BAB
II
PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN POLITIK DALAM ISLAM
Persoalan politik dalam
sejarah Islam terjadi setelah Nabi Muhammad wafat dalam suatu pertemuan di
teras Bani Sa'idah. Pertemuan itu pada mulanya diselenggarakan oleh golongan
Ansar tetapi kemudian diikuti pula oleh golongan Muhajirin. Menurut kebiasaan
Arab pra Islam suatu dewan suku akan berkumpul setelah pemimpin mereka
meninggal untuk mengangkat pemimpin baru.1 Ini membuktikan walaupun
kebiasaan semacam itu dikecam Nabi Muhammad masih muncul polarisasi struktur
kesukuan lama dalam awal sejarah Islam. Nabi Muhammad sendiri pada dasarnya
tidak menghendaki kebiasaan itu dipelihara terus.2 Hal itu bisa
dipahami dalam kaitan dengan usahanya untuk mengembangkan kesatuan ummah dalam
Islam. Jika pengakuan terhadap kelompok-kelompok kesukuan itu masih dapat
dilihat secara tersurat dalam Piagam Madinah, tetapi bisa dipastikan bahwa hak
hidupnya diarahkan secara sistematis dalam rangka kesatuan Islam.
Perdebatan dalam
pertemuan itu berjalan cukup seru sampai memerlukan waktu tiga hari untuk
akhirnya menetapkan Abu Bakar sebagai khalifah. Golongan Ansar mengusulkan
pemimpin mereka Sa'd Ibn Ubadah untuk diangkat menduduki jabatan itu. Golongan
Muhajirin yang datang kemudian dalam pertemuan berkehendak keras untuk mewarisi
tradisi Nabi Muhammad memelihara kesatuan ummah tidak terpecah dalam
kelompok-kelompok kabilah; dan ini berarti mereka tidak akan bisa mewujudkannya
jika seorang dari golongan Ansar diangkat menjadi khalifah.3
Ternyata di belakang hari tidak seorang pun dari golongan lain mencapai
kepemimpinan puncak, setidaknya sampai kekuasaan 'Abbasiah berakhir.
Banyak pertimbangan
yang diperdebatkan untuk menentukan siapa yang sepatutnya diangkat menjadi
khalifah. Sebagaimana dimaklumi Abu Bakar terpilih. Golongan Ansar mengklaim
kedudukan itu dengan alasan sebagai pelindung Nabi --di tempat mana akhirnya
Nabi menetap sampai akhir hayatnya. Golongan Muhajirin berpendirian, ini tidak
mungkin sebab antara dua kabilah Ansar. Aws dan Khazraj, sulit mengatasi
hubungan internal mereka sendiri.4 Kabilah Quraisy relatif lebih
utuh dan paling mungkin menjaga kesatuan ummah, karena itu klaim golongan Ansar
selanjutnya untuk mendirikan dua kekuasaan ditolak sidang. Atas nama golongan
Ansar Sa'd Ibn 'Ubadah menegaskan: "Kalian amir sendiri dan kami amir yang
lain". Pihak Muhajirin menegaskan: "Kami amir dan kalian wazir".5
Nabi Muhammad sendiri
tidak pernah mengakui secara eksplisit kekuasaan yang dimilikinya merupakan
kekuasaan politik atau kekuasaan kenegaraan; dan nampaknya Nabi pun tidak
terlalu memberi perhatian misi politiknya dalam arti terbatas untuk menciptakan
negara berdaulat.6 Menurut Ibnu Taymiyyah kepemimpinan Nabi Muhammad
telah menyatu dengan risalah kenabiannya.7 Konsekuensi dari pendapat
tersebut ialah bahwa kekuasaan politik Nabi tidak dibatasi wilayah suatu negara
saja. Nabi Muhammad ditaati ummatnya tidak terbatas pada suatu wilayah territorial
maupun waktu. Akan tetapi dalam kenyataannya ketika Nabi Muhammad wafat tahun
623 M adalah seorang Nabi dan penguasa politik yang efektif atas sebagian besar
semenanjung Arabia, dan dibalik itu Nabi pun ditaati ummat yang tidak terbatas
wilayah maupun waktunya. Hanya saja soal yang kedua ini ditegaskan berulang
kali dalam berbagai kesempatan, sedang soal yang pertama tidak sedikit pun
pernah disinggung.8
Sekalipun soal pertama
tidak disinggung secara tegas, namun terhadap soal ini para sahabat menanggapinya
sebagai realitas historis, bahwa kekuasaan politik itu mesti ada dan perlu
dilestarikan dengan tujuan untuk mengatur kehidupan bersama serta menjaga dan
menegakkan agama. Sedang soal kedua, Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah, diterima
oleh sahabat sebagai rahmat karena diangkat Tuhan.
Sementara itu perkembangan
Islam yang pesat menimbulkan berbagai persoalan yang mesti dihadapi. Bermula dari
soal politik mengenai siapa yang hendak dipilih menggantikan Nabi kemudian
berkembang sampai munculnya al-fitnah al-kubra yang berpuncak dengan kematian
dua orang khalifah, 'Usman Ibn 'Affan dan 'Ali Ibn Abi Talib. Masalah sentral
yang berkembang kemudian ialah soal dosa besar, kafir dan mukmin, yang kemudian
melahirkan berbagai konsep dan pemikiran dalam bidang politik, hokum dan
teologi atau kalam. Akan tetapi dalam soal politik, menurut al-Syahrastani,
terjadi perselisihan yang paling besar. "Tidak pernah tejadi pedang
terhunus dan darah mengucur dalam sejarah perselisihan keagamaan seperti yang
terjadi dalam soal keagamaan yang berkaitan dengan politik perebutan
kekuasaan".9 Seiring dengan itu kajian bidang politik
memperoleh perhatian yang cukup besar dalam perdebatan ilmu kalam, kajian
politik menjadi bagian dari kajian kalam. Tidak sedikit buku yang membahas ilmu
kaIam menempatkan kajian politik sebagai bagian penting dari buku itu. Contoh
klasik dari fenomena ini ialah karya al-Asy'ari Maqalat al-lslamiyyin wa
Ikhtilaf al-Musallin sebagai buku kalam yang membahas panjang lebar perselisihan
pendapat dalam bidang politik, demikian pula karya al-Gazali al-lqtisd fi
al-I'tiqad.
Dalam sejarah Islam
kajian politik pada mulanya dilakukan golongan syi'ah sebagai bagian dari
konsep mereka mengenai imamah, bahkan ilmu ini pun kemudian diberi nama itu.
Tetapi karena konsep imamah golongan syi'ah terkait erat dengan konsep teologi,
maka pembahasannya pun termasuk bagian ini. Ke dalam bidang kalam inilah perdebatan
centang perentang berlangsung antara berbagai golongan mazhab, antara syi'ah,
khawaarij, mu'tazilah dan lain-lain.10 Sementara mereka tenggelam
dalam perdebatan yang melelahkan, golongan ahli hadis tersisih dari kancah dan
mereka lebih sibuk menekuni studi sumber pokok agama dengan memilah-milah hadis
untuk disusun sedemikian rupa sehingga ditemui hadis yang benar dan sahih. Bahkan
mereka untuk waktu tertentu lamanya tidak menyenangi dan menghindari pembahasan
kalam.11 AI-Razi menyebutkan dalam karyanya mengenai biografi
al-Syafi'I yang mengatakan "Hati-hatilah Anda dalam kajian kalam! Aku
melihat para ahli mereka saling mengafirkan satu terhadap yang lain. Aku pun
melihat para ahli hadis saling menyalahkan. Namun yang kedua ini lebih ringan
daripada saling mengafirkan".12
Hasil studi hadis kemudian
melahirkan hadis-hadis imamah yang dibukukan dalam koleksi mereka. Bukhari menyusun
hadis ini pada bab kitab al-ahkam sementara Muslim dalam kitab al-imarah, dan
ahli hadis lain dengan berbagai variasi menyusun hadis-hadis temuan mereka
dalam bab al-khilafah fi Quraisy, bab istikhlaf wa tarkih dan lain-lain. Kajian
politik yang dilakukan mazhab sunni muncul belakangan sejalan dengan kemunculan
mazhab ini sebagai peneguhan kembali pemikiran yang dianut para sahabat sebelumnya.
Dari mereka inilah kemudian lahir pendekatan baru dalam bidang politik melalui
pendekatan fikih, pembahasan tentang imamah memperoleh wadah baru sebagai bagian
dari kajian fikih. AI-Syafi'i; merupakan pelopor pendekatan ini ketika untuk
pertama kalinya sebuah buku fikih yang ditulisnya al-Mabsut. menguraikan sebuah
bab tentang imamah dalam kaitannya dengan upaya pelembagaan hukum Islam.13
Dari Al-Syafi'i ini pula masalah imamah memperoleh dasar baru sebagai akibat
dari penemuan suatu teori usul al-fiqh yang di kembangkan untuk menyusun ilmu
fikih berupa ijma'.
Di tengah kemelut
perdebatan keagamaan yang kemudian melahirkan berbagai mazhab dan kelompok itu,
suatu upaya pembenaran dilakukan dengan memanipulasi hadis. Riwayat hadis
disusun sedemikian rupa sehingga suatu pendapat mazhab memperoleh pembenaran
dari hadis tersebut. Keadaan ini dirasakan sangat tidak adil. Terobosan yang
dilakukan al-Syafi'i untuk mencari pemecahan ialah bahwa suatu kebenaran agama
lebih dekat dilihat dari konvensi yang hidup di tengah masyarakat sahabat
daripada hadis-hadis yang berdiri sendiri terlepas dari konteks sosiologis.
Realitas yang hidup dan diterima sebagai suatu yang berlaku di tengah
masyarakat sahabat lebih dapat diterima sebagai sumber hukum Islam daripada
hadis yang ternyata tidak pernah berlaku di zaman sahabat itu. Dari sinilah kemudian
al-Syafi'i merumuskan teori ijma' dan menempatkannya sebagai salah satu sumber
pokok hukum Islam.14 Dan sejak saat itu kajian politik memperoleh
dasar baru, tidak semata-mata merujuk kepada pertimbangan hadis yang ternyata
disisipi kepalsuan dan fanatisme mazhab, tetapi dipertimbangkan pula dari fakta
yang hidup di tengah masyarakat sahabat.
A. IMAMAH, KHILAFAH,
DAN SULTANAH
Ketiga kata tersebut
boleh jadi mempunyai arti yang sama, dan demikianlah agaknya para penulis
modern tidak teramat peduli dengan perbedaan yang mungkin ada di antara ketiga
kata tersebut.l5 Meskipun demikian ada baiknya melacak perkembangan
terbentuknya istilah yang berbeda itu agar lebih memberi kejelasan maknanya.
Imamah dan ummah
berasal dari akar kata yang sama 'amm' berarti kehendak atau maksud.16
Selanjutnya dari akar kata ini terbentuk kata imam yang artinya orang yang diikuti
dan imamah kekuasaan atau kekuatan yang ditaati dan diikuti. Sampai akhir abad
dua Hijriyah istilah imamah belum dipergunakan secara resmi dalam literatur
maupun dalam percakapan sehari-hari, kecuali dalam arti ibadah seperti imam
dalam salat. Istilah ini kemudian muncul pada akhir abad kedua atau permulaan
abad ketiga dalam buku fikih karya al-Syafi'i dan Abu Yusuf. Sejak saat itu istilah
ini menjadi sangat populer dan hampir secara eksklusif dalam kaitannya dengan
politik untuk menyebut khalifah, sedang untuk menyebut pemimpin suatu lembaga lain,
misalnya militer, dipergunakan istilah amir.17 Penggunaan istilah
ini nampaknya juga sebagai reaksi terhadap konsep imamah golongan syi'ah yang
telah berkembang sebelumnya. Al-Safah (w.136/ 754/) khalifah pertama 'Abbasiyah
menyebut dirinya secara tidak resmi dengan sebutan imam dan al-Ma'mun
(w.198/813) mempergunakan secara resmi,18 barangkali tujuannya untuk
menyangkal klaim golongan syi'ah atas imamah 'Ali dan keturunannya.
Mazhab syi'ah berpendapat
bahwa imamah asas terpenting dari agama dan merupakan elemen iman.19
Menurut mereka imamah adalah berkah (lutf) Allah yang dianugerahkan
kepada hambaNya.20 Manusia mampu berbuat baik dan menghindari yang
tidak baik adalah semata karena berkah Allah. Tesis ini kemudian ditarik untuk
merumuskan kesimpulan bahwa seorang imam mutlak diperlukan agar kewajiban dan
larangan agama dapat dilaksanakan dan agar manusia tidak terjerumus ke dalam
dosa dan kejahatan. Menjadi kewajiban Tuhan mengangkat imam untuk melaksanakan
hukum dan ketentuanNya, karena tidak mungkin Tuhan menurut titahNya sendiri
turun tangan secara langsung. Tidak bisa tidak imam yang demikian ini mesti
ma'sum (terlindungi dari salah) karena jika tidak tujuan imamah pasti tidak
akan tercapai. Menurut syi'ah tidak seorang pun memiliki 'ismah (perlindungan
dari salah) setelah Nabi Muhammad kecuali 'Ali. Secara berturut-turut diwarisi
keturunannya sampai imam ke-12 Muhammad al-Muntazar yang menghilang. Sementara
kelompok dari golongan syi'ah yang lain tidak membatasi jumlah imam. Menurut
mereka imam akan lahir setiap waktu sepanjang masa.21
Kata khilafah dari mana
kata khalifah juga terbentuk memang terdapat dalam al-Qur'an, tetapi selalu
dalam konteks pengertian "pewarisan", "penerimaan
pewarisan", atau "penggantian", bukan sebagai institusi politik.22
Sementara itu ada pula pendapat bahwa kata khalifah seperti yang terdapat dalam
al-Qur'an (Q, 2:30; 10:14; 6:165; 7:69; 35:39; dan 27:62) menunjukkan arti
sebagai "penguasa" atau "pengatur", dengan demikian
dipandang dapat berkaitan dengan institusi politik. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa menurut fitrahnya sendiri manusia dengan sendirinya terdorong
untuk membangun kekuasaan ini bagi kepentingan mengatur kehidupan politiknya.
Secara historis tidak bisa dibantah bahwa setelah Nabi Muhammad wafat institusi
politik yang dilembagakan secara formal disebut dengan istilah ini, walaupun
pada mulanya tidak dimaksudkan sebagai nama lembaga politik tertentu, tetapi
lebih berarti sebagai penerimaan atau penggantian dari suatu kekuasaan
terdahulu.23 Abu Bakar sendiri menyebut dirinya Khalifah Rasulillah
yang berarti sebagai pengganti Rasul untuk melaksanakan sebagian dari
tugas-tugasnya, karena tidak mungkin memikul tugas sebagai pembawa risalah (Rasul).
Akan tetapi juga berarti sebagai "pengatur" atau "penguasa"
untuk memimpin masyarakat, sejalan dengan makna kata tersebut di atas.
Sebutan ini kemudian
hari menjadi konvensi yang mapan dan berkembang lebih jauh pada dinasti-dinasti
yang pengaruh Arabnya (atau tepatnya pengaruh Quraisynya) tetap kuat seperti
Abbasiyah, Umayyah maupun Fatimiyyah. Kelembagaan politik dinasti-dinasti ini
secara formal disebut khilafah dan pelakunya disebut khalifah. Adapun ras lain seperti
India, Persia, Turki atau Mongol menggunakan istilah amir atau sultan.
Keengganan para penguasa politik non-Arab menggunakan sebutan khalifah karena
alasan formal yang secara umum diyakini untuk kedudukan itu merupakan monopoli
ras Quraisy yang pada mulanya bersifat tunggal dan sentral. Sejak abad IX Masehi
struktur khilafah tidak lagi tunggal karena munculnya dua khilafah lain, khalifah
di Mesir dan Spanyol. Kata sultan dan
sultah berasal dari akar kata yang sama dengan 'sallata' berarti memberi
kekuasaan, sultan orang yang berkuasa atau mampu, sultah berarti kekuasaan (dalam
arti umum), sultanah lembaga kekuasaan politik (yang dipimpin sultan).24
Kata ini muncul pertama kali sekitar abad ke tiga Hijriyah sebagai gelar
khalifah yang perkasa.25 Gelar ini pun dipakai sebagian khalifah
'Abbasiah antara lain al-Qadir (w.381/991) menyebut dirinya Sultanullah.26
Setelah sejumlah amir dalam khalifah 'Abbasiah juga menggunakan gelar ini, maka
lambat laun gelar itu melembaga sebagai suatu kekuasaan otonom di bawah
khalifah. Ketika zaman keluarga Barmak sekitar abad 9-10 memasuki gelanggang
kekuasaan yang disusul kemudian oleh munculnya Banu Buaih di tengah khilafah
Abbasiah dan kekuasaan defakto di tangan mereka, maka institusi sultanah sudah menjadi
resmi diakui. Bahkan Tughril Bek dari Banu Sayuk resmi menggunakan gelar Sultan
al-Mu'azzam (Sultan Agung).27
Secara efektif memang
akhirnya sultan memegang kendali kekuasaan politik, namun karena mereka tidak
memiliki legitimasi kekuasaan secara sah menurut pandangan hukum agama yang
diyakini, betapapun mereka masih bergantung secara simbolik kepada khalifah. Di
tangan lembaga inilah otoritas keagamaan diakui sebagai pemegang kendali resmi
kekuasaan untuk menjalankan (tanfiz) syari'at Islam. Khalifah merupakan simbol
kekuasaan keagamaan yang sah, sementara sultan hanya pelaksana setelah mendapat
pengesahan khalifah.28
B. KONSEP POLITIK
BERSENDI AGAMA
Suatu hal yang patut
dicatat ialah bahwa setelah Nabi Muhammad mendirikan tatanan sosio-politik
Islam di Madinah, lebih tiga abad kemudian para pemikir hukum baru mulai
berspekulasi menyusun teori politik mereka secara lebih sistematis. Selama periode
sebelumnya belum ditemukan suatu pemikiran politik yang jelas.29
Beberapa orang terkemuka yang penting dikemukakan dari golongan sunni ialah
'Ali Ibn Hasan al-Mawardi (991-1031) dan Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111). Selain
dari dua orang ini juga nama lain yaitu Abu Bakr Muhammad al-Baqillani (w.1013)
dan Taqiyyudin Ibn Taymiyyah (w.1328).
Namun dari dua nama yang pertama itulah beberapa pandangan politik Islam di
Indonesia, khususnya NU, mendasarkan rujukan mereka.
Al-Mawardi pengikut mazhab
syafi'i memulai karir sebagai guru dan hakim di berbagai tempat dan akhirnya menempati
posisi puncak sebagai 'qadi al-qudat'. Karyanya al-Ahkam al-Sultaniyah yang
terkenal itu dipandang sebagai pembelaan kepada khalifah 'Abbasiyah dari
ancaman amir-amir Buwaihi yang secara efektif memegang kontrol kekuasaan dan
administrasi politik khilafah itu.30 Risalah itu dianggap orang
sebagai dasar teori untuk menghambat pengaruh kekuasaan politik para amir
Buwaihi terhadap khalifah yang makin merosot kekuatan politiknya. Walaupun
akhirnya kekuasaan efektif benar-benar berada di tangan para amir Buwaihi,
namun mereka masih tetap mengakui supremasi simbolik khalifah 'Abbasiyah.
Mereka masih tetap bersedia menyebut secara resmi dalam upacara khutbah Jum'at
nama khalifah sebagai pemegang supremasi kekuasaan yang sah. Hal ini, menurut
Rosenthal, adalah bukti bahwa konsep kenegaraan yang diyakini dibangun dari
asas kesatuan politik dan keagamaan di bawah otoritas hukum Islam atau
syari'ah.31 Kekuasaan imamah atas ummat yang dipegang khalifah
dianggap telah memiliki legalitas kekuasaan yang sah berdasar ijma' yang wajib ditaati.
Menurut al-Mawardi
imamah dibangun sebagai pengganti kenabian untuk melindungi agama dan mengatur
dunia.32 Dikemukakan bahwa membangun lembaga imamah adalah suatu
kewajiban, bila ternyata telah berdiri lembaga ini dan memenuhi persyaratan
yang berlaku, artinya personel yang memegang kekuasaan dipandang telah cakap
dan mampu melaksanakan tugasnya, maka kewajiban dipandang telah mencukupi.
Tetapi bila tidak seorang pun memegang kekuasaan lembaga itu, maka ada dua
kemungkinan untuk menyusunnya. Ahlul-ikhtiyar berkewajiban memilih seorang imam
dan ahlul-imamah yang akan dipilih menjadi imam.33
Tentang dasar kewajiban
membangun lembaga imamah ada tiga pendapat. Pertama, imamah wajib karena pertimbangan
akal ('aql), kedua, karena pertimbangan agama, dan yang terakhir ini berbeda
pendapat, satu pihak mendasarkan pertimbangan kepada teks, yang lain kepada
ijma'.
Menurut pendapat
pertama sudah menjadi fitrah manusia dalam-sejarah kehidupannya membangun
kekuasaan politik untuk mengatur kehidupan mereka. Termasuk dalam kelompok ini
adalah Ibn Taymiyyah. Dia berpendapat bahwa kekuasaan politik Nabi Muhammad
bukanlah imamah atau khilafah dalam arti institusi politik, negara atau
kerajaan, sekalipun mungkin persyaratan untuk itu ada. Kekuasaan Nabi hanyalah
semata-mata kekuasaan nubuwwah atau khilafah nubuwwah. Nabi Muhammad ditaati
hanya semata-mata karena kenabiannya dan karena kedudukannya sebagai rasul
Allah, bukan karena kedudukannya sebagai penguasa politik atau raja. Menurut
Ibn Taymiyyah, khilafah sebagai institusi politik lahir karena alasan-alasan
praktis untuk memenuhi kebutuhan menyelenggarakan kehidupan bersama setelah
Nabi Muhammad wafat. "Mestilah ada seorang pemimpin walaupun hanya
terdapat tiga orang yang mendiami bumi ini", ditegaskannya mengutip salah
satu hadis Nabi.34
Pendapat kedua mendasarkan
pertimbangan karena perintah agama secara tekstual berasal dari sumber pokok agama
yang ditegaskan dalam al-Qur'an untuk taat kepada ulul-amr, yaitu orang yang
berkuasa memimpin. Pendapat ketiga mendasarkan pertimbangan kepada dasar ijma'.
Menghadapi tiga kubu pendapat ini al-Mawardi menegaskan posisinya, yaitu bahwa
lembaga imamah berasal dari perintah agama lewat ijma' seperti yang terjadi
ketika mula pertama pembentukan lembaga itu pada zaman sahabat. Menurut
al-Mawardi lembaga imamah hanyalah mungkin terwujud bila konsep taat melekat
pada lembaga itu. Dasar pertimbangan yang dikemukakan ialah penegasan al-Qur'an:
"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada
rasul, dan kepada ulul-amr di antaramu" (Q. IV:59), yaitu orang yang
berkuasa memimpin, baik formal maupun informal. Menurut al-Mawardi ketaatan menjadi
soal yang inti dalam sistem kekuasaan imamah karena itu dia menegaskan menjadi
kewajiban kita untuk taat kepada pihak yang berkuasa yaitu a'immah yang memerintah
kita. Bahkan sebagai model ketaatan yang bagaimana yang harus dilaksanakan
al-Mawardi menunjuk kepada hadis riwayat Muslim Ibn 'Urwah dari Abu Hurairah:
Akan memerintah kalian
sesudahku nanti penguasa (pemerintah) yang baik dengan kebaikannya, dan yang
jahat dengan kejahatannya. Dengarkanlah mereka dan patuhilah segala apa yang
sesuai dengan kebenaran. Jika mereka berbuat baik, itu adalah untuk kalian dan
untuk mereka; jika mereka berbuat jahat, akibat baiknya untuk kalian sedangkan
akibat buruknya untuk mereka.35
Dengan pendekatan
konsep taat ini al-Mawardi dianggap melakukan pembelaan kepada kekuasaan
dinasti 'Abbasiyah yang sedang mengalami kemerosotan karena ancaman para amir
di seputar khalifah. "Dengan demikian taat kepada para khalifah itu
kewajiban agama", kata Syafi'I Maarif yang mengomentari pendapat
al-Mawardi.36 Inilah cara al-Mawardi menggunakan ayat al-Qur'an
dalam usaha mempertautkan kembali imperium 'Abbasiyah dari kehancuran total,
sekalipun usaha ini tidak berhasil.37 Pasukan Saljuk sunni yang
berhasil mengalahkan Buwaihi, menolak memberikan otonomi kepada para khalifah
'Abbasiyah, bahkan tidak mengizinkan mereka memiliki satu kemampuan administratif
yang efekfif.38 Meskipun demikian mereka masih tetap mengakui otoritas,
setidaknya wibawa dan pengaruh, khalifah atas mereka, karena mereka masih
mengakui khalifah secara simbolik. Khalifah masih tetap menempati kedudukannya
walaupun secara efektif tidak mempunyai kekuasaan apa pun.
Penilaian terhadap al-Mawardi
yang demikian boleh jadi memang ada benarnya dilihat dari rangkaian yang timbul
kemudian, tetapi bahwa dia sebagai seorang birokrat yang merasa ikut
bertanggung jawab memelihara stabilitas dan keamanan agaknya bukan sesuatu yang
aneh. Ditambah lagi bahwa pemikiran yang senada juga dikemukakan al-Ghazali
yang bisa dianggap tidak punya kepentingan untuk mempertahankan dinasti 'Abbasiyah
ternyata memiliki pandangan yang sama dengan al-Mawardi. Pendekatan kedua orang
tokoh ini menegaskan bahwa perubahan yang revolusioner dan total seringkali
akan menimbulkan akibat kemacetan dalam berbagai hal, termasuk tentu saja
kemacetan pelaksanaan hukum agama atau syari'ah dan kemaslahatan secara umum.
Pandangan legalistis yang berorientasi pada hukum menekankan pentingnya
ketaatan dalam kehidupan imamah diharapkan akan lebih menjamin pelaksanaan fungsi-fungsi
kekuasaan imamah secara baik. Al-Mawardi agaknya lebih menempuh jalan damai
untuk melakukan perubahan dan perbaikan, dengan tetap taat kepada institusi
imamah yang ada masih mungkin menegakkan tujuan dan prinsip imamah yang benar.
Selanjutnya dikemukakan
bahwa suksesi kepemimpinan imamah bisa ditempuh melalui dua cara. Dengan
pemilihan yang dilakukan oleh ahlul-hall wal-'aqd yaitu orang yang memiliki
kapasitas mewakili lembaga atau pribadi yang dipandang cakap untuk memecahkan
masalah-masalah sosial dan kemasyarakatan, atau dengan penunjukan oleh imam
sebelumnya. Mengenai yang pertama Al-Mawardi mengemukakan beberapa pendapat.
Sebagian berpendapat bahwa imam tidak bisa dipilih kecuali oleh mayoritas (jumhur)
ahlul-hall wal-'aqd yang tersebar merata ke semua penjuru daerah
dan mewakili berbagai golongan agar mencerminkan persetujuan umum dan kepatuhan
yang merata. Dasar pertimbangan pendapat ini ialah preseden bai'ah kepada Abu
Bakar. Bai'ah itu dilakukan orang-orang yang hadir dalam pertemuan di Balai
Banu Sa'idah telah memenuhi representasi kepemimpinan kesukuan tanpa menunggu
kehadiran semua orang.
Pendapat kedua
mengatakan cukup dengan persetujuan lima orang ahlul-hall wal-'aqd
dengan pertimbangan bahwa bai'ah kepada Abu Bakar hanya dilakukan empat orang
saja karena salah satu dari mereka terpilih menjadi khalifah.39 Pertimbangan
lainnya ialah ketika 'Umar menetapkan formatir enam orang untuk menentukan
siapa di antara mereka yang disepakati menjadi kahalifah penggantinya kelak. Dari
enam orang tersebut dua tidak ikut pertemuan karena dinominasikan menjadi khalifah,
yaitu 'Usman dan 'Ali. Pendapat lainnya mengatakan bahwa suksesi imam cukup dilakukan
tiga orang atau bahkan hanya satu orang saja. Al-Mawardi tidak menentukan
posisinya menghadapi pendapat di atas dan membiarkan pembaca memutuskan sendiri
pendapat mana yang disetujui.
Suksesi imam dilakukan
ahlul-hall wal-'aqd terhadap calon yang memiliki kelebihan dan kemampuan untuk
kepentingan itu. Syarat-syarat calon dikemukakan panjang lebar oleh Al-Mawardi
tetapi di antara syarat itu ialah calon imam haruslah memperoleh dukungan dan
kepatuhan ummat. Al-Mawardi juga memberi kemungkinan jika terdapat beberapa
calon pemilihan dilakukan dengan pemungutan suara.
________________________________________________________
Catatan :
1. W. Montgomery Watt, Pergolakan Pemikiran
Politik Islam, (Jakarta: Beunebi Cipta, 1987), 37.
2. Ibid.
3. Abu Muhammad 'Abd al-malik Ibn Hisyam,
al-Sirah al- Nabawiyyah, (kairo:
Matba'ah al-Babi al-Halbi, t.t), IV, 435-9. Lihat pula Hasan Ibrahim Hasan,
Tarikh al-lslam al-Siyasi wa al-Dini wa al-Saqafi wa al-Ijtima'i (Kairo:
Maktabah al-Nahdah al-Misriyah, 1876), I, h. 206-7.
4. Hasan, Tarikh al-Islam, I, 206.
5. Hasan, Tarikh al-Islam, I, 206.
6. Ahmad Syarif Maarif, Islam dan Masalah
Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 19.
7. Ibnu Taymiyyah, Minhaj al-Sunnah
al-Nabawiyyah fi Naqdi Kalam al-Syi'ah wa al-Qadariyah, (Makkah: Dar al-Bat,
t.t.), I, h. 131-137.
8. Syafii Maarif, Islam, h. 19.
9. Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Kairo:
Dar al-Fikr, t.t.), I, h. 20.
1O.
Muhammad Diya' al-Din al-Rayes, al-Nazariyyat al-Siyasah al Islamiyyah, (Kairo:
Dar al-Turas, 1979), h, 95 dan 99.
11.
lbid.
12.
Muhammad Abu Zahrah, al-Syafi'i Hayatuh wa 'Asaruh Fiqhuh wa Ara'uh, (Kairo:
Matba'ah Mukhaimar, 1975), h.134-135.
13.
lbid., h. 178. Lihat pula Diya' Al-Din, al- Nazariyyat, h. 101.
14.
Muhammad Abu Zahrah, al-Syafi'i, h.134-5.
15.
Rasyid Rida, al-Khilafah, h.10, dikutip dari Diya' al-Din, al-Nazariyyat, h.
118.
16.
Abu al-qasim al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, (Kairo: Mastafa
al-Babi al-Halabi t.t.), h.24.
17.
Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyyah, (Bandung: Pustaka, 1983), h.
125. Khalifah Umar juga disebut amir al-mu'minin, karena kedudukannya sebagai
panglima militer.
18.
Ibid., h. 126.
19.
Muhammad Fathi 'Usman, Min Usul al-Fikr al-Siyasi al-Islami, (Beirut:
Mu'assasah al-Risalah, 1984), h.366.
20.
Ibnu Taymiyyah, Minhaj, I, h.24 dan Qamaruddin, Pemikiran, h.55.
21.
Fathi 'Usman, Min Usul, h. 366-371.
22.
Ibid., 366-362.
23.
Ibnu Taymiyyah, Minhaj, I, h. 137.
24.
Muhammad Sabit al-Afandi, Da'irah al-Ma'arif al-lslamiyyah, 1973, WI, h.418.
25.
Ibid.
26.
Ibid., h. 93.
27.
Amir Hasan Siddiqi, Caliphate and Sultanate, (Karachi: Jamiya ul-Falah
Publication, 1942), h. 93-96. Al-Mawardi juga menguraikan bab tentang
pemerintahan daerah atau negara bagian dengan istilah imarah al-bilad. Kekuasaan
pemerintah daerah ini dimungkinkan dengan dua cara, penunjukan oleh khalifah
atau dengan pengesahan kekuasaan
defakto yang sudah ada. Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-Wilayat
al-Diniyyah, (Kairo: Dar al-fikr.1983), h. 2731.
28.
Selanjutnya lihat S. Khuda Bakhsh, Politics in Islam, (Delhi: Daerah Adabiyati
Delhi, 1975), h. 127-156.
29.
Syafii Maarif, Islam, h. 22.
30.
Erwin I.J.Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam, (Cambridge:
University Press, 1962), h. 27-28.
31.
Ibid.
32.
Al-Mawardi, Al-Ahkam, h. 5.
33.
Ibid.
34.
Ibnu Taymiyyah, Minhaj, I, h. 131-137.
35.
Dikutip dari al-Mawardi, al-Ahkam, h. 5.
36.
Syafii Maarif, Islam, h. 27.
37.
Ibid.
38.
Ibid.
39.
Al-Mawardi, al-Ahkam, h. 7. Tidak dikemukakan dari unsure apa saja lima orang
itu.
Ditulis ulang dari buku Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik Oleh : M. Ali Haidar, Penerbit Gramedia, 1994
Ditulis ulang dari buku Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik Oleh : M. Ali Haidar, Penerbit Gramedia, 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar