BAB II
Lahirnya Nahdlatul Ulama
Sebagai Organisasi Keagamaan (Lanjutan)
C. Langkah-langkah Nahdlatul Ulama
Sebelum Kemerdekaan
Sesuai dengan Anggaran Dasar 1926 (yang
disusun 1929 dan
disahkan oleh pemerintah 1930) NU menetapkan tujuannya adalah untuk mengembangkan Islam berlandaskan ajaran keempat mazhab. Tujuan itu diusahakan dengan:
disahkan oleh pemerintah 1930) NU menetapkan tujuannya adalah untuk mengembangkan Islam berlandaskan ajaran keempat mazhab. Tujuan itu diusahakan dengan:
- Memperkuat
persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat mazhab.
- Meneliti
kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar agar sesuai dengan
ajaran ahlusunnah wal jamaah.
- Menyebarkan
ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab.
- Memperbanyak
jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya.
- Membantu
pembangunan mesjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan
anak yatim dan orang miskin.
- Mendirikan
badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.(69)
Dengan berdirinya NU maka lapisan terbesar masyarakat
Indonesia yang terdapat di pedesaan dibenahi oleh NU untuk mengimbangi kemajuan
yang telah dicapai oleh kaum pernbaharuan di kota-kota.
Sejak pembentukannya, Nahdlatul Ulama
mampu membatasi penyebaran pikiran-pikiran Islam Moderen ke desa-desa di Jawa,
yang sejak akhir tahun 1920-an tercapai suatu status quo ketika kaum Islam
moderen memusatkan misinya di lingkungan perkotaan, sedangkan Nahdlatul Ulama
cukup puas menarik pengikutnya, terutama mereka yang berasal dari daerah
pedesaan.(70)
NU muncul pada saat penguasa
tradisional (pribumi) telah menjadi alat kekuasaan Belanda; sehingga makin
rnemperkuat wibawa ulama di mata umat Islam. "Dalam waktu bersamaan
dengan menurunnya penguasa tradisional di mata publik, suatu kelompok elite
baru muncul dengan menonjol yaitu para haji dan kyai," demikian Bernhard
Dahm.(7l)
Salah seorang kyai dan haji yang paling
menonjol adalah Hasyim Asyari pendiri NU. Di bawah kepemimpinannya NU
diantarkan sampai kepada masa kemerdekaan bangsa Indonesia. Masa hidupnya
(1871-1947) merupakan karunia sejarah bagi NU, karena masa itu adalah masa yang
penuh pergolakan bagi bangsa Indonesia, yaitu saat mulai memudarnya perlawanan
bersenjata, kemunculan berbagai gerakan kebangsaan dengan berbagai aspirasinya,
masa penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya dalam masa kemerdekaan. Mungkin
jarang ditemui sebuah organisasi secara utuh dipimpin oleh seorang tokoh saja
melewati berbagai periode sejarah seperti yang dialami NU di bawah kepemimpinan
Hasyim Asyari.
Segera setelah terbentuk, NU mengirim
utusan khususnya kepada Raja Saud dengan permohonan agar diberlakukan
kemerdekaan (kebebasan) di Tanah Suci menjalankan salah satu dari empat mazhab,
yakni Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. Permohonan ini disambut baik oleh
Raja Saud.(72) Kalau pun sikap Raja Saud dapat rnengherankan — mengingat
hubungannya dengan aliran Wahhabi — rupanya hal itu menyatakan telah terjadi
pergeseran nilai di Tanah Suci. Antara 1924 dan 1932 Raja Saud dalarn usahanya
membangun Saudi Arabia telah memutuskan hubungan dengan golongan fanatik para
pendukungnya dan mulai mengambil langkah-langkah pragmatis.(73)
Seperti dikatakan di atas bahwa yang
paling penting bagi NU adalah kelangsungan mazhab. Hal itu segera ternyata
dalam Muktamar pertama yang diadakan di Surabaya pada bulan Oktober 1926.
Pertanyaan pertama dalam Muktamar: "Wajibkah bagi umat Islam mengikuti
salah satu dari empat Mazhab?" Yang langsung dijawab oleh Muktamar, yang
semua pesertanya ulama, bahwa "pada masa sekarang wajib bagi umat Islam
mengikuti salah satu empat mazhab yang tersohor dan mazhabnya telah
dikodifikasikan (mudawwan)."(74) Tanpa menantikan kembalinya utusan
Komite Hijaz (K.H Abdulwahab Hasbullah dan Syekh Ahmad Chanaim yang baru
kembali tahun 1928(75) ), NU telah menegaskan kemandiriannya dalam menganut
mazhab! Memang Muktamar pertama langsung membahas masalah agama, praktek
keagamaan dan etika. Yang menarik dari banyak muktamar NU adalah cara mengambil
keputusan yang selalu bersandar pada pendapat (fatwa) ulama-ulama terdahulu dan
selalu dihindarkan jawaban-jawaban yang mutlak (kecuali dalam soal agama).
Sudah tentu cara ini hanyalah penegasan peranan ulama sebagai orang yang paling
mengetahui masalah agama dan sebagai pemimpin keagamaan umat. Sebuah ilustrasi
dari muktamar akan menjelaskan fenomen ini.
Bolehkah menterjemahkan khutbah jum'ah
selain rukunnya atau beserta rukunnya? Apabila ia diperbolehkan apakah yang
terbaik dengan bahasa Arab saja atau beserta terjemahnya? Apabila yang terbaik
beserta terjemahnya apakah faedahnya? Menterjemahkan khutbah jum'ah selain
rukunnya itu boleh sebagaimana tersebut dalam kitab-kitab mazhab Syafii, dan
Muktarnar memutuskan: Bahwa yang terbaik adalah khutbah dengan bahasa Arab
kemudian diterangkan dengan bahasa yang dimengerti oleh hadirin. Adapun
faedahnya adalah supaya hadirin mengerti petuah yang ada dalam khutbah.
Bagaimana hukumnya alat-alat yang
dibunyikan dengan tangan?
Muktamar memutuskan, bahwa segala alat yang dipukul (dibunyikan) dengan tangan seperti rebana dan sebagainya itu hukumnya mubach (boleh selama) alat-alat tersebut tidak dipergunakan untuk menimbulkan kerusakan dan tidak menjadi tanda-tanda orang fasiq...(76)
Muktamar memutuskan, bahwa segala alat yang dipukul (dibunyikan) dengan tangan seperti rebana dan sebagainya itu hukumnya mubach (boleh selama) alat-alat tersebut tidak dipergunakan untuk menimbulkan kerusakan dan tidak menjadi tanda-tanda orang fasiq...(76)
Cara yang sama masih terjadi sampai
sekarang dalam pengajian-pengajian yang dipimpin oleh ulama. Sepintas lalu
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkesan picik dan naif, tetapi itu terjadi
kalau kita kurang memahami apa arti hukum agama (syariat) bagi umat Islam.
Agama atau keimanan tidak terlepas dari prakteknya yang konkret dalam kehidupan
sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya yang dapat diatur oleh hukum. Dengan
demikianlah umat Islam menyatakan ketaatannya secara bulat dan menyeluruh.
Islam selalu mencoba sekuat tenaga menyesuaikan kehidupannya dengan hukum yang
bersumber dari Allah.
S.H. Nasr merumuskannya dengan
indah:
Syariah adalah hukum Tuhan, dalam
pengertian ia adalah pelembagaan kehendakNya, dengan mana manusia harus hidup
secara pnbadi dan bermasyarakat. Dalam setiap agama kehendak Tuhan selalu
dimanifestasikan dalam satu atau lain cara . . . Tetapi di dalam Islam
pelembagaan ini sesuatu yang konkret . . . Syariah berisi perintah agung yang
mengatur segala keadaan dalam kehidupan...(77)
Dalam konteks inilah para ulama (kyai)
melakukan peranannya sebagai juru bahasa agama terhadap masyarakat. Kalau ia
sering dituduh hanya membahas hal-hal yang sepele (furu'), itu
karena ulama tidak dapat melepaskan pengetahuan keagamaannya dari kehidupan
umat Islam yang mengharapkan bimbingannya. Di samping menganjurkan sesuatu
perbuatan, ulama juga menilai sesuatu perbuatan yang tak dianjurkan tetapi
berlangsung terus (seperti menilai ziarah, selamatan, soal jual beli,
perkawinan dan sebagainya). Dalam perimbangan mana yang harus (wajib), mana
yang dianjurkan (mandub), mana yang terlarang (haram), dan yang
kurang baik (makruh) dan mana yang tak dilarang (halal) dan mana
yang tak dianjurkan (mubah), para ulama membimbing umat menyesuaikan
segala perbuatan dan tindakannya dengan kehendak Tuhan.(78)
Setelah terbentuk NU setiap tahun
mengadakan muktamar yang jumlah ulama peserta selalu meningkat dari tahun ke
tahun. Pada Muktamar II (1927) pembahasan bukan lagi masalah mazhab tetapi
bergeser pada masalah kemasyarakatan (perkawinan dan pendidikan agama).(79)
Menarik untuk dicatat bahwa dalam Muktaar II, NU meminta kepada pemerintah
Belanda agar pendidikan agama Islam dimasukkan di dalam kurikulum
sekolah-sekolah umum di seluruh Jawa dan Madura karena mayoritas penduduknya
beragama Islam, "Bila dinegara mayoritas muslim tidak diajarkan pelajaran
agama Islam, menurut pandangan NU, sama artinya dengan berusaha mendangkalkan
dan menanggalkan Islam."(80)
Dalam memutuskan sesuatu hal yang
dianggap baru Muktamar NU tidak menerima atau menolak begitu saja, tetapi
memutuskan dengan hati-hati atau memutuskan dengan memandang manfaatnya.
Bagaimanakah hukumnya mengambil hasil dari barang jaminan (sebidang tanah) yang
diambil hasilnya dalam pegadaian? Muktamar II menyodorkan tiga pendapat, yaitu haram,
halal dan syubhat (belum jelas haram atau halal). "Adapun
Muktamar memutuskan bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat pertama
(haram)."(81) Bagaimana hukumnya mendengarkan siaran radio? Muktamar X
menjawab: "Kalau yang didengarkan haram maka haramlah mendengarnya. Kalau
makruh, ya makruhlah mendengarnya begitulah seterusnya, begitu pula hukum
menyimpannya."(82) Keputusan ini sesuai dengan pendapat Mufti Mesir,
Bakhit El Muthi'ie, yang disiarkan dalam majalah El-Hidayatul Islamiyah bulan
Agustus 1933.(83) Berarti keputusan Muktamar di samping berlandaskan buku
klasik juga menggunakan pendapat lain yang datang dari luar dirinya.
Besar sekali keuntungan yang diperoleh
NU dengan mengadakan muktamar setiap tahun sehingga ia mampu mengikuti
perkembangan dan kejadian yang timbul di masyarakat umum.
Dalam perkembangannya Muhammadiyah
organisasi pendidikan dari golongan pembaharuan juga melakukan hal yang sama
agar dapat memberikan pedoman bagi umat Islam. Muhammadiyah pada tahun 1927
mernbentuk sebuah badan yang berhak mengeluarkan fatwa, yaitu Majelis
Tarjih.(84) Badan ini juga diharapkan menjaga agar tidak terjadi
"pelanggaran-pelanggaran terhadap keputusan-keputusannya."(85)
Majelis Tarjih banyak membahas tentang masalah non-agama, yang dianggap akan
menimbulkan pertikaian di kalangan umat, seperti bunga bank, upacara api
unggun, soal pakaian, dan sebagainya.(86) Menurut Deliar Noer — yang memuji peranan
Majelis Tarjih ini — dalam memutuskan fatwanya bersifat longgar dan toleran
dalam arti "memberikan kelapangan pada praktek yang berbeda dengan
pendapatnya."(87) Abdurrahman Wahid yang tergolong pemikir dan tokoh
muslim progresif dewasa ini (sekarang Ketua NU), dalam sebuah diskusi panel
dengan warga Muhammadiyah pada tahun 1981, memuji potensi organisasi ini karena
sesuai dengan wataknya yang egaliter telah mampu menghimpun kaum profesional
(dokter, guru, pedagang, pekerja, dan lain-lainnya) bergiat dalam memperjuangan
missi Islam dalam masyarakat.(88) Namun ia juga memberikan kritiknya bahwa
dalam perkembangan Muhammadiyah peranan ulama makin tergeser ke belakang oleh
kaum profesional sehingga agama kemudian hanya menjadi pemberi legitimasi bagi
kegiatan kemasyarakatan Muhammadiyah.(89) Menurut hemat saya, kritik Wahid itu
secara tidak langsung menegaskan ciri khas NU bahwa yang berhak memberikan
fatwa yang berwibawa adalah para ulama orang yang paling mengetahui masalah
agama. Peranan ulama memberikan fatwa dalam masalah kemasyarakatan, bukanlah
sesuatu tanda kekolotan tetapi sesuai dengan watak Islam itu sendiri yang tidak
mengenal pemisahan lingkup agama dan dunia!
Secara bertahap NU membenahi
organisasasinya terutama dalam usaha mengembangkan agama. Sebenarnya kurun
waktu lahirnya NU dalam dekade duapuluhan adalah suatu kurun yang sengit.
Dekade duapuluhan adalah dekade kemunculan berbagai organisasi, baik yang
bersifat sosial maupun politik (yang bercorak suku daerah dan keagamaan). Kaum
nasionalis berhasil menghimpun kekuatan dalam Partai Nasional Indonesia (untuk
selanjutnya disebut PNI) yang didirikan dan dimotori oleh kaum intelektual muda
seperti Soekarno dan Mohammad Hatta).(90) Serikat Islam mulai menegaskan
aspirasi nasionalisme yang berdasarkan Islam dengan menyatakan diri sebagai
partai, yaitu Partai Serikat Islam Indonesia (1929). Dorongan untak merdeka
dari penjajahan membuat kaum nasionalis Islam makin dekat dengan kaum
nasionalis netral agama.(91) Tetapi terjadi perbedaan pandangan (bahkan
pertentangan) dalam kalangan pembaharu (antara Serikat Islam kontra
Muhammadiyah dan Persatuan Islam). Menurut Deliar Noer dalam karyanya yang
terbaru Partai Islam di Pentas Nasionalis, perbedaan itu terjadi
"disebabkan oleh pertimbangan politik daripada pertimbangan agama; tetapi
pertimbangan yang bersifat pribadi juga menentukan.(92) Sambil lalu ia juga
menilai kaum tradisional atau NU ketika itu "belum menjadi
penting."(93)
Walaupun penilaiannya itu dapat
diterima secara fakta sejarah karena NU belum terjun ke dalam kancah politik
pada awal penampilannya, tetapi belum tentu ketidaksertaannya dalam dekade
1920-an menjadikan NU tidak penting. Sebagai wadah ulama, NU bukanlah
organisasi dari sebuah gagasan (ideologi) melainkan organisasi massa dengan basis
pesantren. Di atas, kita telah melihat bahwa sebelum abad XX kaum ulama dan
santri telah terjun dalam perlawanan bersenjata terhadap Belanda. Abad XX corak
perlawanan sudah tentu berbeda, sudah harus mengikuti cara-cara modern. Di sini
kaum tradisional atau NU belum siap. Namun demikian dengan caranya sendiri
melalui muktamar-muktamarnya NU mempersiapkan diri untuk terjun dalam
pergerakan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Ketika kaum nasionalis (PNI)
muncul sebagai saingan Islam dan kaum pembaharuan berada dalam pertikaian, maka
kemunculan NU di bawah kepemimpinan Hasyim Asyari membuat peranan Islam dalam
pergerakan bangsa dapat berlangsung terus. Dhofier, merumuskan dengan
tepat,
.... para pemimpin
organisasi-organisasi Islam menghadapi saingan dengan munculnya
pemimpin-pemimpin muda yang dengan mengorbarkan panji-panji nasionalisme segera
memperoleh dukungan kuat dari rakyat, sehingga mampu menggantikan
pemimpin-pemimpin nasionalis Islam seperti Cokroaminoto dan Haji Agus Salim.
Dalam menghadapi saingan baru ini,
kedudukan Kyai Hasyim Asyari dinilai .... sangat penting karena pengaruhnya
yang demikian kuat dalam lingkungan kaum Islam tradisional di pedesaan dapat
turut menjamin bagi kelangsungan peranan Islam dalam pergerakan kebangsaan secara
keseluruhan.(94)
Langkah penting diayunkan oleh NU pada
Muktamar IX (1934 di Banyuwangi. Choriul Anam dalam bukunya Pertumbuhan dan
Perkembangan Nahdlatul Ulama menyatakan Muktamar ini sebagai awal masa
perkembangan NU.(95) Ada tiga alasan diajukannya: Pertama, pemisahan sidang Syuriah
(Dewan Tertinggi Keagamaan) dari Tanfidziyah (Badan Pelaksana
Organisasi); Kedua, tatacara persidangan mulai dibenahi; Ketiga, munculnya
tokoh-tokoh muda yang berpandangan luas seperti Mahfuzd Siddiq, Wahid Hasyim,
Thohir Bakri, Abdullah Ubaid dan sebagainya.(96) Di sini pula NU melengkapi
organisasinya dengan membentuk wadah pemuda yang disebut Ansor Nahdlatul
Ulama.(97) Pembagian pengurus atas Syuriah dan Tanfidziyah menurut
Mahrus Irsyam sesuai dengan "pola hubungan antara kyai dengan santri"
— antara Guru dan Murid.(98) NU membenahi organisasinya menurut pola yang sudah
mapan sebelumnya dalam kehidupan di pesantren sehingga kedudukan ulama tetap
diakui kendatipun suatu organisasi (termasuk NU) tidak luput dari
pengaruh zaman modern. Di kemudian hari ketika Indonesla memasuki masa
pembangunan secara besar-besaran ulama tetap menuntut posisi utama; ia tidak
mau disingkirkan oleh kaum politisi atau intelektual.
Dekade tiga puluhan adalah dekade
mencari identitas pergerakan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan. Ketika
golongan nasional yang dimotori oleh PNI membentuk wadah persatuan pergerakan
nasional dalam Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (untuk
selanjutnya disebut PPPKI) pada tahun 1927, dari golongan Islam yaitu SI
turut bergabung. Tetapi ia tidak lama betah dalam wadah itu. Pada tahun
1930 SI ketika itu sudah menjadi Partai Serikat Islam Indonesia —
PSII) menyatakan diri keluar karena beberapa alasan; SI tidak setuju
didirikannya Bank Nasional Indonesia karena "bank ini memungut bunga
uang, sesuatu hal yang dianggap bertentangan dengan agama Islam" dan SI
berpendapat bahwa keinginan beberapa anggota memperbaiki kedudukan wanita
dalam masyarakat (larangan perkawinan anak dan asas monogami)
bertentangan dengan "dasar
PPPKI yang menghormati keyakinan tiap-tiap orang dalam agamanya masing-masing."(99) Sebenarnya alasan yang dikemukakan di atas hanyalah perwujudan hal yang sangat mendasar sebelumnya ketika PPPKI dibentuk, yaitu pertentangan pendapat antara golongan nasional dan Islam (SI) tentang siapakah yang berhak menjadi anggota PPPKI. Golongan nasional berpendapat semua bangsa Indonesia (dan ini memang menjadi bagian dari anggaran dasarnya) sedangkan SI berpendapat (sesuai dengan anggaran dasarnya) semua orang Islam.(100) Semua pihak menderita kerugian dengan keluarnya SI. Golongan nasional kehilangan basis untuk menjangkau lapisan terbesar masyarakat, umat Islam yang tinggal di perkotaan. Sedangkan SI merasa makin "terjepit antara kaum pembaharu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang konservatif dan kehilangan momentum dalam hubungan dengan golongan nasionalis sekuler."(101) Nampaknya kaum pembaharuan yang diwakili oleh SI belum siap menanggapi secara lebih terbuka gagasan-gagasan moderen. Sebenarnya pertentangan pendapat telah menjadi keras dan tajam dalam tahun-tahun terakhir dekade duapuluhan seperti yang ditunjukkan oleh polemik antara Sukarno dan Agus Salim; bagi Salim tanpa nilai Islam, nasionalisme akan melahirkan "berhala" modern.(102) Pertentangan itu mencuat pula dalam dekade tiga pulahan antara Sukarno dan Mohammad Natsir (juru bicara kalangan pembaharuan yang sangat tajam pandangannya). Kalangan nasional ingin melaksanakan nasionalisme sebagai tumpuan perjuangan sedangkan kalangan pembaharuan ingin menempatkan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, bagi kalangan nasional persatuan tidak akan tercapai kalau agama ditonjolkan sedangkan bagi golongan Islam (kalangan pembaharuan) persatuan tanpa Islam sesuatu yang tidak mempunyai nilai sama sekali.
PPPKI yang menghormati keyakinan tiap-tiap orang dalam agamanya masing-masing."(99) Sebenarnya alasan yang dikemukakan di atas hanyalah perwujudan hal yang sangat mendasar sebelumnya ketika PPPKI dibentuk, yaitu pertentangan pendapat antara golongan nasional dan Islam (SI) tentang siapakah yang berhak menjadi anggota PPPKI. Golongan nasional berpendapat semua bangsa Indonesia (dan ini memang menjadi bagian dari anggaran dasarnya) sedangkan SI berpendapat (sesuai dengan anggaran dasarnya) semua orang Islam.(100) Semua pihak menderita kerugian dengan keluarnya SI. Golongan nasional kehilangan basis untuk menjangkau lapisan terbesar masyarakat, umat Islam yang tinggal di perkotaan. Sedangkan SI merasa makin "terjepit antara kaum pembaharu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang konservatif dan kehilangan momentum dalam hubungan dengan golongan nasionalis sekuler."(101) Nampaknya kaum pembaharuan yang diwakili oleh SI belum siap menanggapi secara lebih terbuka gagasan-gagasan moderen. Sebenarnya pertentangan pendapat telah menjadi keras dan tajam dalam tahun-tahun terakhir dekade duapuluhan seperti yang ditunjukkan oleh polemik antara Sukarno dan Agus Salim; bagi Salim tanpa nilai Islam, nasionalisme akan melahirkan "berhala" modern.(102) Pertentangan itu mencuat pula dalam dekade tiga pulahan antara Sukarno dan Mohammad Natsir (juru bicara kalangan pembaharuan yang sangat tajam pandangannya). Kalangan nasional ingin melaksanakan nasionalisme sebagai tumpuan perjuangan sedangkan kalangan pembaharuan ingin menempatkan nilai-nilai Islam. Dengan kata lain, bagi kalangan nasional persatuan tidak akan tercapai kalau agama ditonjolkan sedangkan bagi golongan Islam (kalangan pembaharuan) persatuan tanpa Islam sesuatu yang tidak mempunyai nilai sama sekali.
Selama kaum pembaharuan sibuk
berpolemik dengan kaum nasionalis, kaum tradisi atau NU lebih banyak menoleh
kedalam. NU sadar, pesantren dengan sistem hubungan kyai dan santri saja
(dengan lebih banyak menekankan pengajian dan penghapalan buku-buku mazhab)
sudah tidak memadai untuk membentuk kader baru. Atas Jasa dan prakarsa tokoh
muda Wahid Hasyim, NU mulai membuka sekolah kejuruan, dan tahun 1938 telah
memiliki pedoman pendidikan yang baru.(l03) Sementara itu NU mulai dipimpin
oleh tokoh muda, Mahfudz Siddiq, yang menjadi Ketua Umum Tanfidziyah
(1937-1942). Di bawah pimpinannya NU memperoleh banyak kemajuan dalam lapangan
sosial, ekonomi pertanian, dan organisasi.(104)
Walaupun NU bukan organisasi politik
tetapi ia tanggap terhadap perkembangan yang terjadi. Tantangan makin
mendekatkan sesama organisasi Islam, berbagai peraturan yang dirasakan
merugikan umat Islam (ordonansi perkawinan, hukum waris, milisi, dan
sebagainya), membuat NU menggalang kekuatan bersama dengan organisasi Islam
lainnya (SI, Muhammadiyah, dan sebagainya) dengan membentuk Majelis Islam
Ala Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang diharapkan menjadi wadah
perjuangan umat Islam. Semboyan MIAI adalah sebuah ayat Qur'an yang mengajak
umat Islam bersatu: "Berpegang tegublah kamu sekalian dengan tali Allah
dan janganlah berpecah belah." (Sura 3: 103)(105) Pemrakarsa
terbentuknya MIAI adalah Abdul Wahab Hasbullah dan setelah terbentuk diketuai
oleh Wahid Hasyim.(106) Tampaknya sedikit banyak wibawa ulama diakui oleh kaum
pembaharuan. Sementara itu kekuatan politik yang koperatif dan non-koperatif,
baik dari kalangan nasional maupun Islam, berhasil rujuk kembali dalam
wadah Gabungan Aksi Politik Indonesia (untuk selanjutnya disingkat GAPI)
pada tahun 1939. Adapun maksud dan tujuan MIAI, antara
lain:
lain:
- Menggabungkan
segala perhimpunan umat Islam untuk bekerja sama.
- Berusaha untuk
menyelesaikan apabila timbul pertikaian di antara umat Islam.
- Mempererat
hubungan dengan umat Islam di luar negeri.
- Berusaha
memajukan agama Islam dan
- Membangun
Kongres Muslimin Indonesia.(107)
Bergabungnya NU dengan golongan Islam lain merupakan langkah
baru; ternyata bahwa golongan tradisional mampu bekerja sama dengan golongan
lain sepanjang masalahnya dilihat bersangkut paut dengan kehidupan langsung
agama Islam! Mungkin Juga NU mulai merasakan bahwa ia membutuhkan tenaga
intelektual. "Perjuangan politik tidak bisa hanya bermodalkan jumlah massa
yang banyak saja. Ia membutuhkan taktik strategi yang direncanakan secara baik.
Dengan begitu maka kelahiran MIAI adalah merupakan tangga bagi NU ke dalam
dunia politik..."(108) Dengan berdirinya MIAI kita melihat bahwa
organisasi Islam dapat bersatu dalam masalah sosial tetapi berpisah atau
bertentangan dalam masalah politik!
Sebagai organisasi keagamaan NU juga
tanggap terhadap masalah politik. Ketika Perang Dunia II makin membara Belanda
memerlukan dukungan jajahannya menghadapi Jepang yang dicap sebagai kekuatan
Fasis. Kalangan pergerakan di dalam GAPI berdasarkan keprihatinan terhadap nasib
bangsa Indonesia sempat menyambut seruan Belanda untuk bersama menghadapi
Jepang. Tetapi NU mengambil sikap lain, bahwa bangsa Indonesia yang dijajah
Belanda tidak terikat membela pemerintah Hindia Belanda.
Menurut Nahdlatul Ulama, bangsa
Indonesia yang sebagian terbesar adalah muslimin, selama masih menjadi
bangsa jajahan tidaklah terikat oleh kewajiban-kewajiban perang yang menjadi
tanggung jawab penjajah (Hindia Belanda). Bagi Nahdlatul Ulama, masalah
mati adalah paling serius, dan mati untuk kepentingan penjajah adalah mati yang
sia-sia.(109)
Perbedaan sikap di antara kalangan
nasionalis (GAPI) dan kalangan agama (MIAI) tentang sikap terhadap perang
Pasifik berlanjut sampai Jepang menguasai Nusantara, padahal menjelang akhir
kekuasaan Belanda kalangan nasionalis dan agama telah berhasil menggalang
kekuatan dalam wadah yang disebut Kongres Rakyat Indonesia (disingkat Korindo).
Perbedaan sikap yang kemudian menimbulkan krisis dalam Korindo tak sampai
terselesaikan karena Jepang keburu masuk sehingga situasi pun berubah.(110)
Kalangan nasionalis yang memperihatinkan nasib bangsa Indonesia bersedia
berunding dengan Belanda, tetapi sebalilnya sikap kalangan agama terhadap
Belanda makin keras.(111)
MIAI merupakan langkah nyata
keterlibatan NU dalam perjuangan bangsa Indonesia tanpa perlu mengubah
karakternya sebagai organisasi keagamaan. Posisi NU cukup kuat di dalamnya,
bukan saja karena kemudian wakilnya Wahid Hasyim menjadi ketua, tetapi juga
karena atas desakan NU kongres MIAI yang pertama (1938) tidak menjadi lanjutan
Kongres Islam yang sebelumnya yang menyebabkan golongan tradisional pernah
bentrok dengan golongan pembaharuan. Kongres MIAI yang pertama dianggap sebagai
permulaan yang baru, menjadi Kongres Al-Islam Indonesia Pertama,(112) NU
menyadari sepenuhnya rnanfaat persatuan dalam perjuangan, seperti yang
dinyatakan oleh seruan Hasyim Asyari kepada pesantren.
Perkokoh persatuan kita, karena orang
lain juga memperkokoh persatuan mereka. Kadang-kadang suatu kebathilan mencapai
kemenangan disebabkan mereka bersatu dan terorganisasi. Sebaliknva
kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan terkalahkan lantaran bercerai berai
dan saling bersengketa.(113)
Tampilnya MIAI yang dimotori oleh dua
organisasi non-politik — NU dan Muhammadiyah — telah memberikan warna baru bagi
kiprah umat Islam dalam arus pergerakan bangsa. Pada saat SI — kalau boleh
disebut 'wakil' Islam dalam bidang politik — makin mundur dan terjepit di
antara golongan nasionalis dalam GAPI umat Islam dapat memperkuat barisannya
dalam pergerakan bangsa menuju kemerdekaan. Kemerdekaan bukan saja aspirasi
partai
politik Islam dengan segelintir politisinya dan bukan pula hanya aspirasi golongan nasionalis, tetapi menjadi aspirasi seluruh umat Islam, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Organisasi keagamaan mampu mengikuti perjuangan bangsa dan mampu menjalankan peranan yang kritis; dengan memberi dukungan kepada sesuatu aspirasi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan atau memberikan kritik terhadap sesuatu perkembangan yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan!
politik Islam dengan segelintir politisinya dan bukan pula hanya aspirasi golongan nasionalis, tetapi menjadi aspirasi seluruh umat Islam, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Organisasi keagamaan mampu mengikuti perjuangan bangsa dan mampu menjalankan peranan yang kritis; dengan memberi dukungan kepada sesuatu aspirasi yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan atau memberikan kritik terhadap sesuatu perkembangan yang dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai keagamaan!
Harry Benda memberikan kepada kita
catatan menarik bahwa terjadinya polarisasi sikap di antara golongan nasionalis
(yang disebutnya golongan sekuler) dengan golongan agama karena secara
ideologis paham nasionalisme terikat kepada Barat sedangkan pemimpin Islam
tidak terikat.(114) Itulah sebabnya menjelang akhir kekuasaan Belanda peranan
Islam makin besar, seperti yang dicatat oleh Benda;
Pada tahun-tahun terakhir Belanda,
Islam Indonesia dengan demikian memainkan peranan yang semakin penting dalam
kehidupan politik tanah jajahan tersebut, sebuah peranan yang serentak
menggaris bawahi persamaan dan perbedaan antara pemimpin Islam dan para
pemimpin non-religius.(115)
Mungkin dapat ditambahkan pula, bahwa
menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda bangsa Indonesia telah berhasil
menggalang persatuan karena mempunyai tujuan yang sama (kemerdekaan),
tetapi berbeda dalam strategi mencapai tujuannya. Dan tujuan itu pula
yang merujukkan golongan tradisional (NU) dan golongan pembaharuan
(Muhammadiyah)!
Setelah Perang Pasifik meletus dan
Jepang dengan cepat menguasai Nusantara yang dianggap mempunyai potensi besar
mendukung ambisi Jepang untuk menguasai selurah Asia. Sama dengan pendahulunya
(Belanda), Jepang melihat Islam adalah faktor penting untuk keberhasilan
politik penjajahannya. Ia telah siap untuk memasuki bumi Nusantara "dengan
suatu rencana kebijaksanaan yang ditujukan untuk memenangkan dukungan Islam.
Kebijaksanaan ini — sebagian merupakan kebalikan terang-terangan dari tujuan
Belanda — terutama ditujukan kepada masalah-masalah Islam di tingkat rakyat
pedesaan (grassroots).'' (216) Belanda dan Jepang berbeda dalam tujuan politik
Islam mereka; kalau Belanda bertujuan menguasai jajahannya maka Jepang
bertujuan memperalat Islam untuk mengembangkan kekuasaannya. Terlepas dari
tujuan politik Islamnya di bawah kekuasaan Jepang, Islam memperkuat diri.
Tampaknya golongan agama lebih leluasa bergerak ketimbang saingannya golongan
nasionalis. Tentang hikmah yang dipetik oleh Islam karena politik Islam Jepang
itu, Deliar Noer menguraikannya dengan Jelas,
Berbeda dari pemerintah Belanda, memang
pihak Jepang sangat banyak menaruh perhatian kepada gerakan dan perkembangan
umat Islam. Tampaknya mereka, mendorong dan memberi prioritas kepada kalangan
Islam dalam mendirikan organisasi mereka sendiri, sedangkan organisasi kalangan
nasionalis yang netral agama tidak digalakkan.Untuk pertama kali dalam
sejarah moderen, pemerintah di Indonesia secara resrni memberi tempat yang
penting kepada kalangan Islam.
Sikap pihak Jepang itu tidak dengan
sendirinya berarti melaga golongan nasionalis dengan golongan Islam dengan
maksud menguasai keduanya, sungguhpun kemungkinan politik pecah belah ini
terdapat. Yang ielas ialah pemerintah Jepang kemudian secara berangsur mengakui
organisasi-organisasi Islam sedangkan tetap tidak membolehkan organisasi
nasionalis dari masa sebelum perang didirikannya kembali. Organisasi Taman
Siswa pun yang beroperasi dalam bidang pendidikan mendapat pembatasan dalam
bergerak. Banyak sekolah menengahnya ditutup. Pada tanggal 10 September 1943
pemerintah Jepang mengesahkan berdirinya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama....(117)
Bagaimana posisi NU pada zaman Jepang?
Untuk sementara umat Islam melupakan pertikaiannya dan berusaha sedapat mungkin
memperkuat posisi. Deliar Noer menggarisbawahi keunggulan Muhammadiyah
(golongan pembaharuan non-politik) dengan duduknya K.H. Mas Mansur sebagai
salah seorang anggota Empat Serangkai (tiga lainnya adalah Soekarno, Hatta dan
Ki Hajar Dewantara).(118) Sedangkan Benda mencatat keunggulan SI dengan naiknya
Abikusno Tjokrosujoso yang dianggap "sebagai tokoh Islam Indonesia di Jawa
yang disponsori Jepang" menjadi ketua Persiapan Persatuan Umat Islam sebuah
lembaga bentukan Jepang untuk menghimpun kekuatan Islam.(119) Penilaian Noer
dan Benda saya rasa terlalu terburu-buru karena telah mengabaikan NU.
Kurang lebih setahun setelah Jepang
menduduki Nusantara Jepang membentuk Kantor Urusan Agama (bahasa Jepang Shumubu)
dan lembaga yang sangat strategis ini pada tahun 1944 dipegang oleh Hasyim
Asyari sebagai pimpinan resmi tetapi secara praktis fungsi pimpinan dijalankan
oleh anaknya Wahid Hasyim yang dijuluki oleh Dhofier sebagai "Rantai
Penghubung Peradaban Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern."(120)
Wahid Hasyim (1914-1953) adalah seorang tokoh muda yang sangat cerdas yang
telah banyak berjasa bagi perkembangan NU. Ketika Hasyim Asyari ditangkap oleh
Jepang dengan tuduhan terlibat kerusuhan di Jombang, dia melakukan pendekatan
kepada Jepang sehingga beberapa bulan kemudian Hasyim Asyari dapat
dibebaskan.(121) Tampaknya dalam zaman Jepang sikapnya lebih fleksibel
ketimbang ayahnya Hasyim Asyari. Wahid Hasyim pula yang dipercayai memimpin Majelis
Syuro Muslimin Indonesia (yang disingkat Masyumi) sebuah lembaga
perhimpunan golongan Islam yang dibentuk oleh Jepang sebagai pengganti
MIAI.(122) Setelah Indonesia merdeka ada tiga peran yang menyatakan kapasitasnya
sebagai tokoh nasional, salah seorang penandatangan Piagam Jakarta (Jakarta
Charter), menteri agama yang pertama setelah pengakuan kedaulatan, dan
pendiri NU sebagai partai politik.(123) "Ketiga peran yang dimainkan oleh
K.H.A. Wahid Hasyim tersebut," demikian Dhofier, "memberikan
kumandang yang cukup kuat hingga sekarang, dan mungkin sampai beberapa puluh
tahun yang akan datang."(124) Di bawah Wahid Hasyim, NU mulai menapak
zaman baru, yaitu zaman perjuangan politik bersama golongan pergerakan lainnya
agar NU seperti yang dikatakannya sendiri "senantiasa dapat mengikuti dan
menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan, asal di dalam dasarnya tidak
bertentangan dengan pokok-pokok Islam."(125)
Adalah tidak lengkap gambaran
perjuangan NU tanpa menyinggung sikap keras yang pernah diambilnya. Ketika
Jepang mewajibkan setiap orang harus menghormati kaisar Jepang dengan
membungkuk ke timur (bahasa Jepang : seikerei), Nu menolak dengan tegas.
Seorang ulama, K.H. Zaenal Musthafa dari Singaparna (Jawa Barat) mengangkat
senjata. Walaupun kemudian dapat dipadamkan, tetapi jelas NU pernah melakukan
perlawanan bersenjata terhadap Jepang. Sebab perintah Jepang itu bagi NU sama
dengan perbuatan syirik (mempersekutukan Tuhan).(126)
Beberapa bulan setelah bangsa Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya (17 Agustus 1945), NU menutup periode
sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah) dengan gemilang; NU
mengeluarkan resolusi Jihad(127) (Resolusi Perjuangan) pada tanggal 22
Oktober 1945 (tiga minggu sebelum pertempuran 10 November di Surabaya yang
kemudian hari tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Pahlawan) yang mengajak
umat Islam menentang aksi pendudukan Tentara Sekutu.(128) Resolusi itu
berbunyi:
- Kemerdekaan
Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
- Republik
Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela
dan diselamatkan.
- Musuh Republik
Indonesia, terutama Belanda yang datang kemudian dengan membonceng
tugas-tugas tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa
Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk
kembali menjajah Indonesia.
- Ummat Islam terutama
Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan
kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia.
- Kewajiban
tersebut adalah suatu jihat yang menjadi kewajiban tiap-tiap orang
Islam (Fardlu Ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak di
mana umat Islam diperkenankan sembahyang jama' dan qasar). Adapun mereka
yang berada di luar jarak tersebut berkewajiban membantu
saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km
tersebut.(129)
Kita melihat betapa NU sangat prihatin terhadap negara
Indonesia yang ditegaskannya harus dibela sebagai kewajiban sebagaimana kewajiban
menjalankan tugas keagamaan.(130) Ia menyadari sepenuhnya bahwa
pemerintahan Republik Indonesia adalah hasil perjuangan seluruh rakyat
Indonesia termasuk NU! Di dalam semangat keagamaan NU ikut membela kemerdekaan
sehingga umat Islam tidak terasing secara keagamaan dengan semangat perjuangan
bangsa!
_________________________
69. Lihat, Machfoeds, op. cit., hlm. 39-40.
70. Zamakhsari Dhofier, "K.H. Hasyim Asya'ri, Penggalang Islam Tradisional". Prisma, No. 1, Januari 1984 hlm. 80.
71. Dikutip dalam, Ibid, hlm . 76.
72. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 20.
73. Antara 1924-1932 telah terjadi perkembangan penting di Saudi Arabia Raja Saud (Abdul Aziz) memutuskan hubungan dengan sekutunya yang fanatik (yang biasanya disebut Ikhwan) dan mengijinkan masuknya penemnan-penemuan baru yang "tidak islami" (mobil, telefon, radio, dan lain-lain). Dia memberi jaminan kepada jemaah haji keamanan terjamin dan tradisi akan dihormati, lihat, Edward Mortimer, Islam dan Kekuasaan, terjemahan dari 'Faith and Power: The Politics of Islam', (Bandung: Penerbit Mizan, 1984), hlm. 152-154.
74. Lihat, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kumpulan masalah 2 Dinyah dalam Mu'tamar NU ke 1 s/d 15, (Semarang: Penerbit CV Toha Putra, tanpa tahun), Pertanyaan no. 1. Untuk selanjutnya akan disebut, Kumpulan Masalah saja.
75. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 19 catatan no. 23.
76. Kumpulan Masalah, Pertanyaan no. 9 dan 22. Cetak tebal. dari saya.
77. S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, terjemahan dari 'Ideals and Realities of Islam', (Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional — LEPPENAS, 1983), hlm. 60-61.
78. Bandingkan, Ibid., hlm. 62-63.
79. Choiru l Anam, op. cit., hlm. 75-76.
80. Ibid., hlm. 76.
81. Kumpulan Masalah, Pertanyaan no. 28.
82. Ibid., Pertanyaan no. 162.
83. Ibid.
84. Noer, Gerakan Moderen, hlm. 92. Majelis Tarjih dapat diterjemahkan sebagai Majelis Pembahasan Hukum. Lihat, laporan Editor tentang Musyawarah Nasional (Tanwir) Muhammadiyah yang berlangsung bulan Desember 1987 di Yogyakarta. Editor, nomor 17, 19 Desember 1987, hlm. 59.
85. Ibid., hlm. 93.
86. Ibid., hlm. 92.
87. Ibid., hlm. 93.
88. Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, kumpulan artikel (Jakarta:. Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional — LEPPENAS, 1981), hlm. 34-35.
89. Ibid., hlm. 35-36.
90. Tentang latar belakang dan perjuangan awal PNI khususnya dan kaum nasionalis umumnya, lihat John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934, (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 1-19.
91. Benda, op.cit., hlm. 119; Bandingkan Yusuf, op.cit., hlm. 36.
92. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Grafiti Pers, 1987), hlm. 17. Untuk selanjutnya disebut, Noer, Partai Islam.
93. Ibid.
94. Dhofier, "Hasyim Asya'ri", hlm. 80.
95. Choirul Anam, op. cit, hlm. 89.
96. Ibid, hlm. 89-91.
97. Ibid, hlm. 91 Tentang Ansor, lihat, Infra, hlm. 167.
98. Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), hlm. 12.
99. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian
Rakyat, 1984) hlm. 78.
100. Ingleson, op.cit., hlm. 145.
101. Ibid., hlm. 144-145, Bandingkan juga, hlm. 76-82.
102. Lihat, Noer, Gerakan Moderen, hlm. 275.
103. Machfoedz, op.cit., hlm. 50-51.
104. Zuhri, Sejarah, hlm. 623.
105. Machfoedz, op.cit., hlm. 55.
106. Ibid., hlm. 54; Zuhri, Sejarah, hlm. 624.
107. Ibid., hlm. 55.
108. Ibid., hlm. 56.
109. Zuhri, Sejarah, hlm. 627.
110. Ibid., hlm. 629.
111. Lihat, Ibid., hlm. 627-629.
112. Anam, op. cit, hlm. 99.
113. Zuhri, Guruku, hlm. 83.
114. Benda, op.cit., hlm. 124.
115. Ibid., hlm. 123-124.
116. Ibid, hlm. 139.
117. Noer, Partai Islam, hlm. 23. Cetak tebal dari saya; Boland merinci hikmah atau keuntungan yang diperoleh Islam dari penjajahan Jepang dalam tiga hal: dibentukuya Kantor urusan Agama, didirikannya Masyumi, dan pembentukan Hizbullah (yang dapat diartikan "Tentara Allah" atau "Golongan Allah"), sebuah organisasi militer untuk pemuda Muslim. B.J. Boland., Pergumulan Islam di lndonesia: 1945-1970, terjemahan dari 'The Struggle of Islam in Modern Indonesia', tesis doktor pada Universitas Leiden 1971, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 11-15.
118. Ibid., hlm. 22-23.
119. Benda, op.cit., hlm. 147.
120. Zarnakhsyari Dhoier, "K.H.A. Wahid Hasyim, Rantai Penghubung Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern", Prisma, no. 8 (Agustus, 1984), hlm. 75.
121. Machfoedz, op.cit., hlm. 64.
122. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 37.
123. Dhofier, "K.H.A. Wahid Hasyim", hlm. 73.
124. Ibid.
125. K.H. Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU? KumpUlan artikelnya (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hlm. 103.
126. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 36-37.
127. Jihad berarti usaha atau perjuangan; tugas atau perjuangan menegakkan Islam. Ia dapat dilakukan dengan berbagai cara; perang adalah salah satu cara melaksanakannya. Lihat, Kamus Istilah Agama, hlm. 166. Tentang penggunaannya di dalam Al-Qur'an dan Hadis, lihat, Hughes, op. cit., hlm. 243-248 di bawah "Jihad".
128. Setelah Jepang menyerah kalah di dalam Perang Dunia II, Asia Tenggara berada di dalam komando tentara Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain sebagai pihak yang menang). Indonesia yang sudah merdeka menolak kehadiran tentara Sekutu (yang diwakili Inggris) karena bersama dengan kehadiran tentara Sekutu turut pula membonceng pasukan Belanda yang ingin rnembentuk kembali pemerintahan sipil Hindia Belanda yang sering disebut NICA (Netherlands Indie Civil Administration). Oleh karena tentara Sekutu dalam mengadakan berbagai tindakan mengabaikan kedaulatan negara Indonesia, maka berkobarlah pertempuran (27/29 Oktober 1945) yang mencapai puncaknya pada Pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945. Lihat, Ensiklopedi Umum, hlm. 876-877 di bawah "Pertempuran Surabaya".
129. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 38. Cetak tebal dan saya.
130. Lihat, Kamus Istilah Agama, hlm. 90 di bawah istilah "Fradhu".
69. Lihat, Machfoeds, op. cit., hlm. 39-40.
70. Zamakhsari Dhofier, "K.H. Hasyim Asya'ri, Penggalang Islam Tradisional". Prisma, No. 1, Januari 1984 hlm. 80.
71. Dikutip dalam, Ibid, hlm . 76.
72. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 20.
73. Antara 1924-1932 telah terjadi perkembangan penting di Saudi Arabia Raja Saud (Abdul Aziz) memutuskan hubungan dengan sekutunya yang fanatik (yang biasanya disebut Ikhwan) dan mengijinkan masuknya penemnan-penemuan baru yang "tidak islami" (mobil, telefon, radio, dan lain-lain). Dia memberi jaminan kepada jemaah haji keamanan terjamin dan tradisi akan dihormati, lihat, Edward Mortimer, Islam dan Kekuasaan, terjemahan dari 'Faith and Power: The Politics of Islam', (Bandung: Penerbit Mizan, 1984), hlm. 152-154.
74. Lihat, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Kumpulan masalah 2 Dinyah dalam Mu'tamar NU ke 1 s/d 15, (Semarang: Penerbit CV Toha Putra, tanpa tahun), Pertanyaan no. 1. Untuk selanjutnya akan disebut, Kumpulan Masalah saja.
75. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 19 catatan no. 23.
76. Kumpulan Masalah, Pertanyaan no. 9 dan 22. Cetak tebal. dari saya.
77. S.H. Nasr, Islam dalam Cita dan Fakta, terjemahan dari 'Ideals and Realities of Islam', (Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional — LEPPENAS, 1983), hlm. 60-61.
78. Bandingkan, Ibid., hlm. 62-63.
79. Choiru l Anam, op. cit., hlm. 75-76.
80. Ibid., hlm. 76.
81. Kumpulan Masalah, Pertanyaan no. 28.
82. Ibid., Pertanyaan no. 162.
83. Ibid.
84. Noer, Gerakan Moderen, hlm. 92. Majelis Tarjih dapat diterjemahkan sebagai Majelis Pembahasan Hukum. Lihat, laporan Editor tentang Musyawarah Nasional (Tanwir) Muhammadiyah yang berlangsung bulan Desember 1987 di Yogyakarta. Editor, nomor 17, 19 Desember 1987, hlm. 59.
85. Ibid., hlm. 93.
86. Ibid., hlm. 92.
87. Ibid., hlm. 93.
88. Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, kumpulan artikel (Jakarta:. Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional — LEPPENAS, 1981), hlm. 34-35.
89. Ibid., hlm. 35-36.
90. Tentang latar belakang dan perjuangan awal PNI khususnya dan kaum nasionalis umumnya, lihat John Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934, (Jakarta: LP3ES, 1981), hlm. 1-19.
91. Benda, op.cit., hlm. 119; Bandingkan Yusuf, op.cit., hlm. 36.
92. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, (Jakarta: Grafiti Pers, 1987), hlm. 17. Untuk selanjutnya disebut, Noer, Partai Islam.
93. Ibid.
94. Dhofier, "Hasyim Asya'ri", hlm. 80.
95. Choirul Anam, op. cit, hlm. 89.
96. Ibid, hlm. 89-91.
97. Ibid, hlm. 91 Tentang Ansor, lihat, Infra, hlm. 167.
98. Mahrus Irsyam, Ulama dan Partai Politik, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1984), hlm. 12.
99. A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian
Rakyat, 1984) hlm. 78.
100. Ingleson, op.cit., hlm. 145.
101. Ibid., hlm. 144-145, Bandingkan juga, hlm. 76-82.
102. Lihat, Noer, Gerakan Moderen, hlm. 275.
103. Machfoedz, op.cit., hlm. 50-51.
104. Zuhri, Sejarah, hlm. 623.
105. Machfoedz, op.cit., hlm. 55.
106. Ibid., hlm. 54; Zuhri, Sejarah, hlm. 624.
107. Ibid., hlm. 55.
108. Ibid., hlm. 56.
109. Zuhri, Sejarah, hlm. 627.
110. Ibid., hlm. 629.
111. Lihat, Ibid., hlm. 627-629.
112. Anam, op. cit, hlm. 99.
113. Zuhri, Guruku, hlm. 83.
114. Benda, op.cit., hlm. 124.
115. Ibid., hlm. 123-124.
116. Ibid, hlm. 139.
117. Noer, Partai Islam, hlm. 23. Cetak tebal dari saya; Boland merinci hikmah atau keuntungan yang diperoleh Islam dari penjajahan Jepang dalam tiga hal: dibentukuya Kantor urusan Agama, didirikannya Masyumi, dan pembentukan Hizbullah (yang dapat diartikan "Tentara Allah" atau "Golongan Allah"), sebuah organisasi militer untuk pemuda Muslim. B.J. Boland., Pergumulan Islam di lndonesia: 1945-1970, terjemahan dari 'The Struggle of Islam in Modern Indonesia', tesis doktor pada Universitas Leiden 1971, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 11-15.
118. Ibid., hlm. 22-23.
119. Benda, op.cit., hlm. 147.
120. Zarnakhsyari Dhoier, "K.H.A. Wahid Hasyim, Rantai Penghubung Pesantren dengan Peradaban Indonesia Modern", Prisma, no. 8 (Agustus, 1984), hlm. 75.
121. Machfoedz, op.cit., hlm. 64.
122. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 37.
123. Dhofier, "K.H.A. Wahid Hasyim", hlm. 73.
124. Ibid.
125. K.H. Wahid Hasyim, Mengapa Memilih NU? KumpUlan artikelnya (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985), hlm. 103.
126. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 36-37.
127. Jihad berarti usaha atau perjuangan; tugas atau perjuangan menegakkan Islam. Ia dapat dilakukan dengan berbagai cara; perang adalah salah satu cara melaksanakannya. Lihat, Kamus Istilah Agama, hlm. 166. Tentang penggunaannya di dalam Al-Qur'an dan Hadis, lihat, Hughes, op. cit., hlm. 243-248 di bawah "Jihad".
128. Setelah Jepang menyerah kalah di dalam Perang Dunia II, Asia Tenggara berada di dalam komando tentara Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain sebagai pihak yang menang). Indonesia yang sudah merdeka menolak kehadiran tentara Sekutu (yang diwakili Inggris) karena bersama dengan kehadiran tentara Sekutu turut pula membonceng pasukan Belanda yang ingin rnembentuk kembali pemerintahan sipil Hindia Belanda yang sering disebut NICA (Netherlands Indie Civil Administration). Oleh karena tentara Sekutu dalam mengadakan berbagai tindakan mengabaikan kedaulatan negara Indonesia, maka berkobarlah pertempuran (27/29 Oktober 1945) yang mencapai puncaknya pada Pertempuran Surabaya tanggal 10 November 1945. Lihat, Ensiklopedi Umum, hlm. 876-877 di bawah "Pertempuran Surabaya".
129. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 38. Cetak tebal dan saya.
130. Lihat, Kamus Istilah Agama, hlm. 90 di bawah istilah "Fradhu".
Ditulis ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan
Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia
dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul;
kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989