Kata Pengantar
oleh Abdurrahman Wahid*
Dalam tahun 1936 Muktamar Nahdlatul
Ulama di Banjarmasin membuat keputusan yang sangat unik, yang nantinya akan
melandasi sikap NU terhadap ideologi, politik dan pemerintahan di Indonesia.
Terhadap pertanyaan status tanah Hindia Belanda, yang sedang diperintah oleh
para penguasa non-muslim Belanda, haruskah ia dipertahankan den dibela dari
serangan luar, dikemukakan jawaban bahwa hal itu wajib dilakukan menurut hukum
agama (fiqh). Diambilkan jawabannya dari salah satu genre 'kitab kuning' yang
berjudul Bughyatul Mustarsyidin karya Syaikh Hasan Al-Hadhrami,
dikemukakan alasan pendapat tersebut: negeri ini pernah mengenal adanya
kerajaan-kerajaan Islam, penduduknya sebagian masih menganut dan melaksanakan
ajaran Islam, dan Islam sendiri tidak sedang dalam keadaan diganggu atau
diusik.
Herankah kita, jika nantinya NU dengan
mudah saja dapat menerima Pancasila sebagai ideologi negara den falsafah hidup
bangsa setelah kemerdekaan dicapai? Hasil dari pemerintahan yang berdasarkan
ideologi dan falsafah hidup tersebut tentunya, secara teoretik, tidak akan
lebih buruk dari hasil pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Duduk
persoalannya, jelas sekali: selama kaum muslimin dapat menyelenggarakan
kehidupan beragma mereka secara penuh, maka konteks pemerintahannya tidak lagi
menjadi pusat pemikiran. Pikiran seperti ini pula yang melandasi pandangan
dasar kaum ahlus sunnah waljama'ah, seperti penerimaan mereka atas kekhalifahan
(caliphate) Usmaniyah di Turki atas seluruh Dunia Islam, padahal mereka bukan
dari suku Quraisy (Menurut pandangan klasik faham Sunni, kepemimpinan negara
atau imamah, termasuk yang berbentuk kekhalifahan, haruslah berada di
tangan orang Quraisy, karena adanya ketentuan dari Nabi Muham-mad sallallahu
‘alaihi wasallam tentang hal itu). Dengan ungkapan lain, pemerintahan ditilik
dan dinilai dari fungsionalisasinya, bu-kan dari norma formal dari
eksistensinya, negara Islam atau bukan.
Konsep yang seperti itu dalam
mendudukkan pemerintahan pada “posisi netral” adalah inti dari pandangan mazhab
Syafi'i tentang “tiga jenis negara”: dar islam, dar harb dan dar sulh (negara
Islam, negara perang dan negara damai/sangga). Menurut faham ini negara Islam
harus dipertahankan dari serangan luar, karena ia merupakan perwujudan normatif
dan fungsional dari cita-cita kenegaraan dalam Islam, dengan ciri utama
berlakunya syari'ah Islam sebagai undang-undang negara. Negara perang atau
negara anti-Islam, harus diperangi, karena berbahaya bagi kelangsungan hidup
negara Islam, dan dengan demikian akan mengakibatkan dihilangkannya
pemberlakuan syari'ah Islam dari undang-undang negara. Negara damai atau sangga
harus dipertahankan, karena syari'ah (dalam bentuk hukum agama/fiqh atau etika
masyarakat) masih dilaksanakan oleh kaum muslimin di dalamnya, walaupun tidak
melalui legislasi dalam bentuk undang-undang negara.
Hukum yang demikian rinci, yang selama
ini terpendam dalam khazanah kitab kuning bacaan para ulama mazhab Syafi'i,
ternyata diaplikasikan dengan tuntas dalam kehidupan bernegara kita dewasa ini
oleh NU. Kalau hakikat keagamaan dari sikap NU ini tidak dimengerti, maka orang
akan dengan mudah melihat NU tidak konsisten dalam pandangannya tentang
Republik Indonesia. Di tahun 1945 menerima adanya negara berideologi Pancasila,
kurang lebihnya negara dari kategori dar sulh atau negara damai/sangga, bukan
negara Islam dan tidak pula menentang Islam). Dalam Konstituante di tahun
1958-59 memperjuankan berlakunya syari’ah dalam undang-undang negara (berarti
membuat negara Islam), di tahun 1959 menerim dekrit Presiden Soekarno untuk
memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dan di tahun 1983-4 menerima
Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi politik dan organisasi
kemasyarakatan. Penerimaan lain-lainnya adalah dalam konteks Republik lndonesia
sebagai dar sulh, sedangkan “perjuangan” di Konstituante sebagai
komitmen kepada idealisme dar Islam, gagasan mengaplikasikan syari'ah melalui
legislasi undang-undang negara. Dengan ungkapan lain, sikap mendirikan dar
Islam pernah dilakukan, karena memang demikianlah perintah keagamaan yang
harus diikuti. Namun, begitu upaya itu menemui jalan buntu, kenyataan adanya dar
sulh baru diterima dengan penuh kesungguhan. Atas dasar cara berpikir
beginilah diikuti kaidah fiqh (legal maxim) yang berbunyi “ma la yudraku
kulluh la yutraku kulluh”, yang berarti “apa yang tak mungkin terwujud
seluruhnya, tak boleh ditinggalkan yang terpenting (di dalamnya)”. Secara
keseluruhan, tentu wujud formal negara Islam yang semula diharapkan, tetapi
dengan lahirnya Republik Indonesia, harus diterima yang terpenting di dalamnya,
yaitu adanya negara yang memungkinkan kaum muslimin melaksanakan ajaran agama
mereka secara nyata.
Kulminasi
Kalau ditelusuri dengan tekun, dapatlah
dibuat garis linear dari sikap NU terhadap berbagai aspek pemerintahan dan
negara kita. Sebagaimana dikemukakan di atas, Muktamar Banjarmasin membahas dan
menentukan sikap dalam hubungan dengan status Indonesia sebagai tanah air dan
bangsa, yang wajib dipertahankan dari serangan luar, tanpa melihat sistem
kekuasaan yang memerintah. Kemudian, dalam tahun 1945 NU turut rnenerima dan
merumuskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 (melalui kehadiran KHA Wahid
Hasyim, KH Masykur dan Zainul Arifin). Keterlibatan mereka dalam berbagai
kegiatan nasional untuk menyongsong lahirnya kemerdekaan, berujung pada
Resolusi Jihad pada bulan Oktober 1945, yang mewajibkan ummat Islam untuk
memperjuangkan kemerdekaan dan membela tanah air sebagai perjuangan di jalan
Allah (jihad fi sabilillah). Sikap itu berarti tahap baru dalam
pandangan NU, yaitu tahap menerima Indonesia tidak hanya sebagai tanah air
(nusa) dan bangsa belaka, melainkan juga sebagai negara. Tahap berikutnya
adalah penempatan Presiden Republik Indonesia sebagai 'waliyyul amri dharuri
bissyaukah' (pemegang kekuasaan temporer atas pemerintahan, dengan
kekuasaan effektif, yang akan diuraikan panjang lebar dalam buku ini oleh
penulisnya). Tahap tersebut adalah tahap penerimaan pemerintahan dari sudut
pandangan keagamaan Islam, setelah penerimaan atas nusa-bangsa dilakukan di
Banjarmasin dan penerimaan atas negara beserta ideologinya di Jakarta tanggal
17-18 Agustus 1945. Jika dilihat dari kacamata pandangan NU atas berbagai bidang
kenegaraan kita selama ini secara linear, kita dapati kulminasinya dalam
penerimaan asas Pancasila oleh NU. Setelah keharusan mempertahankan
nusa-bangsa, kemudian negara dan pemerintahan, maka pada akhirnya diterimalah
supremasi ideologi nasional dalam kehidupan kolektif bangsa secara keseluruhan,
dengan menjadikan ideologi tersebut sebagai asas bagi semua organisasi politik
dan kemasyarakatan.
Namun, penerimaan atas Pancasila
sebagai asas itu juga dilakukan secara keagamaan, da1am arti mendudukkan agama dan
Pancasila pada tempat masing-masing, tanpa harus dipertentangkan. Antara
Pancasila sebagai landasan ideologis-konstitusional dan dan aqidah Islam
menurut faham ahlus sunnah waljama'ah sebagai landasan keimanan, tidak
dapat dipertentangkan, karena pada hakikatnya orang berasas Pancasila karena
kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa (dan dengan demikian mengambil salah
satu dasar dalam Pancasila), sedangkan ber-aqidah adalah tindakan
mengkonkretkan Pancasila dalam salah satu bidang kehidupan bangsa, yaitu
kehidupan beragama. Hubungan yang saling mendukung antara aqidah dan asas, dus
antara Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi, adalah hubungan
saling mengisi yang kreatif, yang akan menyuburkan kedua-duanya.
Sudah tentu permasalahannya tidak
berhenti pada titik ini saja. Masih banyak pertanyaan yang harus dijawab, dan
semuanya harus dijawab dari sudut pandangan keagamaan. Bagaimanakah kedudukan
syari'ah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, jika asas Pancasila telah
diterima? Sampai di manakah wewenang negara dalam mengatur kehidupan beragama,
dan sebaliknya di manakah ditarik garis batas wewenang agama untuk mencampuri
urusan negara? Bagaimanakah pembedaan wewenang itu dapat dilakukan, tanpa
membuat negara kita menjadi negara sekuler? Deretan pertanyaan itu barulah
merupakan sebagian kecil saja dari hal-hal yang masih harus dicarikan
pemecahannya oleh NU di masa datang. Hanya dengan mampu memberikan jawaban yang
tepat sajalah NU akan mampu memelihara peranannya dalam kehidupan bangsa, dan
mampu memimpin pengembangan kehidupan kaum muslimin, seperti dilakukannya
selama ini. Lestarinya peranan konstruktif NU itu hanyalah dapat dipertahankan,
jika memang NU sendiri mampu menjalankan peranan yang berubah-rubah namun tetap
dalam jalur linear seperti diperlihatkannya selama ini.
Syari'ah, dalam artinya semula, adalah
totalitas cara hidup yang dianut oleh kaum muslimin. Kemudian ia menyusut dalam
pengertian, dan digunakan hanya untuk sejumlah aturan formal yang diundangkan
melalui perangkat kenegaraan. Kemudian lambat-laun ia lebih banyak diartikan
sebagai hukum agama atau fiqh. Dan pengertian inilah yang kemudian dibakukan
oleh NU secara intern. Dengan tidak menutup kemungkinan adanya
partikel-partikel syari'ah yang diundangkan, seperti halnya Undang-Undang
Perkawinan no. 1 tahun 1974, pada dasarnya syari'ah dalam pengertian orang NU
adalah pengertiannya sebagai hukum agama itu. Umpamanya saja, akomodasi
terhadap kepercayaan setempat (al-'urf, al-'adah) tidak boleh
bertentangan dengan syari'ah, dengan sendirinya arti istilah syari'ah itu di
sini adalah hukum agama. Jadi, terbentuknya syari'ah tidak tergantung kepada
penumbuhan undang-undang negara, walaupun tidak tertutup upaya untuk melakukan
hal itu. Dalam konteks kehidupan bernegara kita, dengan sendirinya pengertian
syari'ah sebagai hukum agama itulah yang relevan, bukannya sebagai
undang-undang negara. Dengan demikian pemberlakuan syari'ah adalah melalui
persuasi kepada masyarakat, bukannya melalui pengundangan, atau dengan kata
lain melalui kesadaran masyarakat sendiri, atau lebih tepatnya sebagai etika
sosial atau akhlaq masyarakat (sudah tentu akhlaq dalam artinya yang luas,
bukannya sekedar tatasusila belaka). Kemungkinan melalukan fungsionalisasi
syari'ah dalam konteks kontemporer seperti dikemukakan di atas adalah salah
satu contoh yang dapat dikemukakan sebagai model pemecahan masalah di masa
datang, bila diinginkan rekonsiliasi antara agama dan ideologi bangsa ingin
dikembangkan secara kreatif.
Rancu
Hubungan antara agama dan negara, jika
diikuti alur pemikiran keagamaan di atas, haruslah dirumuskan lebih jelas lagi.
Pada saat ini seringkali kita lihat pemerintah mengambil sikap keagamaan
tertentu dari sudut tertentu agama terhadap sesuatu persoalan, seperti kasus
keluarga berencana. Memang kita memerlukan keluarga berencana, dan ada
pandangan keagamaan yang menyatakan perlunya keluarga berencana, tetapi ada
pula pendapat sebaliknya. Sebenarnya negara tidak boleh mengambil hanya satu
pendapat, dan memperlakukan pendapat itu seolah-olah sebagai yang benar, karena
itu berarti pendapat yang berbeda sama dengan salah. Hubungan antara agama dan
negara lalu menjadi bersifat manipulatif, dalam arti agama membenarkan apa yang
diingini negara. Agama dengan demikian lalu berfungsi suplementer terhadap
kerangka acuan pemikiran yang dikembangkan oleh negara, seperti halnya dalam
strategi pembangunan kita yang sepenuhnya disandarkan pada asumsi-asumsi
materialistik, seperti tingkat pendapatan rata-rata pertahun perkapita, produk
domestik bruto dan sebagainya. Untuk memperoleh kedudukan dominan terhadap
agama itu, seringkali negara harus menerima manipulasi dari pihak agama pula,
walaupun dalam hal-hal tidak fundamental, seperti pemihakan dalam sengketa
intern sesuatu agama (seperti terlihat dalam kasus antara Walubi dan aliran
Nichiren di kalangan ummat Buddha akhir-akhir ini). Atau pengambilalihan
wewenang intern ummat oleh pemerintah, seperti dalam kasus pembentukan sekian
banyak badan amil zakat atas inisiatif pemerintah daerah. Sebenarnya, pemerintah
sama sekali tidak berhak memungut zakat, karena Republik Indonesia bukan negara
Islam dan syari'ah tidak diberlakukan sebagai negara in toto. Dalam
keadaan demikian, ia tidak memiliki fungsi yuridis, kecuali dalam hal-hal
yuridisial belaka, seperti mengatur perkawinan-perceraian-rujuk, di samping
warisan dan wakaf serta hibah (endowment). Dalam hal yang sifatnya
non-yuridisial, seperti misalnya zakat, negara sama sekali tidak memiliki hak
untuk itu, karena memang tidak akan mungkin ada legislasi di bidang itu. Namun,
dalam praktek hal itu telah dilanggar, dengan akibat menularnya praktek-praktek
korup dari aparat pemerintahan ke dalam pola pengelolaan zakat. Jika diinginkan
efesiensi dan pelaksanaan lebih efektif, seharusnya dilakukan cara-cara
persuasi dan edukasi bagi ummat, bukannya dengan pengambilalihan peranan begitu
saja. Ekses yang telah terjadi saat ini jelas menunjukkan kerugian besar dalam
penerapan zakat sebagai Rukun Islam ketiga dewasa ini.
Sudah sedemikian jauh kerancuan orang
tentang hubungan antara negara dan agama, sehingga tumbuh pula tuntutan
masyarakat yang tidak pada tempatnya, seperti gagasan menjadikan zakat dan
pajak dalam hubungan substitusional. Jika telah membayar pajak maka tidak harus
membayar zakat, demikian pula sebaliknya. Malaysia dikemukakan sebagai contoh
bagi hal ini. Tentunya hal itu tidak tepat diberlakukan di Indonesia, karena
memang Malaysia menetapkan Islam sebagai agama resmi negara dan Indonesia tidak
demikian halnya. Di samping itu, baik zakat maupun pajak memiliki aturan-aturan
teknisnya sendiri, yang tidak dapat dibuat bertumpangtindih demikian saja.
Zakat memiliki batas minimal (nisab) dan siklus waktu (haul)
tertentu, untuk menjadi kewajiban.
Jika karena membayar pajak seorang muslim lalu tidak memenuhi batas minimal dalam penghasilannya, lalu tidak membayar zakat, ia tidak bersalah apapun dan tidak meninggalkan kewajiban agama. Kewajiban itu baru bersifat potensial pada saat itu, karenanya tidak ada yang dirugikan jika zakat tidak dibayarkan karenanya. Berbeda halnya dengan pajak, karena potongan atas kewajiban membayar pajak memang sudah ditentukan secara spesifik dalam undang-undang dan peraturan pemerintah, sehingga tidak bisa orang membebaskan diri dari kewajiban membayar pajak kalau ia membayar zakat. Potongan bebas pajak (tax exemption) tidak sampai meliputi zakat, kecuali jika ada peraturan demikian di kemudian hari.
Jika kita telah sampai pada titik ini
dalam hubungan antara negara kita dan agama, maka jelas diperlukan adanya
kejelasan tentang sifat hubungan itu sendiri. Jelas ada pemisahan antara fungsi keagamaan
dan fungsi kenegaraan oleh lembaga yang berlainan. Fungsi kenegaraan
dilakukan oleh pemerintah dalam artian luas, bukan hanya pihak eksekutif
belaka, sedangkan fungsi keagamaan pada dasarnya dilaksanakan oleh
masyarakat. Pemisahan wewenang fungsional antara agama dan negara ini tidak
berarti bahwa negara kita adalah negara yang murni sekuler, selama ia
masih memberlakukan wawasan keagamaan dan mengembangkan spiritualitas
keagamaan dalam batas-batas wewenang fungsionalnya, seperti dalam
memberikan pelayanan keagamaan, menyelenggarakan pendidikan agama, menghindari
hal-hal yang berlawanan dengan ajaran-ajaran umum agama. Jika pun terjadi
proses sekularisasi dalam kehidupan bernegara dalam pelaksanaan pemisahan
fungsional seperti itu, tidak dengan sendirinya negara kita lalu bersifat
sekuler. Kejelasan ini perlu dirumuskan lebih jauh, karena ketakutan akan
hilangnya aspek-aspek keagamaan dari kehidupan pemerintahan kita itulah yang
justeru menimbulkan kebutuhan semu (yang dirasakan sebagai sesuatu yang serius
oleh yang merasakannya) untuk melakukan formalisasi fungsi keagamaan dari
pemerintah di bidang keagamaan, sesuatu yang menyalahi prinsip negara damai/sangga
(dar sulh) yang dianut oleh faham ahlus sunnah wal-jama'ah mengikuti
mazhab Syafi'i, yang diikuti mayoritas kaum muslimin di negeri ini.
Benarkah negara lalu menjadi sekuler, jika ada pemilahan wewenang antara
pemerintah dan masyarakat dalam soal-soal keagamaan dan kenegaraan?
Sekularisasi dalam arti pemilahan wewenang seperti itu harus dibedakan secara
tajam dari sekularisme ataupun situasi sekuler, karena dalam yang belakangan
ini tidak ada hubungan sama sekali antara agama dan negara (bahkan di Amerika
Serikat, Mahkamah Agung melarang upacara do'a dalam kelas).
Dengan sepintas-lintas meninjau
beberapa hal yang harus dipikirkan seperti diuraikan di atas, maka dengan
sendirinya menjadi jelas, bahwa sikap menerima kehadiran Republik Indonesia
sebagai dar sulh yang harus ditaati dan dibela sebagai kewajiban agama,
NU justeru harus aktif memikirkan bentuk-bentuk hubungan yang layak antara
Islam dan negara di masa datang. Tidak dapat lalu NU hanya berpangku tangan
saja, berhenti pada titik penerimaan negara itu sendiri. Aspek-aspek hubungan
itu akan berkembang terus, karena pemerintah sesuatu negara bagaimanapun juga
harus melakukan langkah-langkah pembangunan, yang bagaimanapun juga tidak
mungkin menghindarkan diri dari dampak positif atau negatifnya atas kehidupan
beragama. Sedangkan pola kehidupan beragama juga akan mengalami perkembangan,
yang mau tidak mau akan membawa pengaruhnya sendiri atas kehidupan berbangsa
dan bernegara. Refleksi terus-menerus akan hal itu akan membuat perkembangan
yang terjadi tidak menjauhkan agama dari negara, dan sebaliknya. Konsep dar
sulh adalah konsep yang penuh vitalitas, sehingga ia akan mampu menjawab
banyak tantangan zaman, jika ia dimengerti dengan baik dan dikembangkan dengan
penuh kejujuran sikap.
Terima kasih
Sebuah catatan kecil atas buku ini. Ia
ditulis dengan sikap yang menunjukkan simpati besar kepada upaya (dan
pergulatan yang kadangkala penuh kepahitan dan kegetiran) NU dalam mendudukkan
hubungannya dengan negara dalam konteks pandangan keagamaan. Pendeta Einar
Sitompul telah berhasil menyajikan sebuah eksposisi menarik akan dimensi
keagamaan dari pemikiran kenegaraan kita sebagai bangsa. Karenanya, ia patut
dihargai dan memperoleh gema dalam bentuk kajian lebih lanjut akan dimensi
tersebut di kalangan keagamaan yang lain-lain. Sebagai seorang warga NU, saya
sendiri akan lebih bergembira jika dilakukan pagelaran pemikiran kaum Kristen,
ummat Katholik, jama'ah Muhammadiyah, lingkungan Hindu Dharma dan para pengikut
Sang Buddha. Proses saling belajar antara kita semua tentu akan memperkaya
pengetahuan dan pengenalan kita akan negara kita sendiri, dan masalah-masalah
yang masih dihadapi bangsa kita. Terima kasih warga NU atas eksposisi pendeta
Einar Sitompul ini akan berlanjut dengan ucapan terima kasih serupa kepada
kajian-kajian dari pandangan lain tentang hal yang sama.
Dalam telaahannya, pendeta Sitompul
berhasil mengungkapkan tabir rahasia yang masih banyak menyelimuti persoalan
intern ummat Islam, seperti sebab-sebab keluarnya NU dari Masyumi dalam tahun
1952. Ironisnya, gambaran obyektif tentang hal itu tidak dikemukakan oleh
seorang muslim, melainkan seorang yang beragama lain. Tetapi memang demikianlah
hakikat ilmu pengetahuan, yaitu bahwa obyektivitas ilmiyah harus dipegang
teguh, tanpa menghiraukan siapa yang menyatakannya. Hadis Nabi Muhammad SAW
sendiri menyatakan hal itu dengan gamblang: Lihatlah apa yang dikatakan, jangan
melihat siapa yang mengatakan (unzhur ma qala, wa la tanzhur man qala).
Namun, di balik ekspose pendeta Sitompul atas hal itu, ada sebuah sisi yang
harus dilanjutkan telaahan atasnya: pergulatan NU-Masyumi adalah pergumulan
antara dua kecenderungan, yaitu kecenderungan memperlakukan Islam secara
ideologis ataukah secara theologis. Jika dilihat dari sudut pandangan ini, maka
tidak ada yang perlu disesalkan atau disayangkan. Jika seandainya dominasi
Masyumi atas kepemimpinan ummat Islam dapat dipertahankan, sudah tentu
perbenturan lebih keras antara Islam dan Republik Indonesia (sebagaimana difahami
oleh banyak kalangan di luar 'golongan Islam') tentu akan lebih keras lagi.
Yang dibubarkan tentu bukan hanya Masyumi saja, tetapi keseluruhan gerakan
Islam akan mengalami akibatnya. Dalam keadaan demikian, tentu tidak tersedia
kekuatan cukup untuk melakukan refleksi tuntas seperti dilakukan NU dan
organisasi-organisasi Islam lainnya selama tiga dasawarsa belakangan ini. Jadi
terdapat hikmah dalam kejadian pecahnya NU-Masyumi itu, yang sekaligus
memberikan peringatan keras kepada kita untuk tidak mencoba-coba lagi menyusun
kepemimpinan tunggal bagi ummat Islam (apakah itu dalam bentuk langsung maupun
tidak, seperti dilakukan MUI saat ini). Kepemimpinan tunggal yang terpusat
diperlukan hanya oleh orientasi ideologis belaka. Yang diperlukan adalah upaya
terus-menerus untuk mencari konsensus melalui kepemimpinan yang beragam.
Hakikat kebutuhan akan jenis
kepemimpinan ummat yang tepat ini tampaknya masih kurang difahami, termasuk
oleh pihak pemerintah sendiri. Karenanya, sering dikemukakan ajakan dan anjuran
agar dijauhkan perbedaan dan dicari titik-titik yang menyatukan ummat. Walaupun
kedengarannya baik dan mulia, ajakan seperti itu dengan segera akan menyimpang
dari arah yang seharusnya, yaitu pemudahan cara mencari konsensus di kalangan
ummat. Kasus Majlis Ulama Indonesia dapat dikemukakan dalam hal ini. Sebagai
wahana pencarian konsensus, akhirnya ia bergerak dengan momentumnya sendiri,
memaksakan pendiriannya atas orang lain dan mengajukan klaim seolah-olah
pendiriannya mewakili pendirian ummat Islam secara keseluruhan. Kecenderungan
ini tampak dalam beberapa kasus, seperti kasus 'lemak babi' di suku terakhir
tahun 1988. Klaim yang diajukannya ternyata kosong belaka, terbukti dari reaksi
masyarakat yang tidak mengindahkan pendapat MUI. Adalah sangat menarik untuk
melihat bahwa justeru Muhammadiyah dan NU sebagai dua organisasi Islam dengan
pendukung terbanyak tidak mengeluarkan sikap secara terbuka dalam masalah itu.
Merosotnya wibawa MUI karena kasus tersebut merupakan peringatan bahwa dalam
negara menurut konsep dar sulh, seperti Republik Indonesia, tidak ada
pihak yang dapat memaksakan fatwa atas ummat. Karenanya, tidak perlu dilakukan
upaya penawaran fatwa secara berlebih-lebihan dan demonstratif, karena tokh
akan muncul juga fatwa (atau sikap lain yang tidak difatwakan, seperti sikap
diam dalam kasus 'lemak babi'). Ummat tidak mengenal lembaga supra yang
melindih lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya, dan semakin cepat hal ini
disadari semua pihak akan semakin baik kehidupan beragama berkembang di negeri
ini.
Kata pengantar ini ditutup dengan
penghargaan atas karya tulis pendeta Sitompul yang berada di tangan pembaca
ini, semoga ia diikuti karya-karya lain yang berharga bagi perkembangan
pemikiran keagamaan kita di bumi Nusantara ini.
Jakarta, 5 Januari 1989
* Abdurrahman Wahid adalah Ketua
Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ularna.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar