Minggu, 21 Desember 2014

SERI NU DAN PANCASILA (15)



Kesimpulan
 
Sebagaimana telah dikatakan pada bagian pendahuluan bahwa dasar negara telah menjadi pokok masalah sejak sebelum kemerdekaan dan juga setelah kemerdekaan antara golongan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler (nasionalis netral agama).(1) Penerimaan NU atas Pancasila merupakan puncak sikap fleksibel, adaptif dan positif NU dalam menanggapi perkembangan politik. Apa yang menjadi pokok masalah telah diselesaikan oleh NU dengan menerima Pancasila. Penerimaan NU atas Pancasila bukanlah akibat tekanan eksternal dan bukan penerimaan yang terpaksa, tetapi penerimaan yang positif karena Pancasila telah dinilai sah berlandaskan theologi Islam dan berlandaskan dalil-dalil atau pendapat tradisional Islam. Di sinilah keunggulan golongan tradisional, NU memiliki kekayaan rujukan untuk menanggapi sesuatu perkembangan dan tidak mudah jatuh kepada sikap mutlak-mutlakan. Jadi sebenarnya yang paling menarik mengenai isu Pancasila sebagai satu-satunya asas, bukanlah pada penerimaan Pancasila itu sendiri melainkan pada argumen-argumen tradisional yang diketengahkannya dalam menanggapi Pancasila sebagai asas dan berbagai perkembangan lainnya. Yang diutamakan NU dalam menanggapi setiap perkembangan bukanlah sikap ideologi Islam tetapi sikap keagamaan tradisional.

Modal utama bagi NU menanggapi berbagai perkembangan adalah paham ahlusunnah wal jamaah.(2) Sebagaimana dirumuskan dalam Bab II bahwa pengertian ahlusunnah wal jamaah bagi NU adalah pengakuan terhadap tradisi Islam dalam konteks Indonesia yaitu bagaimana Islam masuk ke Indonesia dalam tradisi mazhab dan sufisme.(3) Penerimaan atas sufisme membuat NU menerima kehadiran tradisi lokal yang hidup dalam masyarakat Indonesia sepanjang berguna untuk meningkatkan penghayatan agama. Dengan demikian apa yang dilukiskan oleh Madjid sebagai sifat keindonesiaan(4) dalam perkembangan Islam di Indonesia secara potensial sudah sejak semula merupakan milik NU! Bahkan NU adalah pelopor mengembangkan keindonesiaan Islam itu! Paham ahlusunnah wal jamaah dikembangkan untuk menemukan sikap-sikap keagamaan yang tepat di dalam situasi tertentu; di sinilah pentingnya penatsiran fiqh, namun bukan melulu penafsiran fiqh tetapi penafsiran fiqh secara mistik (seperti yang dikembangkan oleh al-Ghazali) di dalam hal NU membentuk sikap keagamaannya.(5) Itulah sebabnya NU tidak memerlukan ideologi politik dan justru dengan pendekatan atau penafsiran fiqh secara mistik membuat NU mampu merumuskan sikap yang positif dan integratif di dalam perjuangan dan kehidupan bangsa. Dengan pendekatan mistik itu, NU mampu melihat sesuatu perkembangan dengan lebih jeli — tidak sekedar menilai dalam polarisasi islami dan tidak islami — tetapi menilai secara lebih bervariasi sehingga dapat menjadikan sesuatu perkembangan sepanjang tidak bertentangan dengan Islam sebagai jalan untuk mengembangkan kehidupan keagamaan.

Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh, NU mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara moderen, walaupun banyak aspek kenegaraan pandangan serba fiqh itu juga sering merupakan "hambatan" bagi pemegang pemerintahan untuk melaksanakan wewenangnya. Yang jelas pandangan seperti itu — bagaimanapun juga — akan berbenturan dengan pandangan yang memperlakukan Islam sebagai ideologi kemasyarakatan, apalagi ideologi politik. Upaya menampilkan Islam sebagai "jalan hidup alternatif" yang membentuk sistem kemasyarakatan baru di luar yang telah ada, jelas sulit diterima oleh para ulama NU. . . .(6)

NU adalah organisasi keagamaan (jamiah diniyah) dengan ulama sebagai motor penggeraknya. Peranannya sebagai organisasi keagamaan telah dijalankan dengan menyatakan sikap-sikap keagamaan di dalam perkembangan kehidupan bangsa, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Ciri-ciri penampilannya adalah sikap yang fleksibel, adaptif dan positif. Bagi orang yang kurang memahami NU dengan mudah akan mencapnya sebagai opportunistik. Sebagai organisasi keagamaan NU tidak mempunyai target-target politis tertentu untuk diperjuangkan; yang diutamakannya adalah penghayatan dan pengembangan agama. Karena itu ia tidak tampil secara agresif melainkan tampil secara responsif; sebagaimana peranan ulama di dalam kehidupan umat memberi bimbingan keagamaan demikian pula NU sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah) melalui sikap-sikap keagamaan yang telah dinampakkannya dalam berbagai perkembangan, NU memberi bimbingan keagamaan. Walaupun NU telah menjadi partai politik pada tahun 1952, NU tetap mempertahankan ciri-ciri organisasi keagamaan dalam menanggapi perkembangan politik, tetapi ciri-ciri itu makin kabur setelah NU bergabung di dalam PPP. Setelah bergabung di dalam PPP, NU larut ke dalam sikap ideologis dan tidak lagi mengembangkan sikap keagamaan; kalau pun masih terdengar argumen keagamaan, namun hal itu cenderung diambil sebagai legitimasi sikap ideologis. Kekaburan ciri-ciri keagamaan itu terjadi serentak dengan makin mundurnya peranan ulama dalam kiprah organisasi! Oleh karena itu keputusan NU untuk kembali menjadi organisasi keagamaan, kembali kepada Khittah (Semangat) 1926 adalah langkah yang sangat tepat, sebab hanya dengan demikianlah NU dapat kembali menjalankan peranannya sebagai organisasi ulama yang hakikatnya membimbing kehidupan umat. Baik di dalam Masyumi maupun di dalam PPP, NU tidak dapat menjalankan peranan keulamaannya secara utuh. Dengan kembalinya menjadi organisasi keagamaan NU dapat mencurahkan segala kemampuannya membina umat menghadapi modernisasi dalam masa pembangunan kini.

Dengan kembali menjadi organisasi keagamaan, NU memasuki babak baru; aspirasi Islam tidak lagi diperjuangkan melalui wadah politik formal, tetapi melalui proses transformasi kultural sebagai bagian inherent dari bangsa Indonesia secara keseluruhan.(7) "Tujuan NU," demikian Abdurrahman Wahid, "adalah transformasi sosial secara lebih paripurna dan lebih mendasar . . ."(8) Sambil mengamati bahwa sejak awal NU mengembangkan diri dengan kearifan terhadap sistem budaya Indonesia, maka memperjuangkan aspirasi Islam secara kultural merupakan upaya kembali kepada ciri-ciri khas NU.(9) Pergumulan NU khususnya dan umat Islam di Indonesia pada umumnya terhadap Pancasila sebagai isu nasional, merupakan pergumulan khas umat Islam di Indonesia yang tidak dapat diukur atau dinilai berdasarkan perkembangan yang dialami umat Islam di negara-negara lain. Sebab cara-cara umat Islam memecahkan masalah yang dihadapinya berbeda dari satu negara ke negara lainnya.(10) Menerima Pancasila adalah bagian dari tanggung jawab umat Islam Indonesia, khususnya NU terhadap perkembangan kehidupan bangsa.

Sebuah perjalanan panjang dan berliku telah ditempuh oleh NU dengan mulus; terbuktilah bahwa semua organisasi keagamaan tradisional semacam NU mampu mengatasi tantangannya asalkan ia bersedia menyimak nuansa-nuansa tradisinya. Bagaimana perjalanan NU selanjutnya setelah menerima Pancasila sebagai asas dan kembali menjadi organisasi keagamaan (jamiyah diniyah) sejarahlah yang akan mencatatnya.
 
_____________________
  1. Supra, hlm. 1; Bandingkan, hlm. 99-105. 
  2. Supra, hlm. 61-74. 
  3. Supra, hlm. 73.
  4. Supra, hlm. 236. 
  5. Lihat, Supra, hlm. 201, 204, dan 205. 
  6. Wahid, "NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini", hlm. 35.
  7. Ibid., "NU dan Politik", Kompas, 24 Juni 1987. 
  8. Ibid.
  9. Lihat, Supra, hlm. 8; Bandingkan, hlm. 73-74.
  10. John L. Esposito, ed. Islam dan Perubahan Sosial-Politik di Negara Sedang Berkembang, terjemahan dari Islam and Development: Religion and Sosiopolitical Change, (Jakarta: Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat — PLP2PL, 1985), hlm. 28.

Ditulis ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989



Tidak ada komentar:

Posting Komentar