Selasa, 23 Juni 2015

SERI BUKU NAHDLATUL ULAMA DAN ISLAM DI INDONESIA (3)




BAB II
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN POLITIK DALAM ISLAM (LANJUTAN)

Mengenai bentuk suksesi imam yang kedua, melalui penunjukan imam yang berkuasa sebelumnya, menurut al-Mawardi telah disepakati kemungkinannya secara ijma', yaitu berdasar pertimbangan praktek yang telah berlaku sebelumnya ialah praktek Abu Bakar yang menunjuk 'Umar sebagai penggantinya yang kemudian disetujui kaum muslim.40 Selain itu 'Umar kemudian menetapkan formatir yang salah satu di antaranya ditunjuk sebagai khalifah dan akhirnya juga diterima ummat Islam. Al-Mawardi selanjutnya mengemukakan tentang tugas dan fungsi imamah meliputi sepuluh hal. (1) Memelihara dan melindungi agama dari acaman dan gangguan serta perlakuan tidak adil.41 (2) Melaksanakan hukum yang adil untuk melindungi kaum yang lemah.42 (3) Melindungi hak asasi agar masyarakat merasa aman bekerja dan melaksanakan tugas kewajiban mereka. (4) Menegakkan hukum untuk melindungi hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia untuk memperoleh keselamatan dan perlindungan dari ancaman musuh. (5) Melindungi keamanan dan keselamatan negara dari ancaman musuh (fungsi sebagai pangiima angkatan perang). (6) Mengorganisasi penuntutan jihad terhadap siapa saja yang menentang da'wah Islam sampai akhirnya menyerah dan tunduk kepada negara. Imam terikat perjanjian dengan Tuhan untuk menegakkan supremasi agama ini melebihi agama dan kepercayaan apa pun. (7) Memungut pajak dan zakat yang telah ditetapkan syari'ah maupun penetapan lainnya yang dianggap diperlukan untuk kepentingan negara tanpa rasa takut dan tertekan. (8) Menetapkan anggaran belanja yang diperlukan dari kas baitul-mal, semacam lembaga keuangan negara yang berlaku dewasa ini. (9) Mengangkat pejabat dan pembantu yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas administrasi pemerintahan. (10) Imam haruslah aktif memimpin sendiri tugas-tugas dan tanggung jawab pemerintahan untuk memimpin ummat dan melindungi agama, tidak boleh sekadar berfungsi sebagai simbol belaka.43
Selanjutnya al-Mawardi dalam karyanya itu mengemukakan panjang lebar lembaga-lembaga kekuasaan di bawah negara atau imamah. Lembaga wizarah (kabinet), pemerintah di daerah, imarah al-jihad, militer (imarah al-harb), qada' (justisi) dan penegakan hukum, pengawasan (hisbah), keagamaan (haji, salat, sadaqah dan lain-lain), keuangan fai', ghanimah, jizyah), kekuasaan atas bumi, air (dan udara?), dan kekuasaan administrasi penyelenggara pemerintahan. Semua kekuasaan (al-Mawardi menggunakan istilah wilayah atau imarah) tersebut melembaga secara formal ke dalam lembaga induk negara (imamah) yang dipimpin seorang imam atau khalifah yang kemudian mendelegasikan wewenangnya kepada pejabat-pejabat lain di bawah kepemimpinannya sesuai dengan hirarki kelembagaan yang ada, baik secara otonom maupun secara langsung. Beberapa lembaga tersebut menyangkut langsung kekuasaan keagamaan seperti qada', salat, zakat, haji dan sadaqah. Semua ini menandai kesatuan sistem kenegaraan atau imamah dengan sistem kelembagaan keagamaan.
Pemikir kedua yang perlu dikemukakan di sini ialah Abu Hamid al-Ghazali (1050-1111), seorang tokoh yang proses kematangan intelektualitasnya mengagumkan, berangkat dari seorang ahli hukum kemudian memasuki bidang filsafat dan akhirnya mencapai puncak sebagai sufi yang besar. Salah satu karyanya al-Iqtisad fi al-I'tiqad menguraikan tentang kalam atau teologi, tetapi juga mengemukakan satu bab tentang imamah. Diakuinya bahwa sebenamya soal ini adalah bagian dari kajian fikih, tetapi karena dasar argumentasinya bertalian dengan logika yang menyangkut dasar pokok agama (usul al-din) maka dalam buku tersebut diuraikan satu bab tentang imamah sebagai salah satu kajiannya.
Menurut al-Ghazali imamah dibentuk bukan karena pertimbangan akal, tetapi dari pertimbangan syari'ah dengan menggunakan pendekatan akal. Bahwa diketahui imamah membawa faedah dan tanpa itu akan timbul bencana dan malapetaka karena kehidupan masyarakat tidak teratur dan tidak terpimpin. Menurut al-Ghazali dalil yang dikemukakan merupakan dalil syari'ah yang pasti (qat'i) bukan karena ijma' sebagaimana disangka orang. Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan syari'ah sebenarnya adalah ketertiban agama (nizam al-din). Prinsip ini menurut al-Ghazali tidak bisa dibantah. Dari sini kemudian al-Ghazali mengemukakan premis lain, bahwa ketertiban agama tidak mungkin bisa terwujud tanpa imamah yang ditaati, karena itu bila ketertiban agama merupakan suatu kemestian, demikian pula ketertiban imamah merupakan kemestian pula.
Al-Ghazali selanjutnya mengemukakan ketertiban agama berupa ma'rifah dan ibadah tidak mungkin dilakukan tanpa badan yang sehat, adanya kehidupan yang teratur, terpenuhinya kebutuhan hidup seperti pakaian, makan, dan tempat, dan lain-lain. Ketertiban agama tergantung kepada semua ini. Inilah yang dimaksud bahwa ketertiban agama tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa ketertiban dunia. Tentang ketertiban dunia, menurut al-Ghazali tidak mungkin bisa terwujud tanpa sultan (kekuasaan) yang ditaati. Bukankah keamanan jiwa, harta, kehormatan, dan ketertiban kehidupan sosial secara luas memerlukan lembaga kekuasaan yang ditaati semua pihak. Oleh karena itu dapat dikatakan, agama adalah dasar (asas) dan sultan sebagai pelindung (haris), sesuatu tanpa dasar akan runtuh dan tanpa pelindung akan sia-sia. Jelaslah sultan (kekuasaan politik) adalah suatu kemestian (daru-ri) bagi ketertiban dunia, ketertiban dunia merupakan kemestian bagi kebahagian akhirat. Menurut al-Ghazali inilah tujuan misi para nabi yang pasti. Akhirnya dengan pendekatan silogistis ini al- Ghazali menyimpulkan bahwa imamah adalah suatu kemestian syari'ah tidak ada jalan lain untuk meninggalkannya.
Tentang siapakah yang dipilih atau diangkat menjadi imam dan bagaimanakah prosedur pemilihannya al-Ghazali mengemukakan sebagai berikut. Imam dipilih dari yang terbaik dari kalangan ummat yang memiliki berbagai kemampuan, antara lain kemampuan mengorganisasikan pemerintahan dan kemampuan mendorong tumbuhnya kemajuan dan kesejahteraan sosial, dan syarat-syarat kemampuan lain yang umumnya ditetapkan bagi seorang qadi ditambah syarat khusus harus berasal dari keturunan Quraisy. Al-Ghazali mengemukakan termasuk dalam kategori Quraisy ialah sifat-sifat tertentu yang umumnya dimiliki kabilah Quraisy karena peranannya mempersatukan ummat Islam, Al-Ghazali memandang penting kemampuan-kemampuan khusus yang membedakan seorang imam dari kebanyakan orang lain yang disebutnya dengan kata 'khasiyat'. Dari sisi ini kemudian dikemukakan tiga prosedur pengangkatan imam. Pertama, dengan penetapan karena kenabian; kedua, penetapan imam sebelumnya yaitu dengan menunjuk orang tertentu dari keturunannya atau keturunan Quraisy pada umumnya. Kemungkinan ketiga ialah dengan penyerahan kekuasaan kepada orang yang secara defakto memiliki kekuasaan yang tidak bisa tidak harus diserahi kekuasaan imamah.
Menurut al-Ghazali sekiranya imam sebelumnya meninggal (atau turun jabatan) tanpa ada ketentuan siapa yang menggantikannya, kecuali seorang keturunan Quraisy (atau yang memiliki sifat seperti itu) yang telah membangun kekuasaan serta memegang kendali kekuasaan itu, bertindak dan bekerja dengan kekuatan politiknya sehingga semua orang tunduk kepadanya, maka yang demikian itu dipandang telah memenuhi sifat-sifat kekuasaan politik yang sah dan wajib ditaati. Keabsahan lembaga kekuasaan politik ditentukan dari segi kekuatan atau kekuasaan yang nyata (syaukah) dan kemampuannya (kifayah) untuk menjamin kemaslahatan umum dan menghindarkan kemudaratan. Jika seorang imam tidak memenuhi persyaratan umum, kecuali hanya sebagian saja, apakah harus dimakzulkan? Al-Ghazali menjawab, ya--bila ditemukan pengganti yang lebih baik dan tidak menimbulkan kegoncangan politik. Kalau penggantian itu tidak mungkin kecuali dengan perang dan pertumpahan darah, maka lebih baik mengakui kekuasaan imam tersebut dan wajib taat kepadanya. Prinsip bahwa kehidupan yang tertib lebih menjamin ketertiban agama mendasari pandangan al-Ghazali tersebut.
Kedua pemikir ini hidup hampir bersamaan, al-Ghazali meninggal tahun 1111 M, sedang al-Mawardi meninggal tahun 1031 M, tetapi latar belakang kedua orang ini berbeda. Al-Mawardi seorang birokrat, sedang al-Ghazali walaupun pernah bekerja membantu kerajaan sebagai mufti dan staf pengajar lembaga pendidikan kerajaan, tetapi dia bukanlah birokrat seperti al-Mawardi. Namun demikian pemikiran mereka memiliki kesamaan. Gagasan mengenai pentingnya lembaga kekuasaan politik untuk tujuan "melindungi agama dan mengatur dunia" menurut versi al-Mawardi, menurut al-Ghazali lembaga itu suatu kemestian yang tidak bisa tidak untuk menjamin ketertiban agama, ketertiban agama tergantung kepada ketertiban dunia dan ketertiban dunia tergantung kepada lembaga kekuasaan politik yang ditaati. Presmis-presmis al-Ghazali didasarkan kepada logika mantiq, suatu hal yang sangat mewarnai pemikiran al-Ghazali dalam banyak hal yang telah berkembang di abad pertengahan, sementara al-Mawardi melihatnya dari segi fikih.
Seperti dikemukakan argumentasi al-Ghazali mengenai ide dasar imamah dilihat dari segi logika (mantiq), tetapi dalam rincian selanjutnya al-Ghazali juga melihatnya dari sudut fikih, sebab dalam fikih pun logika itu digunakan. Kitab fikih al-Ghazali Ihya' 'Ulum al-Din memuat bab-bab tentang imamah dan memberi beberapa alternatif pemecahan apabila dalam praktek menghadapi masalah. Salah satu hal yang penting dalam fikih ialah bahwa fikih hendak menjawab masalah yang kongkret dalam kehidupan keseharian manusia, karena itu fikih tidak bisa menghindari kemungkinan keragaman pemecahan, sebab masalah-masalah dalam  kehidupan manusia itu berkembang bahkan cukup kompleks.

_________________________________________________________

Catatan
40. Al-Mawardi, al-Ahkam, h. 7.
41. Banyak tejadi pertempuran antar berbagai kerajaan Islam yang masing-masing pihak menyatakan berwenang atas nama fungsi dan kekuasaan ini. Perang antara Muawiyah melawan Bani Hasyim dan Zubair, antara 'Ali melawan Mu'awiyah dan lain-lain juga dinyatakan atas nama dan kekuasaan ini. Lihat Rosenthal, Political Tought, h. 31. Kalangan NU menafsirkan fungsi ini "memberi kebebasan agama, khususnya Islam, untuk berkembang dan memberi bantuan secara aktif material maupun moril, seperti yang sekarang menjadi tugas Kementerian Agama. Tugas ini harus dicantumkan secara tegas dalam undang-undang Negara ancaman hukuman bagi pelanggar ketentuan ini". Lihat  Achmad Siddiq, 'Jalan Tengah Ditinjau dari Dua Sistem', prasaran dalam muktamar NU di Medan, tanggal 24 Desember 1956, Arsip Nasional, Koleksi tentang NU nomer 252.
42. Al-Mawardi menggunakan istilah 'tanfiz al-ahkam bain al-mutasyjirin wa qat'i al-khisam'. Fungsi ini ditafsirkan sebagai kewenangan eksekutif untuk melaksanakan administrasi pemerintahan di bidang penegakan hukum dan keadilan. Kekuasaan eksekutif bisa dipegang presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala eksekutif, boleh juga dipegang kepala eksekutif tersendiri yang umumnya dipegang perdana menteri. Lihat Achmad Siddiq, Ibid.
43. Al-Mawardi, al-Ahkam, h. 14-15. Arti simbol imam tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Ditulis ulang dari Buku Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik Oleh : M. Ali Haidar, Gramedia, 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar