BAB
III
NU
: ORGANISASI DAN GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN (Lanjutan)
Suasana itu agaknya
sudah diantisipasi sebelumnya. Dua pihak yang dalam beberapa hal tidak sejalan
mengenai soal-soal keagamaan turut serta dalam kongres. Sedikitnya Muhammadiyah
dan AI-Irsyad di satu pihak dan peserta sayap pesantren yang diwakili Kyai
Abdul Wahab dan Kyai Asnawi yang datang atas nama Taswirul-Afkar.38
Sebagai jalan tengah untuk mengatasi perbedaan faham maka dipilih SI sebagai
pimpinan kongres. Kalangan SI memang berusaha agar kongres tidak memperdebatkan
soal-soal kecil yang bukan pokok agama, tetapi apa yang diharapkan justru
sebaliknya yang terjadi. Agus Salim selanjutnya mengemukakan sebagai berikut:
Malah sebagian saudara kita
lebih bersaudara dengan Majusi, Yahudi dan Nasrani dari pada dengan golongan
Islam yang masuk perikatan Al-Irsyad dan
Muhammadiyah.39
Ada pula yang datang
mementingkan Agama Islam. Kedatangan mereka semata-mata untuk mengalahkan, akan
menghancurkan haluan Islam yang lain-lain dari pada yang sudah menjadi pusaka
turun-temurun di dalam bangsa dan tanah air kita, malah umumnya seluruh dunia.
Pendek kata kedatangan mereka jauh dari mencari persatuan dan persaudaraan
ummat Islam. Malah mereka tidak menghendaki perdamaian.40
Tak lain tak bukan hanyalah kepentingan
beberapa fihak yang sekedar berebut kemenangan faham atas beberapa cabang yang sekali-kali tidak menjadi pokok
agama.41
Sampai kongres Al-Islam
Bandung 1926 pertentangan terus terjadi antara sayap pesantren dengan
nonpesantren,42 selanjutnya setelah yang pertama mengundurkan diri
dari kegiatan kongres Al-Islam pertentangan terus terjadi antara sayap
nonpesantren sendiri.
Selain Muhammadiyah di
Surabaya juga sudah berdiri cabang AI-Irsyad, berdiri tahun 1913 mendapat
pengakuan badan hukum tahun 1915. Perhimpunan ini bermula dari perselisihan
faham kalangan keturunan Arab yang tergabung dalam Jami'at Khair, berdiri tahun
1905.43 Perselisihan terjadi dalam soal kafa'ah antara golongan
'Alawi yang berdarah ningrat keturunan Nabi Muhammad dan golongan lain.
Kebanyakan keluarga keturunan 'Alawi tidak menerima calon mempelai lelaki bukan
'Alawi. Pandangan ini menurut mereka memiliki dasar hukum yang sah.44
Tentu saja golongan Arab lain menolak anggapan tersebut dan akhirnya menjadi
pangkal perselisihan yang berkepanjangan, karena itu keturunan Arab bukan
'Alawi bergabung dengan Al-Irsyad yang menentangnya.
Salah seorang tokoh
yang berpengaruh dalam Al-Irsyad ialah Syikh Ahmad Ibn Muhammad Surkati berasal
dari Sudan, datang ke Indonesia atas permintaan Jami'at Khair, tetapi kemudian
keluar dari organisasi itu bergabung dengan AI-lrsyad.45 Sebagai
tokoh yang berpengaruh banyak pemikiran Surkati yang diterima sebagai pemikiran
Al-Irsyad. Surkati menulis buku Al-Masa'il al-Salas (tiga masalah) yang
mengupas tiga persoalan: (1) ijtihad dan taqlid, (2) sunnah dan bid'ah, dan (3)
ziarah kubur dan wasilah (permohonan dengan perantara) melalui Nabi Muhammad
atau para wali.46
Ahmad Sukarti diundang
debat untuk membicarakan tiga persoalan tersebut oleh kalangan ulama pesantren
di Masjid Ampel, Surabaya, namun oleh karena dianggap akan menimbulkan dampak
negatif maka debat itu dilarang. Walaupun begitu Sukarti perlu memberi
keterangan lewat tulisan maka terwujudlah buku tersebut.47 Di
samping menulis buku Sukarti juga menerbitkan majalah Al-Zakhirah al-Islmiyyah,
majalah bulanan yang terbit kira-kira satu tahun lamanya. Kurang lebih isinya
meniru majalah AI-Manar yang terbit di Kairo dan sangat populer ketika itu di
Indonesia.
Selain Al-Irsyad. muncul
pula perhimpunan Persatuan Islam (Persis) yang berpusat di Bandung. Mulanya
dari kegiatan grup diskusi pengajian agama yang diselenggarakan pada awal tahun
dua puluhan oleh sejumlah saudagar berasal dari Palembang yang tinggal di
Bandung kemudian lahir Persis.48 A. Hassan, saudagar kelahiran
Singapura berasal dari India tinggal di Surabaya kemudian bergabung dengan
Persis dan akhirnya menjadi tulang punggung utama yang sangat berpengaruh.
Melalui kegiatan pengajian dan perdebatan yang diselenggarakan, juga
tulisan-tulisan yang tersebar melalui percetakan yang dipimpin sendiri, Hassan
mengemukakan berbagai pandangan keagamaannya yang "menantang"
pendapat umum yang telah melembaga dalam tradisi kehidupan keagamaan masyarakat
Islam. Tidak mengherankan kalau kemudian timbul reaksi, baik dalam bentuk
perdebatan agama yang berlangsung di beberapa daerah maupun reaksi sepihak yang
diselenggarakan dalam banyak kesempatan pengajian maupun ceramah keagamaan.49
Munculnya orang-orang
atau perhimpunan yang berfaham baru di Surabaya dan beberapa daerah Jawa
lainnya tentu saja menimbulkan reaksi yang bermacam-macam. Ini tidak berarti
bahwa faham baru yang dibawa itu tidak sesuai dengan kaitan penataan hubungan
sosial keagamaan masyarakat Islam di Indonesia, tetapi merupakan gejala umum
dan normal setiap transformasi ide baru ke dalam kehidupan sosial akan
menimbulkan disharmoni dan ketidakstabilan bila penerapannya tidak didasari
pemahaman yang baik tentang pranata dan kelembagaan sosial yang hidup di tengah
masyarakat. Reaksi terhadap gagasan baru itu tentu ada yang menerima dan ada
pula yang menentang. Mereka yang menentangnya ada yang bersifat pribadi dan ada
pula yang melembagakan dalam perhimpunan atau jemaah pengajian dan lain-lain.
G.F.-Pijper dalam laporannya
mengatakan bahwa di Kudus sekitar tahun 1926 terjadi seorang ayah yang menikahkan
anak perempuannya mengajukan syarat ta'liq (syarat yang dinyatakan dalam akad
perkawinan, jika syarat itu tidak dipenuhi maka jatuh talak), jika mempelai
lelaki nanti menjadi anggota Muhammadiyah, maka perkawinan itu batal.50
Peristiwa semacam ini barangkali tidak hanya terjadi di Kudus saja, sebab pada
umumnya reaksi masyarakat terhadap gagasan-gagasan pembaruan Muhammadiyah dan perhimpunan
lain yang sejenis, ada yang keras dan ada pula yang lunak, bahkan menerimanya.51
Anekdot di atas hanyalah sebagian dari reaksi pribadi seorang yang menentangnya.
Sebenarnya persoalan
yang muncul dari issue yang dibawa aliran baru adalah di seputar soal pokok
ijtihad dan taqlid lalu dari soal pokok tersebut berkembang menjadi soal-soal
yang bersifat furu' (ditil yang tidak disepakati), talqin, wasilah dan
lain-lain.52 Soal kebangsaan atau nasionalisme diperdebatkan pada
bagian kedua tahun tiga puluhan oleh Persis dengan Muhammadiyah atau
orang-orang Muhammadiyah.53 Gagasan pembaruan Islam yang muncul di
awal abad ini memang sebagian diilhami oleh gerakan serupa di Timur Tengah
khususnya Mesir. Sejumlah referensi bacaan dari Mesir khususnya majalah yang
diterbitkan Muhammad 'Abduh dan Rasyid Rida beredar di Indonesia dan dibaca
secara terbatas oleh elite Islam terpelajar.54 Namun dampak dari
pembaruan itu bagi masyarakat umum berbeda antara yang terjadi di Indonesia dengan
yang terjadi di Mesir. Memang pembaruan yang dipelopori 'Abduh dan kawan-kawan
serta pengikutnya menekankan pentingnya ijtihad dikembangkan kembali. Menurut
'Abduh salah satu penyebab kemunduran ummat Islam sehingga tertinggal dari
Barat karena ijtihad tidak dikembangkan lagi.55 Ummat Islam
dihinggapi rasa kebanggaan masa silam mereka dan menganggapnya sebagai puncak
kemajuan Islam. Mereka merasa puas diri dengan masa silam itu dan mengikutinya
sebagai kebenaran yang tidak terbantah.
Akan tetapi pembaruan
di Mesir yang menegaskan perlunya ijtihad dikembangkan kembali itu lebih
menekankan bidang mu'amalah (kemasyarakatan, termasuk ekonomi, politik dan
pendidikan) dan ilmu pengetahuan, bukan dalam bidang ibadah yang seperti
terjadi di Indonesia.56 Jika benar pembaruan Islam atau masyarakat
Islam yang dikembangkan aliran baru di Indonesia awal abad ini dipengaruhi pembaruan
'Abduh dan kawan-kawan di Mesir, maka yang terjadi di Indonesia baru semangat
dan lapisan luar belaka. Dampak pembaruan yang muncul ketika itu (barangkali sebagian
sampai sekarang) justru lebih banyak di seputar soal-soal khilafiyah (masalah
yang tidak disepakati) dalam bidang ibadah. Di Mesir sendiri, setidaknya sampai
decade keempat abad ini, sekalipun soal-soal khilafiyah bidang ibadah itu ada,
namun tidak menjadi issue sentral yang menegangkan, seperti yang tejadi di
Indonesia.57 Mereka dapat berdamai dalam soal-soal yang tidak
disepakati, khususnya dalam bidang furu', karena berbeda metode analisis dan
argumentasinya.
Dalam soal ijtihad
'Abduh sendiri mengakui tidak semua orang Islam mampu dan memenuhi syarat untuk
melakukannya.58 Hanya orang-orang tertentu yang mampu dan memenuhi
syarat yang dapat melakukannya. Perdebatan mengenai soal ini di Indonesia lebih
diwarnai soal terminologi daripada esensi ijtihad dan taqlid itu sendiri. Semua
fihak sepakat tidak semua orang Islam mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan
ijtihad, dan mengenai yang tidak memenuhi syarat ini wajib taqlid atau tidak,
di sini terjadi perbedaan faham. Satu pihak mengatakan bahwa orang yang tidak
memenuhi syarat-syarat ijtihad harus ittiba' (mengikuti) dengan kewajiban
mengetahui dalil dari Qur'an dan hadis, sementara fihak lain beranggapan bahwa yang
demikian itu sudah termasuk kategori taqlid. Satu fihak beranggapan bahwa taqlid
adalah suatu bentuk mengikuti tanpa mengetahui dalil Qur'an dan hadis dan menyebutnya
taqlid buta, perbuatan itu haram. Fihak lain beranggapan bahwa taqlid buta itu
juga boleh, sebab kenyataan sampai waktu itu (barangkali juga sekarang) jumlah
orang yang buta huruf Arab maupun latin masih tinggi. Terhadap orang yang
demikian ini tidak bisa dituntut untuk mengatahui dalil dari Qur'an maupun
hadis, membaca pun mereka tidak bisa.59
Dalam kongres Al-Islam
yang pertama di Cirebon tahun 1922.60 sayap pesantren mendapat kecaman, jika
tidak disebut serangan, aliran baru karena mereka mempertahankan taqlid,
menolak menerapkan ijtihad mengingat kemampuan pada umumnya ulama di Indonesia
belum memenuhi syarat karena belum tersedianya perangkat metodologi yang cukup,
penguasaan bahasa Arab yang kurang dan tidak tersedianya bahan referensi yang
cukup. Tiga tahun kemudian dalam kongres Al-Islam ketiga di Surabaya tahun 1924
terjadi kompromi. Surat kabar Hindia Baroe dipimpin oleh Agus Salim
mengomentari hasil keputusan itu dengan anak judul "Moesjawarah Oelama,
Boeah jang Lezat",61 mengingat dalam kongres sebelumnya terjadi
perdebatan yang seru masing-masing fihak mempertahankan pendirian mereka.
Keputusan musyawarah ulama telah diumumkan dalam openbare Congres Al-Islam
Hindia di Surabaya: (1) Ijtihad dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu
antara lain mengetahui nas Qur'an dan hadis; mengetahui ijma' ulama; mengerti
bahasa Arab dengan baik; mengetahui tentang 'am, khas, mufassal, mujmal dalam
Qur'an; naskh, mansukh, mutlaq, muqayyad, mujmal dan mufassal dalam Qur'an dan
hadis; menguasai hadis dan muhaddisun; dan mengetahui asbab al-nuzul.
"Barang siapa jang bersifat dengan sjarat-sjarat jang terseboet di atas,
maka wadjiblah atasnja beridjtihad dan berdosalah djikalaoe tidak
beridjtihad", ditegaskan dalam keputusan tersebut.62 (2) Salaf ialah ulama
fuqaha', muhaddisun dan ahli tauhid abad pertama sampai dengan abah ketiga Hijriah,
selain itu tidak termasuk kategori salaf. Kitab tafsir Qur'an diterima bila
ditulis oleh orang yang mu'tamad (representatif) didasarkan atas penafsiran
yang sah. (3) Mengakui bahwa Muhammadiyah dan Al-Irsyad tidak termasuk Wahabi,
tidak keluar dari mazhab empat, dan tidak mengafirkan orang yang melakukan tawassul.
Tentang tawassul masih akan dilanjutkan pembicaraannya di lain kesempatan.
Tidak mengingkari adanya karamah, anugerah keistimewaan dari Tuhan kepada
seorang hambaNya yang mukmin dan beramal saleh, dan menghormati kitab-kitab
ulama yang mu'tamad dan diakui.63
Keputusan ini
mengisyaratkan bahwa issue pembaruan yang dikemukakan aliran baru tidak
menggoyahkan sayap pesantren, malah justru menimbulkan interaksi positif, bahwa
pembaruan tidak selalu harus mencabut akar cultural keagamaan masyarakat yang
telah hidup, dan sebaliknya tidak berarti akar kultural keagamaan itu harus
dipertahankan mati-matian tanpa perbaikan. Dari satu segi argumentasi mereka
dalam perdebatan agama kongres Al-Islam dapat mengendalikan argumentasi aliran
baru. Ini antara lain dibuktikan dengan diterimanya keputusan tersebut di atas.
Bahwa ijtihad tidak hanya dengan semangat yang menggebu tetapi perlu pemikiran
yang jernih dan penguasaan materi yang cukup dan tidak mungkin dilakukan oleh
semua orang Islam, apalagi ijtihad yang bersifat perorangan. Aspek ini saja
tidak semudah yang disangka orang, sebab lembaga-lembaga kajian Islam yang ada
di Indonesia waktu itu belum mendukung dilaksanakan kajian secara cukup memadai,
apalagi di bidang muh'malah dan ilmu pengetahuan. Selain itu kategori salaf
yang menjadi acuan penting pemikiran keagamaan sampai dengan abad tiga Hijriah memberi
arti imam-imam mazhab mendapat pengakuan sebagai salaf, sebab mereka hidup di
seputar abad tersebut. Tentu saja dengan demikian pemikiran keagamaan yang menggunakan
referensi mazhab tersebut diakui sebagai salaf yang sah diikuti, di luar itu
tidak termasuk salaf, walaupun tidak secara tegas ditolak, namun mengisyaratkan
kesan ketidakabsahannya. Apakah dengan demikian faham aliran baru tidak
bersumber dari salaf, tidak mendapat jawaban dari kongres tersebut.
Soal pengakuan bahwa
dua aliran baru Muhammadiyah dan Al-Irsyad tidak termasuk aliran Wahabi64
dan tidak keluar dari mazhab empat, sebenarnya agak rancu. Keputusan itu
mengindikasikan kedua organisasi tersebut memang tidak mengakui mereka
beraliran Wahabi, sebab sekiranya mereka beraliran Wahabi tentulah mereka menolak
keputusan tersebut. Muhammad 'Abd al-Wahab adalah pengikut Ibn Taymiyyah yang
bermazhab Hanbali (Ahmad Ibn Hanbal), salah satu dari mazhab empat. Barangkali
karena umumnya referensi keagamaan yang menjadi acuan ummat Islam di Indonesia
dari mazhab Syafi'i, maka kemungkinan terjadi anggapan pukul rata bahwa yang
tidak sesuai dengan ajaran mazhab Syafi'I sebagai tidak bermazhab. Atau paling
tidak mereka yang berkecenderungan menggunakan metode dan mengikuti Imam Ahmad
Ibn Hanbal dan pengikutnya antara lain Ibn Taymiyyah dan 'Abd al-Wahhab sebagai
tidak bermazhab. Kitab-kitab mazhab Ahmad Ibn Hanbal memang tergolong langka di
Indonesia. Kitab-kitab mazhab tersebut memang mengesankan metode literal sesuai
dengan teks dan sedikit sekali atau bahkan menolak interpretasi analogi
rasional.65
Agaknya kongres tersebut
memutuskan kedua aliran tersebut bukan aliran Wahabi karena tidak menyadari
bahwa aliran tersebut masih dalam kerangka mazhab empat atau ahlussunnah
waljamaah yang lebih dekat atau pengikut mazhab Ahmad Ibn Hanbal. Akan tetapi
memang sikap keras gerakan Wahabi terhadap aliran-aliran tarekat dan tradisi
keagamaan mereka seperti penghargaan kepada para imam tarekat dan sufi sampai
kepada yang sudah meninggal dunia agaknya diwarisi dari sikap serupa yang dilakukan
Ibn Taymiyyah. Boleh jadi juga karena serangan Ibn Taymiyyah kepada al-Ghazali
yang mendapat penghargaan tinggi dari ummat Islam di Indonesia menjadikan kalangan
pesantren tidak menaruh simpati kepada Ibn Taymiyyah dan akhirnya juga kepada
gerakan Wahabi dan yang diduga menganut Wahabi di Indonesia.66
Padahal sekiranya pendekatan pengetahuan normatif keagamaan yang dilancarkan
aliran-aliran baru itu menggunakan metode-metode ilmiah dengan pemahaman yang
baik terhadap konsep hidup, pranata sosial, sistem nilai, dan kelembagaan sosial
lainnya, seperti yang dilakukan pendahulu mereka ketika membawa masuk agama
Islam ke Indonesia, kemungkinan gerakan mereka lebih berhasil diterima kalangan
pesantren dan masyarakat umumnya. Sampai sekarang pendekatan pengetahuan
normatif keagamaan yang hitam putih, tanpa memandang medan yang dituju, kurang
atau bahkan tidak mendapat sambutan yang luas. Kalaupun tindakan semacam itu
berhasil, hanya dalam lingkup yang terbatas dan eksplosif.
_________________________________________________________
Catatan
:
38.
Deliar Noer, Gerakan Modern, h. 152. Cabang AI-lrsyrid di Surabaya berdiri
tahun 1913.
39.
H. Agus Salim, "Persatuan Pemimpin Islam", dalam Hindia Baroe, 19
Februari 1926. Penulisannya disesuaikan ejaan baru.
40.
Ibid.
41.
Ibid, 20 Februari 1926.
42.
Kategori ini ingin memperlihatkan bahwa masing-masing pihak sebenarnya mengandung
potensi pembaharuan (modernisasi) seperti diperlihatkan dalam kegiatan
organisasi yang mereka kembangkan dan kesediaan mereka untuk menerima perubahan
ke arab yang lebih balk. Memang diakui sebagian dari sayap non-pesantren
terdapat beberapa orang atau banyak orang dari lingkungan pesantren, tetapi mereka
tidak menempatkan basis dukungan mereka dari lingkungan pesantren, bahkan
seringkali mereka menyerang ulama pesantren dan pesantrennya sendiri. Selanjutnya
lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup
Kiyai, (Jakarta: LP3ES, 1984).
43.
G.F. Pijper, Beberapa Studi, h. 114-126.
44.
Pandangan yang menganggap penting derajat calon mempelai lelaki dalam
perkawinan karena faktor keturunan.
45.
Pijper, Beberapa Studi, h. 114-126.
46.
Al-Masa'il al-Salas Allati Quddimat lil-Ustaz alSyaikh Ahmad Mu-hammad Surkati
fi Surabaya, Surabaya, 1925.
47.
Pijper, Beberapa Studi, h. 114-126.
48.
Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern. Selanjutnya mengenai Persis juga dikutip
dari buku tersebut.
49.
Sebagian kegiatan debat direkam dalam bentuk buku atau ditulis dalam majalah
oleh Hassan antara lain Soeal Djawab, Verslag Debat Talqin antara Hassan dengan
Husein Tjitjalengka dan Hassan dengan Abdoelwahab di Cileduk (dua buku), Debat
Kebangsaan antara Hassan dengan Moechtar Luthfie. Lihat AI-Lisan, nomer 51
tahun 1940. Soea2 Djawab diterbitkan secara berkala antara akhir tahun tiga
puluhan samgai awal empat puluh. Sayang penerbitan serial itu tidak bisa
dikonfirmasikan dengan pihak lawan debat karena mereka tidak menerbitkan serial
serupa dengan yang diterbitkan Hassan. Berita mengenai perdebatan itu hanya
dapat diperoleh secara sepihak dari Hassan sendiri.
50.
Pijper, Beberapa Studi, h. 113.
51.
Setelah NU lahir maka reaksi masyarakat yang tidak setuju terhadap faham aliran
baru sebagian terwakili atau menggabungkan diri kedalam perhimpunan tersebut.
Ini tidak berarti bahwa kelahiran NU semata-mata sebagai reaksi terhadap aliran
baru yang muncul lebih dulu. Soal hubungan kekerabatan khususnya perkawinan
antara keluarga pengikut NU dan pengikut Muhammadiyah kadang-kadang menjadi
faktor penghambat, tetapi secara keseluruhan tidak menunjukkan adanya
pertentangan. Seoarang anak keluarga NU yang akhirnya menjadi aktifis NU
menceritakan kepada penulis, sekitar tahun tujuh puluhan pernah menjalin
hubungan dengan teman putrinya sejak sekolah PGA. Setelah keduanya menginjak
perguruan tinggi di IAIN, teman putri itu mengundurkan diri dengan alasan tidak
disetujui orang tua karena calon menantu itu berasal dari keluarga NU sedang si
putri dari keluarga Muhammadiyah. Seorang Kiyai di Jawa Timur juga tidak
menyetujui putrinya mendapat calon suami dari keluarga Muhammadiyah dan akhimya
perkawinan itu gagal. Seorang Kyai di Jawa Timur mengawini putri dari keluarga Muhammadiyah
lebih dari 25 tahun yang lain sampai kini rukun bahagia. Sang istri kemudian
menjadi aktifis Muslimat NU sementara keluarganya sendiri tetap Muhammadiyah.
Ada pula seorang aktifis NU yang mulanya dari HMI ketika belajar di perguruan
tinggi tetapi keluarganya pengikut NU yang fanatik, kemudian mengawini putri
dari keluarga Muhammadiyah. Masing-masing tetap bertahan sebagai pengikut NU
dan pengikut Muhammadiyah. Rumah tangganya rukun bahagia selama lebih dua puluh
tahun lamanya
52.
Persis pernah mengadakan pengajian akbar, 25 Januari 1925, di Bandung, yang
membahas soal usalli (mengucapkan niat ketika akan mulai salat), selamatan tiga
atau tujuh hari bagi orang yang meninggal dan memberi jamuan ketika mengalami
musibah di tinggal mati salah seorang keluarga. Semua ini menurut mereka bid'ah.
Hindia Baroe, 6 Februari 1925.
53.
Fatwa tentang Gerakan Nasionalme dan Kebangsaan, dalam Al-Lisan, nomer 51,
tahun 1940.
54.
AI-'Urwah al-Wus'qa, majalah yang dipimpin 'Abduh dan Afghani. AI-Manar,
majalah yang dipimpin 'Abduh dan Rasjid Rida.
55.
Harun Nasution, Pembaharuan, h. 64.
56.
ibid
57.
Wawancara dengan Prof. Dr. Harun Nasution di Takarta tanggal 23 Agustus 1990.
Tekanan yang dilakukan kalangan Azhar terhadap 'Abduh bukan mengenai pandangan
'Abduh dalam soal furu', sebab pandangan 'Abduh yang banyak dibicarakan antara lain
seal sosial politik dan pendidikan.
58.
Harun Nasution, Pembaharuan, h. 64.
59.
Debat Idjtihad dan Taqlid, dalam AI-Lisan, 51, 1940. Lihat pula Djmawi
Hadikusuma, Muhammdijah Ahlu Sunnah Wal Djama'ah?, (Yqgyakarta: Siaran, t.t).
60.
Kongres-kongres Al-Islam diselenggarakan (1) di Cirebon, 1922, (2) Garut, 1923,
(3) Surabaya, 1924, (4) Yogyakarta, 1925, (5) Bandung, 1926, (6) Surabaya,
1926, (7) Bogor, 1926, (8) Surabaya, 1931 ?, (9) Malang, 1932. Lihat Buku
Kenangan MIAI 1937-1941, h. 5-6.
61.
Hindia Baroe, 7 Tanuari 1925.
62.
1bid.
63.
Hindia Baroe, 7 Januari 1925.
64.
Wahabi diambil dari nama Mubammad Ibn 'Abd al-Wahhab (1703-1787) pemimpin
gerakan reformis di Arabia. Gerakan ini tidak dilatar belakangi politik melainkan
gerakan murni keagamaan yang bergulat dengan persoalan internal ummat Islam.
Muncul sebagai reaksi terhadap faham tauhid masyarakat Islam yang telah
dipengarahui ajaran tarikat yang sebagian eksesnya sangat menghargai para imam
tarikat sebagai wall dan memuliakan makam mereka dan tradisi keagamaan yang
dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
65.
Lihat misalnya, Taqiy al-Din Ibn Taymiyyah, Kitab al-Radd 'Ala al-Mantiqiyyin,
(Beirut : Dar al-Ma'rifah, t.t.); Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah Fi Naqd Kalam
al-Syi'ah wal Qadariyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t.); dan
Muwafaqat Sahih al-Manqul li Sarih al-Ma'qul, (Beirut: Dar al Kutub
al-'Ilmiyyah, 1985).
66.
Lihat ibid., juga Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibn Taymiyyah, (Bandung,
Pustaka, 1983).
Ditulis ulang dari Buku Nahdatul Ulama dan Islam di
Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik Oleh : M. Ali Haidar, Gramedia, 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar