BAB
II
PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN POLITIK DALAM ISLAM (LANJUTAN)
Mengenai bentuk suksesi
imam yang kedua, melalui penunjukan imam yang berkuasa sebelumnya, menurut al-Mawardi
telah disepakati kemungkinannya secara ijma', yaitu berdasar pertimbangan
praktek yang telah berlaku sebelumnya ialah praktek Abu Bakar yang menunjuk
'Umar sebagai penggantinya yang kemudian disetujui kaum muslim.40
Selain itu 'Umar kemudian menetapkan formatir yang salah satu di antaranya ditunjuk
sebagai khalifah dan akhirnya juga diterima ummat Islam. Al-Mawardi selanjutnya
mengemukakan tentang tugas dan fungsi imamah meliputi sepuluh hal. (1)
Memelihara dan melindungi agama dari acaman dan gangguan serta perlakuan tidak
adil.41 (2) Melaksanakan hukum yang adil untuk melindungi kaum yang
lemah.42 (3) Melindungi hak asasi agar masyarakat merasa aman
bekerja dan melaksanakan tugas kewajiban mereka. (4) Menegakkan hukum untuk
melindungi hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia untuk memperoleh keselamatan dan
perlindungan dari ancaman musuh. (5) Melindungi keamanan dan keselamatan negara
dari ancaman musuh (fungsi sebagai pangiima angkatan perang). (6) Mengorganisasi
penuntutan jihad terhadap siapa saja yang menentang da'wah Islam sampai
akhirnya menyerah dan tunduk kepada negara. Imam terikat perjanjian dengan
Tuhan untuk menegakkan supremasi agama ini melebihi agama dan kepercayaan apa
pun. (7) Memungut pajak dan zakat yang telah ditetapkan syari'ah maupun
penetapan lainnya yang dianggap diperlukan untuk kepentingan negara tanpa rasa takut
dan tertekan. (8) Menetapkan anggaran belanja yang diperlukan dari kas
baitul-mal, semacam lembaga keuangan negara yang berlaku dewasa ini. (9)
Mengangkat pejabat dan pembantu yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas
administrasi pemerintahan. (10) Imam haruslah aktif memimpin sendiri tugas-tugas
dan tanggung jawab pemerintahan untuk memimpin ummat dan melindungi agama, tidak
boleh sekadar berfungsi sebagai simbol belaka.43
Selanjutnya al-Mawardi
dalam karyanya itu mengemukakan panjang lebar lembaga-lembaga kekuasaan di
bawah negara atau imamah. Lembaga wizarah (kabinet), pemerintah di daerah,
imarah al-jihad, militer (imarah al-harb), qada' (justisi) dan penegakan hukum,
pengawasan (hisbah), keagamaan (haji, salat, sadaqah dan lain-lain), keuangan
fai', ghanimah, jizyah), kekuasaan atas bumi, air (dan udara?), dan kekuasaan
administrasi penyelenggara pemerintahan. Semua kekuasaan (al-Mawardi
menggunakan istilah wilayah atau imarah) tersebut melembaga secara formal ke
dalam lembaga induk negara (imamah) yang dipimpin seorang imam atau khalifah yang
kemudian mendelegasikan wewenangnya kepada pejabat-pejabat lain di bawah
kepemimpinannya sesuai dengan hirarki kelembagaan yang ada, baik secara otonom
maupun secara langsung. Beberapa lembaga tersebut menyangkut langsung kekuasaan
keagamaan seperti qada', salat, zakat, haji dan sadaqah. Semua ini menandai
kesatuan sistem kenegaraan atau imamah dengan sistem kelembagaan keagamaan.
Pemikir kedua yang
perlu dikemukakan di sini ialah Abu Hamid al-Ghazali (1050-1111), seorang tokoh
yang proses kematangan intelektualitasnya mengagumkan, berangkat dari seorang
ahli hukum kemudian memasuki bidang filsafat dan akhirnya mencapai puncak
sebagai sufi yang besar. Salah satu karyanya al-Iqtisad fi al-I'tiqad
menguraikan tentang kalam atau teologi, tetapi juga mengemukakan satu bab
tentang imamah. Diakuinya bahwa sebenamya soal ini adalah bagian dari kajian
fikih, tetapi karena dasar argumentasinya bertalian dengan logika yang
menyangkut dasar pokok agama (usul al-din) maka dalam buku tersebut diuraikan
satu bab tentang imamah sebagai salah satu kajiannya.
Menurut al-Ghazali imamah
dibentuk bukan karena pertimbangan akal, tetapi dari pertimbangan syari'ah
dengan menggunakan pendekatan akal. Bahwa diketahui imamah membawa faedah dan
tanpa itu akan timbul bencana dan malapetaka karena kehidupan masyarakat tidak
teratur dan tidak terpimpin. Menurut al-Ghazali dalil yang dikemukakan
merupakan dalil syari'ah yang pasti (qat'i) bukan karena ijma' sebagaimana disangka
orang. Al-Ghazali menegaskan bahwa tujuan syari'ah sebenarnya adalah ketertiban
agama (nizam al-din). Prinsip ini menurut al-Ghazali tidak bisa dibantah. Dari
sini kemudian al-Ghazali mengemukakan premis lain, bahwa ketertiban agama tidak
mungkin bisa terwujud tanpa imamah yang ditaati, karena itu bila ketertiban
agama merupakan suatu kemestian, demikian pula ketertiban imamah merupakan
kemestian pula.
Al-Ghazali selanjutnya
mengemukakan ketertiban agama berupa ma'rifah dan ibadah tidak mungkin
dilakukan tanpa badan yang sehat, adanya kehidupan yang teratur, terpenuhinya
kebutuhan hidup seperti pakaian, makan, dan tempat, dan lain-lain. Ketertiban
agama tergantung kepada semua ini. Inilah yang dimaksud bahwa ketertiban agama tidak
mungkin dapat dilaksanakan tanpa ketertiban dunia. Tentang ketertiban dunia,
menurut al-Ghazali tidak mungkin bisa terwujud tanpa sultan (kekuasaan) yang
ditaati. Bukankah keamanan jiwa, harta, kehormatan, dan ketertiban kehidupan
sosial secara luas memerlukan lembaga kekuasaan yang ditaati semua pihak. Oleh
karena itu dapat dikatakan, agama adalah dasar (asas) dan sultan sebagai pelindung
(haris), sesuatu tanpa dasar akan runtuh dan tanpa pelindung akan sia-sia.
Jelaslah sultan (kekuasaan politik) adalah suatu kemestian (daru-ri) bagi
ketertiban dunia, ketertiban dunia merupakan kemestian bagi kebahagian akhirat.
Menurut al-Ghazali inilah tujuan misi para nabi yang pasti. Akhirnya dengan
pendekatan silogistis ini al- Ghazali menyimpulkan bahwa imamah adalah suatu
kemestian syari'ah tidak ada jalan lain untuk meninggalkannya.
Tentang siapakah yang
dipilih atau diangkat menjadi imam dan bagaimanakah prosedur pemilihannya
al-Ghazali mengemukakan sebagai berikut. Imam dipilih dari yang terbaik dari
kalangan ummat yang memiliki berbagai kemampuan, antara lain kemampuan mengorganisasikan
pemerintahan dan kemampuan mendorong tumbuhnya kemajuan dan kesejahteraan sosial,
dan syarat-syarat kemampuan lain yang umumnya ditetapkan bagi seorang qadi ditambah
syarat khusus harus berasal dari keturunan Quraisy. Al-Ghazali mengemukakan
termasuk dalam kategori Quraisy ialah sifat-sifat tertentu yang umumnya dimiliki
kabilah Quraisy karena peranannya mempersatukan ummat Islam, Al-Ghazali
memandang penting kemampuan-kemampuan khusus yang membedakan seorang imam dari kebanyakan
orang lain yang disebutnya dengan kata 'khasiyat'. Dari sisi ini kemudian
dikemukakan tiga prosedur pengangkatan imam. Pertama, dengan penetapan karena kenabian;
kedua, penetapan imam sebelumnya yaitu dengan menunjuk orang tertentu dari
keturunannya atau keturunan Quraisy pada umumnya. Kemungkinan ketiga ialah
dengan penyerahan kekuasaan kepada orang yang secara defakto memiliki kekuasaan
yang tidak bisa tidak harus diserahi kekuasaan imamah.
Menurut al-Ghazali sekiranya
imam sebelumnya meninggal (atau turun jabatan) tanpa ada ketentuan siapa yang menggantikannya,
kecuali seorang keturunan Quraisy (atau yang memiliki sifat seperti itu) yang
telah membangun kekuasaan serta memegang kendali kekuasaan itu, bertindak dan
bekerja dengan kekuatan politiknya sehingga semua orang tunduk kepadanya, maka
yang demikian itu dipandang telah memenuhi sifat-sifat kekuasaan politik yang
sah dan wajib ditaati. Keabsahan lembaga kekuasaan politik ditentukan dari segi
kekuatan atau kekuasaan yang nyata (syaukah) dan kemampuannya (kifayah) untuk
menjamin kemaslahatan umum dan menghindarkan kemudaratan. Jika seorang imam
tidak memenuhi persyaratan umum, kecuali hanya sebagian saja, apakah harus
dimakzulkan? Al-Ghazali menjawab, ya--bila ditemukan pengganti yang lebih baik
dan tidak menimbulkan kegoncangan politik. Kalau penggantian itu tidak mungkin
kecuali dengan perang dan pertumpahan darah, maka lebih baik mengakui kekuasaan
imam tersebut dan wajib taat kepadanya. Prinsip bahwa kehidupan yang tertib
lebih menjamin ketertiban agama mendasari pandangan al-Ghazali tersebut.
Kedua pemikir ini hidup
hampir bersamaan, al-Ghazali meninggal tahun 1111 M, sedang al-Mawardi
meninggal tahun 1031 M, tetapi latar belakang kedua orang ini berbeda.
Al-Mawardi seorang birokrat, sedang al-Ghazali walaupun pernah bekerja membantu
kerajaan sebagai mufti dan staf pengajar lembaga pendidikan kerajaan, tetapi
dia bukanlah birokrat seperti al-Mawardi. Namun demikian pemikiran mereka
memiliki kesamaan. Gagasan mengenai pentingnya lembaga kekuasaan politik untuk
tujuan "melindungi agama dan mengatur dunia" menurut versi al-Mawardi,
menurut al-Ghazali lembaga itu suatu kemestian yang tidak bisa tidak untuk
menjamin ketertiban agama, ketertiban agama tergantung kepada ketertiban dunia
dan ketertiban dunia tergantung kepada lembaga kekuasaan politik yang ditaati.
Presmis-presmis al-Ghazali didasarkan kepada logika mantiq, suatu hal yang
sangat mewarnai pemikiran al-Ghazali dalam banyak hal yang telah berkembang di
abad pertengahan, sementara al-Mawardi melihatnya dari segi fikih.
Seperti dikemukakan
argumentasi al-Ghazali mengenai ide dasar imamah dilihat dari segi logika
(mantiq), tetapi dalam rincian selanjutnya al-Ghazali juga melihatnya dari sudut
fikih, sebab dalam fikih pun logika itu digunakan. Kitab fikih al-Ghazali Ihya'
'Ulum al-Din memuat bab-bab tentang imamah dan memberi beberapa alternatif
pemecahan apabila dalam praktek menghadapi masalah. Salah satu hal yang penting
dalam fikih ialah bahwa fikih hendak menjawab masalah yang kongkret dalam
kehidupan keseharian manusia, karena itu fikih tidak bisa menghindari kemungkinan
keragaman pemecahan, sebab masalah-masalah dalam kehidupan manusia itu berkembang bahkan cukup
kompleks.
_________________________________________________________
Catatan
40.
Al-Mawardi, al-Ahkam, h. 7.
41.
Banyak tejadi pertempuran antar berbagai kerajaan Islam yang masing-masing
pihak menyatakan berwenang atas nama fungsi dan kekuasaan ini. Perang antara
Muawiyah melawan Bani Hasyim dan Zubair, antara 'Ali melawan Mu'awiyah dan
lain-lain juga dinyatakan atas nama dan kekuasaan ini. Lihat Rosenthal,
Political Tought, h. 31. Kalangan NU menafsirkan fungsi ini "memberi
kebebasan agama, khususnya Islam, untuk berkembang dan memberi bantuan secara
aktif material maupun moril, seperti yang sekarang menjadi tugas Kementerian
Agama. Tugas ini harus dicantumkan secara tegas dalam undang-undang Negara ancaman
hukuman bagi pelanggar ketentuan ini". Lihat Achmad Siddiq, 'Jalan Tengah Ditinjau dari
Dua Sistem', prasaran dalam muktamar NU di Medan, tanggal 24 Desember 1956, Arsip
Nasional, Koleksi tentang NU nomer 252.
42.
Al-Mawardi menggunakan istilah 'tanfiz al-ahkam bain al-mutasyjirin wa qat'i
al-khisam'. Fungsi ini ditafsirkan sebagai kewenangan eksekutif untuk melaksanakan
administrasi pemerintahan di bidang penegakan hukum dan keadilan. Kekuasaan eksekutif
bisa dipegang presiden sebagai kepala negara sekaligus sebagai kepala
eksekutif, boleh juga dipegang kepala eksekutif tersendiri yang umumnya dipegang
perdana menteri. Lihat Achmad Siddiq, Ibid.
43.
Al-Mawardi, al-Ahkam, h. 14-15. Arti simbol imam tidak bekerja sebagaimana
mestinya.
Ditulis
ulang dari Buku Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam
Politik Oleh : M. Ali Haidar, Gramedia, 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar