BAB
III
NU
: ORGANISASI DAN GERAKAN SOSIAL KEAGAMAAN
A. LATAR BELAKANG NU
BERDIRI
Selama abad ke-19
Indonesia mengalami efek pengaruh Barat yang membawa akibat ganda sekaligus
yaitu alinasi politik dan kemerosotan ekonomi yang semakin buruk.1 Pemerintah
kolonial Belanda dalam usaha menunjang kebutuhan dalam negerinya menerapkan
politik kerja paksa untuk menanam tanaman ekspor kepada para petani di Indonesia
yang dikenal dengan politik Tanam Paksa (1830-1870). Setelah itu disusul para
pemodal besar mengembangkan usahanya memasukkan barang-barang hasil produksi
industri Belanda ke Indonesia dan sekaligus menanamkan modal mereka dengan
membuka perkebunan besar untuk diekspor hasilnya ke luar negeri. Tentu saja kebijaksanaan
politik itu tidak bisa tidak memerlukan mekanisme politik yang otoriter dengan
mengontrol sejumlah besar elite priyayi dan pamong praja sebagai bemper pengaman
yang tangguh atas kebijaksanaan itu. Sudah tentu mereka memperoleh keuntungan ekonomis
atas jerih payah mereka, namun pada sisi lain menimbulkan alinasi antara kelas
priyayi dengan para petani kian melebar. Kebijaksanaan itu kemudian disusul
liberalisasi ekonomi dan kelonggaran impor barang konsumtif yang menimbulkan kemerosotan
ekonomi petani, tidak mampu bersaing melawan pengusaha besar.
Situasi ini membawa
akibat disintegrasi dan keresahan sosial yang hampir merata di seluruh
Indonesia.2 Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1912),
Perang Baderi (1821-1838), serta pemberontakan petani Banten (1888), merupakan
sebagian dari fenomena di atas.3 Walaupun pada umumnya pemberontakan-pemberontakan
itu dapat dipadamkan melalui operasi militer pemerintah kolonial, namun benih
ketidakpuasan para petani itu terus tumbuh dengan suburnya dan mempengaruhi
rakyat pedesaan umumnya. Akibatnya rasa ketidakpuasan itu berubah menjadi sikap
anti pemerintah asing yang "kafir" setelah mereka memperoleh
legitimasi kepemimpinan para ulama. Kombinasi dari dua hal tersebut bertaut
menjadi satu sudah tentu akan tumbuh menjadi kekuatan yang merepotkan
pemerintah kolonial. Pada umunya ulama menurut konsep hidup keagamaan yang
mereka pegang teguh tidak mungkin menerima kehadiran penjajah Belanda yang langsung
atau tidak langsung membawa misi agama Kristen yang merugikan mereka, di
samping kenyataan yang mereka rasakan sendiri kehadiran penjajah itu membawa akibat
buruk bagi kehidupan para petani ummat mereka sendiri.4 Pada sisi
lain para petani sendiri memerlukan para ulama itu sebagai tumpuan harapan menghadapi
kesulitan-kesulitan mereka terhadap kebijaksanaan kolonial yang merugikan
mereka.
Seiring dengan gerakan
perlawanan yang menyertai keresahan sosial di banyak tempat itu bermunculan
pula gerakan kebangkitan kembali agama yang menampakkan diri dalam bentuk
sekolah-sekolah dan perkumpulan tarekat di banyak tempat di seluruh Jawa dan
luar Jawa.5 Bagaikan tanaman tersiram air hujan, kegelisahan para
petani memperoleh wadah penyaluran aktualisasi diri bersama dengan menjamurnya
lembaga-lembaga sosial keagamaan di bawah kepemimpinan para ulama. Menghadapi
kenyataan itu pemerintah Belanda menyadari perlunya mengubah kebijaksanaan
politik. Membiarkan rakyat dalam keresahan dan ketidakpuasan yang terus
meningkat akan berarti memperbesar kesulitan sendiri dan memperbesar kerugian
finansial yang tidak sedikit.
Menginjak tahun-tahun
pertama abad ini Belanda kemudian mengubah kebijaksanaan politik dengan menerapkan
politik etis untuk menciptakan kondisi-kondisi sosial dan politik yang langgeng
dan memberi kemakmuran rakyat.6 Untuk itu maka dilakukan pembaruan
sosial politik antara lain membantu pendidikan rakyat dengan membuka sekolah-sekolah
untuk pribumi, perbaikan prasarana dan fasilitas perekonomian dan memberi
otonomi daerah kepada pribumi.7 Sayangnya kebijaksanaan politik etis
itu tidak disertai pemahaman yang baik tentang lembaga-lembaga kekuasaan tradisional
yang telah mapan dalam kehidupan sosial ekonomi pribumi. Pemerintah tetap menjalankan
kekuasaan otoriter memaksakan kehendaknya, akibatnya lembaga-lembaga kekuasaan
itu mengalami erosi yang pada akhirnya menimbulkan kegelisahan sosial yang berkepanjangan.8
Tidak seluruh proses
modernisasi yang dijalankan pemerintah dengan kebijaksanaan politik etis itu
membawa hasil negatif bagi rakyat pribumi. Sebagian dari mereka yang mengenyam
pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial tumbuh menjadi pemimpin
rakyat. Tumbuhlah di awal abad ini sejumlah perhimpunan sosial pendidikan, yang
walaupun pada mulanya bersifat kedaerahan terus berkembang menjadi gerakan
kebangkitan nasional.9
Dalam konteks Islam
peralihan abad yang lalu juga ditandai munculnya gerakan pembaruan di Mesir,
Turki dan India. Meskipun titik tolak mereka berangkat dari latar belakang yang
berbeda, namun asumsi mereka memiliki titik persamaan. Kesadaran sosial politik
yang diilhami pengenalan mereka terhadap kebudayaan Barat yang telah maju,
menjadikan mereka lebih kritis dalam melihat realitas ummat Islam di negeri
mereka. Sementara di Mesir dan sebagian Timur Tengah lainnya muncul gagasan Pan
Islamisme yang dipelopori Jamal al-Din al-Afghani untuk mempersatukan seluruh
dunia Islam, di Turki kemudian muncul gagasan nasionalisme yang meruntuhkan
Khalifah Usmani.10 Walaupun Pan Islamisme pada mulanya memperoleh
sambutan luar biasa di negeri-negeri muslim, termasuk Turki pada mulanya, namun
lambat laun surut di tengah gelombang gerakan nasionalisme negeri-negeri muslim
untuk mempejuangkan kemerdekaan mereka dari penjajahan Barat sepanjang paruh
pertama abad keduapuluh.
Berbeda dengan dua
negeri tersebut di atas, di Saudi Arabia muncul kembali gerakan Wahabisme yang
pernah berjaya sekitar abad ke-18 dengan keberhasilan dinasti Sa'udiyah merebut
kekuasaan di semenanjung Arabia termasuk dua kota suci Mekkah dan Madinah pada
permulaan dekade ketiga abad ini. Jika yang terdahulu gerakan pembaruan
bergulat dengan kesadaran sosial politik atas ketertinggalan mereka dari Barat,
maka di Saudi Arabia lain lagi Mereka meneruskan tradisi Wahabisme bergulat dengan
persoalan internal ummat Islam sendiri yaitu reformisme faham tauhid dan
konservatisme daiam bidang hukum yang menurut mereka telah dirusak oleh
khurafat dan kemusyrikan yang melanda kehidupan ummat Islam.11 Kedua
hal tersebut tidak bisa tidak meniupkan hembusan angin yang mempengaruhi para
pemimpin Islam di tanah air, sebab tidak sedikit di antara mereka merupakan
alumni lembaga-lembaga pendidikan di Saudi Arabia maupun Mesir di samping tidak
sedikit pula ummat Islam yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah menerima
informasi baru mengenai perkembangan tersebut.
Dalam pada itu di
Indonesia sendiri, seperti telah disinggung di muka, tumbuh organisasi sosial
kebangsaan maupun sosial keagamaan yang bertujuan untuk memajukan kehidupan
ummat seperti antara lain Budi Utomo12 dan Syarikat Islam13
yang kemudian disusul Muhammadiyah.14
Peristiwa-peristiwa ini
membangkitkan obsesi sejumlah pelajar Indonesia yang menuntut pelajaran di
Mekkah antara lain Abdul Wahab Chasbullah, Muhammad Dahlan, Asnawi dan Abbas.
Mereka kemudian mendirikan Cabang SI di Mekkah.15 Belum sempat
mereka mengembangkan organisasi tersebut karena mereka segera pulang ke Indonesia
setelah perang dunia pecah. Namun obsesi mereka untuk memajukan kaum muslimin
tidak berhenti setelah mereka pulang ke Indonesia. Terbukti sekitar tahun 1914 sebagian
dari mereka mendirikan sebuah organisasi pendidikan dan da'wah yang diberi nama
Nahdatul-Watan (kebangkitan tanah air) yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan
(pengajaran) formal berupa sekolah (madrasah) dan kursus-kursus praktis
kepemimpinan (waktu itu istilahnya perjuangan), organisasi dan administrasi.16
Selanjutnya tahun 1918 berdiri organisasi lain yaitu Taswirul-Afkar (representasi
gagasan-gagasan) di Surabaya yang bergerak dalam kegiatan yang sama dengan
pendahulunya tetapi lebih menekankan aspek sosialnya.17
Kedua organisasi itu
dirintis bersama oleh pemuda Abdul Wahab dan Mas Mansur dibantu beberapa orang lain.
Keduanya pernah bertemu di Mekkah ketika samasama belajar di sana. Oleh karena
Abdul Wahab lebih tua umurnya (Abdul Wahab lahir tahun 1888 dan Mansur tahun
1896) dan mempunyai pengalaman belajar di pesantren lebih lama, Mansur
menghargainya sebagai senior bahkan tidak jarang sebagai tempat bertanya
soal-soal pelajaran yang dia terima; sebaliknya Abdul Wahab menghargai Mansur
sebagai pelajar yang cerdas dan memiliki potensi untuk menjadi pemimpin ummat.18
Setelah akhirnya keduanya bertemu kembali di Surabaya sepulang mereka dari perantauan
belajar di luar negeri, mereka pun kemudian giat dalam aktivitas kemasyarakatan
dan pendidikan yang sama. Salah satu hasil rintisan mereka adalah dua organisasi
yang berdiri di Surabaya itu.
Nahdatul-Watan dirintis
tahun 1914 mendapat pengakuan badan hukum tahun 1916 dengan bantuan pemimpin SI
Tjokroaminoto dan seorang arsitek bernama Soenjoto.19 Menyadari bahwa
gerakan sosial pendidikan memerlukan biaya yang tidak sedikit mereka melibatkan
seorang saudagar kaya yang menaruh perhatian besar persoalan kaum muslimin
bernama H. Abdul Qahar berasal dari Kawatan, perkampungan di sebelah selatan
Tugu Pahlawan, Surabaya. Saudagar itu kemudian ditunjuk sebagai direktur yang
segera memelopori pembangunan gedung sekolah berlokasi di Kawatan juga. Mas Mansur
dipercaya sebagai guru kepala, sementara Abdul Wahab sendiri sebagai guru
selain sebagai pengurus Nahdatul-Watan bersama Mas Mansur. Pribadi Kyai Abdul
Wahab yang terbuka dalam pergaulan, cukup vokal dalam mengutarakan pendapat,
serta pengaruhnya yang dirintis sejak belajar di pesantren Tebuireng20dan
Bangkalan, membawa keuntungan bagi organisasi yang baru dibentuk itu. Dalam
waktu yang singkat lima tahun pertama berdiri beberapa cabang madrasah di
Malang, Semarang, Gresik, Jombang dan beberapa tempat di Surabaya sendiri.
Sebagian ada yang tetap menggunakan nama Nahdatul-Watan sebagian lagi menggunakan
nama lain seperti Far'ul-Watan, Hidayatul-Watan, Khitabatul-Watan atau Akhul-Watan
dan lain-lain.21 Boleh dikata semua cabang-cabang itu dipelopori
oleh kawan-kawan Kyai Abdul Wahab sendiri dan murid-muridnya, baik ketika di
pesantren maupun di Mekkah.
Kegiatan yang dilakukan
Nahdatul-Watan tidak hanya pengajaran sekolah formal belaka melainkan juga
kursus-kursus kepemudaan, organisasi, da'wah (ketika itu menggunakan istilah
nadwah berarti pertemuan pengajian untuk menyeru kebenaran), dan perjuangan.
Kyai Mas Mansur lebih berperan memimpin sekolah sementara Kyai Abdul Wahab di
bagian kursusnya. Sejumlah kyai muda turut serta dalam kursus itu yang kelak
kemudian mereka inilah yang ikut membidani kelahiran Komite Hijaz yang kemudian
berubah menjadi NU.22 Selanjutnya setelah beberapa cabang Nahdatul-Watan
berdiri dan melakukan kegiatannya, di Surabaya didirikan sebuah organisasi baru
Taswirul-Afkar frepresentasi gagasan-gagasan) oleh Kyai Ahmad Dahlan, pemimpin
sebuah pesantren di Kebondalem, Surabaya, bersama Kyai Mas Mansur, Kyai Abdul
Wahab dan Mangun.23 Sampai dengan tahun 1929, sejak berdiri tahun
1918, nama resmi organisasi itu ialah Suryo Sumirat Afdeling Taswirul-Afkar.24
Setelah itu organisasi tersebut mendapat pengakuan badan hukum resmi maka nama
Suryo Sumirat dihapuskan.
Ada dua hal yang perlu
dicatat mengenai nama organisasi ini. Kaitan nama dengan Suryo Sumirat, sebuah badan
hukum resmi yang didirikan oleh anggota-anggota Budi Utomo dan mengenai nama
Taswirul-Afkar. Menurut penuturan K.H. Hamim Sjahid yang pernah menjabat guru kepala
Madrasah Taswirul-Afkar tahun 1925-1935, bahwa nama Suryo Sumirat digunakan
untuk memudahkan perizinan karena Suryo Sumirat sudah terdaftar sebagai badan hukum
secara resmi.25 Hal ini menandai kaitan, setidaktidaknya pengaruh,
pembentukan Taswirul-Afkar dengan Budi Utomo, paling tidak dengan
anggota-anggota Budi Utomo di Surabaya. Barangkali karena hubungan dua tokoh
Kyai Abdul Wahab dan Kyai Mansur dengan kalangan Budi Utomo cukup akrab, lahirlah
gagasan membentuk wadah organisasi bagi anggota Budi Utomo yang umumnya kurang
pengetahuan agama agar mereka dapat belajar agama dengan baik.
Hal yang kedua mengenai
nama organisasi itu sendiri merupakan wadah untuk merepresentasikan gagasan
atau ide. Dengan demikian orang yang belajar tidak merasa dianggap lebih rendah
sebagai murid, tetapi sejajar sebagai layaknya sebuah kegiatan diskusi. Berbeda
dengan Nahdatul-Watan yang sejak semula bergiat dalam pendidikan (pengajaran)
dan kursus-kursus, anggotanya dari lingkungan santri sendiri, bahkan pada
dasawarsa dua puluhan menyelenggarakan pendidikan untuk yatim piatu dan miskin
tanpa dipungut biaya.26 Kegiatan Taswirul-Afkar dasawarsa pertama
lebih menitikberatkan diskusi dan kursus sampai kurang lebih tahun-tahun
terakhir dua puluhan. Sesudah itu nama Suryo Sumirat dihapus dan kegiatannya tidak
lagi terbatas seperti semula tetapi lebih mengarah ke pengajaran kelas dengan
membuka sekolah biasa dan sekolah untuk yatim dan miskin. Dari gedung yang
semula disewa terletak di Ampel, dekat masjid Sunan Ampel, kemudian dibeli
dengan harga f. 6.000 ditambah biaya perbaikan dan pengadaan peralatan sekolah.27
Jika harus dikemukakan
pemuda santri yang menonjol kepekaan sosialnya dan minat yang tinggi untuk
kerja sama dengan kaum muslimin ketika itu maka pemuda Abdul Wahab adalah salah
satu dari mereka. Pemuda ini bukanlah tipe orang yang mudah putus asa atau
patah semangat, memiliki kemauan yang keras dan kepedulian sosial yang tinggi.
Tidak berhenti dengan dua lembaga yang telah dirintis terdahulu, pada tahun
1918 atas restu gurunya yang sangat dihargai yaitu K.H. Hasjim Asj'ari
didirikan sebuah usaha perdagangan dalam bentuk koperasi dengan istilah 'sjirkah
al-'inan' yang diberi nama Nahdatut-Tujjarr (kebangkitan usahawan).28
Diangkat selaku ketua koperasi itu K.H. Hasjim Asj'ari dan pemuda Abdul Wahab
selaku manajer yang menjalankan koperasi itu. Patungan saham dan modal usaha
koperasi itu f. 1.125 yang ditanggung bersama oleh 45 orang anggota masing-masing
f. 25 namun sayang bagaimana perkembangan koperasi itu selanjutnya tidak diketahui
karena belum ditemukan bahan referensinya, kecuali hanya akte pendirian
koperasi itu saja.29 Meskipun demikian pembentukan koperasi itu
menunjukkan bahwa sekitar sepuluh tahun sebelum NU lahir telah dimulai suatu
upaya dari lingkungan pesantren sendiri untuk menghimpun kegiatan bersama
walaupun pada waktu itu masih bersifat lokal dan belum terencana secara utuh.
Nahdatul-Watan berikut cabang-cabangnya, Taswirul-Afkar kemudian disusul
Nahdatut-Tujjarr merupakan wujud dari obsesi mereka unhtk mengembangkan kaum
muslimin yang telah tumbuh sejak mereka di perantauan belajar di luar negeri.
B. KONFLIK KEAGAMAAN
DAN ALIRAN BARU
Awal dasawarsa dua
puluhan Muhammadiyah mulai memasuki daerah Jawa Timur, setelah kurang lebih
lima sampai delapan tahun pertama kegiatannya hanya terbatas di daerah
Yogyakarta, bahkan lebih sempit di sekitar daerah Kauman saja.30
Sebelum mendirikan Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan adalah anggota Budi Utomo
sejak tahun 1909.31 Ketika Budi Utomo mengadakan kongres di Yogyakarta tahun
1917 Kyai Ahmad Dahlan giat membantu acara tersebut, bahkan tempat tinggalnya
dijadikan sebagai salah satu pusat kegiatan kongres. Sejak saat itu sejumlah kalangan
Budi Utomo menaruh perhatian besar kepada Kyai Ahmad Dahlan dan perkumpulannya
Muhammadiyah. Permintaan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah berdatangan dari
berbagai daerah di Jawa. Untuk mengatasi ini anggaran dasar Muhammadiyah diubah,
sebab sebelumnya anggaran dasar itu membatasi kegiatan Muhammadiyah di daerah
Yogyakarta saja. Perubahan yang dilakukan tahun 1920 menegaskan bahwa daerah operasinya
untuk seluruh pulau Jawa dan pada tahun berikutnya diubah lagi untuk seluruh
daerah Indonesia.32
Dalam pada itu di Surabaya
sendiri sudah muncul seorang saudagar Minangkabau murid H. Rasul bernama Pakih
Hasjim yang menyempatkan diri berda'wah selain kegiatannya berdagang. Dalam
berbagai kesempatan da'wahnya Pakih Hasjim antara lain menganjurkan penghapusan
tradisi ibadah yang dilakukan masyarakat umum seperti 'usalli' (mengucapkan
niat ketika akan mulai salat) dan lain-lain serta menganjurkan kaum muslimin
untuk melakukan ijtihad dengan menggali dari sumber pokok agama Islam yaitu
Qur'an dan hadis, meninggalkan kebiasaan lama yang bersandar kepada kitab-kitab
mazhab.33 Da'wah Pakih Hasjim seringkali diselenggarakan bekerja
sama dengan Al-Irsyad yang memang memiliki pemikiran sejalan dengan Pakih
Hasjim. Kunjungan Kyai Ahmad Dahlan ke Surabaya dan Kepanjen serta beberapa
daerah lain di Jawa Timur pada waktu itu antara lain juga bertemu dengan Pakih Hasjim
dan Mas Mansur. Dari hasil kunjungan-kunjungan itulah maka pada tanggal 1
November 1921 didirikan cabang Muhammadiyah di Surabaya. Sesudah itu berdiri cabang
di Bangil, Kepanjen (selatan Malang) dan Lamongan.
Walaupun dakwah-dakwah
yang diselenggarakan para penyokong Muhammadiyah berlawanan dengan pendapat umum
yang berlaku dalam masyarakat, namun pertentangan yang muncul ke permukaan
masih terbatas dari mulut ke mulut. G.F. Pijper mengibaratkan kehidupan sosial keagamaan
masyarakat Indonesia sampai dengan tahun-tahun permulaan abad ke-20 sebagai
"sebuah kolam yang tenang, permukaan airnya sekali-sekali saja
beriak".34 Kurang lebih dua puluh tahun kemudian segalanya
berubah, menjadi aliran sungai yang sewaktu-waktu airnya meluap.35
Ibarat itu kemudian terjadi, kongres Al-Islam tahun 1922 di Cirebon menjadi
ajang perbedaan pendapat yang seru, "suasana perbantahan dan pertentangan
yang tajam antara guru-guru dan ulama Islam", tulis H. Agus Salim.36
Kongres itu sendiri hampir gagal karena suasana perdebatan sedemikian rupa
sampai "kafir-mengafirkan dan musyrik-memusyrikkan oleh karena pertikaian
faham tentang perkara yang kecil-kecil sekali".37
_________________________________________________________
Catatan :
1.
Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, (The Hague and Bandung, 1958)
h. 32-36. Selanjutnya dikutip The Crescent.
2. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani
Banten 1888, terjemahan Hasan Basari, Uakarta: Pustaka Jaya), 1984, h. 13-14.
Selan jutnya disingkat Pemberontakan Petani.
3. Soekesi Soemoatmodjo, Perang Diponegoro,
dalam Sartono Kartodirdjo (ed.), ejarah Perlawanan terhadap Kolonialisme,
(Jakarta: Departemen Pertahanan Keamanan, Pusat Sejarah ABRI, 1973), h. 121-161.
Teuku Ibrahim Alfian, Sejarah Singkat Perang di Aceh, dalam Sartono Kartodirdjo,
ibid., h. 237-263. Kuntowidjojo, Perang Paderi, dalam Sartono Kartodirdjo,
Ibid., h. 87-119.
4. Pemberontakan Cikandi (1&45) dan Wakhia
(1850) merupakan salah satu contoh munculnya kedua orientasi di atas; Lihat Sartono
Karto-dirdjo, Pemberontakan Petani, h. 173-182.
5. Dalam tahun 1860-an ada sekitar 300 pesantren
di seluruh pulau Jawa. Di antaranya di Lengkong dan Punjul (Cirebon), Daya
Luhur di Tegal dan sebagainya. Tarekat Naqsyabandi, Qadiriyah dan Satariyah juga
bermunculan di desa-desa; Lihat Ibid., h. 207-242.
6. Harry T. Benda, The Crescent, h. 34.
7. Ibid., lihat pula Bemhard Dahm, Sukarno dan
Perjuangan Kemerdekaan, tejemahan Hasan Basari, (Jakarta : LP3ES 1987), h.
11-12, selanjutnya dikutip Soekarno.
8. The Crescent, h. 35.
9. Selanjutnya lihat A.K. Pringgodigdo, Sejarah
Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Pustaka Rakyat, 1964).
10.
Pembaruan Islam di Mesir muncul karena perkenalan ulama dan intebktual Mesir
dengan kebudayaan Perancis yang dibawa masuk oleh tentara Perancis zaman
Napoleon. Hal yang serupa juga tejadi di
Turki, namum gagasan itu dirintis oleh kalangan militer dan para birokrat,
bukan oleh para ulama seperti yang terjadi di Mesir. Selanjutnya lihat Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), selanjutnya dikutip Pembaharuan.
11.
Harun Nasution, Pembaharuan, h. 23-26.
12.
Budi Utomo suatu perhimpunan Jawa berdiri tanggal 20 Mei 1908 kemudian
berkembang menjadi organisasi pergerakan nasional. Dalam laporan Adviseur voor
Inlandsche Zaken kepada Gubernur Jenderal tanggal 30 Dsember 1908 dikatakan:
"Adalah beberapa orang Jawa dari
Yogyakarta yang pertama kali embikin rencana... Pada tahun 1906 seorang Dokter
Jawa pensiunan, Mas Ngabei Soediro Hoesodo (alias Wahidin).. mendapat
kepercayaan yang luas disokong beberapa keluarga Raja yang maju dari Pakualaman
berkeliling Jawa dengan tujuan mengajak
pegawai-pegawai Bumiputera bekerja sama untuk mendirikan serupa 'beasiswa'.
Sebagai hasil dari propaganda itu sekarang ini adalah pendirian Budi Utomo,
baru saja bulan Juli lalu mendapat 600 anggota ... Dan sebenamya dilihat dari kacamata
itu pertemuan Yogya bulan Oktober 1908 adalah suatu kejadian penting dalam
sejarah Jawa".
Kilasan Petikan Sejarah Budi Utomo,
terjemahan Darsjaf Rahmad, Jakarta: Yayasan Idayu, 1975), h. 62-65.
13.
Serikat Islam berdiri tanggal 11 November 1912 di Solo me rupakan kelanjutan
dari Serikat Dagang Islam yang berdiri satu tahun sebelumnya. Organisasi ini
sedikitnya didorong oleh dua hal yaitu kompetisi yang meningkat dalam
perdagangan batik terutama dari golongan Cina dan sikap superioritas orang-orang
Cina terhadap orang-orang Indonesia sehubungan dengan berhasilnya revolusi Cina
tahun 1911. Lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942,
Uakarta: LP3ES, 1982), h. 115. Selanjutnya disingkat Gerakan Modern.
14.
Muhammadiyah didirikan tanggal 18 November 1912 oleh K.H. Ahmad Dahlan atas
saran murid-muridnya dan beberapa anggota Budi Utomo. Mendapat pengakuan badan
hukum tanggal 22 Agustus 1914, nomer 81;
diubah tanggal 16 Agustvs 1920, nomer 40; dan diubah lagi tanggal 2 September
1921 nomer 36. Lihat Bendera Islam, 1 januari 1925. Pada mulanya Muhammadiyah
daerah operasinya hanya di Yogyakarta saja, bahkan hanya di sekeliling Kauman.
Ketika Budi Utomo mengadakan kongres di Yogyakarta tahun 1917 beberapa anggota
Budi Utomo menaruh perhatian kepada Kiyai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah maka
sesudah itu mengalir permintaan pendirian cabang. Untuk mengatasi itu maka
diadakan perubahan anggaran dasar yang membatasi kegiatannya. Gerakan Modern,
h. 84-88.
15.
Hubungan ulama pesantren dengan SI mulanya tidak berjalan baik. Setelah Kyai
Chasbullah, ayahanda Kyai Wahab, dapat berkompromi dengan para aktifis SI maka
pelajar Indonesia yang bermukim di Mekkah pun menyambutnya dengan mendirikan cabang
SI di sana. Muhammad Dahlan berasal dari Kertosono. Dengan nama kota ini
kemudian Dahlan dikenal, Kyai Dahlan Kertosono. Aktif di Nahdatul-Wafan dan NU
sejak awal. Kyai Abas berasal dari Jember dan Kyai Asnawi dari Kudus. Sebenamya
ada seorang lagi yaitu Bishri Sjansuri tetapi yang bersangkutan menangguhkan untuk
minta izin dulu kepada gurunya Kyai Hasjim Asj'ari. Belum sempat izin diterima
kemudian pecah perang dunia dan mereka pulang ke Indonesia. Lihat K.H. Abdul
Halim, Sejarah Perjuangan Kyai Haji Abdul Wahab, (Bandung: Penerbit barn,
1970), h. 7. Selanjutnya disingkat Sejarah Perjuangan. Abdurrahman Wahid, NU
dan Asal Usulnya, dalam Warta Nahdlatu2 Ulama, nomer 8, April 1986.
16.
Nahdatul-Watan mendapat pengakuan badan hukum tahun 1916, tentu berdiri dua
atau tiga tahun sebelnmnya sebab untuk mengurus pengesahan itu memerlukan
waktu. Sejarah Perjuangan, h. 8.
17.
K.H. Hamim Sjahid, Riwayat Taswirul-Afkar, naskah pidato peringatan 50 tahun,
Surabaya, 1968. Selanjutnya disingkat Riwayat. H. Abdul Halim, Sejarah
Perjuangan, h.7. Penulis buku ini menceritakan pengalamannya belajar bersama
Kiyai Wahab dan Kiyai Mansur di Mekkah, kemudian bertemu kembali di Surabaya bergabung
dengan mereka. Sejak awal menjabat tata-usaha Nahdatul-Watan.
18. Mengenai tahun pendirian Nahdatul-Watan
tidak jelas tahun berapa, tetapi sumber-sumber yang diketahui penulis menyebutkan
tahun 1916 karena tahun itu mendapat pengakuan badan hukumnya. Hal ini membuktikan
bahwa tahun pendiriannya sebelum tahun itu, sebab pengurusan badan hukum
memerlukan waktu yang lama. Taswirul-Afkar memerlukan waktu 11 tahun dan NU 3
tahun. Tahun 1914 sebagai perkiraan, dua tahun sebelum pengakuan badan hukumnya.
Kyai Wahab dan Kyai Mansur baru pulang dari Mekkah antara tahun 1913 dan 1914.
Diperkirakan mereka memerlukan waktu sedikitnya satu tahun untuk bertemu dan
merancang kegiatan bersama. Jika benar mereka barn kembali tahun 1914, maka
diperkirakan mereka segera bertemu seperti kebiasaan mereka yang baru kembali
dari luar negeri untuk saling mengunjungi.
20.
Kyai Wahab menjabat sebagai lurah santri, pemimpin para santri, ketika belajar
di pesantren Tebuireng.
21.
K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, h. 10. Lihat pula H. Abubakar Atjeh
(ed.), Sejarah Hidup K.H. Wachid Hasjim dan Karangan Tersiar, Jakarta: Panitia
Buku Peringatan, 1957), h. 469-473, selanjutnya dikutip Sejarah Hidup.
22.
Dalam naskah K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, nama Komite ini tertulis
Komite Hijaaj (seharusnya tertulis hijaj, tanpa maaddah, bentuk jamak dari kata
hajj) tetapi dalam berbagai dokumen dan penerbitan tertulis hijaaz, nama daerah
di semenanjung Arabia di tempat mana terletak kota Mekkah dan Madinah.
23.
K.H. Hamim Sjahid, Riwayat. Mangun anggota Budi Utomo di Surabaya yang
mempunyai hubungan dengan para ulama di Surabaya. Mangun hadir dalam Kongres
Al-Islam di Surabaya tahun 1924 atas nama Nahdatul-Watan. Bendera Islam, 30
Oktober 1924.
24.
K.H. Hamim Sjahid, Riwayat.
25.
K.H. Hamim Sjahid, Riwayat.
26.
K.H. Abdul Halim, Sejarah Perjuangan, h. 10.
27.
Swara Nahdlatul Oelama, nomor 5, Tumadil Awwal 1347, h. 98.
28.
Akte pendirian koperasi berbahasa Arab dengan nama Syirkah al-'Inan Murabitah
Nahdatut-Tujjrir, ditandatangani akhir Rajab 1336 Hijriah atau 1918 Masehi.
Disebutkan akan dimintakan badan hukumnya dua atau tiga tahun lagi.
29.
Anggota koperasi yang tertera dalam akte pendirian sebanyak 45 orang berasal
dari Jombang, Surabaya, Malang, Pasuruan, Bangil dan lain-lain. Masing-masing
anggota menyetorkan saham atau simpanan wajib sebesar Rp 25. Untuk tahap awal
kegiatan koperasi dibidang pertanian.
30.
Lihat catatan kaki nomer 14.
31.
Daliar Noer, Gerakan Modern, h. 86.
32.
Bendera Islam, 1 Januari 1925.
33.
Deliar Noer, Gerakan Modern, h. 246.
34.
G. F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950,
terjemahan Tudjimah dan Yessy Agusdin, (Jakarta: UI Press, 19&Q), h. 105.
Selanjutnya disingkat Beberapa Studi.
35.
G. F. Pijper, Beberapa Studi, h. 105.
36.
Hindia Baroe, 27 Mei 1924.
37.
H. Agus Salim, Persatuan Pemimpin Islam, dalam Hindia Baroe, 19 Februari 1926.
Ditulis ulang dari Buku Nahdatul Ulama dan Islam di
Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik Oleh : M. Ali Haidar, Gramedia, 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar