Rabu, 24 Juni 2015

SERI BUKU NAHDLATUL ULAMA DAN ISLAM DI INDONESIA (5)




BAB III
NU : ORGANISASI DAN GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN (Lanjutan)

Suasana itu agaknya sudah diantisipasi sebelumnya. Dua pihak yang dalam beberapa hal tidak sejalan mengenai soal-soal keagamaan turut serta dalam kongres. Sedikitnya Muhammadiyah dan AI-Irsyad di satu pihak dan peserta sayap pesantren yang diwakili Kyai Abdul Wahab dan Kyai Asnawi yang datang atas nama Taswirul-Afkar.38 Sebagai jalan tengah untuk mengatasi perbedaan faham maka dipilih SI sebagai pimpinan kongres. Kalangan SI memang berusaha agar kongres tidak memperdebatkan soal-soal kecil yang bukan pokok agama, tetapi apa yang diharapkan justru sebaliknya yang terjadi. Agus Salim selanjutnya mengemukakan sebagai berikut:
Malah sebagian saudara kita lebih bersaudara dengan Majusi, Yahudi dan Nasrani dari pada dengan golongan Islam yang masuk perikatan Al-Irsyad dan Muhammadiyah.39
Ada pula yang datang mementingkan Agama Islam. Kedatangan mereka semata-mata untuk mengalahkan, akan menghancurkan haluan Islam yang lain-lain dari pada yang sudah menjadi pusaka turun-temurun di dalam bangsa dan tanah air kita, malah umumnya seluruh dunia. Pendek kata kedatangan mereka jauh dari mencari persatuan dan persaudaraan ummat Islam. Malah mereka tidak menghendaki perdamaian.40
 Tak lain tak bukan hanyalah kepentingan beberapa fihak yang sekedar berebut kemenangan faham atas beberapa cabang            yang sekali-kali tidak menjadi pokok agama.41

Sampai kongres Al-Islam Bandung 1926 pertentangan terus terjadi antara sayap pesantren dengan nonpesantren,42 selanjutnya setelah yang pertama mengundurkan diri dari kegiatan kongres Al-Islam pertentangan terus terjadi antara sayap nonpesantren sendiri.
Selain Muhammadiyah di Surabaya juga sudah berdiri cabang AI-Irsyad, berdiri tahun 1913 mendapat pengakuan badan hukum tahun 1915. Perhimpunan ini bermula dari perselisihan faham kalangan keturunan Arab yang tergabung dalam Jami'at Khair, berdiri tahun 1905.43 Perselisihan terjadi dalam soal kafa'ah antara golongan 'Alawi yang berdarah ningrat keturunan Nabi Muhammad dan golongan lain. Kebanyakan keluarga keturunan 'Alawi tidak menerima calon mempelai lelaki bukan 'Alawi. Pandangan ini menurut mereka memiliki dasar hukum yang sah.44 Tentu saja golongan Arab lain menolak anggapan tersebut dan akhirnya menjadi pangkal perselisihan yang berkepanjangan, karena itu keturunan Arab bukan 'Alawi bergabung dengan Al-Irsyad yang menentangnya.
Salah seorang tokoh yang berpengaruh dalam Al-Irsyad ialah Syikh Ahmad Ibn Muhammad Surkati berasal dari Sudan, datang ke Indonesia atas permintaan Jami'at Khair, tetapi kemudian keluar dari organisasi itu bergabung dengan AI-lrsyad.45 Sebagai tokoh yang berpengaruh banyak pemikiran Surkati yang diterima sebagai pemikiran Al-Irsyad. Surkati menulis buku Al-Masa'il al-Salas (tiga masalah) yang mengupas tiga persoalan: (1) ijtihad dan taqlid, (2) sunnah dan bid'ah, dan (3) ziarah kubur dan wasilah (permohonan dengan perantara) melalui Nabi Muhammad atau para wali.46
Ahmad Sukarti diundang debat untuk membicarakan tiga persoalan tersebut oleh kalangan ulama pesantren di Masjid Ampel, Surabaya, namun oleh karena dianggap akan menimbulkan dampak negatif maka debat itu dilarang. Walaupun begitu Sukarti perlu memberi keterangan lewat tulisan maka terwujudlah buku tersebut.47 Di samping menulis buku Sukarti juga menerbitkan majalah Al-Zakhirah al-Islmiyyah, majalah bulanan yang terbit kira-kira satu tahun lamanya. Kurang lebih isinya meniru majalah AI-Manar yang terbit di Kairo dan sangat populer ketika itu di Indonesia.
Selain Al-Irsyad. muncul pula perhimpunan Persatuan Islam (Persis) yang berpusat di Bandung. Mulanya dari kegiatan grup diskusi pengajian agama yang diselenggarakan pada awal tahun dua puluhan oleh sejumlah saudagar berasal dari Palembang yang tinggal di Bandung kemudian lahir Persis.48 A. Hassan, saudagar kelahiran Singapura berasal dari India tinggal di Surabaya kemudian bergabung dengan Persis dan akhirnya menjadi tulang punggung utama yang sangat berpengaruh. Melalui kegiatan pengajian dan perdebatan yang diselenggarakan, juga tulisan-tulisan yang tersebar melalui percetakan yang dipimpin sendiri, Hassan mengemukakan berbagai pandangan keagamaannya yang "menantang" pendapat umum yang telah melembaga dalam tradisi kehidupan keagamaan masyarakat Islam. Tidak mengherankan kalau kemudian timbul reaksi, baik dalam bentuk perdebatan agama yang berlangsung di beberapa daerah maupun reaksi sepihak yang diselenggarakan dalam banyak kesempatan pengajian maupun ceramah keagamaan.49
Munculnya orang-orang atau perhimpunan yang berfaham baru di Surabaya dan beberapa daerah Jawa lainnya tentu saja menimbulkan reaksi yang bermacam-macam. Ini tidak berarti bahwa faham baru yang dibawa itu tidak sesuai dengan kaitan penataan hubungan sosial keagamaan masyarakat Islam di Indonesia, tetapi merupakan gejala umum dan normal setiap transformasi ide baru ke dalam kehidupan sosial akan menimbulkan disharmoni dan ketidakstabilan bila penerapannya tidak didasari pemahaman yang baik tentang pranata dan kelembagaan sosial yang hidup di tengah masyarakat. Reaksi terhadap gagasan baru itu tentu ada yang menerima dan ada pula yang menentang. Mereka yang menentangnya ada yang bersifat pribadi dan ada pula yang melembagakan dalam perhimpunan atau jemaah pengajian dan lain-lain.
G.F.-Pijper dalam laporannya mengatakan bahwa di Kudus sekitar tahun 1926 terjadi seorang ayah yang menikahkan anak perempuannya mengajukan syarat ta'liq (syarat yang dinyatakan dalam akad perkawinan, jika syarat itu tidak dipenuhi maka jatuh talak), jika mempelai lelaki nanti menjadi anggota Muhammadiyah, maka perkawinan itu batal.50 Peristiwa semacam ini barangkali tidak hanya terjadi di Kudus saja, sebab pada umumnya reaksi masyarakat terhadap gagasan-gagasan pembaruan Muhammadiyah dan perhimpunan lain yang sejenis, ada yang keras dan ada pula yang lunak, bahkan menerimanya.51 Anekdot di atas hanyalah sebagian dari reaksi pribadi seorang yang menentangnya.
Sebenarnya persoalan yang muncul dari issue yang dibawa aliran baru adalah di seputar soal pokok ijtihad dan taqlid lalu dari soal pokok tersebut berkembang menjadi soal-soal yang bersifat furu' (ditil yang tidak disepakati), talqin, wasilah dan lain-lain.52 Soal kebangsaan atau nasionalisme diperdebatkan pada bagian kedua tahun tiga puluhan oleh Persis dengan Muhammadiyah atau orang-orang Muhammadiyah.53 Gagasan pembaruan Islam yang muncul di awal abad ini memang sebagian diilhami oleh gerakan serupa di Timur Tengah khususnya Mesir. Sejumlah referensi bacaan dari Mesir khususnya majalah yang diterbitkan Muhammad 'Abduh dan Rasyid Rida beredar di Indonesia dan dibaca secara terbatas oleh elite Islam terpelajar.54 Namun dampak dari pembaruan itu bagi masyarakat umum berbeda antara yang terjadi di Indonesia dengan yang terjadi di Mesir. Memang pembaruan yang dipelopori 'Abduh dan kawan-kawan serta pengikutnya menekankan pentingnya ijtihad dikembangkan kembali. Menurut 'Abduh salah satu penyebab kemunduran ummat Islam sehingga tertinggal dari Barat karena ijtihad tidak dikembangkan lagi.55 Ummat Islam dihinggapi rasa kebanggaan masa silam mereka dan menganggapnya sebagai puncak kemajuan Islam. Mereka merasa puas diri dengan masa silam itu dan mengikutinya sebagai kebenaran yang tidak terbantah.
Akan tetapi pembaruan di Mesir yang menegaskan perlunya ijtihad dikembangkan kembali itu lebih menekankan bidang mu'amalah (kemasyarakatan, termasuk ekonomi, politik dan pendidikan) dan ilmu pengetahuan, bukan dalam bidang ibadah yang seperti terjadi di Indonesia.56 Jika benar pembaruan Islam atau masyarakat Islam yang dikembangkan aliran baru di Indonesia awal abad ini dipengaruhi pembaruan 'Abduh dan kawan-kawan di Mesir, maka yang terjadi di Indonesia baru semangat dan lapisan luar belaka. Dampak pembaruan yang muncul ketika itu (barangkali sebagian sampai sekarang) justru lebih banyak di seputar soal-soal khilafiyah (masalah yang tidak disepakati) dalam bidang ibadah. Di Mesir sendiri, setidaknya sampai decade keempat abad ini, sekalipun soal-soal khilafiyah bidang ibadah itu ada, namun tidak menjadi issue sentral yang menegangkan, seperti yang tejadi di Indonesia.57 Mereka dapat berdamai dalam soal-soal yang tidak disepakati, khususnya dalam bidang furu', karena berbeda metode analisis dan argumentasinya.
Dalam soal ijtihad 'Abduh sendiri mengakui tidak semua orang Islam mampu dan memenuhi syarat untuk melakukannya.58 Hanya orang-orang tertentu yang mampu dan memenuhi syarat yang dapat melakukannya. Perdebatan mengenai soal ini di Indonesia lebih diwarnai soal terminologi daripada esensi ijtihad dan taqlid itu sendiri. Semua fihak sepakat tidak semua orang Islam mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihad, dan mengenai yang tidak memenuhi syarat ini wajib taqlid atau tidak, di sini terjadi perbedaan faham. Satu pihak mengatakan bahwa orang yang tidak memenuhi syarat-syarat ijtihad harus ittiba' (mengikuti) dengan kewajiban mengetahui dalil dari Qur'an dan hadis, sementara fihak lain beranggapan bahwa yang demikian itu sudah termasuk kategori taqlid. Satu fihak beranggapan bahwa taqlid adalah suatu bentuk mengikuti tanpa mengetahui dalil Qur'an dan hadis dan menyebutnya taqlid buta, perbuatan itu haram. Fihak lain beranggapan bahwa taqlid buta itu juga boleh, sebab kenyataan sampai waktu itu (barangkali juga sekarang) jumlah orang yang buta huruf Arab maupun latin masih tinggi. Terhadap orang yang demikian ini tidak bisa dituntut untuk mengatahui dalil dari Qur'an maupun hadis, membaca pun mereka tidak bisa.59
Dalam kongres Al-Islam yang pertama di Cirebon tahun 1922.60 sayap pesantren mendapat kecaman, jika tidak disebut serangan, aliran baru karena mereka mempertahankan taqlid, menolak menerapkan ijtihad mengingat kemampuan pada umumnya ulama di Indonesia belum memenuhi syarat karena belum tersedianya perangkat metodologi yang cukup, penguasaan bahasa Arab yang kurang dan tidak tersedianya bahan referensi yang cukup. Tiga tahun kemudian dalam kongres Al-Islam ketiga di Surabaya tahun 1924 terjadi kompromi. Surat kabar Hindia Baroe dipimpin oleh Agus Salim mengomentari hasil keputusan itu dengan anak judul "Moesjawarah Oelama, Boeah jang Lezat",61 mengingat dalam kongres sebelumnya terjadi perdebatan yang seru masing-masing fihak mempertahankan pendirian mereka. Keputusan musyawarah ulama telah diumumkan dalam openbare Congres Al-Islam Hindia di Surabaya: (1) Ijtihad dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu antara lain mengetahui nas Qur'an dan hadis; mengetahui ijma' ulama; mengerti bahasa Arab dengan baik; mengetahui tentang 'am, khas, mufassal, mujmal dalam Qur'an; naskh, mansukh, mutlaq, muqayyad, mujmal dan mufassal dalam Qur'an dan hadis; menguasai hadis dan muhaddisun; dan mengetahui asbab al-nuzul. "Barang siapa jang bersifat dengan sjarat-sjarat jang terseboet di atas, maka wadjiblah atasnja beridjtihad dan berdosalah djikalaoe tidak beridjtihad", ditegaskan dalam keputusan tersebut.62 (2) Salaf ialah ulama fuqaha', muhaddisun dan ahli tauhid abad pertama sampai dengan abah ketiga Hijriah, selain itu tidak termasuk kategori salaf. Kitab tafsir Qur'an diterima bila ditulis oleh orang yang mu'tamad (representatif) didasarkan atas penafsiran yang sah. (3) Mengakui bahwa Muhammadiyah dan Al-Irsyad tidak termasuk Wahabi, tidak keluar dari mazhab empat, dan tidak mengafirkan orang yang melakukan tawassul. Tentang tawassul masih akan dilanjutkan pembicaraannya di lain kesempatan. Tidak mengingkari adanya karamah, anugerah keistimewaan dari Tuhan kepada seorang hambaNya yang mukmin dan beramal saleh, dan menghormati kitab-kitab ulama yang mu'tamad dan diakui.63
Keputusan ini mengisyaratkan bahwa issue pembaruan yang dikemukakan aliran baru tidak menggoyahkan sayap pesantren, malah justru menimbulkan interaksi positif, bahwa pembaruan tidak selalu harus mencabut akar cultural keagamaan masyarakat yang telah hidup, dan sebaliknya tidak berarti akar kultural keagamaan itu harus dipertahankan mati-matian tanpa perbaikan. Dari satu segi argumentasi mereka dalam perdebatan agama kongres Al-Islam dapat mengendalikan argumentasi aliran baru. Ini antara lain dibuktikan dengan diterimanya keputusan tersebut di atas. Bahwa ijtihad tidak hanya dengan semangat yang menggebu tetapi perlu pemikiran yang jernih dan penguasaan materi yang cukup dan tidak mungkin dilakukan oleh semua orang Islam, apalagi ijtihad yang bersifat perorangan. Aspek ini saja tidak semudah yang disangka orang, sebab lembaga-lembaga kajian Islam yang ada di Indonesia waktu itu belum mendukung dilaksanakan kajian secara cukup memadai, apalagi di bidang muh'malah dan ilmu pengetahuan. Selain itu kategori salaf yang menjadi acuan penting pemikiran keagamaan sampai dengan abad tiga Hijriah memberi arti imam-imam mazhab mendapat pengakuan sebagai salaf, sebab mereka hidup di seputar abad tersebut. Tentu saja dengan demikian pemikiran keagamaan yang menggunakan referensi mazhab tersebut diakui sebagai salaf yang sah diikuti, di luar itu tidak termasuk salaf, walaupun tidak secara tegas ditolak, namun mengisyaratkan kesan ketidakabsahannya. Apakah dengan demikian faham aliran baru tidak bersumber dari salaf, tidak mendapat jawaban dari kongres tersebut.
Soal pengakuan bahwa dua aliran baru Muhammadiyah dan Al-Irsyad tidak termasuk aliran Wahabi64 dan tidak keluar dari mazhab empat, sebenarnya agak rancu. Keputusan itu mengindikasikan kedua organisasi tersebut memang tidak mengakui mereka beraliran Wahabi, sebab sekiranya mereka beraliran Wahabi tentulah mereka menolak keputusan tersebut. Muhammad 'Abd al-Wahab adalah pengikut Ibn Taymiyyah yang bermazhab Hanbali (Ahmad Ibn Hanbal), salah satu dari mazhab empat. Barangkali karena umumnya referensi keagamaan yang menjadi acuan ummat Islam di Indonesia dari mazhab Syafi'i, maka kemungkinan terjadi anggapan pukul rata bahwa yang tidak sesuai dengan ajaran mazhab Syafi'I sebagai tidak bermazhab. Atau paling tidak mereka yang berkecenderungan menggunakan metode dan mengikuti Imam Ahmad Ibn Hanbal dan pengikutnya antara lain Ibn Taymiyyah dan 'Abd al-Wahhab sebagai tidak bermazhab. Kitab-kitab mazhab Ahmad Ibn Hanbal memang tergolong langka di Indonesia. Kitab-kitab mazhab tersebut memang mengesankan metode literal sesuai dengan teks dan sedikit sekali atau bahkan menolak interpretasi analogi rasional.65
Agaknya kongres tersebut memutuskan kedua aliran tersebut bukan aliran Wahabi karena tidak menyadari bahwa aliran tersebut masih dalam kerangka mazhab empat atau ahlussunnah waljamaah yang lebih dekat atau pengikut mazhab Ahmad Ibn Hanbal. Akan tetapi memang sikap keras gerakan Wahabi terhadap aliran-aliran tarekat dan tradisi keagamaan mereka seperti penghargaan kepada para imam tarekat dan sufi sampai kepada yang sudah meninggal dunia agaknya diwarisi dari sikap serupa yang dilakukan Ibn Taymiyyah. Boleh jadi juga karena serangan Ibn Taymiyyah kepada al-Ghazali yang mendapat penghargaan tinggi dari ummat Islam di Indonesia menjadikan kalangan pesantren tidak menaruh simpati kepada Ibn Taymiyyah dan akhirnya juga kepada gerakan Wahabi dan yang diduga menganut Wahabi di Indonesia.66 Padahal sekiranya pendekatan pengetahuan normatif keagamaan yang dilancarkan aliran-aliran baru itu menggunakan metode-metode ilmiah dengan pemahaman yang baik terhadap konsep hidup, pranata sosial, sistem nilai, dan kelembagaan sosial lainnya, seperti yang dilakukan pendahulu mereka ketika membawa masuk agama Islam ke Indonesia, kemungkinan gerakan mereka lebih berhasil diterima kalangan pesantren dan masyarakat umumnya. Sampai sekarang pendekatan pengetahuan normatif keagamaan yang hitam putih, tanpa memandang medan yang dituju, kurang atau bahkan tidak mendapat sambutan yang luas. Kalaupun tindakan semacam itu berhasil, hanya dalam lingkup yang terbatas dan eksplosif.

_________________________________________________________

Catatan :

38. Deliar Noer, Gerakan Modern, h. 152. Cabang AI-lrsyrid di Surabaya berdiri tahun 1913.
39. H. Agus Salim, "Persatuan Pemimpin Islam", dalam Hindia Baroe, 19 Februari 1926. Penulisannya disesuaikan ejaan baru.
40. Ibid.
41. Ibid, 20 Februari 1926.
42. Kategori ini ingin memperlihatkan bahwa masing-masing pihak sebenarnya mengandung potensi pembaharuan (modernisasi) seperti diperlihatkan dalam kegiatan organisasi yang mereka kembangkan dan kesediaan mereka untuk menerima perubahan ke arab yang lebih balk. Memang diakui sebagian dari sayap non-pesantren terdapat beberapa orang atau banyak orang dari lingkungan pesantren, tetapi mereka tidak menempatkan basis dukungan mereka dari lingkungan pesantren, bahkan seringkali mereka menyerang ulama pesantren dan pesantrennya sendiri. Selanjutnya lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, (Jakarta: LP3ES, 1984).
43. G.F. Pijper, Beberapa Studi, h. 114-126.
44. Pandangan yang menganggap penting derajat calon mempelai lelaki dalam perkawinan karena faktor keturunan.
45. Pijper, Beberapa Studi, h. 114-126.
46. Al-Masa'il al-Salas Allati Quddimat lil-Ustaz alSyaikh Ahmad Mu-hammad Surkati fi Surabaya, Surabaya, 1925.
47. Pijper, Beberapa Studi, h. 114-126.
48. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern. Selanjutnya mengenai Persis juga dikutip dari buku tersebut.
49. Sebagian kegiatan debat direkam dalam bentuk buku atau ditulis dalam majalah oleh Hassan antara lain Soeal Djawab, Verslag Debat Talqin antara Hassan dengan Husein Tjitjalengka dan Hassan dengan Abdoelwahab di Cileduk (dua buku), Debat Kebangsaan antara Hassan dengan Moechtar Luthfie. Lihat AI-Lisan, nomer 51 tahun 1940. Soea2 Djawab diterbitkan secara berkala antara akhir tahun tiga puluhan samgai awal empat puluh. Sayang penerbitan serial itu tidak bisa dikonfirmasikan dengan pihak lawan debat karena mereka tidak menerbitkan serial serupa dengan yang diterbitkan Hassan. Berita mengenai perdebatan itu hanya dapat diperoleh secara sepihak dari Hassan sendiri.
50. Pijper, Beberapa Studi, h. 113.
51. Setelah NU lahir maka reaksi masyarakat yang tidak setuju terhadap faham aliran baru sebagian terwakili atau menggabungkan diri kedalam perhimpunan tersebut. Ini tidak berarti bahwa kelahiran NU semata-mata sebagai reaksi terhadap aliran baru yang muncul lebih dulu. Soal hubungan kekerabatan khususnya perkawinan antara keluarga pengikut NU dan pengikut Muhammadiyah kadang-kadang menjadi faktor penghambat, tetapi secara keseluruhan tidak menunjukkan adanya pertentangan. Seoarang anak keluarga NU yang akhirnya menjadi aktifis NU menceritakan kepada penulis, sekitar tahun tujuh puluhan pernah menjalin hubungan dengan teman putrinya sejak sekolah PGA. Setelah keduanya menginjak perguruan tinggi di IAIN, teman putri itu mengundurkan diri dengan alasan tidak disetujui orang tua karena calon menantu itu berasal dari keluarga NU sedang si putri dari keluarga Muhammadiyah. Seorang Kiyai di Jawa Timur juga tidak menyetujui putrinya mendapat calon suami dari keluarga Muhammadiyah dan akhimya perkawinan itu gagal. Seorang Kyai di Jawa Timur mengawini putri dari keluarga Muhammadiyah lebih dari 25 tahun yang lain sampai kini rukun bahagia. Sang istri kemudian menjadi aktifis Muslimat NU sementara keluarganya sendiri tetap Muhammadiyah. Ada pula seorang aktifis NU yang mulanya dari HMI ketika belajar di perguruan tinggi tetapi keluarganya pengikut NU yang fanatik, kemudian mengawini putri dari keluarga Muhammadiyah. Masing-masing tetap bertahan sebagai pengikut NU dan pengikut Muhammadiyah. Rumah tangganya rukun bahagia selama lebih dua puluh tahun lamanya
52. Persis pernah mengadakan pengajian akbar, 25 Januari 1925, di Bandung, yang membahas soal usalli (mengucapkan niat ketika akan mulai salat), selamatan tiga atau tujuh hari bagi orang yang meninggal dan memberi jamuan ketika mengalami musibah di tinggal mati salah seorang keluarga. Semua ini menurut mereka bid'ah. Hindia Baroe, 6 Februari 1925.
53. Fatwa tentang Gerakan Nasionalme dan Kebangsaan, dalam Al-Lisan, nomer 51, tahun 1940.
54. AI-'Urwah al-Wus'qa, majalah yang dipimpin 'Abduh dan Afghani. AI-Manar, majalah yang dipimpin 'Abduh dan Rasjid Rida.
55. Harun Nasution, Pembaharuan, h. 64.
56. ibid
57. Wawancara dengan Prof. Dr. Harun Nasution di Takarta tanggal 23 Agustus 1990. Tekanan yang dilakukan kalangan Azhar terhadap 'Abduh bukan mengenai pandangan 'Abduh dalam soal furu', sebab pandangan 'Abduh yang banyak dibicarakan antara lain seal sosial politik dan pendidikan.
58. Harun Nasution, Pembaharuan, h. 64.
59. Debat Idjtihad dan Taqlid, dalam AI-Lisan, 51, 1940. Lihat pula Djmawi Hadikusuma, Muhammdijah Ahlu Sunnah Wal Djama'ah?, (Yqgyakarta: Siaran, t.t).
60. Kongres-kongres Al-Islam diselenggarakan (1) di Cirebon, 1922, (2) Garut, 1923, (3) Surabaya, 1924, (4) Yogyakarta, 1925, (5) Bandung, 1926, (6) Surabaya, 1926, (7) Bogor, 1926, (8) Surabaya, 1931 ?, (9) Malang, 1932. Lihat Buku Kenangan MIAI 1937-1941, h. 5-6.
61. Hindia Baroe, 7 Tanuari 1925.
62. 1bid.
63. Hindia Baroe, 7 Januari 1925.
64. Wahabi diambil dari nama Mubammad Ibn 'Abd al-Wahhab (1703-1787) pemimpin gerakan reformis di Arabia. Gerakan ini tidak dilatar belakangi politik melainkan gerakan murni keagamaan yang bergulat dengan persoalan internal ummat Islam. Muncul sebagai reaksi terhadap faham tauhid masyarakat Islam yang telah dipengarahui ajaran tarikat yang sebagian eksesnya sangat menghargai para imam tarikat sebagai wall dan memuliakan makam mereka dan tradisi keagamaan yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
65. Lihat misalnya, Taqiy al-Din Ibn Taymiyyah, Kitab al-Radd 'Ala al-Mantiqiyyin, (Beirut : Dar al-Ma'rifah, t.t.); Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah Fi Naqd Kalam al-Syi'ah wal Qadariyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t.); dan Muwafaqat Sahih al-Manqul li Sarih al-Ma'qul, (Beirut: Dar al Kutub al-'Ilmiyyah, 1985).
66. Lihat ibid., juga Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taymiyyah, (Bandung, Pustaka, 1983).

Ditulis ulang dari Buku Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik Oleh : M. Ali Haidar, Gramedia, 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar