Bab I
Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama (Lanjutan)
B. Munculnya Nasionalisme dan Gerakan
Pembaharuan Islam
Politik Etis Belanda (41) —yang ingin
"membalas budi" kepada jajahannya Indonesia (dicetuskan 1901)—
membuka pintu bagi bangsa Indonesia meraih pendidikan modern. Tetapi yang dapat
menikmatinya hanyalah kalangan tertentu saja, yaitu rnereka yang disebut
priyayi (bangsawan). Merekalah yang kemudian mendirikan Budi Utomo (untuk
selanjutnya disingkat BU atau BO untuk Boedi Oetomo) pada tahun 1908. Dan
jangan dilupakan bahwa mereka yang menjadi pendiri atau aktivisnya adalah
beragama Islam, faktor yang ikut mempengaruhi kiprah BU dan kemunculan
organisasi lain. Kemunculan BU adalah awal kemunculan berbagai aspirasi di
dalam pergerakan bangsa Indonesia menghadapi penjajahan. Para pendiri atau
aktivisnya sering disebut sebagai golongan priyayi Jawa.
Walaupun mereka disebut priyayi, mereka
harus dibedakan dari para priyayi yang diberikan jabatan birokratis oleh
Belanda. Mereka adalah "priyayi profesional bukan ningrat" —
orang-orang yang mengembangkan dirinya bukan dalam birokrasi Belanda.Mereka
adalah "priyayi profesional bukan ningrat" — orang-orang yang
mengembangkan dirinya bukan dalam birokrasi Belanda (yang dibenci oleh
masyarakat) tetapi dengan mengembangkan profesi yang diperoleh melalui
pendidikan.(42) "Mereka tergolong pada masyarakat priyayi Jawa dan
sekalipun demikian, mereka tidak cocok benar-benar kepada golongan itu,"
kata Savitri Scherer mengenai Soewardi Soerjaningrat, Cipto Mangoenkoesoemo,
dan Soetomo, tiga tokoh utama BU.(43)
Walaupun dianggap sebagai Kebangkitan
Nasional, sebenarnya gagasan nasionalisme atau persatuan bangsa Indonesia tidak
eksplisit nampak dalam BU. Sesungguhnya pada awalnya ia adalah gerakan
kebudayaan (Jawa), tetapi mungkin karena ia diprakarsai oleh orang pribumi dan
merupakan organisasi modern dari orang pribumi yang berpendidikan tinggi serta
bertujuan memajukan orang pribumi, maka ia dianggap awal kebangkitan nasional.
BU merupakan wujud solidaritas kaum intelektual terhadap nasib malang
masyarakatnya akibat penjajahan. Sartono Kartodirdjo menulis:
Perasaan harga diri yang menjadi awal
dari kesadaran nasional hendak mengusahakan kemajuan bangsa dengan memajukan
pengajaran sebagai stadium pertama ke arah emansipasi dalam lapangan sosial dan
politik. Indiferentisme terhadap nasib bangsa karena penjajahan mulai
ditinggalkan dan disadari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam
masyarakatnya. Bukankah menjadi prinsip B.0 untuk mempertinggi derajat
perkembangan intelektual rakyat agar keadaan ekonomis menjadi lebih baik? ....
B.0 telah bertindak sebagai pelopor.(44)
Dari segi latar belakang sosial kaum
priyayi adalah orang yang berakar kuat dalam kebudayaan Jawa, akibat pendidikan
Barat yang modern, untuk sementara mengalami kegoncangan, merasa tercabut
dari kosmos Jawanya.(45) Sehingga agaknya tidak meleset sinyalemen Ki Hajar
Dewantara (Soewardi Soerjaningrat) bahwa BU "terutama pada permulaan
berdirinya adalah pergerakan bagi rakyat untuk memperhatikan perikehidupan
bangsa dalam perkara batin".(45) Soewardi yang dijuluki oleh Scherer
sebagai tradisionalis(47), lebih suka memilih jalur kebudayaan ketimbang jalur
politik. Sedangkan Tjipto memilih politik.(48) Tetapi mengapa kemudian Soewardi
keluar dari BU dan menjadi aktivis SI yang dianggap radikal?(49) Rupanya
pandangannya kemudian hari menunjukkan terjadinya perkembangan baru. "Ia
berpendapat bahwa pendekatan terbaik untuk menghadapi problema-problema yang
ada adalah dengan melalui tradisi kebudayaan sendiri".(50) Untuk memenuhi
hasrat politiknya Tjipto Mangoenkoesoemo bersarna Douwes Dekker kemudian
mendirikan Indische Partij (Partai Indonesia) tahun 1911.(51)
Ciri kebudayaan memang merupakan ciri
penampilan BU pada awalnya untuk menghadapi pengaruh Barat,
Goenawan Mangoenkoesoemo berpendapat
bahwa peristiwa berdirinya Boedi Oetomo bersama dengan tahun pemugaran
Borobudur merupakan suatu perlambang. Borobudur merupakan salah sebuah prestasi
puncak bangsa Jawa di masa lalu, yang memperkaya diri dengan kebudayaan dan
peradaban asing tidak dengan mengkhianati milik dan warisan kebangsaan. Mencari
kekuatan di dalam kebudayaan dan dunia Jawa dalam perpaduan dengan dunia Barat
dan akhirnya memperkokoh kesadaran budaya di seluruh Nusantara yang merupakan
hakekat pokok organisasi Boedi Oetomo.(52)
Ciri kebudayaan Jawa disebarluaskan
oleh para aktivis BU. Mungkin cara inilah yang dirasakan oleh para aktivis BU
sebagai cara yang paling mudah dan tepat untuk menghimpun potensi. Tetapi
karena rasionalitas sudah mulai menonjol akibat pendidikan ala Barat yang
mereka terima dan lagipula suku-suku non-Jawa tidak tertarik dengan gagasan
kebudayaan Jawa, akibatnya penonjolan ciri kebudayaan Jawa mendapat protes
keras dari berbagai kalangan.(53)
Karena berciri kebudayaan, Belanda
tidak ragu-ragu segera mengakuinya dan karena kebudayaan pula BU relatif lebih
stabil proses perjalanannya. Dengan sedikit anggap remeh — dianggap sebagai
angan-angan Majapahit dan Mataram — Belanda tidak perlu menghiraukannya. D.A.
Rinkes, penasehat soal-soal dalam negeri, menulis kepada van Idenburg pada tahun
1913:
Cita-cita yang menghendaki dibangunnya
kembali kerajaan Jawa sebagai kelanjutan tradisi Majapahit dan Mataram,
sebenarnya sesudah perjanjian Gianti (1755) dan juga pada tahun 1803, praktis
tidak perlu dihiraukan lagi: Raja-raja Jawa sendiri mungkin justru paling tidak
menaruh harapan terhadap hal itu, sebab kedudukan pribadi mereka berkat campur
tangan pihak Belanda sama sekali tidak berubah menjadi jelek, sebalikaya
hak-hak mereka justru dipertahankan dan diperkuat.(54)
Belanda tidak membedakan siapa pendiri
BU; bahwa mereka bukanlah priyayi-birokrat pendukung Belanda tetapi priyayi
profesional yang sedang menggumuli keberadaannya dalam masyarakat dan
menemakan identitasnya melalui pemahaman sejarah. "Angan-angan terhadap
kebudayaan Majapahit yang membawa kelak ke nasionalisme".(55)
Kebudayaan (Jawa) sebagai embrio
nasionalisme bukan hanya reaksi terhadap kebudayaan Barat (Belanda), tetapi
dikonfrontasikan dengan Islam. Goenawan Mangoenkoesoemo menuliskannya dalam
memperingati ulang tahun X berdirinya BU pada tahun 1918:
Tanpa sengaja saya teringat akan
dongeng berikut ini. Pada suatu hari dua orang Jawa yang bijak bertemu di
jalan; yang seorang penganut agama baru yang diajarkan para utusan Nabi, yang
lain penganut agama lama, yang terusir dan telah banyak kehilangan daerah
pengaruhnya. Segera muncullah perbantahan. Masing-masing ingin minta bukti
agama siapa yang benar.
Yang satu melemparkan kendi yang berisi
air sumber yang segar ke atas. Yang lain mengikutinya dengan melemparkan kudi
(sejenis parang). Kedua benda tersebut, kendi dan kudi membubung makin lama
makin tinggi, hingga akhirnya kendi dibentur kudi. Kendi pecah airnya jatuh
membasahi tanah berupa hujan lembut. Pemilik kudi si bijak penganut agama baru
berseru: "Tuh lihat! kudiku telah memecahkan kendimu." "Memang
benar," jawab yang lain, "tetapi air membasahi garapan kita dan akan
tetap membasahinya. Air itu adalah isi kendiku. Semua yang hidup di tanah ini
akan mengambil tenaga dari air itu." Betapa benar hal itu.
Beberapa tahun yang lalu, ketika saya
mengunjungi seseorang ahli pikir Jawa di pertapaannya di salah sebuah gunung
yang sangat tinggi di Jawa, dalam kaitan dengan cerita di atas ahli pikir itu
berkata: "Minyak di dalam lampu ini adalah air di dalam cerita tadi. Lampunya,
yaitu bentuknya yang kelihatan, adalah Islam. Jika sudah satu dua tahun
kemudian kita membeli perhiasannya di pasar, maka perhiasan-perhiasan ini kita
sebut saja peradaban Barat."(56)
Ada pengakuan bahwa memang Islam (agama
baru) telah menang melawan Hindu-Majapahit (agama lama), tetapi sejak itu ia
hidup di tanah yang telah dibasahi oleh agama lama! Dengan kata lain secara
politik agama lama telah kalah tetapi secara kultural ia masih bertahan, dan
bahkan menuntut pengakuan dari agama baru, agar tercapai "perkembangan
harmonis" sebagaimana yang menjadi tujuan BU pada awalnya(57), dengan
Islam dan Barat.
Mengagungkan kebudayaan Jawa sebagai
dasar nasionalisme ditandaskan oleh Soewardi, tokoh BU yang kemudian menjadi
salah seorang pengurus SI: — dalam waktu yang bersamaan dengan ucapan Goenawan
di atas:
Jika kita memperhatikan sebentar
keadaan masyarakat hidup Jawa yang tetap kebal terhadap pengaruh-pengaruh
moderen — contoh paling khas untuk itu adalah daerah keraton-keraton Jawa —
tentu kita akan melihat, bahwa dalam soal ketatanegaraan orang di sana hidup di
dunia dan zaman lain, dari pada dunia dan zaman kita sekarang ini. Apa yang
bagi kita merupakan sejarah tanah air, jadi hal yang selalu di belakang kita,
di sana masih merupakan realitas sosial dan politik yang berpadu dengan masa
sekarang menjadi satu keseluruhan.
Apa artinya pengetahuan kita tentang
sejarah Jawa? Kita telah belajar begitu banyak di sekolah-sekolah Belanda.
Namun apa arti pengetahuan kita tentang kehidupan nenek moyang kita jika
dibandingkan dengan pengetahuan para raja Jawa dan kalangan bangsawan tinggi
tentang hal itu? Di sekolah-sekolah Belanda, bahkan di sekolah-sekolah Jawa
juga, sejarah bangsa kita tidak diajarkan. Di daerah keraton-keraton Jawa orang
tahu benar bagaimana keadaan tanah Jawa dulu. Di sana orang tahu juga betapa
dulu tanah Jawa disegani di luar negeri. Tetapi di sana pula orang tahu apa
yang telah diderita tanah Jawa. Di sana juga orang tahu jika ditinjau dengan
baik bahwa sebenarnya orang-orang Belanda sangat menghina raja-raja Jawa.
Kekuasaan dan pengaruh raja-raja Jawa itu makin lama makin ditindas oleh
Belanda. Tetapi justru karena itu orang-orang di daerah keraton-keraton Jawa
itu lebih tahu apa yang di sebut 'cinta tanah air', yaitu cinta pada tanah Jawa,
hanya pada tanah tumpah darah ini. Hindia dikenal hanya sebagai daerah di luar
tanah air, sebagai negara ciptaan Belanda, dan tanah air Jawa dengan paksa
dimasukkan menjadi bagian negara itu. Memang benar, dahulu memang ada kaitan
antara Jawa dan daerah-daerah seberang, tetapi bukan Jawa yang menjadi daerah
bagian suatu kerajaan besar. Sebaliknya Jawalah kerajaan itu, sedangkan seluruh
tanah seberang merupakan daerah kerajaan Jawa. Jadi nasionalisme Jawa, yaitu
pulihnya kembali Jawa merdeka, berarti dihancurkannya, pemerintah asing. Cukup
sedikit saja bertukar pikiran tentang sejarah Jawa dengan penduduk Jogja, maka
anda akan mengetahui bahwa di daerah yang masih tulen Jawa itu, masih terus
hidup harapan akan kedatangan Heroe Tjokro, penyelamat tanah Jawa yang
diramalkan Prabu Jayabaya di dalam buku ramalannya.(55)
Tulisan yang merupakan 'soembangsih'
untuk BU ini ingin "melawan pendapat yang merata bahwa Islam adalah
identik dengan anti Belanda".(59) Dari segi perjalanan sejarah — Soewardi
yang pernah masuk SI dan kemudian mendirikan Indische Partij —
mengungkapkan betapa kuatnya arus yang kadang berbenturan mencari dasar
perjuangan, apakah nasionalisme yang berakar pada kebudayaan atau pada agama
Islam. "Memang dalam B.O. dirasakan pula daya tarik Islam, bahkan B.O.
sangat menyadari kemunduran organisasinya semenjak meluasnya S.I. Tetapi juga
sepenuhnya disadari kelanggengan hidup kebudayaan pra-Islam. Dalam tulisannya De
Geboorte van Boedi Oetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo menulis: "Levend
noeg in Majapahit, noemen wij ons Islamieten," ("Dengan masih
hidup di alam Majapahit, kita menyebut diri kita Islam").(60) Seorang
tokoh lainnya Soetomo yang sangat terikat kepada tradisi Jawa tetapi akrab pula
dengan tokoh-tokoh Islam pernah melancarkan kritik terhadap Islam seperti
misalnya, terhadap ibadah haji yang dianggap tidak ekonomis, "uang yang
digunakan untuk naik haji ke Mekah sebenarnya lebih baik digunakan untuk
usaha-usaha di bidang ekonomi dan kepentingan nasional''.(6l) Bahkan dengan
tegas ia menyatakan dirinya pengikut Pantheisme-Monisme Jawa seperti
yang terungkap dalam percakapannya dengan Mas Mansoer seorang tokoh SI
(kemudian Muhammadiyah): "Penjelmaan Tuhan yang paling akhir adalah umat
manusia".(62)
Soetomo percaya bahwa saya adalah Dia
dan Dia adalah Saya. Aku dan Dia satu hakekat, yakni penjelmaan Tuhan. Aku
penjelmaan Tuhan yang sadar. Dari sebab itu aku harus menolong menyadarkan aku
yang belum sadar. Aku harus berbnat baik kepada diriku.(63)
Kuatnya desakan arus nasionalisme Islam
dan nasionalisme kebudayaan menuntut penyelesaian tegas. Dan hal itu terlaksana
dalam kongres BU tahun 1917 dengan mengambil sikap kebebasan beragama (saat itu
juga ada tuntutan agar BU "terbuka bagi orang-orang Kristen dari bangsa
sendiri").(64) Poespoprodjo melengkapi gambaran suasana dalam kongres:
"Kecuali itu, bukankah sudah ada partai yang memperjuangkan Islam, yakni
Sarekat Islam. Begitu suara-suaranya yang santer terdengar selama
kongres".(65)
Memang, rupanya BU boleh dikatakan
tidak berhasil menjadi penghimpun kekuatan yang bersatu, bukan saja karena
desakan aspirasi Islam yang tidak tertampung tetapi juga karena komposisi para
tokohnya yang umumnya golongan priyayi (yang paling tahu dan merasakan arti peradaban
Hindu-Jawa) ia jadi kurang merakyat, ia tidak mendapat dukungan yang luas.
Namun demikian ia dapat dinilai berhasil dalam arti berhasil memunculkan
aspirasi yang berbeda-beda yang hidup di dalam bangsa Indonesia.
Akhirnya BU mengambil sikap — sesuai
dengan usul Dr. Radjiman — mempertahankan kebebasan dalam soal agama.(66) Suatu
penyelesaian khas Jawa telah diambil, seperti yang terungkap dalam pendapat
Goenawan Mangoenkoesoemo:
Mosi ini, menurut pendapat saya, cocok
dengan ucapan saya: Biarlah tiap orang bebas mengekspresikan cinta yang
mengikatnya dengan Dia yang oleh orang banyak disebut Tuhan atau Bapak. Mengapa
mencela buah, yang kita tidak tahu bagaimana rasanya; mengapa cara kita melihat
harus sama sedangkan Tuhan memberi kita mata batin yang berlain-lainan? Memang
sesungguhnyalah, orang Jawa dapat menerima tiap agama, tiap sekte sebagai
pembawa peradaban.(67)
Gerakan pembaharuan muncul dan
berkembang dalam sosok Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah pada dekade pertama
abad XX. Gerakan pembaharuan muncul akibat persentuhan yang sangat intensif
antara Islam dan peradaban Barat pada abad XIX yang berawal dari Mesir. Memang,
tak dapat disangkal sebelumnya telah muncul di Arab semacam gerakan pembaharuan
yang dicetuskan oleh Abd Al-Wahhab (1703-1787) yang kemudian dikenal sebagai
gerakan Wahhabiyah. Gerakannya lebih tepat disebut pemurnian Islam.
Gagasan inilah yang harus tertera dalam pikiran kita memahami gerakan
pembaharuan dalam Islam. Karena gerakan pembaharuan ingin memacu perkembangan
dalam Islam agar dapat menghadapi perubahan zarnan akibat modernisasi (Barat)
berlandaskan sumber-sumber yang berwibawa yaitu Quran dan Hadis. Karena itu,
"untuk dapat maju lagi umat Islam harus kembali kepada Islam sejati, Islam
sebagai dipraktekkan di zaman klasik," demikian Nasution tentang Muhammad
Abduh (1849-1905).(68)
Gerakan Wahhabiyah yang mengejutkan
dunia Islam ini berangkat dari kesadaran bahwa kehidupan keagamaan telah
merosot sekali akibat penyelewengan sufisme, sebagaimana dirumuskan oleh
Gibb,
Gerakan Wahhabi ini . . . pertama-tama
ditujukan menghadapi kemunduran tata sila dan kemerosotan agama . . ., mengutuk
pemujaan orang suci dan bid'ah-bid'ah lain dari kaum Sufi sebagai penyelewengan
dan kekufuran, dan akhirnya juga menyerang mazhab-mazhab lain karena
komprominya dengan bid'ah-bid'ah yang dibenci itu.(69)
Sebagai konsekuensi dari semangat
pembaharuan itu maka digalakkanlah semangat ijtihad (penalaran
bebas),
Muhammad Abd Al-Wahhab tidak
mempertahankan faham taqlid (tunduk kepada pendapat ulama-ulama
terdahulu). Bahkan sebagai pengikut Ibn Hambal dan Ibn Taimiyah, ia berpendapat
bahwa pintu ijtihad tetap dibolehkan dan ijtihad dijalankan dengan kembali
kepada kedua sumber asli dari ajaran-ajaran Islam, Al Quran dan Hadis.(70)
Gagasan Wahhabiyah yang kemudian
mempengaruhi pembaharuan dari al-Afghani, Abduh dan Rashid Ridha, benar-benar
secara revolusioner menggoncangkan tatanan Islam di segala penjuru dunia. Atas
jasa mereka yang disebut belakangan gagasan Wahbabi meyebar luas dan mendapat
bentuk modernnya.(71)
Dengan semangat pembaharuan umat Islam
menghadapi imperialisme Barat dan dengan semangat rasionalisme menggali potensi
Islam. Dalam semangat ijtihad, anti taqlid (ketaatan tanpa dasar) dan
anti terhadap fatwa (keputusan) ulama yang sering dinilai turun-temurun, kaum
pembaharu, khususnya Abduh, mengajak umat Islam keluar dari sifat jumud (stagnasi)
agar mampu memacu perkembangan zaman.(72) Akal sangat dihargai oleh Abduh.
"Penghargaan tinggi yang diberikannya kepada akal membuat faham-f ahamnya
mempunyai persamaan dengan faham-faham Mu'tazilah."(73) Nanti,
dalam pembicaraan lahirnya NU kita akan lihat NU menegaskan bahwa dalam tauhid
ia menganut faham al-Asyari dan al-Maturidi, dua tokoh yang menentang faham
Mu'tazilah yang rasional itu.
Ajaran Muhammad Abduh mendapat
tanggapan luas di Indonesia. Tanja merumuskannya:
Belakang hari ajaran 'Abduh itu
mendapat tanggapan luas di Indonesia berkat kegiatan gerakan Salafiyah yang
didirikan oleh Muhammad Rashid Rida, seorang teman 'Abduh dari angkatan yang
lebih muda. Menjunjung tinggi seruan 'Abduh untuk kembali pada ajaran-ajaran
Quran dan Hadith seperti ditafsirkan oleh para leluhur pertama yang layak
(salaf), gerakan Salafiyah bahkan bersikap lebih lanjut dengan menolak
tegas-tegas untuk berbaik-baik terhadap gagasan-gagasan moderen Barat dan
sebaliknya bersitumpu kepada cara kaum fundamentalis yang tegar dalam
menafsirkan doktrin-doktrin Quran dan Hadith.(74)
Dengan demikian maka kita dapat
memahami mengapa gerakan pembaharuan di Indonesia mempunyai dampak yang luas,
yaitu bagaimana ia berhadapan dengan penjajah Belanda, dan dengan kelompok
tradisional (NU), serta dengan kaum nasionalis.
SI didirikan pada tahun 1911 dan diakui
sebagai kelanjutan Serikat Dagang Islam yang didirikan di Solo tahun 190575.
Dilihat dari sisi para tokoh dan pendirinya, SI tidak terlepas dari kiprah kaum
priyayi Jawa. SI banyak ditentukan oleh kiprah dan penampilan Cokroaminoto
(nama lengkapnya Raden Mas Haji Umar Said Cokroaminoto), Ia adalah anak bupati Ponorogo
dan cicit Kyai Bagus Kasan Besari dari pesantren Tegalsari.(76)
Dengan meminjam ucapan Ruslan
Abdulgani, kalau BU disebut sebagai wujud nasionalisme kebudayaan (cultural
nationalism) maka SI adalah nasionalisme politik religius (religious political
nationalism).(77) Sedangkan Poespoprodjo menyebutkan SI sebagai kaum nasionalis
muslim (muslim nationalist) dan BU disebutnya nasionalis yang tidak acuh agama
(religiously indifferent nationalist).(78) Keduanya menekankan corak
nasionalisme SI, yaitu nasionalisme yang berlandaskan Islam. Sesungguhnya SI
memang dapat dinilai sebagai pergerakan kebangsaan (bahkan yang pertama menurut
sementara pendapat)(79) karena dengan berlandaskan Islam, SI telah berhasil
menyatakan dirinya sebagai organisasi politik. Dengan cepat ia mendapat
dukungan dari kaum pedagang (karena ekonomi adalah salah satu tujuannya) yang
tinggal di kota-kota yang sedang menghadapi kekuatan dagang golongan Cina yang
sedang bangkit sejak awal abad XX. Semangat masyarakat pribumi ingin mengimbangi
kemajuan golongan Cina, memperkuat identitas keagamaan Islam.
Terlepas dari setuju atau tidak
terhadap SI sebagai pergerakan kebangsaan yang pertama, Islam adalah inti
kekuatannya. Dari penelitian Noer yang sangat rinci dan dalam tentang gerakan
pembaharuan, ditegaskan bahwa pada peralihan abad XIX ke XX, Islam telah
menjadi identitas kebangsaan:
Pada masa itu Islam adalah identik
dengan kebangsaan. Pada waktu itu orang yang beragama Islam selalu digolongkan
kepada penduduk pribumi, apakah ini Melayu, Jawa atau yang lain . . .
Di Jawa semua orang bumi putera disebut
wong selam, orang Islam. Nama Sarekat Islam, satu-satunya partai politik
kebangsaan yang berpengaruh besar dalam tahun belasan, yaitu kepribumiannya,
daripada sifat agama dari organisasi tersebut; atau agaknya lebih tepat untuk
mengatakan bahwa nama perkumpulan tersebut menggambarkan kedua aspek itu, yaitu
aspek agama serta aspek kebangsaan atau kepribumiannya.(80)
Dengan dasar Islam, SI menarik banyak
anggota dari luar Jawa seperti Sumatra, Sulawesi dan Kalimantan. Di Jawa Timur
SI mendapat dukungan dari para petani. Korver yang meneliti perkembangan SI
pada masa jayanya (1912-1916) memaparkan aspek milenaristis (pengharapan
mesianistis) sangat kuat pada waktu itu dan orang Jawa melihat
Cokroaminoto sebagai Ratu Adil yang kedatangannya telah diramalkan.(81) Kalau
demikian suasana batin masyarakat Jawa turut mengarahkan kemajuan SI. Aspek milenaristis
ini dengan gigih ditentang oleh Agus Salim (yang membawa gagasan Pan-Islam
ke dalam SI)(82)
Apakah agarna Islam bagi SI hanya
sekedar alat? Apakah Cokroaminoto sungguh-sungguh meyakini dasar Islam bagi
perjuangan SI?
Dalam Anggaran Dasar 1912 kita dapat
membaca empat tujuan(83), yang dapat disederhanakan menjadi dua tujuan pokok
kemajuan agama dan ekonomi bumi putera (Indonesia). Bila dikaji lebih dalam
maka program ekonomi dan agama dalam SI adalah penemuan kembali keprihatinan
awal agama Islam sejak nabi Muhammad menyampaikan dakwahnya. Bagi nabi
Muhammad, monotheisme Tuhan sejak awal sudah "terkait dengan suatu
humanisme dan rasa keadilan ekonomi dan sosial yang intensitasnya tidak kurang
dari intensitas monotheistik ketuhanannya".(84)
Islam adalah pilihan yang sengaja dan
sadar bagi SI. Melalui Cokroaminoto, SI seolah menjawab kesangsian akan potensi
Islam: "Memang Sarekat Islam memakai nama agama sebagai ikatan persatuan
bangsa, buat mencapai cita-cita sebenarnya, dan agama tidak akan menghambat
kita mencapai tujuan itu."(85)Dengan mengutip ayat Quran — antara lain —
yang bernada eskatologis — ia menganalisis masyarakat agar Islam harus
bertindak:
Telah tampak kerusakan di darat dan di
laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan
yang benar. (Sura 30:41 ).(86)
Karena dasar Islam itu pula, SI berbeda
dari BU dalam sikap terhadap Belanda; kalau BU (nasionalisme) menentang Belanda
karena ia adalah pemerintahan asing, maka SI menentang karena ia adalah pemerintahan
kafir! Dari segi ini dinilai secara obyektif, Islam telah memberikan sumbangan
besar bagi gerakan kemerdekaan karena sikap itu bersenyawa dengan sikap anti
penjajahan. Ia telah memberi sumbangan menemukan identitas kebangsaan dalam
arti yang lebih tajam terhadap penjajahan. BU sebagai organisasi kalangan atas
dengan hanya mengandalkan kebudayaan dan program pendidikan (bagaimana
pendidikan kala itu digalakkan oleh Belanda) gagal untuk merakyat pada lapisan
luas, sedangkan SI dengan keislamannya yang dipadu dengan keprihatinan ekonomi
pribumi telah mampu merakya di segala lapisan masyarakat khususnya di
kota-kota.
Dengan program ekonomi pribumi, SI
sebagai wujud gerakan pembaharuan bukanlah duplikasi pembaharuan ala Mesir
yang menekankan pembaharuan politik dan intelektual, atau ala Turki yang
kemudian memisahkan agama dari kiprah negara. Agaknya gerakan pembaharuan dalam
wadah SI hanya menerima inspirasinya dari luar tetapi mempunyai semacam
ideologi yang lain karena keprihatinannya terhadap situasi masyarakat.
Perkembangan kemudian dari SI membenarkan hal ini. Setelah periode kejayaannya
(1912-1916) berlalu, SI mengalami kemerosotan. Penyebabnya di samping
pertikaian organisasi intern juga adalah karena digalakannya Pan-Islam (yang
banyak bersangkut paut dengan situasi politik internasional) serentak dengan
itu dikikisnya aspek milenaristis (sehingga entusiasme masyarakat Jawa
berkurang terhadap SI) dan muncullah Marzisme (SI Merah) yang
menginginkan cara yang radikal (non-koperatif) dalam perjuangan SI.(87) Sejak
itu sampai dengan kemunculan "Orde Baru", SI tak putus dirundung
pertikaian.(88)
Menarik untuk dipertanyakan mengapa SI
dapat dimasuki oleh Marzis? Sejak kemunculannya gerakan pembaharuan yang muncul
dalam zaman modern dan dalam pertemuan dengan Barat, berada dalam dilema. Di
satu pihak ia ingin mengatasi dominasi Barat, tetapi pada lain pihak ia
dipengaruhi oleh Barat> Di Timur Tengah gagasan nasionalisme (sebagian
pengaru Barat) bentrok dengan gagasan Pan-Islam (yang didorong oleh kerinduan
akan pulihnya kembali kejayaan Islam masa lalu). SI sebagai wujud gerakan
pembaharuan langsung melakukangebrakan politik sedangkan dasar Islam mungkin
hanya dikuasai oleh para pimpinan yang telah menerima pendidikan modern,
padahal "Islam dari SI pada periode awal itu belum begitu dipahami oleh
para pendukungnya". Dengan mengutip Anthony Reid yang menulis buku The
Indonesian Revolution: 1945-1950, Ahmad Syafii Maarif melukiskan potret SI
pada waktu itu:
...pengaruh SI semakin merosot sebagai
gerakan politik anti kolonial. Tantangan yang dihadapi menjadi semakin berat
pada waktu kaum Marzxis/komunis mendirikan PKI pada tahun 1920. Selama enam
tahun sesudah kelahiran resminya, PKI telah mencatat kemajuan-kemajuan luar
biasa di bidang organisasi di samping memasyarakatkan faham Marxis dan komunis.
Marxisme tidak saja menarik bagi massa rakyat, tetapi juga berhasil mengikat
kaum intelektual Indonesia.(89)
SI terjun ke dalam gelanggang politk
dengan basis yang rapuh. Karena gerakan pembaharuan berdampingan erat dengan
semangat rasionalisme (karena itu anti tradisi dan wibawa ulama sebagai
pengemban tradisi) maka ia harus mengeluarkan banyak energi untuk
mempertahankan diri secara rasional pula(90), ia jadi tak semat membenahi
landasannya. Di sinilah Muhammadiyah tampil sebagai pahlawan pembaharuan dengan
program pendidikan dan pembinaan umat.
Organisasi Muhammadiyah didirikan di
Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan yang tidak
pernah menempu pendidikan modern. Deliar Noer langsung mencatatnya sebagai
organisasi Islam yang terpenting di Indonesia "sebelum Perang Dunia II dan
mungkin juga sampai saat sekarang ini".(91) Dahlan pernah aktif di BU
"dengan maksud memberikan pelajaran agama kepada anggota-anggotanya. Dengan
jalan ini ia berharap akhirnya akan dapat memberikan pelajaran agama di
sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah".(92) Agaknya harapannya
ini sesuai, dengan wataknya sebagaimana dilukiskan oleh Peacock, "ia
melakukan perjuangannya denga tenang dan sistematis, lebih meupakan suatu
perubahan daripada sebuah protes terhadap keadaan".(93) Sejak semula
Muhammadiyah menjauhi jalur perjuangan politik dan memilih jalur pendidikan. Ia
juga sempat memasuki SI. Rupanya ia tidak puas kepada kedua organisasi itu (BU
dan SI) sehingga merasa perlu membentuk organisasi sendiri. Dengan mengutip
Nakamura (yang menulis tesi nya tentang Muhammadiyah, The Crescent Arises
Ouer the Baya Tree: A Study of the Muhammadiyah Movement in A Central Ja vanese
Town), Jainuri mengatakan bahwa "mungkin Ahmad Dahlan merasakan bahwa
kedua organisasi tersebut tidak bisa memenuhi kebutuhan akan memajukan dakwah
Islam dan pendidikan sebagaimana yang ia kehendaki."(94)
Begitu muncul Muhammadiyah segera
melakukan program pembaharuannya (pemurnian) agama Islam. Jainuri
mengelompokkan pembaharuan itu dalam tiga bidang, yaitu keagamaan,
kemasyarakatan dan pendidikan.(95) Uraian saya selanjutnya menekankan bidang
keagamaan, yang merupakan ikhtisar dari uraian Jainuri.(96)
Gerakan Muhammadiyah berupaya
mengembalikan kemurnian agama Islam berlandaskan Quran dan Hadis. Untuk itu
kebenaran dari beberapa fatwa dan amalan-amalannya harus ditinjau kembali
dengan semangat ijtthad (penalaran bebas). Umat harus melepaskan diri dari
jumud (stagnasi) yang disebabkan unsur-unsur yang tidak murni Islam atau
praktek-praktek yang tidak lazim dalam Islam, seperti misalnya acara selamatan
(kenduri) yang dianggap sebagai kebiasaan animisme, ziarah kubur yang dibarengi
denga tawassul (mengharapkan perantara para wali atau orang suci).
Praktek yang terakhir ini merupakan warisan tasawuf (sufi) yang juga
dilakukan oleh sebagian orang Arab yang datang dari Hadramaut. Muhammadiyah
juga melakukan langkah baru dalam ibadah, khutbah Jumat disampaikan dalam
bahasa Indonesia yang selama ini dalam bahasa Arab, bahkan kalau perlu boleh
dalam bahasa daerah. Dalam menentukan hari raya Muhammadiyah mengikuti
perhitungan astronomis (hisab) bukan lagi seperti yang lazirn
berdasarkan munculnya bulan (rukyat). Muhammadiyah juga melancarkan
kritik terhadap pendidikan tradisional; pesantren dianggap tidak mampu menjawab
tantangan karena tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan pendidikan
modern.
Ada beberapa hal yang menarik untuk
diamati di sini. Pertama, gerakan pembaharuan dengan semboyan 'Qur'an dan
Hadis' menilai keadaan secara doktriner atau dengan meminjam istilah Geertz
menjadi skripturalis.(97) Dengan kata lain semangat rasional dari gerakan
pembaharuan membatasi rujukan penilaiannya hanya pada sumber yang sudah baku sehingga
akan mudah jatuh pada sikap yang konservatif.(98) Kedua, gerakan pembaharuan
anti kepada sufisme, yang pengaruhnya telah berbaur tradisi lokal (terlepas
dari penilaian terhadap pengaruh itu). Ketiga, gerakan pembaharuan Muhammadiyah
dengan program pendidikannya lebih menekankan aspek pengertian terhadap agama
ketirnbang penghayatan (di mana dalam hal penghayatan pertanyaan yang utama
adalah nilai guna ketimbang nilai kebenaran). Keempat, harus diakui bahwa
Muhammadiyah telah berhasil mendekatkan Islam kepada perkembangan modern.
Muhammadiyah telah menjawab tantangan modern (politik pendidikan Belanda)
dengan menjauhkan sikap anti yang membuta, tetapi menjawaboya dengan kritis,
meniru atau mengambil alih apa yang baik bagi perkembangan Islam. Kelima,
penilaian Muhammadiyah terhadap pesantren agak kurang adil. Diukur dari sudut
pendidikan formal penilaian itu dapat diterima. Tetapi dari sudut misi awalnya
pesantren harus dinilai secara arif; karena ia bertujuan "bagaimana harus
menjadi orang Islam yang baik."(99) Harus diingat bahwa pada awal abad XX
pengaruh perubahan sosial, pengaruh perubahan politik Belanda, belum menyentuh
daerah pedesaan. Karena itu untuk apa berubah kalau belum perlu, bukan?
____________________
41. Untuk mengetahui lebih lannjut Politik Etis dan Pengaruhnya terhadap pendidikan, lihat, Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia terjemahan dari "The Emergence of the Modern Indonesia Elite", (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984 ), hlm. 50-138.
42. Savitri Prastiti Scherer, Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX, semula tesis Ph.D pada Cornell University Amerika Serikat tahun 1975, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm 32-35.
43. Ibid., hlm. 42-43.
44. W. Poespoprodjo, Jejak-jejak Sejarah 1908-1926; Terbentaknya suatu Pola, (Bandung: Remaja Karya, 1984), hlrn. 29.
45. Ibid., hlm 22.
46. Ibid., hlm.23.
47. Scherer, op.cit., hlm. 74; Lihat K. Tsuchiya, "Gerakan Taman Siswa: Delapan Tahun Pertama dan Latar Belakang Jawa Taman Siswa" dalam S. Ichimura & Koentjaraningrat, ed., Indonesia — Masalah dan Peristiwa Bunga Rampai, (Jakarta: Gramedia, 1976), hlm.27-55.
48. Poespoprodjo, op.cit., hlm. 30.
49. Lihat, Ensiklopedi Umum, ed., A.G. Pringgodigdo dan Hassan Shadily (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1977), hlm. 268. Untuk selanjutnya disebut, Ensiklopedi Umum.
50. Lihat, Poespoprodjo, loc.cit.
51. Ibid., hlm. 30-31.
52. Ibid., hlm. 27.
53. Ibid, hlm.28.
54. Ibid., hlm.32.
55. Ibid., hlm.33.
56. Ibid., hlm. 33-34.
57. Ibid., hlm. 27.
58. Ibid., hlm. 3 5 -3 6.
59. Ibid., hlm. 36.
60. Ibid.
61. Ignatius Gatut Saksono, "Soetomo: Tradisionalis di Tengah Kemelut Pergerakan Nasional', (Resensi buku Paul W. van der Veur, ed., Kenang-henangan Dokter Soetomo, Sinar Harapan, Jakarta, 1984), dalam Prisma, nomor 8, Agustus 1984, hlm. 86-88.
62. Ibid., hlm. 88.
63. Ibid.
64. Poespoprodjo, op.cit., hlm. 39.
65. Ibid.
66. Ibid., hlm. 40.
67. Ibid.
68. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 2 jilid (jilid I, Jakarta: Universitas Indonesia, 1979; jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1974), jilid II, hlm. 99. Untuk selanjutnya disebut, Nasution, Islam Ditinjau.
69. H.A.R. Gibb, Islam Dalam Lintasan Sejarah, terjemahan dari 'Mohammedanism', (Jakarta: Bhratara, 1983), hlm. 123.
70. Nasution, Islam Ditinjau, jilid II, hlm. 96.
71 Untuk mengetahui pemikiran pembaharuan dan perkembangannya dalam berbagai gagasan di berbagai negara, lihat, John J. Donohue & John L. Esposito, ed., Islam dan Pembaharuan, terjemahan dari 'Islam in Transition, Muslim Perspectives', (Jakarta: Rajawali, 1984 ).
72. Bandingkan, Nasution, Islam Ditinjau, jilid II, hlm. 100-102.
73. Ibid., hlm. l00.
74. Tanja, Himpunan, hlm. 30: Bandingkan, A. Shamad Hamid, Islam dan Pembaharuan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), hlm. 58-61.
75. Lihat, M.A. Gani, Cita Dasar & Pola Perjuangan Syarikat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 6-13.
76. Ensiklopedi Umum, hlm. 1116.
77. H. Roeslan Abdulgani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1983), hlm. 39.
78. Poespoprodjo, op. cit., hlm. 55-56.
79. Tanja, Himpunan, hlm. 32.
80. Noer, Gerakan Modern, hlm. 8 -9.
81. Lihat, A.P.E. Korver; Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil? semula tesis Doktor pada Universiteit van Amsterdam Belanda pada tahun 1982 dengan judul 'Sarekat Islam 1912-1916', (Jakarta: Grafiti Pers, hlm. 73-88).
82. Poespoprodjo, op.cit., hlm. 55-56.
83. Lihat, Gani, op.cit., hlm. 15.
84. Rahman, Islam, hlm. 3.
85. Dikutip oleh, Gani, op.cit., hlm. 15.
86. Dikutip oleh, Ibid., hlm. 29.
87. Poespoprodjo, loc.cit.
88. Lihat, Ensiklopedi Umum, hlm 875-979 di bawah "Sarekat Islam".
89. Ahmad Syafii Maarif, Potret Perkembangan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Shalabudin Press, 1983), hlm. 7. Untuk selanjutnya disebut, Maarif, Potret Perkembangan.
90. Tantangan Komunisme dijawab oleh Tjokroaminoto dengan menulis 'Islam dan Sosialisme'. Lihat, Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, (Jakarta: Lembaga Penggali dan Penghimpun Sejarah Revolusi Indonesia, 1963).
91. Noer, Gerakan Moderen, hlm. 84.
92. Ibid., hlm. 86.
93. James L. Peacock, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan, Ajaran Islam
di Indonesia, terjemahan dari 'The Muhammadiyah Movement in Indonesia Islam', (Jakarta: Cipta Kreatif, 1986), hlm. 38.
94. A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad XX, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), hlm. 38.
95. Ibid., hlm. 51-74.
96. Ibid.
97. Clifford Geertz, Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia, terjemahan 'Islam Observed', (Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1982), hlm. 72-73.
98. Bandingkan, Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, semula tesis Doktor pada Universitas Katolik Nijmegen Belanda tahun 1974, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 33-34.
99. Ibid., hlm. 17.
41. Untuk mengetahui lebih lannjut Politik Etis dan Pengaruhnya terhadap pendidikan, lihat, Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia terjemahan dari "The Emergence of the Modern Indonesia Elite", (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984 ), hlm. 50-138.
42. Savitri Prastiti Scherer, Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priyayi Nasionalis Jawa Awal Abad XX, semula tesis Ph.D pada Cornell University Amerika Serikat tahun 1975, (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), hlm 32-35.
43. Ibid., hlm. 42-43.
44. W. Poespoprodjo, Jejak-jejak Sejarah 1908-1926; Terbentaknya suatu Pola, (Bandung: Remaja Karya, 1984), hlrn. 29.
45. Ibid., hlm 22.
46. Ibid., hlm.23.
47. Scherer, op.cit., hlm. 74; Lihat K. Tsuchiya, "Gerakan Taman Siswa: Delapan Tahun Pertama dan Latar Belakang Jawa Taman Siswa" dalam S. Ichimura & Koentjaraningrat, ed., Indonesia — Masalah dan Peristiwa Bunga Rampai, (Jakarta: Gramedia, 1976), hlm.27-55.
48. Poespoprodjo, op.cit., hlm. 30.
49. Lihat, Ensiklopedi Umum, ed., A.G. Pringgodigdo dan Hassan Shadily (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1977), hlm. 268. Untuk selanjutnya disebut, Ensiklopedi Umum.
50. Lihat, Poespoprodjo, loc.cit.
51. Ibid., hlm. 30-31.
52. Ibid., hlm. 27.
53. Ibid, hlm.28.
54. Ibid., hlm.32.
55. Ibid., hlm.33.
56. Ibid., hlm. 33-34.
57. Ibid., hlm. 27.
58. Ibid., hlm. 3 5 -3 6.
59. Ibid., hlm. 36.
60. Ibid.
61. Ignatius Gatut Saksono, "Soetomo: Tradisionalis di Tengah Kemelut Pergerakan Nasional', (Resensi buku Paul W. van der Veur, ed., Kenang-henangan Dokter Soetomo, Sinar Harapan, Jakarta, 1984), dalam Prisma, nomor 8, Agustus 1984, hlm. 86-88.
62. Ibid., hlm. 88.
63. Ibid.
64. Poespoprodjo, op.cit., hlm. 39.
65. Ibid.
66. Ibid., hlm. 40.
67. Ibid.
68. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, 2 jilid (jilid I, Jakarta: Universitas Indonesia, 1979; jilid II, Jakarta: Bulan Bintang, 1974), jilid II, hlm. 99. Untuk selanjutnya disebut, Nasution, Islam Ditinjau.
69. H.A.R. Gibb, Islam Dalam Lintasan Sejarah, terjemahan dari 'Mohammedanism', (Jakarta: Bhratara, 1983), hlm. 123.
70. Nasution, Islam Ditinjau, jilid II, hlm. 96.
71 Untuk mengetahui pemikiran pembaharuan dan perkembangannya dalam berbagai gagasan di berbagai negara, lihat, John J. Donohue & John L. Esposito, ed., Islam dan Pembaharuan, terjemahan dari 'Islam in Transition, Muslim Perspectives', (Jakarta: Rajawali, 1984 ).
72. Bandingkan, Nasution, Islam Ditinjau, jilid II, hlm. 100-102.
73. Ibid., hlm. l00.
74. Tanja, Himpunan, hlm. 30: Bandingkan, A. Shamad Hamid, Islam dan Pembaharuan, (Surabaya: Bina Ilmu, 1984), hlm. 58-61.
75. Lihat, M.A. Gani, Cita Dasar & Pola Perjuangan Syarikat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 6-13.
76. Ensiklopedi Umum, hlm. 1116.
77. H. Roeslan Abdulgani, Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Antar Kota, 1983), hlm. 39.
78. Poespoprodjo, op. cit., hlm. 55-56.
79. Tanja, Himpunan, hlm. 32.
80. Noer, Gerakan Modern, hlm. 8 -9.
81. Lihat, A.P.E. Korver; Sarekat Islam: Gerakan Ratu Adil? semula tesis Doktor pada Universiteit van Amsterdam Belanda pada tahun 1982 dengan judul 'Sarekat Islam 1912-1916', (Jakarta: Grafiti Pers, hlm. 73-88).
82. Poespoprodjo, op.cit., hlm. 55-56.
83. Lihat, Gani, op.cit., hlm. 15.
84. Rahman, Islam, hlm. 3.
85. Dikutip oleh, Gani, op.cit., hlm. 15.
86. Dikutip oleh, Ibid., hlm. 29.
87. Poespoprodjo, loc.cit.
88. Lihat, Ensiklopedi Umum, hlm 875-979 di bawah "Sarekat Islam".
89. Ahmad Syafii Maarif, Potret Perkembangan Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Shalabudin Press, 1983), hlm. 7. Untuk selanjutnya disebut, Maarif, Potret Perkembangan.
90. Tantangan Komunisme dijawab oleh Tjokroaminoto dengan menulis 'Islam dan Sosialisme'. Lihat, Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme, (Jakarta: Lembaga Penggali dan Penghimpun Sejarah Revolusi Indonesia, 1963).
91. Noer, Gerakan Moderen, hlm. 84.
92. Ibid., hlm. 86.
93. James L. Peacock, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan, Ajaran Islam
di Indonesia, terjemahan dari 'The Muhammadiyah Movement in Indonesia Islam', (Jakarta: Cipta Kreatif, 1986), hlm. 38.
94. A. Jainuri, Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad XX, (Surabaya: Bina Ilmu, 1981), hlm. 38.
95. Ibid., hlm. 51-74.
96. Ibid.
97. Clifford Geertz, Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko dan Indonesia, terjemahan 'Islam Observed', (Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1982), hlm. 72-73.
98. Bandingkan, Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, semula tesis Doktor pada Universitas Katolik Nijmegen Belanda tahun 1974, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 33-34.
99. Ibid., hlm. 17.
Ditulis ulang dari buku Nahdlatul Ulama dan
Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia
dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul;
kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar