Minggu, 21 Desember 2014

SERI : NU DAN PANCASILA (14)



Bab V 
Nahdlatul Ulama Menerima Asas Pancasila (Lanjutan)


D. Program dan Pengembangan 

Dengan diterimanya Pancasila dan NU kembali menjadi organisasi keagamaan, maka mulailah era baru dalam kiprah umat Islam umumnya dan NU khususnya. Segala potensi NU kini diarahkan kepada pengembangan organisasi dalam wawasan keagamaan di dalam suasana modernisasi sesuai dengan derap pembangunan yang terus-menerus digalakkan oleh pemerintah. NU menyadari selama ia menjadi organisasi politik pengembangan kehidupan keagamaan dalam arti yang seluas-luasnya telah diabaikan. Untuk itu Muktamar 1984 menyusun program yang dipusatkan pada upaya memacu perkembangan masyarakat yang meliputi bidang-bidang: 

1. Syuriah 
2. Pendidikan (Ma'arif) 
3. Da'wah dan Penerbitan 
4. Sosial (Mabarrat) 
5. Perekonomian 
6. Pertanian dan Nelayan 
7. Tenaga Kerja 
8. Kebudayaan 
9. Kewanitaan 
10. Kepemudaan 
11. Kaderisasi 
12. Organisasi dan 
13. Pembentukan Kepribadian.(125) 

Segera terpampang dalam program NU ini tekanan pada peranan syuriah karena dalam lembaga inilah para ulama dapat sepenuhnya mengendalikan gerak langkah NU untuk "mencegah dan menolak segala penyimpangan yang pernah, sedang dan mungkin terjadi..."(126) Dalam program itu pula ditegaskan watak kultural yang hendak dimantapkan melalui bidang pendidikan yaitu dengan "pengenalan warisan kultur keagamaan di kalangan Ahlusunnah wal jamaah . . . dengan menanamkan rasa cinta akan jasa Wali Songo."(127) NU ingin menegaskan watak dan penghayatan keagamaan yang erat dengan keberadaan dan keterikatannya dengan  Indonesia. Bahwa Islam yang dihayati dan dikembangkan oleh NU berciri khas Indonesia! Nurcholish Madjid menegaskan bahwa Islam di Indonesia harus dipahami dalam ciri khasnya sebagai pengaruh budaya Indonesia; 

"Banyakuya kompromi antara ajaran-ajaran Islam dan unsur-unsur budaya lokal itu membuat Islam di Indonesia, lebih daripada Islam di tempat-tempat lain, sering dianggap sebagai "pinggiran" . . . maka Islam di Indonesia sering dipandang "tidak" atau sekurang-kurangnya "belum" bersifat Islam secara sebenarnya, . . . Kebanyakan kajian tentang Indonesia oleh para ahli Barat . . . cenderung menganggap tidak begitu penting unsur keislaman dalam budaya Indonesia. Hal ini tentu saja menyesatkan..." (128) 

Ia bermaksud mengajak kita melihat perkembangan Islam di Indonesia terutama akibat pengaruh sufisme telah menyebabkan terjadinya saling mempengaruhi antara kebudayaan dan Islam; dan ini penting diperhatikan bagi pengembangan Islam di masa depan di Indonesia.(129) 

Program pengembangan NU dijalankan berlandaskan empat asas, yaitu asas kepeloporan, asas kesinambungan, asas penyesuaian dengan tuntutan zaman, dan asas kemandirian.(l30)
 
1. Asas Kepeloporan 
Dengan ini ditekankan bahwa program pengembangan selalu dijalankan dengan mengingat keteladanan yang telah dinyatakan oleh NU sejak terbentuk agar NU di masa depan "kembali menjadi pergerakan yang mampu jadi panutan." 

2. Asas Kesinambungan 
Dengan asas ini NU hendak menyatakan kesinambungannya dengan sejarah berdirinya NU sebagai organisasi keagamaan. Prinsip NU adalah selalu mempertahankan hal-hal yang baik dari yang lama sambil memilih hal-hal baru yang lebih baik untuk menyatakan rasa memiliki terhadap bangsa dan negara. 

3. Asas Penyesuaian dengan Tuntutan Zaman 
NU bukanlah organisasi yang kaku dan tidak dapat berubah. Dengan asas ini NU mengembangkan diri sambil menafsirkan kembali kegiatannya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan sekarang dan untuk masa depan. 

4. Asas Kemandirian 
Dengan asas ini NU selalu berusaha mendewasakan diri dalam usaha-usaha nyata. Sebagai organisasi yang mengakar ke bawah (umat) asas ini harus dipertahankan dan dikembangkan. 

Penerimaan NU atas Pancasila benar-benar suatu penerimaan yang penuh kesadaran; di samping Pancasila dinilai sah secara theologis Islam dan bahwa kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan adalah sesuai dengan hakikatnya, NU memperkuat komitmennya terhadap bangsa dan negara karena dengan demikianlah ia sekaligus menegaskan kehadirannya sebagai bagian dari bangsa yang sedang membangun. 

"Muktamar rnenyadari bahwa Nahdlatul Ulama tengah berada pada titik-titik perjalanan yang menentukan, tidak hanya pada dirinya saja, melainkan juga bagi bangsa dan negara. Pembangunan nasional telah menginjak tahap yang memiliki jangkauan sangat jauh ke masa depan bangsa, karena dalam masa beberapa tahun inilah diletakkan dengan kokoh sendi-sendi yang memungkinkan terciptanya landasan bagi tahap lepas landas pembangunan itu sendiri ... " 

"Bahwa perkembangan masyarakat, baik dalam lingkup bangsa maupun dalam lingkup lebih kecil, tengah mengalami perpindahan dari pola tradisional menuju kepada pola kehidupan moderen ... Muktamar dengan penuh keprihatinan telah melakukan tilikan mendalam atas masalah pergeseran nilai dan sikap ini, terutama dengan menggunakan kaidah fiqh yang telah berusia ratusan tahun, yaitu al-akhdzu bil jadidil aslah wal muhafadzatu  'alal qadimis salih (mengambil yang baru yang lebih berguna; dan tetap berpegang pada nilai lama yang masih relevan)."(13l) 

Penetapan asas Pancasila dan perkembangan yang sedang ditempah bangsa dan negara, telah ditanggapi dengan serius. Kembali menjadi organisasi keagamaan membuat NU makin jeli melihat tantangan-tantangan bagi bangsa secara umum dan bagi NU secara khusus. Langsung atau tidak langsung tantangan yang dihadapi bangsa adalah tantangan yang juga dihadapi NU karena itu tidak ada jalan lain kecuali menghadapinya secara bersama-sama pula! 

Dengan berbekal paham ahlusunnah wal jama'ah dan sejarahnya sebagai organisasi keagamaan serta keterlibatannya dalam kehidupan bangsa, menjadikan NU mampu dengan cepat dan terbuka menanggapi tantangan yang ada di hadapannya. 

NU tidak perlu menciptakan theologia baru agar dapat menerima suatu perkembangan; dengan menafsirkan ulang tradisi yang dianutnya, tradisi panjang dan berliku, NU telah berhasil menyusun sistematika penerimaannya atas Pancasila. 

Kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan bukan saja sesuai dengan perkembangan politik bangsa tetapi juga sejalan dengan upaya yang harus dilakukan oleh NU, membina kehidupan keagamaan umat Islam. Dengan kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan maka ulama dapat mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk pengembangan umat, dan serentak dengan itu ia mengupayakan pengembangan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembangunan bangsa untuk memenuhi panggilan amar ma'ruf nahi munkar. Melalui program yang dipersiapkan secara matang dan mencakup bidang yang luas, NU benar-benar mengalihkan orientasi, dari politik kepada keagamaan, dari status politis kepada pembinaan umat, dan dari prestise politis kepada prestasi keagamaan dalam masyarakat. Hal itu dapat terjadi karena penerimaan NU atas Pancacila bukan melulu keputusan politis, melainkan juga penilaian keagamaan. Karena Pancasila sudah dinilai sah penerimaannya secara keagamaan, maka NU dapat mengembangkan dirinya dalam kepekaan terhadap perubahan dan dalam komitmen terhadap bangsa dan negara yang sedang membangun. 

Dengan sikap tengah dan lurus, toleran dan seimbang, yang dijabarkan dari doktrinnya yang tradisional (ahlusunnah wal jamaah) dan pemahamannya atas sejarah bangsa, maka harapan NU agar kembali menjadi panutan perkembangan umat rasanya bukanlah harapan yang berlebih-lebihan. 

_____________________
125. Lihat, Muktamar Situbondo, hlm. 117-133  
126. Ibid., hlm 117.  
127. Ibid., hlm. 119.  
128. Madjid, op. cit., hlm. 67-68.  
129. Ibid., hlm. 72-74.  
130.  Muktamar Situbondo, hlm. 112-114.  
131. Ibid., hlm. 134-135.

Ditulis ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989



Tidak ada komentar:

Posting Komentar