Minggu, 21 Desember 2014

Seri Buku Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia : Pendekatan Fikih dalam Politik (1)


BAB I
PENDAHULUAN

Perkembangan Islam di Indonesia merupakan proses yang berkaitan dengan berbagai sektor kehidupan lainnya yang sangat kompleks. Untuk sebagian dapat diterangkan melalui keterlibatan kegiatan perdagangan yang berkembang sejak abad XI. Intensitas kontak-kontak perdagangan itu selanjutnya menghasilkan tumbuhnya pemukiman masyarakat muslim di pesisir kepulauan Nusantara. Melalui proses sejarah yang sangat panjang, cukup alasan untuk menyimpulkan bahwa lambat laun Islam telah menjadi bagian yang begitu dalam menguasai batin masyarakat Indonesia.1

Meski demikian, keberhasilan Islam menembus akar kehidupan masyarakat Indonesia, tidak berarti akar lama yang bersumber dari tradisi dan budaya setempat, hilang sama sekali. Kondisi semacam ini juga bisa diamati di bagian lain di belahan bumi ini. Pergumulan Islam dengan nilai budaya setempat menuntut adanya penyesuaian terus menerus tanpa harus kehilangan ide aslinya sendiri. Penghadapan Islam dengan realitas sejarah, akan memunculkan realitas baru, bukan saja diakibatkan pergumulan internalnya menghadapi tantangan yang harus dijawab, tetapi juga keterlibatannya dalam proses sejarah sebagai pelaku yang ikut menentukan keadaan zaman.2 Dalam proses seperti ini Islam tidak saja harus menjinakkan sasarannya, tetapi dirinya sendiri terpaksa harus diperjinak. Dengan demikian akan terjadi keragaman dalam Islam akibat dari tuntutan ajarannya sendiri yang universal.3

Organisasi jami'iyah Nahdatul Ulama (4 yang didirikan tahun 1926 di Surabaya merupakan salah satu wujud dari fenomena di atas. Dipelopori oleh ulama yang berpusat di pesantren-pesantren, organisasi ini memiliki wawasan keagamaan yang berakar pada tradisi keilmuan tertentu, berkesinambungan menelusuri mata rantai historis sejak abad pertengahan, yaitu apa yang disebut ahlussunnah wal ja-
maah. Pandangan ini menekankan pada tiga prinsip yaitu mengikuti faham Asy'ariyah dan Maturidiyah dalam bidang teologi, mengikuti salah satu dari mazhab empat dalam bidang fikih, dan mengikuti faham al-Junaid dalam bidang tasawuf. Konsep-konsep ini tertuang dalam sejumlah referensi yang sangat luas. Dengan ketiga prinsip ini dapat dikembangkan pandangan keagamaan yang utuh dan pada tingkat tertentu tercermin pula dalam prilaku politik maupun kultural.5  Keberhasilan ulama menghimpun pengikut yang besar, menumbuhkan solidaritas dan integritas yang kuat, menjadikan organisasi ini sebagai salah satu kekuatan social politik, kultural dan keagamaan yang sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun. Gagasan yang pertama kali ketika NU dibentuk bukanlah dari wawasan politik, melainkan dari wawasan sosial keagamaan. Meskipun demikian wawasan tersebut tidak lantas menjadikan NU mengabaikan soal-soal politik. Sekitar awal tahun tiga puluhan NU terlibat dalam perumusan tata cara pelaksanaan hukum perkawinan dengan pemerintah Hindia -Belanda. Tidak bisa tidak seal ini kemudian melibatkan NU dalam soal politik antara lain soal pengangkatan penghulu. Namun perubahan orientasi ini lebih kelihatan ketika sejumlah eksponen muda NU terlibat dalam polemik mengenai dasar-dasar negara yang sedang diperjuangkan menjelang akhir tahun tiga puluhan. Kemudian disusul dengan pembentukan MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) yang kemudian digantikan Masyumi ketika zaman Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tahun 1945, sejumlah organisasi Islam kemudian membentuk partai politik Islam Masyumi. Walaupun pada mulanya dapat dipertahankan keutuhan partai tersebut, namun tidak sampai sepuluh tahun setelah pembentukannya dua unsur utama pendukungnya memisahkan diri, SI (Syarikat Islam) tahun 1947 dan NU tahun 1952.

Sebagaimana akan dijelaskan nanti, kemelut dalam tubuh Masyumi akibat keanggotaan yang ganda, tidak dapat diselesaikan dengan baik. Tuntutan NU agar struktur organisasi Masyumi diubah menjadi badan federasi tidak memperoleh tanggapan semestinya.8 Akibatnya NU menyatakan keluar dari Masyumi dan membentuk partai tersendiri dengan tetap mengharapkan terbentuknya badan federasi atau koalisi partai politik Islam. Meskipun demikian badan federasi yang akhirnya terbentuk tanpa ikut sertanya Masyumi, yaitu Liga Muslimin Indonesia, tidak berkembang sesuai dengan harapan dan akhirnya mati karena badan federasi
tersebut tidak memiliki daya pengikat yang kokoh.

Menjelang kemerdekaan terjadi perdebatan yang sengit dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) khususnya mengenai dasar negara dalam rangka menyusun UUD. Setidaknya ada
kelompok yang saling berlawanan. Satu pihak menghendaki Indonesia menjadi negara Islam atau dasar Negara adalah Islam, sementara pihak yang lain berpendirian Indonesia harus menjadi negara kesatuan nasional yang memisahkan soal agama dari negara.9  Hasil kompromi yang telah dicapai oleh Panitia Kecil, yang dibentuk dalam sidang BPUPKT yang terdiri atas sembilan orang, yang akhimya dikenal dengan Piagam Jakarta, tidak berhasil diterima sidang. Perdebatan bahkan makin seru berlangsung. Akhirnya dengan kebesaran hati sejumlah pemimpin nasionalis muslim antara lain Wachid Hasjim, Kasman Singodimedjo dan Bagus Hadikusumo dalam pertemuan dengan Hatta menjelang sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945 disepakati untuk menghapuskan anak kalimat dalam Piagam tersebut dari konstitusi. Anak kalimat tersebut tidak lain adalah tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".

Walaupun ketika itu telah diyakini bahwa asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 pada hakekatnya mencerminkan asas tauhid dalam Islam, namun masalah dasar mengenai kedudukan negara menurut pandangan Isiam dan sebaliknya bagaimana kedudukan agama dalam negara, belumlah dianggap final. Konferensi alim ulama yang diselenggarakan Kementerian Agama antara tahun 1952-1954 memutuskan bahwa kekuasaan kenegaraan Republik Indonesia merupakan kekuasaan yang zu syaukah (defakto) dengan sebutan waliyyul-amr ad-ddarurri bisy-syaukah (pemegang kekuasaan temporer yang defakto memegang kuasa.10 Keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan tidak mungkin membangun kekuasaan politik tersendiri untuk menjalankan hukum Islam di dalam negara Republik Indonesia, maka kekuasaan yang zu syaukah tersebut diterima dalam keadaan tidak ada pilihan lain (daruri).

Jauh sebelum itu, dalam muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, telah ditetapkan bahwa daerah Jawa (ardu Jawa) dalam arti Nusantara adalah dar al-islam, padahal ketika itu daerah tersebut dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda.11 Muktamar NU mendasarkan pertimbangan keputusannya bahwa masyarakat Islam di kawasan Nusantara dapat menjalankan agamanya dan melaksanakan hokum Islam tanpa terusik meskipun secara formal kekuasaan politik berada di tangan Hindia Belanda.12 Sebelum penjajahan Belanda daerah tersebut dikuasai kerajaan Islam dan bagian terbesar penduduknya beragama Islam. Kalau kemudian daerah tersebut dikuasai Belanda dan secara politik ummat Islam tidak mampu mengusirnya, tidak menghalangi status kawasan tersebut sebagai dar al-Islam.13

Tiga peristiwa tersebut memberi gambaran mengenai sikap NU tentang pemerintah dan negara RI. Sejak muktamar Banjarmasin 1936 sampai penerimaan asas tunggal Pancasila 1984 NU memperlihatkan garis pemikirannya secara linier sejak tahun 1936 NU telah menegaskan bahwa wilayah nusantara adalah dar al-Islam (negeri muslim). Ini berarti merupakan tanggung jawab ummat Islam untuk mempertahankan negerinya, khususnya ditujukan terhadap pemerintah kolonial penjajah. Namun dalam mengapresiasikan sikap itu NU selalu berpijak dari tradisi pemikiran fikihnya, sejauh mungkin menghindari anarki dan pertumpahan darah. Melaksanakan perintah agama tidak selalu harus mengakibatkan timbulnya anarki dan pertumpahan darah. Untuk mencapai tujuan membentuk negeri muslim yang sesungguhnya ditempuh melalui proses dan tahap tertentu, menghindari sikap mutlak-mutlakan.

Ketika proklamasi 17 Agustus 1945 diumumkan, NU turut pula memainkan peranan memecahkan problem yang paling krusial dalam sejarah bangsa. Akhirnya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 disepakati. Ketika saatnya kesepakatan itu menghadapi ujian berat dari ancaman agresi Belanda yang hendak kembali merebut wilayah Indonesia, NU mengeluarkan resolusi jihad Oktober 1945 yang dilanjutkan dengan keputusan muktamar 1946.14 Resolusi itu memberi gambaran yang jelas konsistensi sikap NU sebelumnya dalam muktamar Banjarmasin dan kesepakatan proklamasi. Setelah itu tahap selanjutnya ialah sikap NU tentang penerimaan terhadap kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan RI melalui keputusan konferensi alim ulama tahun 1954. Kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan RI dinilai sebagai waliyy al-amr al-daruri bi al-syaukah (kekuasaan kenegaraan yang defakto memiliki kekuatan).15 Dengan sikap itu NU menilai bahwa lembaga-lembaga kenegaraan RT berwenang melaksanakan hukum Islam, meskipun ketika itu hanya dalam kaitan dengan masalah perkawinan.16 Jika sikap-sikap NU yang terdahulu berorientasi pada wadah atau wilayah kepulauan nusantara, maka sikap yang terakhir ini langsung menyentuh pada isi, kekuasaan pemerintahan dan kenegaraan. Setelah itu maka ideology nasional Pancasila diterima sebagai asas kolektif kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

Sikap-sikap NU tersebut bukan hanya kebetulan belaka, sebab tahap-tahap pemikiran NU sebenarnya memiliki pijakan tradisi pemikiran fikih yang kuat. Sebagai organisasi Islam motivasi yang mempengaruhi setiap langkah NU ialah untuk mengamalkan dan melaksanakan ajaran Islam. Namun dalam mengantisipasi berbitgai gejala sosiaal NU tidak bersikap mutlak-mutlakan, Kewajiban untuk mengamalkan ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan memperhatikan berbagai faktor lain.l7 Jika kemampuan hanya menghasilkan sebagian saja maka yang sebagian itu tidak ditinggalkan.18 Dasar kedua ialah orientasinya dalam melaksanakan diukur seberapa jauh dampak positif dan negatifnya. Jika ternyata mengakibatkan dampak negatif yang besar langkah pertama yang dilakukan manghindari dampak negatif itu. Kewajiban tidak bisa dipaksakan jika ternyata, dengan itu berakibat munculnya dampak negatif yang menimbulkan kerugian bagi diri atau orang lain.19 Jika ternyata dalam hal itu harus menghadapi pilihan langkah yang diutamakan ialah memilih yang paling kecil resiko negatifnya. Memilih yang akhaff al-dararain.20

Sudah tentu dengan tradisi pemikiran itu tidak berarti NU selalu bersikap pesismistis, menyerah sebelum bertanding. Dalam berbagai kesempatan NU juga pernah menampilkan sikap ofensif untuk melakukan jalb al-masalih. (melaksanakan kewajiban), tidak dalam kaitannya dengan aspek darurah (temperer) yang mungkin akan menimbulkan mafsadah (kerusakan). Peristiwa-peristiwa dalam sidang BPUPKI, Majelis konstituante, maupun ketika NU memelopori walk out dalam sidang MPR tentang P4, memperlihatkan sikap NU itu.21 Namun ketika hal itu dilihat tidak membawa hasil bahkan ternyata akan menimbulkan bahaya, NU segera merevisinya kembali dan menerima kesepakatan, meskipun mulanya ditolak. Mengapa? Oleh karena motivasi utama yang mendasari langkah NU ialah adanya tertib sosial dan politik, sebab dengan tertib itulah kemungkinan bisa dikembangkan tertib agama. Tertib sosial politik menjadi prasyarat bagi terwujudnya tertib agama (nizam al-dunya syart  li nizam al-dini).22

Sebagai syarat untuk memperoleh tujuan tertib agama, maka tertib sosial itu pun wajib. Kaidah yang digunakan NU untuk memecahkan masalah itu ialah 'Kewajiban yang tidak dapat dijalankan dengan sempurna kecuali dengan syarat tertentu maka syarat itu pun wajib'.23 Dengan logika kaidah-kaidah tersebut di atas NU mencoba memecahkan berbagai persoalan sosial, politik, maupun keagamaan yang dihadapi ummat Islam dan bangsa Indonesia umumnya. Dengan kerangka pemikiran menurut tradisi fikih itu pula NU menerima asas tunggal PancasiIa. Agama dan Pancasila dicoba untuk didudukkan pada posisinya masing-masing secara proporsional. Hakekatnya orang berasas Pancasila kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedang orang berakidah Islam adalah sebagai tindakan nyata menkongkretkan Pancasila dalam salah satu bidang kehidupan bangsa, yaitu kehidupan beragama.24 Hubungan antara agama dengan Pancasila adalah hubungan yang saling mengisi.

Sudah tentu masalahnya tidak berhenti sampai, di situ aja. Hubungan agama dengan negara sepanjang sejarah Islam merupakan masalah yang paling krusial. Tidak terkecuali di Indonesia. Sejak proklamasi 1945 pergumulan seringkali terjadi dalam kerangka itu. Dalam kaitan dengan upaya mendudukkan syari'ah Islam dalam konteks kenegaraan di Indonesia, NU menafsirkan pengertian yang elastis, bukan saja pendekatan untuk memecahkan masalah, tetapi mengenai substansi syari'ah itu sendiri. Pada satu sisi pengertian itu menyusut dalam arti yang lebih sempit sebagai aturan formal yang dituangkan dalam perangkat kenegaraan sebagai undang-undang dan peraturan-peraturannya. Sementara pada sisi lain syari'ah sebagai hokum agama dalam arti sebagai etika sosial.25

Dengan pendekatan ini diharapkan akan dapat ditemukan alterbatif pemecahan dari kemelut politik dan ideology yang berlarut-larut dalam sejarah kenegaraan di Indonesia. Sudah tentu pemecahan itu bukanlah yang paling ideal dalam sekala normatif, sebab sejauh mengenai upaya penerapan syari'ah ke dalam kehidupan praktis, dalam kehidupan sosial sampai ke tingkatan hirarki yang luas seperti negara diperlukan pemahaman kreatif  mengingat kompleksnya masalah yang dihadapi dan pada sisi lain tetap dapat dipertahankan wawasan Islam yang rentangannya sangat luas.

Studi tentang NU tidak bisa dilepaskan dari tradisi pemikiran fikih baik kerangka teoritis (usul al-fiqh) maupun kaidah-kaidah fikih (al-qawa'id aI-fiqhiyyah). Dengan tradisi pemikiran ini NU mencoba memberi jawaban terhadap tantangan perubahan yang dihadapi untuk melembagakan nilai-nilai baru serta tingkah laku dan peran sosio-politiknya. Oleh karena itu analisis yang disajikan mencoba mengungkapkan dinamika dan perubahan yang terjadi di dalam NU dan bagaimana refleksinya dengan tradisi pemikiran fikih itu. Analisis dengan kerangka pemikiran tersebut diharapkan dapat memahami rekonstruksi pola perubahan dan dinamika NU menghadapi tantangan problematic sosio-kultural dan politik. Untuk kepentingan tersebut di bawah ini disajikan beberapa kaidah fikih yang dipakai NU
untuk mengantisipasi gejala-gejala perubahan tersebut.


Pertama kali yang perlu dikemukakan ialah pengertian tiga hal yaitu usul al-fiqh, fikih, dan qawa'id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih). Usul al-fiqh sebenarnya merupakan metode untuk mengukur derajat kebenaran istinbat. (penemuan atau penciptaan) hukum agar tidak salah; dan bagaimana prosedur menemukan atau merumuskan hokum ditil (furu') dalam fikih.26 Dengan metode ini kemudian dapat disusun hukum fikih yang beraneka ragam. Hukum yang beraneka ragam itu kemudian dapat disusun kembali dengan memperhatikan kesamaan-kesamaan berbagai factor yang dapat dipertemukan menjadi kaidah-kaidah fikih yang berlaku umum.

Usul al-fiqh terbentuk dari hasil kajian menurut pengertian dan logika kebahasaan yang bersumber dari al-Qur'an dan sunnah serta dari kajian maqasid syari'ah (tujuan syari'ah).27 Usul al-fiqh mengandung dua unsur pokok yaitu dari segi pengertian dan logika kebahasaan serta dari segi maqasid syari'ah. Dua unsur pokok tersebut merupakan aspek penting untuk mengukur atau menilai hasil ijtihad dan sekaligus sebagai metode untuk melakukan ijtihad.

Kaidah fikih dihasilkan dari analisis induktif (istiqra') dengan memperhatikan faktor-faktor kesamaan (asybah) berbagai macam hukum fikih lalu disimpulkan menjadi kaidah umum.28 Sedang fikih ialah pengetahuan praksis ('amaIiyyah) hukum syari'ah yang dihasilkan dari dalil-dalil tafsili, yaitu yang berkaitan dengan masalah tertentu dan menunjukkan hukum tertentu pula.29

Dengan pengertian di atas dapat dibedakan obyek masing-masing. Obyek usul al-fiqh ialah dalil umum (ijmal) dan hukum universal (kulli) serta prosedur penemuan hokum universal dari dalil umum.30 Obyek fikih ialah tindakan orang dewasa (mukallaf) dilihat dari segi wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.31 Sedang obyek qawa'id al-fiqh ialah masalah dan hukum fikih yang memiliki kesamaan yang dapat diikat menjadi kesatuan berupa kaidah umum.32 Ada lima kaidah pokok yang lazim disebut al-qawa'id al-khams al-kubra (lima kaidah induk)33 :
1. "Al-umur bi maqasidiha", artinya setiap perbuatan tergantung kepada niatnya (tujuan).
2. "Al-yaqin la yazulu bi al-syakk", artinya keyakinan tidak hilang karena keraguan.
3. "Al-darar yuzal atau la darara wa la dirar", artinya "bahaya dihilangkan" atau "tidak ada bahaya dan tidak ada yang  membahayakan.
4. "AI-masyaqqah tajlib al-taisir", artinya kesulitan dapat memberikan kemudahan.
5. "Al-adah muhakkamah", artinya sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan diakui.

Kaidah-kaidah pokok tersebut memiliki cabang atau pecahan. Antara lain dari kaidah la darara wa la dirar dapat dirumuskan beberapa kaidah lain seperti :34

1. "Dar' al-mafasid muqaddam 'ala  jalb al-masalih", artinya  menghindari bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan.
2. "Iza ta'arada mafsadatani ru'iya a'zamuha dararan bi irtikabi akhaf fihima", artinya jika terjadi pertentangan beberapa bahaya dipertimbangkan bahaya yang paling besar akibatnya dengan melaksanakan yang paling kecil resikonya.

Kaidah-kaiddah lain yang menjadi bagian dari lima kaidah induk tersebut ialah :35

1. "Ma la yatim al-wajib illa bihi fa huwa wajib", artinya kewajiban yang tidak lengkap kecuali dengan syarat tertentu maka syarat itu pun wajib.
2. "Al-maisur la yasqutu bi al-ma'sur", artinya kemudahan tidak gugur karena kesulitan.

Kaidah-kaidah tersebut merupakan generalisasi masalah, baik yang bersumber dari dasar-dasar hukum syari'ah maupun dari kesamaan-kesamaan hukum fikih yang beraneka ragam. Dengan memahami prinsip-prinsip pokok berupa kaidah fikih tersebut akan memudahkan memahami hokum fikih yang beraneka ragam dan kompleks sehingga akan mempermudah pula mengambil keputusan hukum terhadap problematik yang muncul. Dinamika dan perubahan yang tejadi di dalam NU sebagian dapat diamati melalui prinsip-prinsip dalam kaidah fikih tersebut.

Buku ini disusun dalam beberapa bab dan anak bab sebagai berikut :

Bab I menguraikan latar belakang pemikiran mengapa buku ini ditulis.

Bab II menguraikan tentang perkembangan pemikiran politik dalam sejarah Islam, khususnya pemikiran politik abad pertengahan yang hidup di kalangan ahli fikih. Hal ini dianggap penting karena berkaitan dengan tradisi yang berkembang di kalangan NU. Studi politik muncul dalam proses sejarah bersamaan dengan perkembangan Islam itu sendiri. Secara lebih sistematis mendapat perhatian sesudah abad kedua Hijriah. Namun peristiwa sejarahnya sendiri terjadi sejak awal karena perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam dan stabilitas politik yang berhasil dikembangkan. Polemik yang sampai kini berkembang ialah apakah kekuasaan politik Nabi Muhammad sebagai bagian dari risalah Nabi ataukah merupakan kebutuhah historis yang terlepas dari risalah itu. Konsep-konsep yang dimunculkan mengenai soal ini cukup kontroversial. Namun peristiwa sejarah politik Islam sendiri cukup relevan mengundang kontroversi itu. Bab ini mencoba menelusuri secara ringkas fenomena ini dan mencoba menganalisis refleksinya dalam konteks ajaran.

Bab III menguraikan tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU. Opini umum para pengamat, termasuk sebagian di lingkungan NU sendiri, menganggap kelahiran NU sebagai reaksi belaka dari aliran baru yang muncul sebelumnya. Namun fakta historis membuktikan kesimpulan yang berbeda. Kalau kemudian konflik keagamaan dengan aliran baru itu dianggap sebagai bukti karena NU lahir di sekitar peristiwa yang terjadi itu, masih tidak bisa menutup fakta lain adanya pergulatan panjang yang terjadi sebelumnya, sejak awal tahun belasan, ketika sejumlah ulama muda pesantren mengembangkan kegiatan sosial kemasyarakatan dengan obsesi mengenai hari depan ummat Islam Indonesia. Mereka inilah yang kemudian membidani kelahiran NU. Hal ini juga terbukti dari visi keagamaan NU yang sampai sekarang tetap berkembang. Untuk dapat memahami ini diuraikan pula konsep-konsep ahlussunnah waljamaah tentang kalam, tasawwuf, dan fikih. Sisi lain dari watak keagamaan ini ialah kesediaannya untuk berdialog dan bersikap toleran dengan tradisi dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Dari proses akulturasi ini kemudian melahirkan fenomena yang saling melengkapi dan memperkuat satu sama lain. Ini menyebabkan watak NU bukan hanya sebuah organisasi formal, melainkan sebagai gerakan kultural yang berakar di tengah masyarakat.

Bab IV menguraikan tentang peristiwa-peristiwa sejarah politik yang dilalui NU dan bagaimana NU memecahkan problematik yang terjadi, khususnya dalam soal pembentukan kabinet. Konflik dengan Masyumi, selama NU tergabung di dalamnya maupun sesudah NU keluar, lebih berwama ketegangan kultural selain karena pendekatan pemecahan masalah yang berbeda. Visi keagamaan ini juga terlihat ketika NU menghadapi pemilihan umum dengan sikap yang lebih toleran, akomodatif dan rekonsiliatif. Dengan sikap-sikap politik NU itu tidak lantas berhasil diperankan dengan baik. Kelemahan-kelemahan manajerial dan organisasi seringkali menghambat langkah politik NU sehingga mengesankan NU terbawa arus terus menerus tanpa mampu mengubahnya menjadi terobosan yang menguntungkan.

Pada bab V selanjutnya diuraikan refleksi diri yang dilakukan NU terhadap eksistensi politiknya. NU mengoreksi langkah yang selama ini dijalani untuk kembali menjadi jam'iyah sebagai organisasi nonpolitik tahun 1983. Proses menuju ke arah ini bukannya tanpa pergulatan internal yang menegangkan, karena begitu kentalnya kehidupan politik sebelumnya. Di samping itu ketegangan juga terjadi antar berbagai unsur, termasuk NU, yang berfusi ke dalam PPP.

Masalah yang cukup penting lain ialah mengenai pandangan NU dan tentu saja masyarakat Islam umumnya tentang kedudukan negara Indonesia menurut pandangan Islam dan sebaliknya tentang agama dalam negara itu. Persoalannya ialah sejauh mana negara ini memenuhi kualifikasi sebagai negara yang sah dengan akibat tanggungjawab ummat Islam untuk tunduk kepada hukum dan ketentuan lain yang ditetapkan; dan sebaliknya bagaimana seharusnya negara menerima agama (Islam) tanpa terjebak sebagai negara agama atau negara sekuler. Kemudian ditambah tentang proses penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh NU. Masalah-masalah ini diuraikan pada bab VI yang diakhiri bab VII sebagai kesimpulan dan penutup.


_____________________________________________________________

Catatan :

1.  G.J.W. Drewes, "Indonesia: Mistisisme dan Aktivisme", dalam von Grunebaum (ed.), Islam Kesatuan daIam Keragaman, (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983), h. 327.
2.  Taufik Abdullah, Islam di Indonesia, (Jakarta: Tintamas, 1974), h. 3-8.
3.  Ibid.
4.  Dalam berbagai naskah dan penerbitan lain maupun surat resmi organisasi tertulis Nahdlatul Ulama. Namun sesuai dengan pedoman transliterasi penulisan Arab Latin keputusan Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomer 158 tahun 1987 dan nomer 0534 b/U/1987, seharusnya tertulis Nahdatul Ulama dengan ejaan d (d titik bawah) untuk menulis huruf Ö , bukan dl. Selanjutnya naskah ini menggunakan transliterasi tersebut.
5.  Abdurraman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa Ini", Prisma, nomer 4, edisi April, 1984, h. 31-38. Selanjutnya dikutip Nahdlatul Ulama.
6.  B. Anderson, Religion and Politics in Indonesia Since Independence, dikutip dari Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesatren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 4.
7.  Abdurrahman Wahid, Nahdlatul Ulama, h. 31-38.
8.  Mengenai ketegangan NU-Masyumi selanjutnya lihat bab IV, khususnya sub bab tentang "Kemelut dan Gagasan Federasi.
9.  Himpunan Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, (Jakarta: Seker tariat Kabinet RI, tt), h. 32-33.
10. Laporan Tahunan 1954, (Jakarta: Bagian Penerbitan Departemen Agama, 1955), h. 804-810. Konferensi itu diselenggarakan selama tiga kali. Pertama tahun 1952, kedua 1953, dan ketiga 1954. Keputusan konferensi itu intinya sama, tetapi yang menjadi perhatian luas ialah konferensi tahun 1954, karena dipersoalkan di Parlemen.
11. Istilah 'ard Jawa' menurut referensi fikih ialah daerah Asia Tenggara, tetapi yang dimaksud dalam keputusan NU itu Nusantara.
12. Keputusan Muktamar NU 1936 di Banjarmasin, Ahkam al-Fuqaha', jilid 3, (Semarang: Menara Kudus, 1980), h. 8.
13. Ahkam aI- Fuqaha, h. 8.
14. Resolusi jihad NU 22 Oktober 1945 diputuskan dalam rapat  besar konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura. Resolusi itu mendesak kepada pemerintah RI agar mengambil tindakan nyata melawan Belanda. Resolusi juga menyerukan jihad fi sabilillah untuk melawan Belanda. Kedaulatan Rakjat, 24 Oktober 1945. Resolusi itu kemudian dikokohkan dalam muktamar NU ke 16 di Purwokerto, 26-29 Maret 1946.
15. Konferensi itu memutuskan bahwa alat kekuasaan negara sesuai dengan UUDS 1950 pasal 44 yaitu presiden dan wakil, kabinet,  DPR, mahkamah agung, dan DPK. Kementerian Agama, Laporan Tahunan 1954, (Jakarta: Bagian Penerbitanp, 1955), h. 804-810.
16. Keputusan itu mulanya dalam kaitan dengan keputusan Menteri Agama mengenai pengangkatan (tauliah) wali hakim bagi perkawinan wanita yang tidak mempunyai wali (nasab) sendiri. Namun dalam perkembangannya keputusan tersebut menyangkut inti pokok mengenai kedudukan kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan menurut pandangan Islam. Lihat, Ibid. Muktamar NU 1954 selanjutnya menyetujui keputusan konferensi alim ulama tersebut. Ahkam al-Fuqaha' III, (Semarang: Menara Kudus, 1980), h. 8.
17. Dalam hadis Nabi Muhammad disebutkan 'Jika aku melarangmu tentang sesuatu tinggalkanlah; tetapi jika aku memerintahkan sesuatu kerjakan sebatas kemampuanmu'. Lihat Ibn Hajar al-'Asyqalani, Fath al-Bari bi syarh Sahih al-Bukhari, jilid 28, (al-Qahirah: Maktabah al-Qahirah, 1989)', h. 16-18. Rujukan dalil-dalil selanjutnya lihat hal. 21-23 serta bab VI khususnya hal. 365-387.
18. Kaidah itu ialah 'Kewajiban yang tidak dapat dilakukan sempurna (seluruhnya), tidak ditinggalkan semuanya'.
19. Kaidah itu ialah 'Menghindarkan kerusakan (bahaya) didahulukan daripada melaksanakan kewajiban'.
20. Kaidah itu ialah 'Jika tejadi benturan dua bahaya kerusakan dipertimbangkan yang paling besar kemungkinan bahayanya dengan melaksanakan yang paling kecil resikonya'.
21. Dalam sidang BPUPKI NU tidak diwakili sebagai organisasi, tetapi orang-orang NU bersama pemimpin Islam lainnya menuntut Islam sebagai dasar negara. Kompromi Yang dicapai melahirkan Piagam Jakarta, akhirnya gagal. Ketika sidang Konstituante NU dan partai Islam lainnya juga menghendaki demikian,namun akhirnya gagal.
22. Al-Ghazali, AI-Iqtiqsad fi al-I'tiqad (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1983), h. 147-154.
23. "Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib"
24. Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar", dalam E. M. Sitompul, NU dan Pancasila, (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), h. 9-18.
25. Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar", dalam E. M. Sitompul, NU dan Pancasila, Jakarta: Sinar Harapan, 1989), h. 9-18. Etika sosial mengandung arti akhlak, baik dalam hubungan antarmanusia maupun manusia dengan Tuhan. Ada beberapa hal dalam aspek-aspek tersebut yang tidak bisa dituangkan dalam perangkat perundang-undangan maupun peraturan kenegaraan seperti aturan mengenai doa, syarat/rukun salat dan ibadah lainnya, zikir atau aturan mengenai salam dan sebagainya. Apalagi bila hal-hal tersebut dikaitkan dengan perbedaan mazhab yang dianut atau ijtihad masing-masing. Dalam hal penetapan awal Ramadan maupun Syawwal keputusan pemerintah tidak wajib diikuti kalau ternyata ada yang membuktikan lain dengan keputusan itu, seperti hilal Ramadan atau Syawwal dengan ru'yah yang berbeda dengan dasar keputusan pemerintah.
26. Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (al-Qahirah: Dar al- Fikr al-'Arabi, 1985), h. 10. Selanjutnya dikutip Usul al-Fiqh.
27. Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah, jilid I, (Beirut: Dar al-Ma'arif, t.t.), h. 12.
28. Usul al-Fiqh, h. 10-11.
29. Muhammad Sidqi ibn Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idahi Qawa'id al-Fiqhiyyah al-Kulliyyah, (Beirut: al-Risalah, 1983), h. 22.
30. AI-Wajiz h.22.
31. Ibid.
32. Ibid.
33. Ibid. Ibn Nujaim menambahkan satu kaidah "Tidak ada pa hala kecuali dengan niat" (la tsawaba illa bi al-niyat) Al-Asybah waal  Naza'ir, Damsyq: Dar al-Fikr, 1983), h. 14-21. Sementara Jalal al-Din al-Sayuti menambahkan satu kaidah yang lain yaitu kaidah: "Al-hajah tanzilu manzilat al-darurat 'amatan kanat au khassatan" (kebutuhan menempati kedudukan darurat, baik khusus maupun umum); al-Asybah wa al-Naza'ir fi al-Furu' (Semarang: Tohaputera, t.t), h. 83-89.
34. Al-Wajiz, h 83-89.
35. Ibid. Kalangan NU juga menggunakan kaidah lain yaitu "ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh, artinya kewajiban yang tidak dapat dijalankan selengkapnya maka elemen yang dapat dijalankan tidak ditinggalkan. Kaidah ini sama dengan "al-maisur la yasqutu bi al-ma'sur (kemudahan tidak gugur karena kesulitan).



Ditulis ulang dari buku : Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik Oleh: M. Ali Haidar, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994

SERI NU DAN PANCASILA (15)



Kesimpulan
 
Sebagaimana telah dikatakan pada bagian pendahuluan bahwa dasar negara telah menjadi pokok masalah sejak sebelum kemerdekaan dan juga setelah kemerdekaan antara golongan nasionalis muslim dan nasionalis sekuler (nasionalis netral agama).(1) Penerimaan NU atas Pancasila merupakan puncak sikap fleksibel, adaptif dan positif NU dalam menanggapi perkembangan politik. Apa yang menjadi pokok masalah telah diselesaikan oleh NU dengan menerima Pancasila. Penerimaan NU atas Pancasila bukanlah akibat tekanan eksternal dan bukan penerimaan yang terpaksa, tetapi penerimaan yang positif karena Pancasila telah dinilai sah berlandaskan theologi Islam dan berlandaskan dalil-dalil atau pendapat tradisional Islam. Di sinilah keunggulan golongan tradisional, NU memiliki kekayaan rujukan untuk menanggapi sesuatu perkembangan dan tidak mudah jatuh kepada sikap mutlak-mutlakan. Jadi sebenarnya yang paling menarik mengenai isu Pancasila sebagai satu-satunya asas, bukanlah pada penerimaan Pancasila itu sendiri melainkan pada argumen-argumen tradisional yang diketengahkannya dalam menanggapi Pancasila sebagai asas dan berbagai perkembangan lainnya. Yang diutamakan NU dalam menanggapi setiap perkembangan bukanlah sikap ideologi Islam tetapi sikap keagamaan tradisional.

Modal utama bagi NU menanggapi berbagai perkembangan adalah paham ahlusunnah wal jamaah.(2) Sebagaimana dirumuskan dalam Bab II bahwa pengertian ahlusunnah wal jamaah bagi NU adalah pengakuan terhadap tradisi Islam dalam konteks Indonesia yaitu bagaimana Islam masuk ke Indonesia dalam tradisi mazhab dan sufisme.(3) Penerimaan atas sufisme membuat NU menerima kehadiran tradisi lokal yang hidup dalam masyarakat Indonesia sepanjang berguna untuk meningkatkan penghayatan agama. Dengan demikian apa yang dilukiskan oleh Madjid sebagai sifat keindonesiaan(4) dalam perkembangan Islam di Indonesia secara potensial sudah sejak semula merupakan milik NU! Bahkan NU adalah pelopor mengembangkan keindonesiaan Islam itu! Paham ahlusunnah wal jamaah dikembangkan untuk menemukan sikap-sikap keagamaan yang tepat di dalam situasi tertentu; di sinilah pentingnya penatsiran fiqh, namun bukan melulu penafsiran fiqh tetapi penafsiran fiqh secara mistik (seperti yang dikembangkan oleh al-Ghazali) di dalam hal NU membentuk sikap keagamaannya.(5) Itulah sebabnya NU tidak memerlukan ideologi politik dan justru dengan pendekatan atau penafsiran fiqh secara mistik membuat NU mampu merumuskan sikap yang positif dan integratif di dalam perjuangan dan kehidupan bangsa. Dengan pendekatan mistik itu, NU mampu melihat sesuatu perkembangan dengan lebih jeli — tidak sekedar menilai dalam polarisasi islami dan tidak islami — tetapi menilai secara lebih bervariasi sehingga dapat menjadikan sesuatu perkembangan sepanjang tidak bertentangan dengan Islam sebagai jalan untuk mengembangkan kehidupan keagamaan.

Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh, NU mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan sebuah negara moderen, walaupun banyak aspek kenegaraan pandangan serba fiqh itu juga sering merupakan "hambatan" bagi pemegang pemerintahan untuk melaksanakan wewenangnya. Yang jelas pandangan seperti itu — bagaimanapun juga — akan berbenturan dengan pandangan yang memperlakukan Islam sebagai ideologi kemasyarakatan, apalagi ideologi politik. Upaya menampilkan Islam sebagai "jalan hidup alternatif" yang membentuk sistem kemasyarakatan baru di luar yang telah ada, jelas sulit diterima oleh para ulama NU. . . .(6)

NU adalah organisasi keagamaan (jamiah diniyah) dengan ulama sebagai motor penggeraknya. Peranannya sebagai organisasi keagamaan telah dijalankan dengan menyatakan sikap-sikap keagamaan di dalam perkembangan kehidupan bangsa, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan. Ciri-ciri penampilannya adalah sikap yang fleksibel, adaptif dan positif. Bagi orang yang kurang memahami NU dengan mudah akan mencapnya sebagai opportunistik. Sebagai organisasi keagamaan NU tidak mempunyai target-target politis tertentu untuk diperjuangkan; yang diutamakannya adalah penghayatan dan pengembangan agama. Karena itu ia tidak tampil secara agresif melainkan tampil secara responsif; sebagaimana peranan ulama di dalam kehidupan umat memberi bimbingan keagamaan demikian pula NU sebagai organisasi keagamaan (jamiah diniyah) melalui sikap-sikap keagamaan yang telah dinampakkannya dalam berbagai perkembangan, NU memberi bimbingan keagamaan. Walaupun NU telah menjadi partai politik pada tahun 1952, NU tetap mempertahankan ciri-ciri organisasi keagamaan dalam menanggapi perkembangan politik, tetapi ciri-ciri itu makin kabur setelah NU bergabung di dalam PPP. Setelah bergabung di dalam PPP, NU larut ke dalam sikap ideologis dan tidak lagi mengembangkan sikap keagamaan; kalau pun masih terdengar argumen keagamaan, namun hal itu cenderung diambil sebagai legitimasi sikap ideologis. Kekaburan ciri-ciri keagamaan itu terjadi serentak dengan makin mundurnya peranan ulama dalam kiprah organisasi! Oleh karena itu keputusan NU untuk kembali menjadi organisasi keagamaan, kembali kepada Khittah (Semangat) 1926 adalah langkah yang sangat tepat, sebab hanya dengan demikianlah NU dapat kembali menjalankan peranannya sebagai organisasi ulama yang hakikatnya membimbing kehidupan umat. Baik di dalam Masyumi maupun di dalam PPP, NU tidak dapat menjalankan peranan keulamaannya secara utuh. Dengan kembalinya menjadi organisasi keagamaan NU dapat mencurahkan segala kemampuannya membina umat menghadapi modernisasi dalam masa pembangunan kini.

Dengan kembali menjadi organisasi keagamaan, NU memasuki babak baru; aspirasi Islam tidak lagi diperjuangkan melalui wadah politik formal, tetapi melalui proses transformasi kultural sebagai bagian inherent dari bangsa Indonesia secara keseluruhan.(7) "Tujuan NU," demikian Abdurrahman Wahid, "adalah transformasi sosial secara lebih paripurna dan lebih mendasar . . ."(8) Sambil mengamati bahwa sejak awal NU mengembangkan diri dengan kearifan terhadap sistem budaya Indonesia, maka memperjuangkan aspirasi Islam secara kultural merupakan upaya kembali kepada ciri-ciri khas NU.(9) Pergumulan NU khususnya dan umat Islam di Indonesia pada umumnya terhadap Pancasila sebagai isu nasional, merupakan pergumulan khas umat Islam di Indonesia yang tidak dapat diukur atau dinilai berdasarkan perkembangan yang dialami umat Islam di negara-negara lain. Sebab cara-cara umat Islam memecahkan masalah yang dihadapinya berbeda dari satu negara ke negara lainnya.(10) Menerima Pancasila adalah bagian dari tanggung jawab umat Islam Indonesia, khususnya NU terhadap perkembangan kehidupan bangsa.

Sebuah perjalanan panjang dan berliku telah ditempuh oleh NU dengan mulus; terbuktilah bahwa semua organisasi keagamaan tradisional semacam NU mampu mengatasi tantangannya asalkan ia bersedia menyimak nuansa-nuansa tradisinya. Bagaimana perjalanan NU selanjutnya setelah menerima Pancasila sebagai asas dan kembali menjadi organisasi keagamaan (jamiyah diniyah) sejarahlah yang akan mencatatnya.
 
_____________________
  1. Supra, hlm. 1; Bandingkan, hlm. 99-105. 
  2. Supra, hlm. 61-74. 
  3. Supra, hlm. 73.
  4. Supra, hlm. 236. 
  5. Lihat, Supra, hlm. 201, 204, dan 205. 
  6. Wahid, "NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini", hlm. 35.
  7. Ibid., "NU dan Politik", Kompas, 24 Juni 1987. 
  8. Ibid.
  9. Lihat, Supra, hlm. 8; Bandingkan, hlm. 73-74.
  10. John L. Esposito, ed. Islam dan Perubahan Sosial-Politik di Negara Sedang Berkembang, terjemahan dari Islam and Development: Religion and Sosiopolitical Change, (Jakarta: Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat — PLP2PL, 1985), hlm. 28.

Ditulis ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989



KHITTHAH NAHDLATUL 'ULAMA

KEPUTUSAN MUKTAMAR XXVII NAHDLATUL ULAMA
NO. 02/MNU-27/1984
(KOMISI II: KHITTHAH DAN ORGANISASI)

KHITTHAH NAHDLATUL 'ULAMA

Bismillahirrahmanirrahim
(Surat Al-Maidah ayat 48-49)
Artinya: 
"Dan Kami telah turunkan kepadamu Kitab Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu Kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) batu ujian terhadap Kitab-kitab yang lain itu, karena itu putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap ummat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu. Karena itu berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allahlah kamu semuanya kembali, lalu diberitahukan kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik." 
(Al-Maidah: 48-49).
 
1. Mukadimah 
Nahdlatul Ulama didirikan atas dasar kesadaran dan keinsafan bahwa setiap manusia hanya bisa memenuhi kebutuhannya bila bersedia untuk hidup bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan kebahagiaan dan menolak bahaya terhadapnya. Persatuan, ikatan batin, saling bantu membantu dan keseia-sekataan merupakan prasyarat dari tumbuhnya persaudaraan (al-ukhuwwah) dan kasih sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata-kemasyarakatan yang baik dan harmonis. 

Nahdlatul Ulama sebagai Jam'iyah Diniyah adalah wadah bagi para ulama dan pengikut-pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926 dengan tujuan untak memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan ahlus sunnah wal jamaah dan menganut salah-satu madzhab empat, masing-masing Imam Abu Hanifah An Nutman, Imam Maliki bin Anas, Imam Muhammad Idris Asy-Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal; serta untuk mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan-kegiatannya yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harta dan martabat manusia. 

Nahdlatul Ulama dengan demikian merupakan gerakan keagamaan yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat yang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, cerdas, terampil, berakhlak mulia, tenteram, adil dan sejahtera. Nahdlatul Ulama mewujudkan cita-cita dan tujuannya melalui serangkaian ikhtiar yang didasari oleh dasar-dasar faham keagamaan yang membentuk kepribadian khas Nahdlatul Ulama. Inilah yang kemudian disebut sebagai Khitthah Nahdlatul Ulama. 

2. Pengertian 
a. Khitthah Nahdlatul Ulama adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus dicerminkan dalam tingkah-laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. 
b. Landasan tersebut adalah faham Islam ahlusunnah wal jamaah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. 
c. Khitthah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa. 

3. Dasar-dasar faham keagamaan Nahdlatul Ulama 
a. Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaannya kepada sumber ajaran Islam: Al-Qur'an, As-Sunnah, Al-Ijma' dan Al-Qiyas. 
b. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya tersebut di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti faham ahlus sunnah wal jama'ah dan menggunakan jalan pendekatan (al-madzhab): 
  1. Di bidang 'aqidah, Nahdlatul 'Ulama mengikuti faham ahlus sunnah wal jama'ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan Al-Asy'ary dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
  2. Di bidang fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (al madzhab) salah-satu dari madzhab Abu Hanifah An Nu'man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal.
  3. Di bidang tashawwuf mengikuti antara lain Imam Al Junaid Al Bagdadi dan Imam Al-Ghazali serta Imam-Imam yang lain.
c. Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fithri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki oleh manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut. 

4. Sikap kemasyarakatan Nahdlatul Ulama 
Dasar-dasar pendirian faham keagamaan Nabdlatul Ulama tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada: 
a. Sikap tawasuth dan i'tidal 
Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim). 
b. Sikap tasamah 
Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu' atau menjadi masalah khilafiyah; serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. 
c. Sikap tawazan 
Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang. 
d. Amar ma'ruf nahi munkar 
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan. 

5. Perilaku yang dibentuk oleh dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan Nahdlatul Ulama. 
Dasar-dasar keagamaan (angka 3) dan sikap kemasyarakatan 
tersebut (angka 4) membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi yang: 
a. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam. 
b. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi. 
c. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmah dan berjuang. 
d. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwwah), persatuan (al-ittihad) serta kasih mengasihi. 
e. Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlak al-karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran (ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak. 
f. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa dan negara. 
g. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala 
h. Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan serta akhli-akhlinya. 
i. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia. 
j. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu dan mempercepat perkembangan masyarakatnya. 
k. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. 

6. Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan Nahdlatul Ulama 
Sejak berdirinya, Nahdlatul Ulama memilih beberapa bidang utama kegiatannya sebagai ikhtiar mewujudkan cita-cita dan tujuan berdirinya, baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan. 

Ikhtiar-ikhtiar tersebut adalah: 
a. Peningkatan silaturahim/komunikasi/inter-relasi antar Ulama
(dalam statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: 
mengadakan perhoeboengan di antara oelama-oelama jang bermadzhab). 
b. Peningkatan kegiatan di bidang keilmuan/penghajian/pendidikan
(dalam statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 disebutkan: memeriksa kitab-kitab sebeloemnya dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe daripada kitab-kitab ahli soennah wal djamaah ataoe kitab-kitab ahli bid'ah; memperbanjak madrasah-madrasah jang berdasar agama Islam). 
c. Peningkatan kegiatan penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana peribadatan dan pelayanan sosial. 
(dalam statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 diseboetkan: menjiarkan agama Islam dengan djalan apa sadja jang halal; memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masjid-masdjid, soeraoe-soeraoe dan pondok-pondok, begitoe djuga dengan hal ihwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin). 
d. Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah. 
(dalam statoeten Nahdlatoel Oelama 1926 diseboetkan: mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan jang tiada dilarang oleh Sjara' agama Islam). 

Kegiatan-kegiatan yang dipilih oleh Nahdlatul Ulama pada awal berdiri dan khidmahnya menunjukkan pandangan dasar yang peka terhadap pentingnya terus-menerus dibina hubungan dan komunikasi antar para Ulama sebagai pemimpin masyarakat; serta adanya keprihatinan atas nasib manusia yang terjerat oleh keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan. Sejak semula Nahdlatul Ulama melihat masalah ini sebagai bidang garapan yang harus dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan nyata. 

Pilihan akan ikhtiar yang dilakukan mendasari kegiatan Nahdlatul Ulama dari masa ke masa dengan tujuan untuk melakukan perbaikan, perubahan dan pembaharuan masyarakat, terutama dengan mendorong swadaya masyarakat sendiri. 

Nahdlatul Ulama sejak semula meyakini bakwa persatuan dan kesatuan para Ulama dan pengikutnya, masalah pendidikan,  da'wah Islamiyah, kegiatan sosial serta perekonomian adalah masalah yang tidak bisa dipisahkan untuk merubah masyarakat yang terbelakang, bodoh dan miskin menjadi masyarakat yang maju, sejahtera dan berakhlak mulia. 

Pilihan kegiatan Nahdlatul Ulama tersebut sekaligus menumbuhkan sikap partisipatif terhadap setiap usaha yang bertujuan membawa masyarakat kepada kehidupan yang maslahat. 

Setiap kegiatan Nahdlatul Ulama untuk kemaslahatan manusia dipandang sebagai perwujudan amal ibadah yang didasarkan pada faham keagamaan yang dianutnya. 

7. Fungsi organisasi dan kepemimpinan Ulama di dalamnya. 
Dalam rangka melaksanakan ikhtiar-ikhtiarnya Nahdlatul Ulama membentuk organisasi yang mempunyai struktur tertentu yang berfungsi sebagai alat untuk melakukan koordinasi bagi tercapainya tujuan-tujuan yang telah ditentukan, baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun kemasyarakatan. 

Karena pada dasarnya Nahdlatul Ulama adalah Jam'iyah Diniyah yang membawakan faham keagamaan, maka Ulama sebagai matarantai pembawa faham Islam ahlussunnah wal jamaah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi 

Untuk melakukan kegiatan-kegiatannya, Nahdlatul Ulama menempatkan tenaga-tenaga yang sesuai dengan bidangnya untuk menanganinya. 

8. Nabdlatul Ulama dan kehidupan berbangsa 
Sebagai organisasi kemasyarakatan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia, Nahdlatul Ulama senantiasa menyatakan diri dengan perjuangan nasional bangsa Indonesia. Nahdlatul Ulama secara sadar mengambil posisi yang aktif dalam proses perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, serta ikut aktif dalam penyusunan UUD 1945 dan perumusan Pancasila sebagai dasar negara. 

Keberadaan Nahdlatul Ulama yang senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan bangsa, menempatkan Nahdlatul Ulama dan segenap warganya untuk senantiasa aktif mengambil bagian dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya setiap warga Nahdlatul Ulama harus menjadi warganegara yang senantiasa menjunjung-tinggi Pancasila dan UUD 1945. 

Sebagai organisasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (al-ukhuwwah), toleransi (al-tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan baik dengan sesama umat Islam maupun dengan sesama warganegara yang mempunyai keyakinan/agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis. 

Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, Nahdlatul Ulama senantiasa berusaha secara sadar untuk menciptakan warganegara yang menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan negara. 

Nahdlatul Ulama sebagai jam'iyah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun juga. 

Setiap warga Nahdlatul Ulama adalah warganegara yang mempunyai hak-hak politik yang dilindungi oleh Undang-undang. Di dalam hal warga Nahdlatul Ulama menggunakan hak-hak politiknya harus dilakukan secara bertanggungjawab, sehingga dengan demikian dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum dan mampu mengembangkan mekanisme musyawarah dan mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama. 

9. Khitthah 
Khittah Nahdlatul Ulama ini merupakan landasan dan patokan-patokan dasar yang perwujudannya dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala — terutama tergantung kepada semangat pemimpin warga Nahdlatul Ulama. Jam'iah Nahdlatul Ulama hanya akan memperoleh dan mencapai cita-cita jika pemimpin dan warganya benar-benar meresapi dan mengamalkan Khittah Nahdlatul Ulama ini. 

Ihdinashshirathal mustaqiem. 
Hasbunallah wa ni'mal wakil. Ni'mal maula wani'man nashir. 


Catatan: 
Muktamar menugaskan kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama untuk melengkapi beberapa butir materi Khitthah Nahdlatul Ulama di atas dengan dalil-dalil naqly.