BAB II
Lahirnya Nahdlatyul Ulama
Sebagai Organisasi Keagamaan (Lanjutan)
B. Ahlusunnah Wal Jamaah
Kesetiaan pada tradisi ditegaskan oleh
NU dengan menyatakan dirinya tergolong pada Ahlusunnah wal jamaah yang
berarti penganut tradisi (kebiasaan) nabi Muhammad sebagaimana yang dilakukan
oleh mayoritas umat Islam.(34) Ingin ditegaskan bahwa NU lebih mengutamakan
tradisi daripada pertimbangan rasional dalam memberlakukan Islam di seluruh
lapangan kehidupan. Ahmad Siddiq menjabarkan: "Ajaran Islam yang murni
sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para
sahabatnya."(35) Dalam pendidikan di madrasah NU, ahlusunnah wal Jamaah,
dirumuskan:
Pengikut ajaran Islam yang berlandaskan
pada: (1) Al Quranul Karim (2) Sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrir) Nabi
Muhammad SAW sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya, (3) Sunnah
Khulafaurrasyidin Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib."(36)
Istilah ini sebenarnya bukanlah istilah
yang baru. Menurut Harun Nasution sudah berkembang sebagai reaksi terhadap
ajaran Mu'tazilah (yang sering disebut kaum rasional Islam) yang muncul
kira-kira abad pertama dan kedua Hijrah.(37) Mu'tazilah bukan rasionalis dalam
bidang theologi tetapi juga rasionalis dalam menilai sumber agama Islam seperti
hadis-hadis,
Selanjutnya kaum Mu'tazilah tidak
begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan karena mereka tidak
percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena mereka ragu-ragu akan
keoriginilan hadis-hadis yang mengandung sunnah atau tradisi itu. Oleh karena
itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang teguh pada
sunnah.(38)
Walaupun golongan ini pernah
berpengaruh kuat beberapa saat dalam masa dinasti Abbasiyah tetapi karena
ajarannya yang rasional dan filosofis (pengaruh filsafat Yunani), ia tidak
mendapat pengaruh luas di kalangan rakyat.(39) Terkenal dalam sejarah Islam dua
orang theolog pembela ahlusunnah wal jamaah seperti al-Asy'ari (873-935
M) dan al-Maturidi (?- 944 M).(40)
Bagi NU memberlakukan ajaran Islam
menurut aliran ahlusunnah wal jamaah tidak terlepas dari pengakuan
terhadap ajaran keempat mazhab Islam (Hanafi, Maliki, Syafii dan
Hambali) dan peranan bimbingan para ulama. Hal ini ditegaskan oleh Hasyim
Asyari perumus pengertian ahlusunnah wal jamaah, seperti yang
dirumuskannya dalam Muktamar III (1928) — yang kemudian menjadi Muqadimah
Qanun Asasi Nahdlatul Ulama (Pembukaan Anggaran Dasar Nahdlatul
Ulama):
Hai para ulama dan pemimpin yang takut
kepada Allah dari kalangan Ahlusunnah wal jamaah dan pengikut mazhab imam
empat! Kalian sudah menuntut ilmu agama dari orang-orang yang hidup sebelum
kalian, begitu pula generasi sebelumnya dengan bersambung sanadnya sampai pada
kalian; dan kalian harus melihat dari siapa kalian mencari atau menuntut ilmu
agama Islam.
Berhubung dengan caranya menuntut ilmu
pengetahuan sedemikian itu, maka kalian menjadi pemegang kuncinya, bahkan
menjadi pintu-pintu gerbangnya ilmu agama Islam. Oleh karena itu janganlah
memasuki suatu rumah kecuali melalui pintunya. Siapa saja yang memasuki suatu
rumah tidak melalui pintunya maka pencurilah namanya.(41)
Pengertian ahlusunnah wal jamaah menjadi
berkembang; ia merupakan penegasan kaum tradisional menanggapi gerakan
pembaharuan bahwa memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan Quran dan Hadis
tapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama mazhab, hadis (sunnah)
dan akhirnya pada sumber utama Quran itu sendiri. Itulah sebabnya pengertian ahlusunnah
wal jamaah bagi NU adalah "para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan
ijma' ulama."(42) NU tidak menentang ijtihad (penalaran) tapi
memikirkannya dalam konteks bagaimana suatu ijtihad dimengerti oleh umat.
"Para kyai berpendapat bahwa Quran dan Hadis disarnpaikan kepada kaum
muslimin dalam bahasa yang tidak mudah dipahami dan penuh dengan simbolisme
yang dapat lebih mudah dimengerti melalui tafsiran-tafsiran yang diberikan oleh
para imam dan ulama-ulama terpilih".(43) Dengan kata lain para ulama
memikirkan bagaimana ajaran Islam dapat dengan mudah dimengerti dan
dilaksanakan oleh umat. Dengan demikian NU telah mengembangkan sebuah
metodologi tersendiri dalam mengembangkan ajaran Islam. Dalam pengakuannya
terhadap keberadaan mazhab dan tradisi (kebiasaan-kebiasaan sebelumnya),
NU tidak akan mudah jatuh kepada sikap fundamentalis karena ia mempunyai
banyak rujukan untuk memberikan fatwanya. Dengan menerima keempat mazhab NU
menjadi golongan yang berpengaruh luas; ia mampu menghimpun berbagai tradisi
dan sekaligus potensi!
Untuk lebih memahami makna ahlusunnah
wal jamaah perlu disimak penjabaran K.H. Bisyri Musthafa.
- Dalam bidang
hukum-hukum Islam, menganut ajaran-ajaran dari salah satu mazhab empat.
Dalam praktek, para kyai adalah penganut kuat daripada mazhab Syafi'i.
- Dalam soal-soal
tauhid, menganut ajaran-ajaran Imam Abu Hassan Al-Asyari dan Imam Abu
Mansur Al Maturidi.
- Dalam bidang
tasawwuf menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim Al-Junaid.(44)
Mengapa dikatakan NU penganut kuat mazhab Syafi'i
dalam bidang hukum padahal ia adalah pembela ajaran empat mazhab? Farouq
Abu Zaid dalam bukunya Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis,
meruuskan watak para pendiri keempat mazhab dan menyebutkan Syafi'i
sebagai Imam Kaum Moderat.(45) Watak Moderat itu disebabkan oleh latar belakang
Syafi'i(767-820) sendiri yang mengembangkan ajarannya semula di Mekah dan
Madinah kemudian di Bagdad dan terakhir di Mesir sehingga ajaran Syafi'i
berkembang sesuai dengan masyarakat sekitarnya.(46) Mazhab Syafi'i bila
perlu terbuka menerima suatu kebiasaan yang telah berlaku sebelumnya berlandaskan
sebuah hadis yang berbunyi: "Apa yang dianggap oleh orang-orang Islam itu
baik, maka ia di sisi Allah juga baik".(47) Karena itu dengan menegaskan
diri menganut mazhab Syafi'i "dimungkinkan adanya pilihan untuk
menyesuaikannya dengan keadaan kehidupan yang nyata".(48) Inilah yang
membuat NU mampu tampil dalam segala situasi dan dalam merumuskan sikapnya
tidak terpaku pada sesuatu keputusan masa lalu. Ia tidak menggantungkan diri
pada kemampuan penalaran seseorang (individual interpretaion) yang
justru akan memberi peluang kepada perdebatan atau perselisihan, yang pada
akhirnya akan membingungkan masyarakat (awam). Kalau ia dianggap lamban atau
kaku menurut pandangan luar, sebenarnya tidak tepat, karena para ulama hnya
ingin menyatakan sikap yang berhati-hati menilai sesuatu. Berhubung luas dan
panjangnya tradisi yang mesti diperhatikan maka NU mau tidak mau lebih
mengutamakan pendapat bersama. Dengan sendirinya pula peranan ulama (sarjana
agama), bukan kaum intelektual (sarjana non-agama) yang menentukan langkah-langkah
NU! Sesuai dengan pilihannya itu juga NU mampu akrab dengan kultur Indonesia
dan hal itu mempunyai dasar yang kuat dalam tradisi Islam!
Ajaran Tauhid (mempercayai Tuhan
sebagai yang Esa) mempunyai arti luas, bukan hanya sekedar tentang sifat Tuhan
saja. Ia merangkum segala sesuatu yang berhubungan dengan kepercayaan,
pembuktiannya dan sumber-sumbernya.(49) Tauhid adalah "merupakan inti
ajaran Islam. Tauhid berarti hanya ada Satu Tuhan Yang Maha Tinggi di alam
semesta ini. Dia Maha Kuasa, Maha Ada dan merupakan Pemelihara alam semesta dan
umat manusia."(50)
Sebagaimana kita ketahui Mu'tazilah,
kaum rasional Islam yang ditentang oleh Al-Asyari dan Maturidi. Mu'tazilah
adalah tonggak pertama pertemuan Islam dengan filsafat Yunani, tema-tema pokok
ajaran Islam sejak Mu'tazilah mulai diterangkan dalam bahasa filsafat.(51)
Sejak kemunculannya, Islam mulai mengkonsolidasi ajarannya, yang disebut oleh
Watt "Konsolidasi Faham Sunni", karena perhatian mulai dicurahkan
terhadap Sunnah Nabi.(52) Konsolidasi itu mencapai puncaknya pada kedua
tokoh yang tersebut di atas. Dari keduanya al-Asyari yang paling utama.
Ada empat pokok penting yang ditekankan
oleh Al-Asyari dalam menentang kaum Mu'tazilah. Pertama, karena Quran
adalah sabda Tuhan maka dengan sendirinya adalah kekal sifatnya. Kedua,
ungkapan antrhopomorfis tentang Tuhan (seperti wajah dan tangan Tuhan)
harus diterima seadanya tanpa perlu diartikan secara kiasan. Ketiga, demikian
pula tentang keakhiratan harus diterima seadanya. Keempat, kehendak bebas
manusia diajarkan oleh Mu'tazilah ditolak karena dianggap mengurangi
kekuasaan Allah; Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia tetapi manusia
memperolehnya (acquisition), karena itu manusia bertanggung jawab atas
perbuatannya.(53) Al-Asyari sebagai bekas pengikut Mu'tazilah mampu
mengembangkan argumen rasional, tetapi selain itu yang penting Quran dan Sunnah
adalah landasan argumennya.
Tentang al-Asyari dan argumennya, Watt
menyatakan:
Selain dalil-dalil Quran dan Sunnah ia
juga mendasarkan argumen-argumen lainnya pada hasil pengamatan dan pengetahuan
umum atau pada kesepakatan kaum Muslimin. Jadi berbeda dengan tampak luarnya,
al-Asyari benar-benar memperkenalkan dalil-dalil atau argumen rasional, dan
sekelumit ragi ini dengan segera menyebar ke seluruh tubuh teolog Islam.(54)
Menarik pula untuk dicatat bahwa bagi
Al-Asyari seorang pelaku dosa besar tetap seorang mukmin (orang yang beriman)
tetapi karena dosa besar yang dilakukannya ia menjadi fasiq ( percaya
kepada Tuhan tetapi tidak mengamalkan perintahNya).(55) Dengan sikap-sikap
demikian orang-orang tidak mudah jatuh ke dalam fanatisme terhadap sesama
muslim.
Berdasarkan theologi Al-Asyari NU
merumuskan karakter utama sebagai ahlusunnah wal jamaah. Choirul Anam
dengan mengutip Achmad Siddiq rnerumuskan tiga karakter utama NU,
- Keseimbangan
antara dalil aqli (rasio) dan dalil naqli (Al-Quran dan
Hadits), dengan pengertian dalil aqli ditempatkan di bawah dalil naqli.
- Berusaha sekuat
tenaga memurnikan aqidah dari segala campuran aqidah di luar
Islam.
- Tidak mudah
menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas
seseorang yang karena satu dan lain sebab belum dapat memurnikan aqidah
semurni-murninya.(56)
Melalui al-Asyari NU telah menunjukkan dirinya sebagai ahlusunnah
wal jamaah di Indonesia dari serangan kaum rasional yaitu kaum
pembaharuan (modern). Ia seolah-olah ingm menegaskan bahwa kaum pembaharuan
adalah kaum Mu'tazilah baru. Sikap NU terhadap kaum pembaharuan
mempunyai rujukan historis yang berwibawa. Para ulama bukanlah golongan yang
reaksioner dalam menanggapi perkembangan Islam setelah berhembusnya angin
pembaharuan, melainkan ia ingin menegaskan sikapnya yang kritis dan sedapat
mungkin berusaha menjaga agar perkembangan Islam selalu dalam batas-batas yang
dianggap paling benar secara keagamaan. Dengan mengemukakan al-Asyari maka NU
telah menunjukkan bahwa ia memahami siapa dirinya dan mengetahui dengan
mendalam sejarah perkembangan Islam!
Penegasan bahwa NUmenganut tasawuf
(sufisme) sudah tentu bukan hal yang ganjil mengingat perkembangan Islam di
Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh sufisme. Nurcholis Majid dalam
tulisannya 'Pesantren dan Tasauf' menilai bahwa perkembangan tasawuf di
pesantren-pesantren (yang umumnya bernaung di bawah NU) selalu dijaga agar
serasi dengan doktrin ortodoks atau ahlu sunnah wal jamaah, berkat karya
al-Ghazali yang sangat dikenal di pesantren.(57) "Abu Hamid al-Ghazali
(1058-1111) adalah pengikut al-Asyari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya
pada umat Islam yang beraliran Ahlu Sunnah dan Jamaah."(58)
Pemilihan ajaran Abu Qosim al-Junaid
sebagai sandaran ajaran dalam bidang tasawuf merupakan bukti bahwa NU kritis
menilai sufisme. Al-Junaid (meninggal 901) adalah seorang tokoh sufi asal
Bagdad yang juga menguasai Hadis dan Fiqih (jurisprudensi).(59)
Sebagaimana sudah menjadi watak umumnya, sufisme menekankan kesadaran
mistik,(60) maka tak jarang ia dituduh mengabaikan syari'at, sehingga
pengikut-pengikut sufisme sering bentrok dengan kaum sunni sebagai mayoritas
Islam. Namun demikian pada abad IX dalam tubuh sufisme muncul usaha-usaha untuk
"menjaga Sufisme agar tetap berada dalam batas-batas yang wajar." Dan
dari antara mereka yang mengusahakan itu adalah al-Junaid dari Bagdad yang
dijuluki oleh Rahman sebagai "tokoh kritik yang besar dalam sufisme yang
awal serta perumus sufisme ortodoks."(61) Dengan mengutuip L. Massignon,
Rahman merumuskan tentang al-Junaid,
Junaid menjadikan klaim-klaim sufi
sebagai sasaran kritik yang tak henti-hentinya dalam batas-batas pengalaman
mereka maupun dalam praktek-praktek lahiriah mereka. Demikianlah, ia menolak
untuk memberikan validitas obyektif apapun kepada konsep Sufi tentang
'tahapan-tahapan' dalam kesadaran manusia . . . Ia juga berusaha melakukan
tindakan balasan terhadap kecenderungan-kecenderungan bergaya orang-orang yang
acuh terhadap kepercayaan bentuk dan peradaban agama dalam praktek sufi dengan
mengemukakan bahwa 'pengetahuan' ('ilmu) mempunyai prioritas atas gnosis
(ma'rifah) dan larangan memiliki prioritas terhadap pembolehan.(62)
Lebih lanjut dia mengatakan,
Sebagai hasil dari proses ini, doktrin
sufi membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori yang sebagian saling
bertentangan dan sebagian juga saling melengkapi, dengan tujuan untuk mengintegrasikan
dan berlaku adil terhadap kesadaran mistik maupun kesadaran
kenabian, pengalaman dan kehidupan batin dari ruh dengan Syari'ah sebagai
lembaga.(63)
Upaya mengintegrasikan sufisme dengan
ortodoksi (sunni) mencapai puncakaya pada tokoh monumental al-Ghazali
(meninggal 1111) yang pengaruhnya "tidak hanya membangun kembali Islam
ortodoks, dengan menjadikan sufisme sebagai bagian integral dari padanya, tapi
ia juga merupakan pembaharu sufisme yang besar, yang membersihkannya dari unsur
yang tak Islamis dan mengabdikannya kepada paham Islam yang ortodoks."(64)
Dengan memilih al-Junaid untuk ditengahkan (dari sekian tokoh sufi yang
alirannya terdapat di Indonesia), NU menerima kehadiran sufisme dan berupaya
agar sufisme selalu dalam wawasan sunni.
Ketiga pokok rumusan Bisyri Musthafa di
atas, tauhid, mazhab dan tasauf, dijabarkan oleh Choirul
Anam sebagai Imam (yang berintikan tauhid), Islam (yang
berlandasarkan syari'at menurut ketetapan mazhab) den Ihsan (kesucian
jiwa yang didambakan oleh sufisme) "Ketiga-tiganya: Iman, Islam dan
Ihsan harus diimplementasikan dalam perbuatan nyata secara serempak,
terpadu den berkeseimbangan."(65)
NU rneletakkan dasar religiusnya
sebagai organisasi, yang membuat ia bersifat terbuka, fleksibel dan adaptif.
Namun demikian ia Juga mampu bersikap radikal apabila dirasakan perkembangan di
luar dirinya mengancam keberadaannya sebagai golongan tradisional, sehingga
Nakamura dalam pengamatannya menjuluki NU sebagai tradisionalisme radikal.(66)
NU menerapkan doktrin ahlusunnah wal
jamaah secara baru. Kalau semula ia dimengerti sebagai reaksi golongan
ortodoksi (sunni) terhadap Syiah, maka bagi NU merupakan reaksi terhadap
golongan pembaharuan.(67) Pengertian Ahlusunnah wal jamaah bagi NU
adalah pengakuan terhadap tradisi Islam dalarn konteks Indonesia yaitu
bagaimana Islam masuk ke Indonesia dalam tradisi mazhab dan sufisme. Ia tidak
membuat polarisasi antara ortodoksi dan sufisme tetapi mengharmoniskannya.
Pengakuannya terhadap sufisme membuat NU mempunyai potensi menerima
elemen-elemen yang baru bersifat lokal karena sudah menjadi watak sufisme
terbuka terhadap elemen lokal sepanjang dianggap meningkatkan intensitas
keberagamaan, dalam pengakuan terhadap tradisi maka NU berusaha menjaga setiap
perkembangan tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Seperti para wali, NU membiarkan amal
kebudayaan yang ada hidup dalam masyarakat, sambil mengisinya dengan jiwa dan
semangat ajaran Islam. Dan malah salah satu sumber kekuatan NU, sehingga
kebangkitan ulama yang ditandai oleh lahirnya NU tidak serta merta berhadapan
dengan budaya yang ada di masyarakat, tetapi menyatakan aspirasi kebudayaan
dengan aspirasi keislaman.
Inilah antara lain yang menyebabkan NU
secara sangat cepat diterima oleh masyarakat Islam di Indonesia. Dan pada
gilirannya nanti, kita melihat, NU kemudian mampu berkembang menjadi organisasi
keagamaan yang terbesar di Indonesia.(68)
______________________
34. Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta, Universitas Indonesia, 1986), hlm. 64. Untuk selanjutnya disebut, Nasution, Teologi Islam.
35. Anam, op. cit, hlm. 135.
36. Ibid., hlm. 137.
37. Nasution, Teologi Islam, hlm. 61.
38. Ibid., hlm. 63-64.
39. Ibid., hlm. 63, Bandingkan, W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi Islam dan Filsafat Islam, terjemahan dari Islamic Theology and Philosophy, (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 73-74. Untuk selanjutnya akan disebut, Watt, Pemikiran.
40. Lihat, Ibid., hlm. 61-78.
41. Anam, op.cit., hlm. 61 Cetak tebal dari saya. Naskah Muqadimah dari Hasyim Asyari ini juga menjadi lampiran Keputusan Muktamar ke 27 1984 di Situbondo. Lihat, Muktamar Situbondo, hlm. 161-172.
42. Dhofier, op,cit., hlm. 148.
43. Ibid., hlm. 151.
44. Ibid., hlm. 149; Umar Hasyim dalam bukunya Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlusunnah Wal-Jama'ah? menekankan pengertian Ahlu Sunnah Wal-Jamaah dianut oleh seluruh umat Islam kalangan Sunni dan menolak anggapan bahwa ahlu sunnah wal jamaah hanya dianut oleh golongan tradisi saja. Lihat, Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah?, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 5-6. Secara terang-terangan Hasyim menolak ajaran Al-Junaid yang dinilainya sesat, bahkan ia menolak kehadiran sufisme dalam golongan yang disebut ahlusunnah wal jamaah. Lihat, Ibid., hlm. 194-204.
45. Farouq Abu Zaia. Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, terjernahan dari 'Al-Syari'at al-Islamiyah bayn al-Muhafizhin wa'l-Mutajaddidin', (Jakarta P3M 1986) hlm. 28.
46. Ibid., hlm. 30-31.
47. Dikutip di dalarn Jalaluddin Abdurrahman A.S., Lima Kaidah Pokok dalam Fikih Syafi'i, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 163; Bandingkan, hlm. 163-181.
48. Dhofier, op.cit. hlm. 159.
49. Lihat pengertian Tauhid dalam Kamus Istilah Agama, hlm. 369-370.
50. Kurshid Ahmad, "Islam: Prinsip-prinsip Dasar dan Karakteristik-karakteristiknya", dalam Pesan Islam, ed. Kurshid Ahmad, terjemahan dari 'Islam: Its Meaning and Message', (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 14-15.
51. Lihat, Watt, Pemikiran, hlm. 74. "Di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan serta tehnik sekarang, ajaran-ajaran kaum Mu'tazilah yang bersifat rasional itu mulai timbul kembali dikalangan umat Islam terutama di kalangan kaum terpelajar. Secara tak sadar mereka telah mempunyai faham-faham yang sama atau dekat dengan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Mempunyai faham-faham yang demikian tidaklah membuat mereka ke luar dari Islam," Nasution, Teologi Islam, hlm. 60.
52. Ibid., hlm. 88-98.
53. Ibid, hlm. 103-104.
54. Ibid., hlm, 102. Cetak tebal dari saya.
55. Nasution, Teologi Islam, hlm. 71; untuk Pengertian istilah mukmin dan fasiq saya mengikuti, Kamus Istilah Agama, hlm. 90-91, 225.
56, Choirul Anam, op.cit., hlm. 152. Ketiga karakter itu disimpulkan dalam tiga istilah: At Tawassuth, berarti pertengahan, Al I'tidal, berarti tegak lurus dan At Tawaazun, berarti keseimbangan. Ketiganya berasal dari ayat-ayat Quran Sura Al-Baqarah: 143, Al Maidah: 9 dan Al Hadid: 25. Ibid,, hlm. 151 lihat catatan no. 30.
57. Rahardjo, ed., op,cit., hlm. 103-105. "Kekuatiran perpisahan tasauf dan syariah ahlussunnah wal jama'ah memang selalu ada. Karena tu dalam salah satu kongresnya, Nahdlatul Ulama yang merupakan tempat bernaung sebagian besar gerakan tasauf di Indonesia, merasa perlu membuat perincian tentang tarekat mana yang sah (mu'tabarah) dan tarekat mana yang tidak sah sehingga tidak boleh diamalkan". Ibid., hlm. 105.
58. Nasution, Teologi Islam, hlm. 73.
59. Abingdon Dictionary, hlm. 392 di bawah "Al-Junayd, Abi'l Qosim".
60. Lihat, Rahman, Islam, hlm. 183-189.
61. Ibid., hlm. 197.
62. Ibid., hlm. 199.
63. Ibid. Cetak miring dari saya.
64. Ibid., hlm. 202.
65. Anam, op. cit., hlm. 169.
66. Mitsuo Nakamura, Agama dan Perubahan Politik, terjemahan dari The Radical Traditionalism of the Nahdlatul Ulama in Indonesia: A Personal Account of the 26th National Congress, June 1979, Semarang, (Surakarta. Hapsara, 1982) hlm. 22-24
67. Dhofier, op. cit., hlm 149. Golongan Syiah muncul akibat pertentangan Khalifah Ali dengan lawannya kelompok Ummayah, setelah Ali terbunuh para pengikutnya menuntut agar kekhalifahan dikembalikan kepada keturunannya (sebagai keturunan nabi Muhammad). Inilah satu-satunya skisma dalam Islam. Dalam perkembangan lebih lanjut Syiah tidak mengakui keutamaan ijma (konsensus) sebagaimana Islam Sunni dan peranan ijma digantikan oleh otoritas imam. Lihat, Rahman, Islam, hlm. 249-256.
68. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 31.
34. Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakarta, Universitas Indonesia, 1986), hlm. 64. Untuk selanjutnya disebut, Nasution, Teologi Islam.
35. Anam, op. cit, hlm. 135.
36. Ibid., hlm. 137.
37. Nasution, Teologi Islam, hlm. 61.
38. Ibid., hlm. 63-64.
39. Ibid., hlm. 63, Bandingkan, W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi Islam dan Filsafat Islam, terjemahan dari Islamic Theology and Philosophy, (Jakarta: P3M, 1987), hlm. 73-74. Untuk selanjutnya akan disebut, Watt, Pemikiran.
40. Lihat, Ibid., hlm. 61-78.
41. Anam, op.cit., hlm. 61 Cetak tebal dari saya. Naskah Muqadimah dari Hasyim Asyari ini juga menjadi lampiran Keputusan Muktamar ke 27 1984 di Situbondo. Lihat, Muktamar Situbondo, hlm. 161-172.
42. Dhofier, op,cit., hlm. 148.
43. Ibid., hlm. 151.
44. Ibid., hlm. 149; Umar Hasyim dalam bukunya Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlusunnah Wal-Jama'ah? menekankan pengertian Ahlu Sunnah Wal-Jamaah dianut oleh seluruh umat Islam kalangan Sunni dan menolak anggapan bahwa ahlu sunnah wal jamaah hanya dianut oleh golongan tradisi saja. Lihat, Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlu Sunnah Wal Jama'ah?, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 5-6. Secara terang-terangan Hasyim menolak ajaran Al-Junaid yang dinilainya sesat, bahkan ia menolak kehadiran sufisme dalam golongan yang disebut ahlusunnah wal jamaah. Lihat, Ibid., hlm. 194-204.
45. Farouq Abu Zaia. Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, terjernahan dari 'Al-Syari'at al-Islamiyah bayn al-Muhafizhin wa'l-Mutajaddidin', (Jakarta P3M 1986) hlm. 28.
46. Ibid., hlm. 30-31.
47. Dikutip di dalarn Jalaluddin Abdurrahman A.S., Lima Kaidah Pokok dalam Fikih Syafi'i, (Surabaya: Bina Ilmu, 1986), hlm. 163; Bandingkan, hlm. 163-181.
48. Dhofier, op.cit. hlm. 159.
49. Lihat pengertian Tauhid dalam Kamus Istilah Agama, hlm. 369-370.
50. Kurshid Ahmad, "Islam: Prinsip-prinsip Dasar dan Karakteristik-karakteristiknya", dalam Pesan Islam, ed. Kurshid Ahmad, terjemahan dari 'Islam: Its Meaning and Message', (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 14-15.
51. Lihat, Watt, Pemikiran, hlm. 74. "Di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan serta tehnik sekarang, ajaran-ajaran kaum Mu'tazilah yang bersifat rasional itu mulai timbul kembali dikalangan umat Islam terutama di kalangan kaum terpelajar. Secara tak sadar mereka telah mempunyai faham-faham yang sama atau dekat dengan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Mempunyai faham-faham yang demikian tidaklah membuat mereka ke luar dari Islam," Nasution, Teologi Islam, hlm. 60.
52. Ibid., hlm. 88-98.
53. Ibid, hlm. 103-104.
54. Ibid., hlm, 102. Cetak tebal dari saya.
55. Nasution, Teologi Islam, hlm. 71; untuk Pengertian istilah mukmin dan fasiq saya mengikuti, Kamus Istilah Agama, hlm. 90-91, 225.
56, Choirul Anam, op.cit., hlm. 152. Ketiga karakter itu disimpulkan dalam tiga istilah: At Tawassuth, berarti pertengahan, Al I'tidal, berarti tegak lurus dan At Tawaazun, berarti keseimbangan. Ketiganya berasal dari ayat-ayat Quran Sura Al-Baqarah: 143, Al Maidah: 9 dan Al Hadid: 25. Ibid,, hlm. 151 lihat catatan no. 30.
57. Rahardjo, ed., op,cit., hlm. 103-105. "Kekuatiran perpisahan tasauf dan syariah ahlussunnah wal jama'ah memang selalu ada. Karena tu dalam salah satu kongresnya, Nahdlatul Ulama yang merupakan tempat bernaung sebagian besar gerakan tasauf di Indonesia, merasa perlu membuat perincian tentang tarekat mana yang sah (mu'tabarah) dan tarekat mana yang tidak sah sehingga tidak boleh diamalkan". Ibid., hlm. 105.
58. Nasution, Teologi Islam, hlm. 73.
59. Abingdon Dictionary, hlm. 392 di bawah "Al-Junayd, Abi'l Qosim".
60. Lihat, Rahman, Islam, hlm. 183-189.
61. Ibid., hlm. 197.
62. Ibid., hlm. 199.
63. Ibid. Cetak miring dari saya.
64. Ibid., hlm. 202.
65. Anam, op. cit., hlm. 169.
66. Mitsuo Nakamura, Agama dan Perubahan Politik, terjemahan dari The Radical Traditionalism of the Nahdlatul Ulama in Indonesia: A Personal Account of the 26th National Congress, June 1979, Semarang, (Surakarta. Hapsara, 1982) hlm. 22-24
67. Dhofier, op. cit., hlm 149. Golongan Syiah muncul akibat pertentangan Khalifah Ali dengan lawannya kelompok Ummayah, setelah Ali terbunuh para pengikutnya menuntut agar kekhalifahan dikembalikan kepada keturunannya (sebagai keturunan nabi Muhammad). Inilah satu-satunya skisma dalam Islam. Dalam perkembangan lebih lanjut Syiah tidak mengakui keutamaan ijma (konsensus) sebagaimana Islam Sunni dan peranan ijma digantikan oleh otoritas imam. Lihat, Rahman, Islam, hlm. 249-256.
68. Yusuf, et al., op. cit., hlm. 31.
Ditulis ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan
Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia
dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul;
kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar