Kamis, 30 Oktober 2014

Sumber Ajaran Aswaja An-Nahdliyyah


Pola perumusan hukum dan ajaran ahklus sunah wal jamaah sangat tergantung pada beberapa pola pemecahan masalah antara lain:
-          Pola mauhhu’iyah (tematik), atau terapan (qonuniyah)
-          Pola waqi’iyah (kasuistik)
 
Pola maudhu’iyah pendiskripsian masalahnya berbentuk tashawwur lintas disiplin keilmuan empirik. Ketika rumusan hukum atau ajaran Islam dikaitkan dengan kepentingan terapan hukum positif (RUU/Raperda), maka pendekatan masalahnya berintikan “ tathbiq alsyari’ah “ disesuaikan dengan kesadaran hukum kemajemukan bangsa. Apabila langkah kerjanya sebatas merespon kejadian faktual (waqi’iyah) yang bersifat regional (kedaerahan) atau insidental, cukup menempuh penyelesaian metode takhayyur (eklektif) yaitu memilih kutipan doktrin yang siap pakai (instant). 
Berikut diuraikan cara merujuk (menggali sumber referensi) dan langkah istinbath (deduktif) atau istidlal (induktif) yang menjadi tradisi keagamaan Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Ahlu al- Sunnah wa al-Jama’ah 
A.    Madzhab Qauli 
Pendapat atau pandangan ulama yang teridentitas sebagai ulama sunni dikutip secara utuh qaulnya dalam kitab “al-iqtishad fi al-i’tiqad” karangan abu hamid al-ghazaliyyang menjabarkan paham aqidah as’ariyah dan kitab”al-umm” yang menghimpun qaul imam syafi’i.sekira umat diperlukan perluasan doktrin (elaborasi), seyogyanya merujuk kepada kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni dalam madzhab yang sama. 
Untuk menjaga keutuhan paham madzhab sunni harus dihindarkan pengutipan pendapat (qaul) dari kitab yang penulisan madzhabnya lain.  
 B.     Manhaj Manhaji 
Ketika upaya merespon masalah kasuistik dipandang perlu menyertakan dalil nash syar’i berupa kutipan ayat al-qur’an, nuqilan matan sunnah atau hadist, untuk mewujudkan citra muhafazhah maka diperlukan beberapa langkah berikut: 
1.      Kutipan ayat dari mushaf dari rasam ustmaniy lengkap petunjuk nama surat dan nomor urut ayat serta menyertakan terjemah standard eks Departemen Agama RI, kutip pula tafsir atas ayat tersebut oleh Mufassir Sunni dari Kitab tafsir yang tergolong mu’tabar. Keunggulan tafsir bisa ditelusuri dari sumber dan media yang diperbantukan serta penerapan kaidah istinbath atas nash ungkapan al-Qur’an. Integritas mufassir sebagai ulama sunni diperlukan sebagai jaminan atas mutu penafsiran dan pentakwilan. Sebagaimana diketahui pada jajaran ulama Syi’ah Imamiyah (Ja’fariyah dan Itsna ‘Asyariyah) telah memperluas sifat kema’shuman melampaui wilayah nubuwwah, dan terjadi pentakwilan oleh ulama bathiniyah yang keluar dari bingkai aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah 
2.      Penuqilan matan sunnah/hadisthrus berasal dari kitab ushulul hadist (kitab hadits standar) berikut mencantumkan narasumber Nabi atau Rasulullah SAW. serta nama periwayat / nama mukharrij (kolektor). Pemberdayaan nash sunnah atau nash hadits sebagai hujjah syar’iyah harus mempertimbangkan data hasil uji kehujjahannya sebagai shahih, hasan atau dha’if. Penarikan kesimpulan atas konsep substansi nash bermuara pada pensyarahan oleh Muhadditsin yang paham keagamaannya diakui sebagai sunni.  
3.      Pengutipan ijmak perlu memisahkan kategori ijmak shahabi diakui tertinggi mutu ke hujjahannnya dari ijmak mujtahidin. Sumber pengutipan ijma’ sebaiknya mengacu pada kitab karya mujtahid muharrir madzhab seperti imam Nawawi dan lain-lain. Pengintegrasian tafsir untuk ayat yang dirujuk berikut data kritik serta syarat hadits guna mengimbangi kondisi para pelaku penggalian ajaran dengan cara manhaji level manapun  
C.    Pengembangan Asas Ijtihad Madzhabi 
Pengembangan Asas Ijtihad Madzhabi Pada tataran aplikasi hukum (tathabiq alSyar’iyah) terkait proses penyusunan RUU/Raperda mungkin pilihan jatuh pada kreasi mengembangkan asas-asas ijtihad yang dikenal luas pada jajaran ulama Sunni. Misalnya : ‘Ummu al-Balwa, Qaul Shahabi, Qaul Tabi’in, Mura’atu al-Khilaf, Kondisi dharurat, asas ‘Uruf / Ta’amul, ‘Amalu Ahli al-Madinah, Istihsan, Syar’u al-Dzara’i, Istishhab, Mashalih Mursalah, maqashid al-syari’ah, Siyasah Syar’iyah dan lain sebagainya.
Operasionalisasi asas-asas ijtihad tersebut perlu didukungkearifan mengenali bobot ijtihadnya terutama:
1.      Frame (bingkai) masalah.
2.      Konteks (keterkaitan) dengan kepentingan individu atau kebijakan publik.
3.      Dampak pada sektor aqidah dan ghirah diniyah.
4.      Kadar kesulitan dalam pelaksanaan.
5.      Membuka peluang hilah hukum dan resiko jangka panjang.
 
Oleh karena itu kompleksitas masalah di negara plural agamanya, maka perumusan hukum yang memberdayakan asas ijtihad harus dilakukan secara kolektif (jama’iy) dan terjamin taat kaidah istidlal.

Rabu, 29 Oktober 2014

Seri : Muqaddimah Qanun Asasi Nahdlatul 'Ulama


Pidato Rois Akbar Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari 




”Marilah Anda semua
dan segenap pengikut Anda dari
golongan para fakir miskin, para hartawan,
rakyat jelata dan orang-orang kuat, berbondong-bondong masuk Jam’iyyah yang diberi nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ini.
Masuklah dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu
dan dengan ikatan jiwa raga.”

Kutipan Seruan Hadratus Syech KH. Muhammad Hasyim Asy’ary
dalam Muqaddimah Qanun Asasi, Surabaya, 1926.


Link :





Sumber Tulisan

Lampiran :



Keputusan Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

                                                                                           
Bismillahirrahmanirrahiim
Mencermati dengan seksama perkembangan yang terjadi di dalam tubuh Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan aspirasi yang berkembang di tengah-tengah warga Nahdlatul Ulama, Mustasyar PBNU perlu mencari penyelesaian sebaik-baiknya, sesuai peran yang diamanatkan oleh Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama. Pada BAB XVII, pasal 45 tugas Mustasyar adalah “Menyelenggarakan pertemuan, setiap kali dianggap perlu, untuk secara kolektif memberikan nasehat kepada Pengurus Nahdlatul Ulama menurut tingkatannya, dalam rangka menjaga kemurnian Khittah Nahdliyyah dan ishlahu dzatil bain”.
Masalah-masalah yang muncul adalah sebagai berikut :
1.         Sebagian besar warga Nahdlatul Ulama menyaksikan dan merasakan bahwa Jam’iyyah Nahdlatul Ulama telah dibawa ke dalam praktik politik yang tidak sesuai dengan Khittah Nahdliyyah. Bahwa keterlibatan Ketua Umum PBNU, Akhinal karim KH. A Hasyim Muzadi sebagai Calon Wakil Presiden dari Calon Presiden Megawati, serta keterlibatan Pengurus lainnya, baik dari jajaran Syuriyah maupun Tanfidziyah di semua tingkatan PBNU, PWNU, PCNU, MWCNU, hingga Pengurus Ranting NU sebagai pendukung dan tim kampanye (atau sering disebut sebagai : Tim Sukses) untuk memenangkan pasangan Capres-Cawapres tersebut, praktis telah membuat jam’iyyah Nahdlatul Ulama ditinggalkan pengurusnya. Akibatnya, sebagian besar warga NU merasakan tidak dilindungi dan mendukung hak-hak politiknya karena sebagai institusi NU hanya menjadi pelayan bagi kepentingan politik perorangan
2.         Bahwa keterlibatan sebagian besar anggota Pengurus NU di semua level secara kolektif di dalam proses politik praktis tersebut, telah membawa Jam’iyyah Nahdlatul Ulama ke dalam praktik politik yang tidak sesuai dengan Khittah h’ahdiyyah, serta garis kebijakan yang telah digariskan oleh Muktamar. Muktamar Lirboyo telah mengamanatkan agar Nahdlatul Ulama sebagai salah satu komponen penting bangsa Indonesia. Utama sebagai salah satu komponen penting bangsa Indonesia, seharusnya menjadi pelindung bagi semua aspirasi yang berkembang, dan berusaha sebaik mungkin menjadi Ummatan Wasathan litakunu Syuhada’a ‘alan-Nas, yakni menjadi penengah jika terjadi pertikaian dan saksi yang jujur atas peritiwa yang terjadi
3.         Bahwa keterlibatan sebagian besar anggota pengurus PBNU dan pengurus di bawahnya dalam politik partisan tersebut, akan mengaburkan fungsi Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Keterlibatan dalam politik praktis itu sudah seharusnya diabaikan, dengan lebih mementingkan upaya preventif untuk mencegah disfungsi organisasi yang akan mengakibatkan tercerai-berainya Ulama dan terlalaikannya kepentingan warga NU, baik dalam bidang pendidikan, kesejahteraan sosial-ekonomi, dan peningkatan kualitas demokrasi dan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia.
Mencermati beberapa langkah yang telah diambil Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan Pengurus Nahdlatul Ulama secara organisatoris sebagai berikut :
1.         Syuriyah PBNU telah mengeluarkan Qaraar pada tanggal 16 Mei di Rembang, untuk menetapkan menonaktifkan Pengurus NU yang terlibat sebagai Calon Wakil Presiden berikut Tim Kampanye masing-masing pasangan Capres/Cawapres, mulai dari pusat (PBNU) hingga tingkat Ranting. Pada awalnya diharapkan Qaraar Syuriyah PBNU akan dapat diberlakukan secara efektif, sehingga arah perjuangan Khittah Nahdliyyah tetap terjaga. Namun demikian, sangat disayangkan ketika kemudian sanksi administratif yang menjadi tindak lanjut dari Qaraar sejauh ini tidak dilaksanakan secara efektif. Akibatnya, para anggota pengurus yang terlibat di dalam proses dan kerja-kerja politik praktis tersebut, dengan bebas tetap dan telah menggunakan fasilitas ke-NU-an selama proses politik tersebut berlangsung
2.         Beberapa kalangan Pengurus Nahdlatul Ulama di berbagai tingkatan yang memandang pentingnya upaya-upaya kongkrit meluruskan kembali garis perjuangan Khittah Nahdliyyah, telah melakukan berbagai tindakan, dengan beragam bentuk diantaranya :
              a.              Mengeluarkan Instruksi dan Seruan Moral kepada Pengurus NU untuk tidak menjadi Tim Sukses atau juru kampanye salah satu Capres-Cawapres manapun, berpegang teguh pada AD-ART NU. Hal ini misalnya dilakukan oleh PCNU Kabupaten Tuban Jawa, PCNU Kabupaten Tulungagung Jawa Timur, PWNU Daerah Istimewa Yogyakarta, dan PCNU Salatiga Jawa Tengah
             b.              Desakan kepada PBNU untuk membuat Petunjuk Pelaksanaan/Petunjuk Teknis untuk menindaklanjuti Qaraar/PBNU di Rembang. Upaya ini misalnya dilakukan oleh PCNU Pasuruan Jawa Timur, Pertemuan Pengurus dan Ulama NU di Pasir Bokor, Tasikmalaya tanggal 10 Juni 2004, Musyawarah Alim Ulama NU se wilayah Cirebon tanggal 12 Juni 2004, Musyawarah tujuh PCNU dan MWC se-Karesidenan Surakarta tanggal 20 Juni, Halaqah dan Muhasabah yang dilakukan oleh PWNU Yogyakarta tanggal 13 Juni 2004, Silaturrahim PCNU se-Jawa Tengah dan Alim Ulama se-Jawa di Salatiga tanggal 20 Juni 2004, dll.
              c.              Penetapan sanksi administratif untuk menonaktifkan Pengurus NU yang  terlibat sebagai Tim Sukses dan Tim Kampanye sebagaimana yang dilakukan oleh PCNU Salatiga dan PCNU Klaten
             d.              Desakan kepada Syuriyah PBNU untuk segera menggelar Muktamar Luar Biasa atau mempercepat muktamar tersebut sebelum proses Pemilu Presiden/Wakil Presiden sebagaimana tuntutan dari PCNU Cirebon, PCNU Kota Tasikmalaya serta PCN Cianjur Jawa Barat. Serta berbagai keprihatinan dan tunututan dari kalangan muda NU dan beberapa tokoh ulama non struktural di berbagai daerah seperti Tulungagung, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Cirebon, Jombang, Banyuwangi, Madura, Cilacap, Jepara, Mataram, Pontianak, Makassar dan lainnya.
Sejauh ini, prakarsa dan tuntutan dari Pengurus Nahdlatul Ulama maupun warga Nahdliyyin, baik yang struktur ataupun yang kultur di atas, belum mendapatkan tanggapan yang positif dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Demi keutuhan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dan warga NU serta agar terdapat kesatuan langkah penyelamatan Khittah Nahdliyyah yang dilakukan oleh para pengurus NU yang masih bersih dan berpegang teguh pada Khittah Nahdliyyah, maka diharapkan kepada Mustasyar PBNU untuk mengambil sikap dan memberikan nasehat serta pertimbangan kepada PBNU agar segera mengambil langkah tegas demi keutuhan dan keselamatan jam’iyyah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
·           Jangka Pendek:
Syuriyah PBNU agar mengambil langkah penyelamatan terhadap NU secara struktural dengan mengimplementasikan Qaraar, yakni :
ü  menonaktifkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang telah dan akan menjadi tim sukses/juru kampanye dalam pemilihan presiden
ü  menghentikan penggunaan Nahdlatul Ulama dan fasilitas ke-NU-an, misalnya penggunaan symbol
ü  simbol ke-NU-an, penggunaan kantor NU, untuk kepentingan politk praktis, khususnya dalam proses pemilihan presiden
ü  membuat petunjuk pelaksanaan yang rinci sehubungan dengan pelaksanaan Qaraar, guna pelaksanaan disiplin organisasi di tingkat Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang dan level di bawahnya

·           Jangka Panjang:
1.       Syuriyah PBNU menyiapkan amandemen Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga mengenai hal-hal sebagai berikut:
ü  aturan yang tegas tentang larangan pengurus NU di semua level terlibat dalam proses-proses politik praktis baik dalam jabatan legislative maupun eksekutif, semenjak dari proses pencalonan, maupun ketika menjabat dalam jabatan politik.
ü  mekanisme penghentian pengurus NU yang terlibat dalam proses politik praktis di atas, agar ada kepastian hukum yang mengikat

2.       Mengingatkan kembali, bahwa fungsi dan tugas Jam’iyyah Nahdlatul Ulama dalam fungsi diniyyah dan ijtima’iyyah, yang menjadi pemandu ummat dalam pelaksanaan Ahlusunnah wal Jama’ah, mempersatukan ulama ahlusunnah agar tidak tercerai berai, menjadi payung dan pelindung bagi warga jam’iyyah dan seluruh komponen bangsa dalam proses kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Khususnya dalam memperjuangkan kehidupan yang demokratis di masa depan.
Wallahul muwafiq ilaa aqwamit thariq

Cipasung, 27 Jumadil Ula 1425
15 Juli 2004
                        

Mustasyar PBNU
KH. M. Ilyas Ruchyat
KH Abdurrahman Wahid
TG. H. Turmudzi
KH Abdullah Fakih

Qaraar Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama


Bismillahirrahmanirrahim                                               
1.         RAPAT Syuriah PBNU tanggal 16 Mei 2004, di Rembang, Jawa Tengah, setelah mcngamati perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini, khususnya dalam rangka pemilihan presiden/wakil presiden 2004, dan mendengarkan amanat rais aam serta pendapat-pendapat para anggota syuriyah, maka berdasarkan Khittah NU sebagai jam'iyah Diniyah-Ijtima'iyah dan ketentuan dalam ART-NU Bab XVII pasal 46 dan Bab XVII pasal XVIII, perlu menegaskan beberapa hal sebagai berikut
2.         Memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT bahwa berbagai komponen bangsa yang berpikir demi kebaikan bangsa dan negara ternyata tetap dan terus memperhitungkan NU dalam proses perjuangan dan pembangunan bangsa. Hal ini antara lain terbukti dengan diajaknya tokoh-tokoh NU oleh partai-partai politik yang ingin memimpin negeri ini untuk mendampingi calon-calon  presiden mereka; di samping tokoh NU yang oleh partainya dicalonkan sebagai presiden. Banyaknya tokoh NU yang terlibat dalam pencalonan presiden dan wakil presiden hendaklah dipandang sebagai rahmat Allah yang perlu disyukuri dan tidak justru membuat bingung. Sebab hal ini terutama merupakan suatu pendidikan politik bagi warga NU di dalam menggunakan haknya dan dalam menentukan pilihannya sesuai nurani masing-masing.
3.         Syuriyah PBNU memandang dengan husnuzhzhan bahwa semua kandidat capres¬/cawapres memiliki itikad baik dan kemampuan untuk memimpin dan membawa negeri ini menuju kehidupan yang lebih baik, maju dan bermartabat. Karena itu Syuriyah PBNU mendukung mereka semua untuk berkompetisi dengan sehat, berakhlak dan dengan niat tulus karena Allah dan demi rakyat.
4.         Dalam kaitan itu Syuriyah PBNU mengingatkan kepada semua pihak, khususnya para kandidat dan para pendukung masing-masing, bahwa semua kandidat yang kini bersaing adalah sama-sama warga negara Indonesia yang berkeinginan untuk memperbaiki bangsa dan negaranya. Karena itu, dalam rangka kampanye, para kandidat dan pendukung-pendukungnya hendaknva menggunakan cara-cara yang terhormat dan sportif, selalu berlandaskan kepada nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan yang adil dan beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang dipimpin aleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hendaklah, di dalam kampanye, masing-masing kandidat dan pendukungnya tidak menggunakan cara-cara yang tidak terpuji seperti misalnya menyebarkan fitnah dan menjelek-jelekkan pihak lain sesama kandidat.
5.         Syuriyah PBNU, sesuai Rapat PBNU tanggal 21 April 2004, menghargai hak warganya, termasuk tokoh-tokoh NU yang menjabat di PBNU, untuk dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai capres-cawapres, tanpa melibatkan institusi NU. Untuk menjaga agar hal ini benar-benar bisa dipahami oleh warga NU, Syuriyah PBNU memutuskan untuk menon-aktifkan sementara KH. Hasyim Muzadi dan Ir. H. Sholahuddin Wahid masing-masing dari jabatan ketua umum dan ketua PBNU, sejak secara resmi ditetapkan sebagai calon presiden/wakil presiden sampai dengan berakhirnva proses pemilihan bagi yang bersangkutan, kecuali bila atas kehendak sendiri yang bersangkutan menyatakan mengundurkan diri. Penon¬aktifan ini juga berlaku bagi segenap pengurus NU di semua tingkatan yang secara resmi bertindak sebagai tim sukses dan atau sebagai juru kampanye (Jurkam) bagi masing-masing Capres/Cawapres. Selama dalam status non-aktif, mereka tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas institusi ke-NU-an untuk kepentingan pemilihan yang dimaksud.
6.         Kepada pengurus NU di seluruh jajaran diamanatkan untuk memberi penjelasan yang jernih mengenai hal ini kepada warga dan tidak melakukan tindakan¬tindakan atau mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengesankan pemihakan kepada salah satu pihak yang pada gilirannya dapat menimbulkan kebingungan dan keresahan di bawah. Sebaliknya, hendaknya mereka ikut mengupayakan pendewasaan terhadap warga untuk menghindari adanya keretakan di antara mereka akibat perbedaan pilihan.
7.         Kepada tokoh-tokoh NU yang terlibat dalam pencalonan kepemimpinan negara itu, syuriyah PBNU berpesan agar mereka semua menata hati dan niat mereka dengan tekad yang tulus lillahi ta'alaa untuk melakukan yang terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia. Apabila berhasil, hendaklah bersyukur dengan mewujudkan niat dan tekad mereka itu dan apabila tidak berhasil, dapat menerima dengan ikhlas dan membantu mereka yang berhasil dalam mewujudkan cita-cita bersama bangsa ini.
8.         Kepada semua rakyat Indonesia, khususnya warga NU, syuriyah PBNU menghimbau agar ikut mensukseskan pemilihan capres-cawapres ini dengan semangat persaudaraan dan dapat mengulangi sikap dewasa seperti yang ditunjukkan dalam pemilu legislatif yang lalu. Sehingga pemilu kali ini pun dapat berjalan dengan aman dan damai.
9.         Kepada para kiai di lingkungan NU dimohon untuk senantiasa kompak membantu NU dalam menjaga Khittahnya dan memberikan arahan kepada warga dalam menghadapi pemilihan presiden dan wakil presiden mendatang. termasuk ikut menjelaskan sikap dan qaraar Syuriah PBNU ini dengan kearifan yang mereka miliki. Kepada seluruh umat beragama, khususnya warga NU dianjurkan untuk terus melakukan taqarrub dan berdoa memohon kepada Allah SWT, agar bangsa dan negara Indonesia ini dirahmati-Nya dan diberi pemimpin yang takut kepada Allah dan memiliki rasa kasih-sayang kepada rakyat.
Rembang, 16 Mei 2004
                                Ttd.                                                                                                                        Ttd.

KH. MA. Sahal Mahfudz                                                                             Masdar F Mas'udi

Rais Aam                                                                                                            Katib                

Istiqamah dalam Khittah NU: Penguatan Posisi Politik Masyarakat Terhadap Negara


                Sudah maklum diakui, bahwa munculnya wacana dan gerakan civil society  di Indonesia pada akhir tahun 80-an dan awal 90-an lebih banyak disuarakan oleh kalangan "tradisionalis" (Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan "modernis." Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Sedangkan kalangan modernis adalah kelompok yang kepentingannya relatif terakomodasi.
                Dalam kondisi semacam ini, wacana civil society yang secara sederhana dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara, sangat populer dan berkembang di kalangan intelektual NU. Kalangan muda NU menjadi begitu "keranjingan" dengan wacana civil society dan pada saat yang sama mereka menjadi kekuatan "antinegara".
                Dalam kondisi dimana negara (Orde Baru) begitu kuat (strong state) di satu pihak, dan rakyat begitu lemah di pihak lain, menjadikan wacana civil society menemukan momentumnya yang begitu kuat. Munculnya gerakan sosial baru (new social movement) sebagai pilar civil society pada era 90-an merupakan salah satu bukti kuatnya momentum tersebut.
                Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke Khittah 1926 pada tahun 1984. Peristiwa tersebut telah mengubah hampir semua tatanan kehidupan komunitas NU, terutama yang berkaitan dengan orientasi gerakannya. Kembali ke Khittah 1926 bukan semata-mata berarti NU meninggalkan kehidupan politik, tetapi lebih sebagai perubahan orientasi gerakan politik. Jika sebelumnya NU menempuh strategi "politik panggung", politik struktural yang disediakan oleh pemerintah Orba, maka dengan kembali ke Khittah NU menempuh strategi "politik tanpa panggung", artinya dalam kehidupan politik NU menciptakan "panggung permainannya" sendiri dan-pada saat yang sama-mengabaikan panggung yang disediakan Pemerintah Orba.
                Strategi politik yang demikian, tidak jarang menempatkan NU dalam posisi yang tidak mengenakkan karena selalu "berhadapan" dengan pemerintah. Efek dari strategi ini menjadikan NU semakin terpinggir dari pusat kekuasaan (centre of power) di satu sisi, namun di sisi yang lain, justru karena keterpinggiran itu peran NU sebagai embrio tumbuhnya civil society di Indonesia semakin mantap.
                Para pengamat menilai, peran NU yang demikian merupakan horison baru yang cukup menjanjikan serta memiliki ruang gerak yang cukup lebar. Bila ditinjau dari kepentingan civil society  di Indonesia, peran baru yang dilakukan NU mempunyai relevansi karena beberapa hal. Pertama, lahan garapan NU bukan semata-mata persoalan internal warga NU, namun menyangkut persoalan kebangsaan secara keseluruhan, seperti masalah keadilan politik, ekonomi dan sosial. Kedua, NU mengakui bahwa wilayah esensial bagi sebuah civil society yang mandiri kini menjadi komitmen perjuangannya melalui pemberdayaan rakyat (empowering society). Ketiga, NU pasca-Khittah 1926 menitikberatkan gerakannya pada level masyarakat yang ditujukan untuk memperkuat kemandirian dan kepercayaan dirinya (self confidence).
                Wilayah kerja NU yang baru tersebut, wilayah kultural, memungkinkannya membuka wacana pemikiran baru sebagai counter discourse terhadap "wacana resmi" yang hegemonik. NU berhasil merebut dan membuka ruang publik (public sphere) yang selama ini dikuasai negara, sebagai "zona netral" yang memungkinkan rakyat untuk berdialektika secara intens dengan negara dalam posisi yang berimbang (balance). Peran demikian tidak mungkin dapat dilakukan oleh NU jika ia tidak berani melakukan "reposisi" peran politiknya dengan kembali ke Khittah 1926.
                Dalam konteks ini, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan tokoh sentral yang sejak tahun 1984 mengawal Khittah NU. Sebagaimana diketahui, Gus Dur adalah sosok yang selalu gelisah untuk menyikapi realitas sosial yang mencerminkan adanya involusi dalam kehidupan berbangsa. Apa yang dilakukan NU di bawah komando Gus Dur, secara nyata merupakan geliat baru ormas yang selama ini hampir seluruhnya di bawah kooptasi negara.

Tantangan Pertama:                                                                         
Saat Gus Dur Menjadi Presiden
                TERPILIHNYA Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek civil society di Indonesia, khususnya di kalangan NU. NU yang dulu menjadi komunitas non-negara yang selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi "negara" itu sendiri. Di samping Gus Dur, banyak tokoh NU yang dulu penyeimbang negara, kini "tersedot" ke dalam poros negara. Muhammad AS Hikam yang selama ini dikenal sebagai "pendekar" civil society, kini juga sudah menjadi bagian dari negara, anggota kabinet Gus Dur. Belum lagi banyak kader NU unggulan yang menjadi anggota parlemen, yang pada tingkat tertentu merupakan elemen kenegaraan.
                Kenyataan tersebut mengisyaratkan bahwa wacana civil society dalam NU seolah kehilangan momentum. Pertama, NU yang dulu menjadi kekuatan non-negara, dengan Gus Dur menjadi presiden berarti NU telah terserap menjadi bagian dari negara itu sendiri. Kedua, secara makro kondisi negara sekarang berbeda sama sekali dengan ketika wacana civil society mengemuka di Indonesia. Jika pada awalnya negara begitu kuat dan rakyat lemah, sekarang kondisinya berbalik, negara lemah dan rakyat cukup kuat, atau paling tidak rakyat dan negara dalam posisi berimbang.
                Permasalahan semakin rumit jika dikaitkan dengan psikologi masyarakat NU yang sekian lama "memanjakan" Gus Dur karena mewarisi "darah biru", bahkan dipercaya sebagai "wali". Akibatnya, muncul keengganan di kalangan orang NU untuk melakukan kritik terhadap Gus Dur. Kondisi demikian tentu saja tidak cukup sehat untuk menumbuhkan civil society.
                Dalam situasi umit ini, muncul pertanyaan bagaimana prospek civil society di kalangan NU. Peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU akan memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Pertanyaan ini memang cukup problematis, karena ada kecanggungan kultural bagi warga NU untuk melakukan kritik terhadap Gus Dur. Oleh karena itu, agak sulit membayangkan NU tetap bertindak sebagai "oposan" sebagaimana yang diperankan sebelumnya terhadap orde Baru.
                Terhadap pertanyaan tersebut, lantas muncul beberapa pilihan yang mungkin dilakukan NU. Pertama, secara organisatoris NU "memotong" Gus Dur dan elemen kenegaraan yang lain sebagai entitas lain di luar entitas NU. Bila NU menempuh langkah ini, maka ia akan tetap menjadi kekuatan civil society  dan itu berarti NU akan tetap menjadi kekuatan penyeimbang di luar negara sebagaimana yang selama ini dilakukan.
                Kedua, NU melakukan "reposisi" atas peran yang selama ini diambil. Hal itu dilakukan dengan cara mengubah wacana civil society yang hanya dipahami sebagai kelompok non-negara yang berkepentingan untuk membentuk historical bloc (benteng sejarah) untuk menghadapi hegemoni negara. Di samping fungsi di atas, civil society sebenarnya dapat juga berperan sebagai komplemen (dan juga suplemen) terhadap peran yang dilakukan negara.
                Jika dulu NU lebih memerankan fungsi civil society yang pertama, maka pasca-Gus Dur menjadi presiden, NU dapat mengambil fungsi civil society yang lain, yaitu fungsi komplemen terhadap tugas negara. Dalam hal pendidikan misalnya, meskipun negara sudah menyelenggarakan pendidikan sendiri, masyarakat tetap masih bisa melengkapi tugas kependidikan yang tidak dilakukan negara seperti pengembangan pesantren dan sejenisnya.
                Ketiga, NU sepenuhnya mem-back up negara, artinya, apa pun yang dilakukan oleh Gus Dur sebagai representasi negara harus didukung. Menentang negara berarti menentang Gus Dur, dan itu berarti pula mencoreng wajah NU sendiri.
Dri tiga alternatif pilihan tersebut, pilihan ideal yang muncul di kalangan intelektual dan kaum muda NU adalah pilihan bahwa kekuatan CS masih sangat dibutuhkan di negeri ini sehingga NU tidak perlu meninggalkan posnya dalam penguatan civil society di Indonesia, apalagai mabuk dengan kekuasaan politik yang diperolehnya.
                Tapi pandangan itu belum menyebar kepada seluruh pemimpin formal dan informal NU, khususnya di daerah-daerah basis (khususnya daerah Tapal Kuda, termasuk Pasuruan). Sebab yang terjadi adalah, kecintaan kepada Gus Dur dan ‘nama baik’ NU di pentas politik praktis jauh lebih dominan dari pada kecintaan untuk mempertahankan posisi NU di luar negara sebagai kekuatan masyarakat yang melakukan kontrol. Perdebatan masih terus berlangsung, sementara kekuasaan Gus Dur sudah raib menghilang.

Tantangan Kedua:
Era Pemilihan Presiden Secara Langsung
                Hal yang sama terulang dalam Pemilu 2004, khususnya dalam pemilihan presiden seperti terlihat pada fenomena KH Hasyim Muzadi yang kini resmi menjadi cawapres bagi Megawati serta KH Salahuddin Wahid yang dilirik Partai Golkar untuk mendampingi Wiranto. Demikian pula pada pemilihan tahap kedua, ketika tinggal menyisakan Pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dengan SBY-Yusuf Kalla.
                Terasa berat bagi NU untuk tetap memegang prinsip khittah dalam situasi politik semacam ini. Sementara tidak dapat dipungkiri, para elit dan pemimpin NU memiliki ‘syahwat’ berpolitik praktis yang sangat besar. Memang bila dilihat sejarah NU, organisasi ini memang hampir-hampir tidak pernah lepas dari politik praktis. Politik seolah-olah sudah mendarah daging. Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan, jenis kelamin NU memang organisasi sosial keagamaan; tetapi semangatnya adalah semangat politik.
                Bahkan, keputusan kembali ke khittah 1926 sebetulnya juga keputusan politik. Paling tidak, nuansa politik di balik keputusan itu sangat kental. Sikap Orde Baru “melarang” NU menjadi partai politik – melalui kebijakan penyederhanaan partai (1973) – jelas sangat mengecewakan warga nahdliyin. Namun ketika bergabung dengan PPP, NU justru mengalami kekecewaan yang lebih besar dengan terus tersingkirnya tokoh-tokoh NU dari posisi-posisi strategis di tubuh PPP.
                Puncak kekecewaan NU dilampiaskan dengan tekad bulat kembali ke khittah 1926 (1984) yang diwujudkan tidak hanya dalam bentuk “talak tiga” dengan PPP, tetapi juga menggembosi partai yang pernah dibesarkannya sehingga perolehan suara PPP dalam pemilu 1987 turun drastis, khususnya di Jawa Timur. Ini hanya bisa diartikan satu hal: keputusan kembali ke khittah memang menjadi terobosan strategis yang sangat visioner, tetapi semangat yang terkandung di dalamnya adalah semangat politik.
                Kentalnya darah politik dalam tubuh NU tentu tidak bisa dilepaskan dari besarnya massa nahdliyin. Meski NU jelas-jelas organisasi sosial keagamaan dan bukan organisasi politik, namun besarnya massa NU merupakan kekuatan politik yang tidak bisa dianggap sepele. Jangankan organisasi sosial, organisasi politik pun belum tentu memiliki massa sebanyak yang dimiliki NU.
                Anehnya, ini baru betul-betul diperhitungkan setelah massa NU terfragmantasi secara politik. Dalam pemilu-pemilu sebelumnya NU seolah-olah dianggap angin lalu padahal suara nahdliyin relatif solid dan tidak terpecah-pecah. Baru pada pemilu 2004, khususnya pemilu presiden 5 Juli mendatang, NU betul-betul diperhitungkan, padahal suara nahdliyin sudah terpecah-pecah. Kontroversi pencalonan Gus Dur di satu pihak dan munculnya KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid sebagai cawapres di pihak lain, merupakan bukti yang sangat telanjang betapa suara NU dianggap sedemikian penting sebagai faktor penentu kemenangan.
                Di tengah persaingan keras perebutan kursi presiden-wakil presiden inilah, PBNU mengambil keputusan penting di Rembang pertengahan Mei 2004 dengan menonaktifkan KH Hasyim Muzadi dan KH Solahudin Wahid, melarang pengurus NU dan badan-badan otonom di tubuh NU mengeluarkan pernyataan maupun fatwa yang mendukung salah satu capres-cawapres, serta melarang pemanfaatan institusi maupun fasilitas NU untuk kekepentingan kampanye capres-cawapres. Bahkan pengurus NU yang menjadi Tim Sukses dari capres-cawapres tertentu juga diharuskan non-aktif sementara.
                Keputusan itu mengukuhkan kembali NU sebagai civil society yang sempat diragukan banyak orang. Dengan tersedotnya berbagai ormas ke dalam orientasi politik praktis, NU nyaris “sendirian” sebagai organisasi sosial keagamaan yang secara tegas bersikap netral dalam masalah pemilihan presiden-wakil presiden 5 Juli mendatang.
                Dengan keputusan itu, NU memikul tanggung jawab lebih besar ketimbang masa-masa sebelumnya. Tanggung jawab ini terutama menyangkut stagnasi peran-peran NU sebagai salah satu kekuatan civil society. Stagnasi civil society dalam era reformasi memang tidak hanya terjadi pada NU. Sejak Orde Baru tumbang, hampir semua kekuatan civil society tenggelam oleh arus politik yang demikian besar.
                Keputusan yang dihasilkan pertemuan Rembang memang sudah lama ditunggu banyak pihak, terutama kelompok kultural di NU. Sejak KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid resmi menjadi calon wakil presiden masing-masing mendampingi Megawati dan Wiranto, bermunculan dukungan dan penolakan. Untunglah Syuriyah PBNU segera mengambil sikap, sehingga kontroversi berkepanjangan bisa dihindari dan konflik kepentingan bisa ditekan sekecil mungkin.
                Namun Keputusan  Rembang memang tidak selalu ditanggapi positif, baik bagi NU dan nahdliyin maupun bagi pihak-pihak lain. Banyak tokoh NU berpendapat, apa salahnya mendukung capres-cawapres yang di dalamnya ada tokoh NU, sebagaimana Muhammadiyah yang secara resmi mendukung Amien Rais, toh mereka nantinya akan menjadi “wakil NU” yang diharapkan dapat memperjuangkan kepentingan NU. Pendapat ini ada benarnya; dan untuk kepentingan jangka pendek, keputusan Rembang jelas kurang menguntungkan NU.
Namun Syuriyah PBNU yang terdiri dari kiai-kiai berpengaruh agaknya lebih berpikir jauh ke depan. Inilah saatnya NU kembali kepada garis perjuangan sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyah) dengan lebih mengutamakan kepentingan jangka panjang ketimbang kepentingan pragmatis yang sifatnya hanya sesaat.
                Walhasil, tampaknya NU memang tidak perlu ditarik-tarik ke pilihan politik tertentu dalam pemilihan presiden mendatang. Politik garam harus dikedepankan dengan asumsi substansiasi nilai-nilai politik yang memajukan keadilan dan kesetaraan bisa ditawarkan kepada siapapun yang memperoleh amanat selama lima tahun ke depan. Meminjam bahasa Ketua Pelaksana PBNU, K.H Masdar F. Mas’udi, kalangan NU sebaiknya lebih memikirkan lima tahun ke depan daripada menghabiskan energi untuk lima menit: waktu yang biasa dihabiskan voter untuk mencoblos di dalam bilik suara.

Perlunya Memperioritaskan Kembali Agenda Kultural

                Sampai batas-batas tertentu, keterlibatan NU dalam arus kekuasaan bukan saja akan mengancam keutuhan jam’iyah dan jama’ah intern NU-karena disadari atau tidak, fenomena itu akan mempertajam polarisasi di tubuh NU-tetapi juga mengancam eksistensi NU sebagai civil society. Masuknya tokoh-tokoh puncak NU dalam bursa pemilihan presiden bisa menjadi preseden buruk di masa datang. NU akhirnya hanya akan menjadi batu loncatan menuju ke tampuk kekuasaan. Pilihan untuk kembali ke khittah 1926 sebetulnya merupakan keputusan strategis.
                Dengan komitmen ini, NU sebetulnya sudah menentukan langkah untuk bermain di luar arena kekuasaan. Kenyataan bahwa NU telah "memiliki" PKB justru membuat NU lebih bisa berkonsentrasi untuk menggarap wilayah-wilayah kultural. Sebab, wilayah struktural (politik praktis) sudah "diurusi" PKB. Dengan demikian, hubungan NU dan kekuasaan relatif bisa dibangun secara obyektif, rasional, dan terbuka, terlepas apakah tokoh-tokoh NU berada di kekuasaan atau tidak. Inilah agenda kultural yang mesti segera dilakukan oleh NU.            
                Harapan ini memang tidak mudah karena pengalaman NU selama ini belum sepenuhnya bisa membuktikan daya tahannya terhadap godaan politik. Namun demikian, salah satu yang bisa diharapkan untuk terus menjaga eksistensi NU sebagai civil society adalah kelompok yang tetap konsisten di jalur kultural yang memainkan peran cukup sentral sejak NU kembali ke khittah 1926. Kelompok ini memang hanya salah satu dari tiga kelompok dominan di NU . Meminjam analisis Laode Ida (Prisma, Mei 1995), paling tidak ada tiga faksi dominan yang muncul dalam dinamika internal NU.
                Pertama, faksi politik. Mereka ini terlibat langsung dalam percaturan politik praktis, baik di PKB maupun partai-partai lainnya, serta saling berebut pengaruh di basis-basis NU. Kelompok ini, karena keniscayaan harus bermain politik praktis, jelas sulit untuk bisa bisa diharapkan untuk bisa mendukung NU sebagai kekuatan civil society, kecuali mereka bisa menjalin komunikasi dan kerjasama strategis dengan aktivis civil society.
                Kedua, faksi syuriyah/kiai. Sebagai kiai dan ulama, mereka adalah tokoh-tokoh sentral NU meski tidak semuanya duduk dalam struktur NU. Faksi ini, dalam era kembali ke khittah, mencoba merekonstruksi peran NU dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Mereka berusaha agar NU tetap setia kepada khittah 1926 dan memainkan peran-peran penting sebagai civil society. Sebagian dari kelompok ini kemudian tergoda orientasi politik, namun sebagian besar kelompok ini mencoba tetap setia terhadap cita-cita khittah 1926 sehingga dari kelompok terakhir inilah NU diharapkan akan terus memainkan peran penting sebagai kekuatan civil society.
                Ketiga, faksi cendekia. Mereka ini adalah (1) kecuali memiliki ilmu pengetahuan agama (Islam) yang mendalam juga disiplin atau keahlian tertentu yang diperoleh dari lembaga pendidikan umum, atau (2) mereka berasal dari lembaga pendidikan pesantren dan IAIN yang secara fleksibel membuka diri mendalami ilmu selain agama, (3) mereka juga memiliki banyak gagasan yang secara terbuka dipublikasikan untuk kepentingan kalangan nahdliyin maupun masyarakat umum, serta memiliki komitmen sosial yang tinggi.
                Jika dua faksi terakhir bisa bekerja lebih maksimal dalam menjaga independensi NU terhadap kekuasaan serta terus berusaha mengawal dan memantapkan posisi NU sebagai civil society seperti diamanatkan khittah 1926, NU tidak perlu menghabiskan energi untuk terlibat dalam berbagai tetek bengek politik praktis. Toh sudah ada PKB yang menjalankan tugas itu. Sebaliknya, NU bisa mencurahkan segenap energinya dalam gerakan-gerakan kultural untuk memberikan pelayanan lebih maksimum tidak hanya kepada komunitasnya tetapi juga kepada bangsa ini.
                Namun, menjalankan tekad untuk “kembali ke jalan yang benar” seperti salah satunya ditunjukkan dengan sangat elegan dalam keputusan Rembang, bukannya tanpa kendala. Dalam satu segi, NU telah memberikan contoh yang sangat bagus bagaimana seharusnya organisasi sosial menempatkan diri sebagai kekuatan civil society di tengah gelombang politik yang demikian besar. Dengan keputusan itu, NU diharapkan menjadi kontrol moral tidak hanya terhadap proses perebutan kekuasaan, tetapi juga terhadap proses-proses politik berikutnya setelah kompetisi itu selesai.


                Dalam segi yang lain, NU harus betul-betul bekerja keras untuk menunjukkan komitmennya melaksanakan misi kultural di atas. Persoalannya adalah, mesin organisasi NU seringkali tidak cukup efektif di tingkat akar rumput. Tingkat pemahaman akan konsep khittah dan wawasan politik yang cukup beragam serta lemahnya bangunan struktur organisasi (instituional building) merupakan penyebab penting munculnya permasalahan tersebut. Oleh karena itu, konsolidasi jam’iyyah harus tetap ditumbuhkan. (Disadur dari berbagai sumber).
Sumber Tulisan

"Civil Society" dan NU Pasca-Gus Dur, ditulis oleh Rumadi, staf pada Institute for the Study and Advancement of Civil Society (ISACS) Jakarta, mahasiswa Pascasarjana (S3) IAIN Jakarta  http://www.incis.or.id/ar_18.htm

Masa Depan NU sebagai "Civil Society" ditulis oleh Agus Muhammad, Peneliti P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Jakarta, Kompas, 13 Mei 2004

Menggugat Khittah NU, Humaniora Utama Press Bandung

Menilai “Kecerdasan” Politik NU dalam Pilpres, ditulis oleh Kholilul Rohman Ahmad, dimuat tanggal 12/7/2004 di http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=618

NU Setelah Pertemuan Rembang, ditulis oleh Agus Muhammad, peneliti pada Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta, Koran Tempo, 21 Mei 2004


Pedoman Berpolitik Warga NU, ditulis oleh KH A. Mustofa Bisri, Rais Syuriyah PBNU, Duta Masyarakat, 3 Agustus 2004.