant Islam, (Bandung: Pustaka, 1980), hlm. 205. Cetak tebal dari saya. 
  41. Ibid, hlm. 205-206. Cetak tebal dari saya. 
  42. Noer, Partai Islam, hlm. 62. 
  43. Pada tahun 1949 Kongres Masyami mengubah Anggaran Dasar di mana kedudukan Majelis Syuro diubah menjadi penasehat. Lihat, Ibid., hlm. 408. 
  44. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 41. 
  45. Zuhri, Sejarah, hlm. 613. 
  46. Supra, hlm. 37-49. 
  47. Bandingkan, Noer, Partai Islam, hlm. 58-65. 
  48. Lihat, Ibid., hlm. 76-77. 
  49. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 40-41. 
  50. Ibid., hlm. 41. 
  51. Ibid
  52. Noer, Partai Islam, hlm. 76. 
  53. Dikutip di dalam Maarif, Islam, hlm. 113. Cetak tebal dari saya. 
  54. Boland, op.cit, hlm. 45-46. 
  55. Maarif, loc. cit
  56. Lihat, Noer, Partai Islam, hlm. 458. 
  57. Boland, op. cit., hlm. 46. 
  58. Menurut keterangan lisan dari beberapa  bekas pemimpin Masyumi, sebagai suatu partai, Masyumi memperjuangkan suatu masyarakat Islam dan bukan untuk negara Islam. Kelihatannya kutipan ini bertentangan dengan keterangan ini; namun kita harus memperhitungkan bahwa kutipan tersebut tidak benar, setidaknya sepanjang penggunaan huruf besar ('Negara Islam')". Ibid., hlm. 46-47, catatan kaki nomor 84.
  59. Noer, Partai Islam, hlm.119. 
  60. Ibid., hlm. 119-120. 
  61. Ibid., hlm. 120. 
  62. Ibid. hlrn. 99. 
  63. Ibid., 
  64. Dikutip dalam, Boland, op. cit. 47. 
  65. Dikutip dalam, Ibid
  66. Dikutip dalam, Ibid
  67. Noer, Partai Islam, hlm. 86. Terpilih pada waktu itu sebagai Menteri Agama Ki Haji Fakih Usman dari Muhammadiyah. Menarik untuk dicatat komentar Mohammad Roem seorang tokoh Masyumi terkenal tentang peristiwa itu, sebagaimana direkam oleh Maarif: "Tiga puluh tahun kemudian, Mohamad Roem, salah seorang tokoh Masyumi yang dalam rapat pimpinan Masyumi di tahun 1952 itu memberikan suaranya kepada Fakih Usman, menilai kembali bahwa suara yang diberikannya itu sebagai suatu kesalahan. 'Karena itulah', Roem menyimpulkan, 'NU meninggalkan Masyumi'. Pada waktu ini Roem tampaknya berpendapat bahwa pertimbangan berdasarkan prinsip demokrasi semata-mata belumlah cukup sebagai satu-satunya kriterium untuk memecahkan persoalan-persoalan politik dalam tubuh umat Islam". Maarif, Islam, hlm. 121. 
  68. Dikutip dalam, Yusuf, et al., op.cit., hlm. 42. 
  69. Lihat susunan Pengurus Besar NU sejak 1952 den seterusnya, dalam Noer, Partai Islam, hlm. 115-117. 
  70. Dikutip dalam, Ibid., hlm. 87. Cetak tebal dari saya. 
  71. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 42-43. 
  72. Lihat, Machfoedz, op. cit., hlm. 118. 
  73. Lihat, Noer, Partai Islam, hlm. 137-140. 
  74. Boland, op. cit., hlm. 54. 
  75. Jansen, op. cit., hlm. 207-208. Cetak tebal dari saya. 
  76. Sebenarnya masih ada dua lagi pendukung Liga tetapi pengaruhnya tidak sebesar ketiga kelompok yang telah disebutkan. Yang pertama Dar al-da'wah wal-Irsyad yang didirikan 1947 di Parepare (Sulawesi Selatan) yang merupakan gabungan berbagai lembaga pendidikan agama. Yang kedua adalah Perserikatan Tionghoa Islam Indonesia yang berpusat di Ujungpandang. Lihat, Noer, Partai Islam, hlm. 94-95. 
  77. Lihat, Ibid., hlm. 72-75. 
  78. Lihat, Ibid., hlm. 72. 
  79. Machfoedz, op. cit., hlm. 99. 
  80. Ibid
  81. Noer, Partai Islam, hlm. 95. 
  82. Boland, op cit. hlm. 50. 
  83. Machfoedz, op. cit., hlm. 101. 
  84. Supra, hlm. 52. 
  85. Maarif, Islam, hlm. 120. 
  86. Lihat, Noer, Partai Is1am, hlm. 137-143. 
  87. Ibid, hlm. 138. Catatan kaki nomor 83 dan hlm. 141. Catatan kaki nomor 94. 
  88. Ibid., hlm. 137. 
  89. Ibid., hlm. 140. 
  90. Ibid., hlm. 126. 
  91. Ibid
  92. Lihat, Ibid., hlm. 126-134. 
  93. Ibid., hlm. 133. 
  94. Ibid., hlm. 134. 
  95. Boland, op cit., hlm. 52. 
  96. Diringkas dari Noer, Partai Islam, hlm. 141-143. 
  97. Boland, loc. cit
  98. Lihat, Noer, Partai Islam, hlm. 458. 
  99. Boland, loc. cit
  100. Fazlur Rahman, Islam Modern: Tantangan Pembaharuan Islam, kumpulan terjemahan artikel Rahman, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1987), hlm. 99. Cetak tebal dari saya. 
  101. Ibid. hlm. 100. 
  102. Amak Fadhali, et al., Partai NU dengan Aqidah dan Perkembangannya, (Semarang: Toha Putera, tanpa tahun, Pengantar 1969). hlm. 27, dikutip dari dalam Noer, Partai Islam, hlm. 88. 
  103. Ibid.


Ditulis ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989

Tidak ada komentar:

Posting Komentar