Bab I
Latar Belakang Lahirnya Nahdlatul Ulama
A. Perkembangan Islam di
Indonesia
"Anda tahu bahwa keadaan dan
perkembangan Islam di Asia Barat Daya (Middle East) sangatlah berbeda dengan
yang Anda hadapi di Indonesia; yang kedua ini sungguh sulit bagi saya
merumuskannya . . . "Demikian bunyi sepucuk surat Kenneth Cragg, Islamolog
terkenal, kira-kira di awal tahun enampuluhan".(1)
Apa yang dikatakan oleh Cragg sebagai
'sulit' dalam ucapan di atas bagi saya rnerupakan sebuah pengakuan secara tidak
langsung akan keunikan sosok Islam di Indonesia. Di kala bangsa Indonesia mulai
mampu menyatakan reaksi perlawanannya terhadap penjajahan Belanda secara modern
sejak awal abad XX, ia telah tampil dalam dua sosok, yaitu kelompok yang
disebut kaum pembaharu (modernis) dan kelompok tradisionalis. NU digolongkan
kepada kelompok yang terakhir. Penampilan NU secara sendiri maupun dalam
berhadapan dengan kelompok lain di pentas sejarah Nusantara bertaut erat dengan
perkembangan Islam di Indonesia sejak awalnya, dan watak kebudayaan Indonesia
(khususnya Jawa) pra-Islam.
Islam masuk ke Indonesia bercorak
sufistik.(2) Pengaruhnya yang kuat bergema dalam nama-nama tasawuf
dari abad XVI dan XVII seperti Hamzah Fansuri yang sangat dipengaruhi oleh
mistik Persia, Syamsudin As-Sumatrani dan lainnya. Gerakan, pengaruh dan karya
tokoh sufi di Indonesia ditulis oleh Hawash Abdullah.(3) Sejarah
perkembangan Islam di Aceh mempunyai kaitan langsung dengan perkembangan
tarekat-tarekat sufi (4) dan tokoh-tokoh utamanya di Timur Tengah.
Menurut A. Johns sekurang-kurangnya ada empat tarekat berpengaruh di Indonesia,
yaitu tarekat Qadiriyah (yang didirikan di Bagdad oleh Abdul Qadir Jailani kira-kira
1166), Naqsabandiyah yang didirikan oleh Baha al Din (meninggal 1388) di
Turkistan, Shattariyah yang didirikan oleh Abdul Shattar (meninggal 1415 atau
1428) dan Suhrawardiyah.(5)
Masa kejayaan sufisme
berlangsung—pengaruhnya juga terasa di Indonesia—antara abad X H / XVI M hingga
XII H / XVIII M, kurun waktu yang kira-kira bersamaan dengan kemunculan dan
kejayaan dinasti Ottoman.(6) Mengenai kurun waktu ini Fazlur Rahman
memberikan kepada kita catatan yang menarik.
Akan tetapi, pada waktu yang sama,
timbul kekuatan-kekuatan untuk mengontrol gerakan Sufi dan membatasi
ekses-eksesnya serta cara-cara pemujaan yang berlebih-lebihan.... Pertama-tama,
theosofi dan praktek-praktek Sufi menjadi obyek kritik yang keras dari
orang-orang seperti Ibnu Taymiyah. Kedua, persekutuan yang erat antara ulama
ortodoks sendiri dengan Sufisme menyebabkan bekerjanya kekuatan yang berusaha
memperbaharui Sufisme dari dalam. Kekuatan-kekuatan ini, apakah menolak
pantheisme Sufi ataupun menafsirkan kembali theosofi pantheistiknya dalam
batasan-batasan ortodoks, menghasilkan terbawanya Sufisme jauh lebih dekat
kepada cita-cita ortodoks. Lebih lanjut, kecenderungan ini mempersiapkan jalan
bagi perkembangan lain yang tampak meledak dengan kemendadakan yang mengagetkan
di seluruh dunia Islam, walaupun pada tingkat regional, dan yang mempengaruhi
Sufisme pada intinya sendiri dalam abad ke 12 H/18 M dan 13 H/19 M.
Perkembangan ini adalah serbnan terhadap agarna populer yang hampir
menggantikan Islam sendiri di daerah-daerah perbatasan dunia Islam dan juga
telah mempengaruhi pusatnya. Penyerbuan terhadap agama populer ini menyatakan
dirinya dalam bentuk gerakan-gerakan reformasi puritanikal yang gencar yang
merata di seluruh penjuru dunia Islam.(7)
Cerita tentang sufi di Indonesia membenarkan
pengamatan Rahman di atas. Ajaran Hamzah Fansuri yang sering dicela oleh
lawannya pantheistis diberantas oleh pengaruh ulama sufi asal India ar-Raniri.(8)
Di Jawa hukuman mati terhadap Siti Jenar —terlepas dari historis atau
legendaris— "merupakan versi Jawa daripada riwayat tentang
Al-Hallaj".(9) Rupanya perkembangan lebih lanjut tentang
sufisme mengarah kepada paham sunni atau ortodoksi (pengikut ahlusunnah wal
jamaah dan mazhab Syafii).(10) Hal ini bisa terjadi kemungkinan
sekali karena posisi Indonesia yang strategis bagi persinggahan pelayaran
niaga, sehingga mudah menerima pengaruh pergolakan yang terjadi di belahan bumi
lainnya.
Yang menarik dari perkembangan Islam di
Indonesia adalah perkembangan Islam di Jawa karena di Jawa Islam memasuki
daerah yang sudah sangat kuat dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu.
Pada abad XV Majapahit makin pudar
kekuasaannya, tetapi Islam yang sudah menapak di pantai utara Jawa makin
memperkuat kedudukannya. Dari pantai utara (Demak) Islam menerobos makin jauh
ke pedalaman dan serentak dengan itu kerajaan Majapahit yang Hindu berakhir
riwayatnya. Para pahlawan penyebar Islam di Jawa biasanya disebutkan Wali Sanga
(sembilan wali) yang sering melakukan pendekatan kebudayaan dalam menyebarkan
Islam".(11) Legenda yang beredar di sekitar Wali Sanga
mengungkapkan penyesuaian agama Islam dengan kebudayaan Hindu-Jawa.(12)
Corak sufisme dari Islam nampaknya
mudah akrab dengan lingkungan Jawa. Dengan mengutip Notohamijoyo, Tanja
melukiskan penyebabnya adalah dasar kultural-religius masyarakat Jawa yang
bersifat kosmik-monisme.(13) Pandangan ini harus dibedakan dari
pantheisme. Sambil mengutip Notohamijoyo, Tanja menegaskan perbedaannya, bahwa
di dalam pantheisme dunia yang menyerap di dalam dewa itu ialah dunia sebagai
suatu bagian dari sifat-sifat dewa; sedangkan di dalam monisme, dewa atau yang
adikodrati itu menyerap di dalam dunia atau di dalam yang adikodrati, yang
sekaligus juga, merupakan kebenaran mutlak, dan karena kemutlakannya
itulah maka tetap disebut dewa juga, kendatipun pemujaan terhadapnya tak pernah
dilakukan.(14)
Dari studi Titus Burckhardt mengenai
ajaran kaum sufi, khususnya tentang keesaan Tuhan, ditekankan kesejajarannya
dengan non-dualitas Hindu (advaita).(15) Prinsip keesaan Tuhan (bagi
sufisme merupakan prinsip keterpencilan Tuhan atau tanzih) bukan hanya
menyangkal realitas lain selain Tuhan tetapi juga rnenyerapnya sehingga
realitas lain menjadi alat untuk memahami keesaan Tuhan.(16)
Kita tidak dapat mencari dan memahami
Tuhan dengan rnembawanya ke tingkat benda-benda yang rendah. Sebaliknya
benda-benda dengan segera diserap kembali ke dalam Diri Tuhan ketika seseorang
mengenali kualitas-kualitas hakiki yang membentuk dirinya,(17)
Kehadiran Islam di Jawa —dalam bingkai
kebudayaan yang telah terbentuk sebelumaya dalam perpaduan kebudayaan Hindu dan
kebudayaan asli (Jawa)— melahirkan sikap bahwa kehadiran Islam bukanlah sesuatu
vang baru untuk menggantikan yang lama— tetapi menambahkan sesuatu kepada yang
lama. Sehingga Benda dalam sebuah artikelnya berani menyatakan bahwa seandainya
Islam langsung datang dari Timur Tengah dengan monotheismenya yang tegar
"mungkin sekali ia tak akan menemukan tempat untuk memasuki pulau-pulau di
Indonesia, lebih-lebih pulau Jawa".(l9) Adanya penyesuaian Islam
dengan kebudayaan lokal bukan hanya terjadi di Indonesia, ia juga terjadi di
Iran. S.H. Nasr, theolog Islam yang terkenal itu ketika mengamati perkembangan
Islam di Persia mengemukakan terjadinya harmonisasi antara Islam dengan
kebudayaan Iran (yang didominasi pemikiran agama Zoroaster);
"ajaran-ajaran Zoroaster yang tetap hidup di dalam jiwa manusia Parsi
mengalami islamisasi dan diinterpretasikan dari sudut pandangan tauhid Islam".(20)
Dengan makin berkembangnya agama Islam
ke pedalaman Jawa, agama Islam yang semula dikembangkan oleh kaum pedagang di
pantai utara mau tidak mau memasuki ruang lingkup pedalaman yang agraris tempat
unsur keramat (karamah) den berkat (barakah) sangatlah penting untuk
melanggengkan kehidupan. Mungkin saja mula-mula ditolak tetapi kemudian
diterima dengan tangan terbuka setelah melakukan penyesuaian seperti yang
dilakukan oleh Wali Sanga leluhur pesantren. Legenda yang menyelimuti mereka
menandakan penerimaan masyarakat dalam kontinuitas dengan kebudayaan sebelum
beserta segala aspirasi religiusnya, "sehingga gagasan tentang Islamisasi
Jawa agaknya kurang tepat dibandingkan dengan Jawanisasi Islam".(21)
Penyesuaian itu di Jawa diresmikan oleh
kebijaksanaan Sultan Agung pada pertengahan abad XVII dan dengan kebijaksanaan
itu "kebudayaan lama yang asli (Jawa) dan Hindu dapat disenyawakan dengan
agama Islam".(22) Sultan Agung juga berusaha memajukan
pendidikan agama Islam, di bidang pendidikan Islam perhatian Sultan Agung
cukup besar pula. Sehingga pada zaman kerajaan Mataram, khususnya pada masa
pemerintahan Sultan Agung, merupakan zaman keemasan bagi kemajuan pendidikan
dan pengajaran Islam, terutama pendidikan pondok pesantren.(23)
Bagi sebagian sarjana perkembangan ini
dinilai sebagai permulaan polarisasi antara santri dan priyayi.(24)
Sering juga diperluas sebagai polarisasi antara abangan, santri dan priyayi.
Abangan adalah sebutan untuk rakyat desa, para petani, yang menghayati agama
secara sinkretistik (agama Islam mereka telah bercampur baur dengan unsur
animisme dan Hinduisme). Santri (orang yang belajar di pesantren) yang umumnya
pedagang, adalah orang yang melaksanakan kewajiban agama secara cermat dan
teratur. Dan priyayi adalah golongan bangsawan (aristokrat) yang dekat dengan
kekuasaan, yang penghayatan agamanya banyak dipengaruhi oleh Hinduisme.(25)
Manfred Ziemek dalam disertasinya
tentang Pondok Pesantren dan Perubahan Sosial baru-baru ini mengkritik
perkembangan ini; penyesuaian diri Islam dengan kebudayaan Hindu-Jawa
sebagai titik kelemahan Islam, seperti yang dikatakannya, dalam proses
peleburannya dengan tradisi Hindu-Jawa, Islam saat itu kehilangan banyak
sifat-sifat egaliter serta tanggung jawab sosialnya dan menjadi suatu agama
penguasa atau jadi bersifat pajangan, yang hampir tidak dapat mengatasi
unsur-unsur budaya Jawa kuno. Betapa dangkalnya proses perpindahan agama dari
Hindu ke Islam ini, juga terlihat jelas dari betapa mudahnya pusat-pusat
pendidikan keagamaan dari tradisi Jawa mengambii alih dan menerima faham-faham
dari luar.... Bakat bangsa Melayu untuk menerima pengaruh-pengaruh budaya yang
baru dan menggabungkannya dengan unsur-unsur budaya tradisional sendiri, juga
berhasil pada saat itu, mendesakkan dorongan pembebasan Islam yang bertujuan
melindungi martabat dan hak-hak pribadi manusia ke dalam agama negara yang
terbentuk waktu itu.... Dengan demikian aliran-aliran ini telah mengubah
faham-faham Islam yang dahulunya humanistis individualis menjadi kebalikannya,
dimana hak keagamaan menjadi bentuk yang formal...(26)
Menurut hemat saya pendapat-pendapat di
atas dan kritik Ziemek tidak sepenuhuya dapat diterima. Pertama, agama
Islam sejak semula mampu melakukan integrasi, yang dilakukan secara sadar.
Karena Islam berkembang dalam bingkai kebudayaan lama, maka kemunculan kerajaan
Islam (Mataram) dianggap penerusan kerajaan Hindu-Majapahit. Candi tidak
dibangun lagi, tetapi tidak pula dihancurkan. Mesjid dibangun secara
besar-besaran; yang unik gaya arsitekturnya dipengarahi oleh corak Hindu-Jawa.(27)
Pendidikan agama dikembangkan dengan mengambil alih "mandala-mandala
Hindu-Budha" sebagai model pesantren.(28) Dalam situasi yang
demikian dapat saja terjadi dalam kiprah Islam pergeseran peranan ulama, tetapi
belum tentu penurunan nilai peranan ulama. Bahkan ada gejala kuat bahwa para
ulama serentak dengan kemajuan pesantren memperoleh peranan yang struktural
dalam masyarakat, sebagai —misalnya— pelaksana administrasi keagamaan.(29)
Kedua, justru setelah berkiprah di pedalaman, ortodoksi dapat makin
memperkuat kedudukannya. Dari penelitian tentang buku-buku yang digunakan di
pesantren ternyata buku-buku sufisme kalah banyak dibandingkan dengan buku-buku
ibadah dan syariah, kalau mau disebut buku sufi, yang terkenal di kalangan
al-Ghazali, seorang ulama sufi sunni (sufi ortodoks).(30) Suasana
tenang dan stabil di pedalaman memungkinkan Islam mengembangkan dirinya dan
para ulama makin mengukuhkan kedudukannya di dalam masyarakat sebagai kyai
"pemuka yang berkharisma karena keramatnya".(31) Ketiga,
abanga dan santri tidak dapa digolongankan sebagai kelompok yang bertentangan
dalam soal kesalehan. Ia harus dimengerti sebagai dua kategori penghayatan
keagamaan. Golongan abangan menghayati agama secara "pengalaman
mistik"; sedangkan kaum santri "menjalankan prinsip-prinsip
Islamiyahnya menurut cara-cara yang diajarkan oleh ulama ortodoks dengan saleh,
dalam arti bahwa yang terlebih penting baginya ialah penerapan hukum, moral dan
sosial di dalam kehidupan sehari-hari".(32)
Segera cerita menjadi lain setelah
Belanda makin rnemperluas genggamannya di Nusantara. Maka bangkitlah perlawanan
terhadap Belanda. Ada empat perlawanan yang menurut Geertz dilakukan oleh kaum
santri: Perang Paderi, Perang Diponegoro, Perang Banten dan Perang Aceh.(33)
Semuanya berlangsung pada abad XIX. Di saat kesadaran nasional belum dikenal
agama Islam melalui semboyan Hubbul Wathon minal iman (cinta tanah air
adalah sebagian dari iman) menjiwai motif perlawanan.(34) Dalam kasus Perang
Diponegoro (seorang pangeran!) nampak bahwa hubungan antara kraton dan ulama
cukup akrab.(35) Perubahan situasi tidak mengurangi peranan,
bahkan peranan ulama makin kuat yang berbeda ialah orientasi dan visi.
Kadang-kadang langkah yang diambil ulama sepintas lalu kolot dan berlebihan. Ia
pernah "mengharamkan memakai celana (pentalon), dasi dan lain-lain model
pakaian yang berasal dari Barat".(36) Tetapi hal ini dapat
dimengerti sebagai upaya membangkitkan identitas dalam perlawanan terhadap
penjajah Belanda. Setelah Diponegoro kalah dalam perlawanannya(1830), pesantren
justru makin berkembang dengan pesat.(37) Wibawa ulama sebagai
pemimpin umat sama sekali tidak terganggu oleh kekalahan Diponegoro itu; karena
kedudukan ulama dengan basis pesantren sudah berakar kuat di dalam
masyarakat.
Memang, akhir abad XIX dan awal abad XX
situasi telah berubah. Hal ini terutama disebabkan perubahan politik Belanda
akibat saham Hurgronje menentukan sekali. Atas jasa Hurgronje kebijaksanaan
Belanda terhadap jajahannya Indonesia (inlandsch politiek) berdasarkan
asumsi Islam tidak berbahaya sebagai agama, bahkan pada dasarnya bersifat
damai; tetapi ia berbahaya secara politik.(38) Aqib Suminto yang
menjadikan politik Islam Hindia Belanda sebagai tesisnya, menguraikan kebijakan
Belanda itu dalam tiga pokok: Pertama, Belanda harus netral dalam persoalan
agama; kedua, asosiasi kebudayaan (mempromosikan kebudayaan Belanda dan
merangkul kebudayaan pribumi) agar ada yang mengimbangi identitas Islam; dan
yang ketiga, mengawasi dengan ketat gerakan tarekat dan Pan-Islam.(39)
Kebijakan Belanda ini mempunyai dampak yang luas dan dalam bagi bangsa
Indonesia. Boleh dikatakan sejak itu bangsa Indonesia mulai mengenal
modernisasi walaupun secara terbatas. Sebagaimana lazimnya sesuatu yang baru
akan menimbulkan pergolakan. Ada yang menerirna begitu saja kebudayaan Barat
(Belanda). Ada pula yang menerima sambil terkenang kepada kejayaan masa lalu
dalam kebudayaan. Ada juga yang memadu modernisasi Barat dengan agama, seperti
kaum modernis Islam. Namun ada yang memanfaatkan modernisasi sebagai momentum
membenahi diri dalam kesinambungan dengan tradisi. Yang terakhir inilah yang
diambil oleh kalangan Islam tradisional dengan basis pesantren sebagaimana yang
ditegaskan oleh Saifudin Zuhri,
Tidaklah berlebihan jika Pesantren
dikatagorikan sebagai Benteng Ketahanan Islam di samping kedudukannya sebagai
Tempat Pengembangan Islam . . . Pesantren mengutamakan sikap percaya kepada
dirinya sendiri. Namun sebagai anggota masyarakat bahkan yang ikut memberi
corak masyarakat, Pesantren dapat menerima modernisasi selama modernisasi
tersebut secara positif mendatangkan manfaat bagi kemajuan ummat Islam tanpa
menghilangkan identitas ajaran pokok dari pada Islam.(40)
______________________
- Dikutip oleh
W.B. Sidjabat. "Panggilan Kita di Tengah-tengah Masyarakat Islam
Indonesia", dalam Panggilan Kita dalam Gereja, Perguruan Tinggi
dan Masyarakat/Negara, kumpulan ceramah, (Jakarta: Pengurus Pusat
Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, tanpa tahun), hlm. 77.
- Victor Tanja, Himpunan
Mahasiswa Islam, semula tesis Ph.D pada Hartford Seminary Foundation
Amerika Serikat, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982). hlm. 21. Untuk
selanjutnya disebut, Tanja, Himpunan.
- Lihat, Hawash
Abdullah, Perkembangan I1mu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara,
(Surabaya: Al-Ikhlas, tanpa tahun).
- Tarekat berasal
dari bahasa Arab tarikah yang berarti jalan atau cara. Dalam
perkembangannya tarekat berarti suatu jalan atau cara kehidupan tertentu
(yang ditemukan dan dikembangkan oleh pendiri sesuatu tarekat. Kemudian
istilah tarekat berkembang untuk menamakan suatu aliran atau kelompok
penganut ajaran sufi tertentu. Nama-nama tarekat itu diambil nama
pendirinya. Lihat, Shorter Encyclopaedia of Islam, ed. H.A. R. Gibb
dan J.H. Kramers, (Leiden: E.J. Brill, 1974), hlm. 573-578 di bawah
"Tarika". Untuk selanjutnya disebut judulnya saja, Shorter
Encyclopaedia of Islam.
- A. Johns,
"Tentang Kaum Mistik Islam dan Penulisan Sejarah", dalam, Sejarah
dan Masyarakat, ed. Taufik Abdullah, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1987, edisi revisi), hlm. 88-90. Suhrawirdiyah didirikan oleh Abd.
al-Kahir Suhrawardi (meninggal 1167) dan Umar Suhrawardi (meninggal 1234).
Tarekat ini berkembang di Afganistan dan India. Lihat, Shorter
Encyclopaedia of Islam, hlm. 577.
- Fazlur Rahman, Islam,
terjemahan dari bahasa Inggris dengan judul yang sama, (Bandung: Pustaka,
1984), hlm. 241. Untuk selanjutnya disebut, Rahman, Islam.
- Ibid.
- G.W.J. Drewes,
"Indonesia: Mistisme dan aktivisme", dalam Islam Kesatuan
dalam Keragaman, ed. Gustave E. von Grunebaum, terjemahan dari 'Unity
and Diversity in Muslim Civilization', (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1983), hlm. 331-332.
- Karel A.
Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-l9 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), 96.Untuk selanjutnya akan disebut, Steenbrink, Beberapa
Aspek. Al-Hallaj nama lengkapnya adalah Husein ibn Mansur Al-Hallaj
(858-922), seorang tokoh sufi yang terkenal tetapi juga kontroversial. Ia
dihukum mati karena dianggap menyebarkan ajaran sesat, dengan ucapannya
"Akulah Kebenaran" (bahasa Arab: Ana'l Haqq) yang terkenal itu.
Sebab kebenaran adalah salah satu nama Allah. Lihat, Keith Crimm, ed., Abingdon
Dictionary of Living Religions, (Nashville: Abingdon, 1981), hlm. 292
di bawah "Al-Hallaj". Untuk selanjutnya akan disebut, Abindon
Dictionary.
- Lihat, Abdullah,
op.cit., hlm. 85-194; Bandingkan, Infra, Bab II bagian 2.
- Marwan Saridjo,
et al., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta Dharma
shakti, 1979), hlm. 18-21. Kata wali berasal dari kata waliyullah,
"orang yang dianggap telah dekat dengan Tuhan". Ibid hlm.
18.
- Lihat, H.J. de
Graaf dan Th. G. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, terjemahan
dari 'De Eerste Moslimse Vorstendommen op. Java', Seri Terjemahan
Javanologi nomor 2, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 1-36.
- Tanja, Himpunan,
hlm. 15.
- Ibid.
- Lihat, Titus
Burckhardt, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, terjemahan dari 'An
Introduction to Sufi Doctrine', (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hlm. 69-76;
Untuk mengetahui pengaruh non-Islam terhadap Sufisme, lihat Reynold A.
Nicholson, Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terjemahan dari 'The
Mystics of Islam', (Jakarta: Rajawali Pers, 1987), hlm. 1-26.
- Burckhardt, op.cit.,
hlm. 71.
- Ibid.
- Bandingkan,
Harry J. Benda, "Kontinuitas dan Perubahan dalam Islam", dalam
Taufik Abdullah, ed., op.cit., him. 26-36.
- Ibid., hlm.
32.
- S.H. Nasr, Islam
dan Nestapa Manusia Moderen, terjemahan dari 'Islam and the Plight of
Modern Man', (Bandung: Pustaka, 1983). hlm. 164.
- Dewi Fortuna
Anwar, "Kaabah dan Garuda: Dilema Islam di Indonesia?" dalam Prisma,
nomor 4, April 1984, hlm. 5, Bandingkan, H. Effendi Zarkasi, Unsur
lslam dalam Pewayangan. (Bandung: Al Maarif, tanpa tahun), hlm.
83-150.
- Saridjo, et al.,
op.cit., hlm. 33.
- Ibid., hlm. 34.
- Ibid., hlm. 48,
catatan nomor 1.
- Uraian tentang
abangan, santri dan priyayi berdasarkan C. Geertz, Abangan, Santri,
Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terjemahan dari 'The Religion of Java',
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), hlm. 1-9. Untuk selanjutnya akan disebut,
Geertz, Abangan.
- Manfred Ziemek, Pesantren
dalam Perubahan Sosial, terjemahan dari 'Pesantren Islarnische Bildung
in Sozialen Wandel', (Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren den
Masyarakat disingkat P3M, 1986), hlm. 54-55.
- G.F. Pijper, Beberapa
Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950, terjemahan dari
'Studien Over De Geschiedenis Van De Islam In Indonesia 1900-1950',
(Jakarta: Universitas Indonesia, 1985), hlm. 15-17.
- Saridjo, et al.,
op.cit., hlm. 23.
- Bandingkan, Ibid.,
hlm. 35.
- Lihat daftar
buku yang digunakan di pondok pesantren pada abad XIX yang dihimpun oleh
Steenbrink, Beberapa Aspek, hlm. 154-158.
- Muhammad Hisyam,
Ulama dalam Pergeseran Kekuasaan di Jawa, dalam Optimis, nomor 53
(Desember 1984), hlm. 34.
- Tanja, Himpunan,
hlm. 27.
- Lihat, Marwan
Sridjo, op.cit., hlm.46.
- Ibid., hlm.
45.
- Menurut sumber
Jawa, Diponegoro pernah mendalami agama Islam pada seorang ulama, Kyai
Taftayani, dan perjuangannya didukung sepenuhnya oleh para kyai dan
santri. Lihat, Steenbrink, Beberapa Aspek, hlm. 28.31.
- Saridjo, loc.cit.
- Menurut data
tahun 1831, jumlah lembaga pendidikan tradisional Islam di berbagai
kabupaten di Jawa: 1853 lembaga dengan 16.556 murid. Jumlah ini melonjak
pada tahun 1885, yaitu 14.929 lembaga dengan 222.663 murid! Lihat,
Dhofier, op.cit., hlm. 33.
- H. Aqib Suminto,
Politik Islam Hindia Belanda, semula tesis Doktor pada IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun l984, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 11 dan
seterusnya; ringkasannya dimuat dalam Optimis, nomor 51, Agustus 1984,
hlm. 38-40, dengan judul "Politik Islam Pemerintah Hindia Belanda Het
Kantoor voor Inlandsche Zaken 1899-1942".
- Lihat, Ibid.,
hlm. 9-98.
- Saifuddin Zuhri,
Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia,
(Bandung: Al-Maarif, 1980), hlm. 616-617. Untuk selanjutnya disebut,
Zuhri, Sejarah.
Ditulis
ulang dari buku : Nahdlatul
Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di
Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M.
Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar