Selasa, 28 Oktober 2014

Biografi KH. Wahab Hasbullah


KH. Wahab Hasbullah
Kyai yang satu ini adalah sosok kyai sejati yang selalu mengayomi dan memberikan kesejukan kepada umat. Kearifan, pengetahuan dan pengalaman hidupnya menjadikannya sebagai sosok yang sangat disegani dan dihormati oleh rakyat Indonesia, khususnya kalangan umat Islam terlebih kalangan warga nahdhiyin. Beliau telah mengukir sejarah yang gemilang dalam meletakkan prinsip-prinsip agama dan kehidupan sebagai kunci dan pegangan hidup bermasyarakat dan bernegara. Berbagai macam prestasi perjuangannya telah diraihnya dengan cemerlang. Perannya di semua lini kehidupan, politik, budaya, agama menjadikannya sebagai kyai multikultural yang menjadi tokoh simbol perjuangan anak bangsa. 
A.    RIWAYAT HIDUP DAN KELUARGA 
Pemikiran-pemikirannya selalu dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan solusi dalam menyelesaikan berbagai macam persoalan, baik persoalan keagamaan maupun kebangsaan. Pengalaman hidupnya di tiga zaman telah membentuk pribadi yang arif dan bijaksana. Beliau lahir pada bulan Maret 1888 M. dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah di Tambakberas Jombang. Keluarga Chasbullah, pengasuh pondok Tambakberas ini masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan ulama paling masyhur di awal abad ke-20 yang juga berasal dari Jombang, yaitu KH Hasyim Asy’ari. 
 1.      Silsilah Nasab 
Nasab KH Hasyim Asy’ari dan Kyai Chasbullah bertemu dalam satu keturunan dengan KH. Abdussalam. Jika diurut ke atas, nasab keluarga ini akan bermuara pada Lembu Peteng, salah seorang raja di Majapahit. 
2.      Menikah dan Membina Rumah Tangga 
Pada tahun 1914, Abdul Wahab Hasbullah menikah dengan Kiai Musa yang bernama Maimunah. Sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampong Kertopaten Surabaya. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki pada tahun 1916 bernama Wahib, yang kemudian dikenal sebagai Kiai Wahab Wahib. Namun, pernikahan dan membina rumah tangga ini tidak berlangsung lama. Istrinya meninggal sewaktu mereka berdua menjalankan ibadah haji pada tahun 1921. Setelah itu Kiai Wahab Hasbullah menikah lagi dengan perempuan bernama Alawiyah, pitri Kiai Alwi. Namun pernikahan ini pun tidak berlangsung lama sebeb setelah mendapatkan putra, istrinya meninggal. Begitu juga untuk ketiga kalinya ia menikah lagi, namun pernikahannya tidak berlangsung lama. Tidak jelas siapakah nama istri ketiganya ini, Juga, penyebab terputusnya pernikahan yang tidak lama tersebut, apakah karena istrinya meninggal atau bercerai.Dari sini beliau menikah lagi, pernikahan keempat dilakukan dengan Asnah, putrid Kiai Sa’id, seorang pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya bernama Kiai Nadjib (almarhum) yang sekanjutnya mengasuh Pesantren Tambakberas.Namun lagi-lagi pernikahan ini tidak langgeng kembali. Nyai Asnah meninggal dunia. Kemudian Kiai Wahab menikah lagi untuk yang kelima kalinya dengan seorang janda bernama Fatimah, anak Haji Burhan. Dari pernikahan ini beliau tidak mendapatkan keturunan. Namun, dari Fatimah ia memperoleh anak tiri yang salah satunya kelak besar bernama K.H. A. Syaichu.Dari sinilah banyak orang mencemooh perilaku Kiai Wahab. Tidak jarang, banyak orang yang menjulukinya sebagai “kiai tukang kawin” karena setekah itupun ia menikah kembali untuk yang keenam kalinya. Kali ini dengan anak Kiai Abdul Madjid Bangil, yang bernama Ashikhah. Pernikahan inipun tidak berlangsung lama karena saat menunaikan ibadah haji bersama, Nyai Ashikhah meninggal dunia. Dari istri ini beliau dikaruniai empat orang anak.Pernikahan belaiau yang terakhir, yang ketujuh adalah dengan kakak perempuan Ashikhah, bernama Sa’diyah. Dengan perempuan inilah pernikahan Kiai Wahab mencapai puncaknya, artinya langgeng sampai akhir hayat beliau. Dari Nyai Sa’diyah ini beliau mendapatkan beberapa keturunan, yaitu Mahfuzah, Hasbiyah, Mujidah, Muhammad Hasib dan Raqib.  
3.      Wafat 
Sebelum wafat KH. Wahab masih sempat menghadiri Muktamar NU ke-25 di Surabaya dan terpilih sebagai Ro’is ‘Am PBNU. Pun juga masih bisa memberikan suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Menurutnya menghadiri Muktamar NU dan memberikan suara pada pemilu adalah bagian dari salah satu perjuangan, karena perjuangan adalah bagian dari ibadah yang harus dilaksanakan. Tetapi empat hari setelah Muktamar NU di Surabaya, kyai yang banyak berjasa terhadap bangsa ini dipanggil kehadirat Allah swt. Beliau wafat pada 29 Desember 1971 di kediamannya yang sederhana di kompleks pesantren Tambakberas, Jombang.  
B.     PENDIDIKAN 
Masa pendidikan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dari kecil hingga besar banyak dihabiskan di pondok pesantren. Selama kurang lebih 20 tahun, ia secara intensif menggali pengetahuan keagamaan dari beberapa pesantren. Karena tumbuh dilingkungan pondok pesantren, mulai sejak dini ia diajarkan ilmu agama dan moral pada tingkat dasar. Termasuk dalam hal ini tentu diajarkan seni Islam seperti kaligrafi, hadrah, barjanji, diba’, dan sholawat. Kemudian tak lupa diajarkan tradisi yang menghormati leluhur dan keilmuan para leluhur, yaitu dengan berziarah ke makam-makam leluhur dan melakukan tawasul. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup,seorang santri. Diajaknya shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajjud. Kemudian Wahab Hasbullah membimbingnya untuk menghafalkan Juz ‘Amma dan membaca Al Quran dengan tartil dan fasih. Lalu beliau dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari. Misalnya: KitabSafinatunnaja, Fathul Qorib, Fathul Mu’in, Fathul Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Wahab Hasbullah juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulumul Quran, Hadits, dan Ulumul Hadits.Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia dididik langsung oleh ayahnya, baru ketika berusia 13 tahun, Wahab Hasbullah merantau untuk menuntut ilmu. Maka beliau pergi ke satu pesantren ke pesantren lainnya.Diantara pesantren yang pernah disinggahi Wahab Hasbullah adalah sebagai berikut:1.      Pesantren Langitan Tuban.
2.      Pesantren Mojosari, Nganjuk.
3.      Pesantren Cempaka.
4.      Pesantren Tawangsari, Sepanjang.
5.      Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura dibawah asuhan Kiai Kholil Bangkalan.
6.      Pesantren Branggahan, Kediri.
7.      Pesantren Tebu Ireng, Jombang dibawah asuhan K.H. Hasyim Asy’ari.
Khusus di Pesantren Tebu Ireng, ia cukup lama menjadi santri. Hal ini terbukti, kurang lebih selama 4 tahun, ia menjadi “lurah pondok”, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicicipi seorang santri dalam sebuah pesantren, sebagai bukti kepercayaan kiai dan pesantren tersebut. C.     PERJUANGANPerjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah dapat dikatakan lebih dikaitkan dengan persoalan pergerakan, organisasi, maupun istilahnya politik Islam. Langkah awal perjuangan yang ditempuh K.H. Abdul Wahab Hasbullah yaitu lewat jalur pendidikan. Ia mendirikan madrasah bernama “Nahdlatul Wathan”. Nama madrasah sengaja dipilih Nahdlatul Wathan yang berarti: “bangkitnya tanah air” adalah bukti dari cita-cita murni Kiai Abdul Wahab Hasbullah untuk membebaskan bangsa dari belenggu kolonial Belanda.Menurut K.H. Muhammad Ghozi Wahid (cucu Kiai Wahab) dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar, seperti Kiai Bisri Syansuri, Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiai Wahab Hasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan seluruh kekuatan gaibnya untuk melawan tentara sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjata lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagungpun ditangan kiai-kiai itu dapat difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.Ketika Kiai Hasyim Asy’ari ditangkap Jepang sekitar bulan April-Mei 1942, Kiai Wahab dan K.H. Wahid Hasyim bersama para kiai berulangkali melakukan dialog dengan Saikoo Sikikan (panglima tertinggi tentara Jepang di Jawa) untuk memperjuangkan pembebasan Kiai Hasyim Asy’ari. Menurut catatan sejarah, penangkapan tersebut dilatar belakangi oleh adanya fatwa K.H. Hasyim Asy’ari yang mengharamkan para santrinya melakukan saikere,yaitu kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia untuk membungkukkan badan sembilan puluh derajat kearah Tokyo untuk menghormat Tenno Heika, Raja Jepang. K.H. Hasyim Asy’ari mengaharamkan tindakan tersebut dan fatwa beliau disampaikan kepada Saikoo Sikikan. Selama satu bulan waktunya dihabiskan untuk menagani persoalan tersebut. Setelah melampaui perjuangan yang berat dan penuh resiko, akhirnya terbebaslah Kiai Hasyim Asy’ari dari tahanan pemerintah militer Jepang setelah lebih dari empat bulan beliau dipenjara oleh Jepang. Akan tetapi, pekerjaan Kiai Wahab belum selesai hingga disini. Lalu pergilah Kiai Wahab Hasbullah ke Wonosobo untuk membebaskan 12 orang tokoh ulama NU melalui pengadilan Jepang.Tidak kalah pentingnya memperhatikan langkah-langkah perjuangan lain yang ditempuh Kiai Wahab. Ini penting karena dalam diri Kiai Wahab agaknya tersimpan beberapa sifat yang jarang dipunyai oleh orang lain. Beliau adalah tipe manusia yang pandai bergaul dan gampang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Tetapi, beliau juga seorang ulama yang paling tangguh mempertahankan dan membela pendiriannya. Beliau diketahui sebagai pembela ulama pesantren (ulama bermadzhab) dari serangan-serangan kaum modernis anti madzhab.Apa pun nama madrasah di beberapa cabang itu pastilah dibelakangnya tercantum nama “Wathan” yang berarti tanah air. Ini berarti tujuan utamanya adalah membangun semangat cinta tanah air. Kecuali berjuang dengan Nahdlatul Watan beliau juga aktif berkiprah sebagai penasehat di Masyumi yang beranggotakan dari kalangan NU dan Muhammadiyah. Sebelumnya ia juga ikut mendirikan MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) bersama K.H. Achmad Dahlan (Muhammadiyah) dan K.H. Mas Mansur (non-partai) karena didorong oleh kesadaran perlu menciptakan suasana hubungan yang baik antara partai dan organisasi-organisasi Islam saat itu. MIAI didirikan di Surabaya pada tanggal 12 September 1937, namun pada bulan Oktober 1943 dibubarkan Jepang karena dianggap membahayakan kedudukan Jepang.Sarekat Islam (SI) adalah pergerakan yang beliau dirikan selanjutnya bersama rekan-rekannya ketika masih menuntut ilmu di Mekkah. Pergerakan ini bukan sekadar mengumpulkan cendekiawan dari kalangan Islam tanah aur, melainkan gerakan ini juga ingin memajukan kaum Islam yang rendah ekonominya dan rendah pengetahuannya.
Beliau juga tidak dapat membiarkan serangan-serangan kaum modernis yang dilancarkan kepada ulama bermadzhab. Lagi pula, serangan-serangan itu tidak mungkin dapat dihadapi sendirian. Sebab itu, pada tahun 1924, Kiai Wahab membuka kursus “Masail Diniyyah” (khusus masalah-masalah keagamaan) guna menambah pengetahuan bagi ulama-ulama muda yang mempertahankan madzhab pesantren. Dengan demikian, Kiai Wahab telah juga membangun pertahanan cukup ampuh bagi menolak serangan-serangan kaum modernis.Selanjutnya, pada saat pemimpin-pemimpin Islam mendapat undangan dari Raja Hijaz, beliau lalu membentuk Komite Khilafat yang diberinama “Komite Hijaz” atas izin dari K.H. Hasyim Asy’ari. Belaiu mendirikan “Komite Hijaz” sebagai bentuk respon atas proses “wahabisasi” di Arab yang memberi pengaruh pada persoalan kebebasan beribadah sesuai dengan kepercayaannya. Komite ini kemudian mengirim delegasi sendiri ke Makkah-Madinah. Dan Komite Hijaz inilah yang kemudian melahirkan Jam’iyah Nahdlatul Ulama, sehingga kehadiran NU tidak dapat dilepaskan dari perjuangan K.H. Abdul Wahab Hasbullah. 
 
D.    PEMIKIRAN KIAI WAHAB HASBULLAH 
Jika disejajarkan dengan Gus Dur (Abdurrahman Wahid), maka Kiai Wahab Hasbullah memiliki banyak persamaan yang didasarkan pada masanya masing-masing. Keduanya sama-sama tokoh yang sangat kontraversial di kalangan ulama dan politisi. Abdurrahman Wahid dikenal sebagai ulama dan cendekiawan yang sikap dan maneuver-manuver politik yang dilakukannya sering menimbulkan pertanyaan tentang integritas dan konsistensi idealisme dan cita-cita perjuangannya. Kemudian kenapa Kiai Wahab Hasbullah juga begitu kontraversial?.Diantara beberapa hal yang menjadikan Kiai Wahab menjadi ulama sekaligus politisi dan cendekiawan yang kontraversial dikalangan umat Islam Indonesia adalah ketika meningginya konflik antara kaum modernis dan reformis dengan kaum tradisionalis, beliau tampil sebagai “guardian” tradisionalisme dengan jalan membentuk Taswirul Afkar pada tahun 1918 yang kemudian melaksanakan perdebatan terhadap permasalahan yang diperdebatkan kaum tradisionalis dan modernis saat itu. 
1.      Bidang Pendidikan 
Menurut beliau pendidikan tidak harus dilakukan di pesantren dan mendidik anak harus tepat pada situasi dan kondisi yang dibutuhkan masyarakat, namun bukan berarti pendidikan pesantren dilupakan. Oleh karenanya selain ia melakukan pendidikan di Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, juga melakukan pendidikan di luar pesantren yang ditujukan untuk kalangan umum dan terpelajar dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar. Melalui Nahdlatun Wathan beliau juga telah berhasil mendirikan beberapa sekolah di berbagai daerah, antara lain:1)      Sekolah/Madrasah Ahloel Eathan di Wonokromo
2)      Sekolah/Madrasah Far’oel Wathan di Gresik
3)      Sekolah/Madrasah Hidayatoel Wathan di Jombang, dan
4)      Sekolah/Madrasah Khitaboel Wathan di Surabaya. 
2.      Bidang Keagamaan 
Konsep Kiai Wahab Hasbullah tentang keagamaan terutama bagaimana peran Islam, lebih banyak berreferensi dari tradisi politik keagamaan Sunni dan pla pergerakan ahlus sunnah wal jama’ah. Pemikiran beliau lebih terbuka dengan tidak keras atau fanatik pada suatu pendapat, pragmatis demi mencari solusi kebenaran bersama, dan kebutuhan mendesak dan penting serta kontekstual, atau yang kita kenal sebagai moderatisme. 
3.      Pergerakan 
Progresivitas konsep pergerakan Kiai Wahab Hasbullah terlihat jelas ketika ia turut serta dalam membidani lahirnya organisasi kalangan Islam NU. Mengapa hal demikian disebut sebagai progresivitas pemikiran pergerakan dari Kiai Wahab Hasbullah?Tidak lain karena organisasi pergerakan di Indonesia kala itu muncul dari kalangan terpelajar atau dari kota yang dibekali pendidikan notabene ciptaan Belanda. Pendidikan itu sangat menekankan rasionalitas modern dalam memandang persoalan kehidupan. Sementara kalangan Islam tradisional kebanyakan adalah kelompok masyarakat tradisional, kalangan petani, yang kebanyakan pola pandangan hidupnya masih sedikit terpengaruh pemikiran nasional modern, karena mereka mengandalkan bacaan kitab kuning-nya yang mereka pelajari di pesantren. 
4.      Demokrasi 
Diceritakan oleh Saifudin Zuhri dalam salah satu bukunya, Biografi Wahab Hasbullah, disebutkan sebagai berikut:“Kami bertiga, Kiai Wahab, Pak Idham, dan Saifuddin Zuhri sama-sama duduk dalam dewan pertimbangan agung mewakili NU. Berbulan-bulan dewasa ini membicarakan “sosialisme Indonesia”, “Landreform”, “Pancasila” dan lain-lain. Ada dua aspek yang selalu diperhatikan oleh NU dalam pembahasan tersebut. Sosialisme Indonesia menurut NU haruslah sosialisme ala Indonesia dan bukanlah sosialisme ala komunisme, baik Moskow atau Peking. Sosialisme Indonesia tak lain dan tak bukan adalah dibentengi ideology Negara ualah Pancasila dan UUD Negara yang menjamin setiap penduduk menjalankan keyakinan agamanya. Sementara itu, tentang landasan “landreform”, pada dasarnya NU dapat menyetujuinya selama gerakan ini tidak mengandung maksud melenyapkan hak milik pribadi dan negara. Menurut ajaran Islam, tiap-tiap hak milik harus dilindungi dan dipertahankan, namun juga diwajibkan menegakkan keadilan.”.Bagi Wahab Hasbullah, nilai dasar demokrasi adalah memanusiakan manusia dan mengaturnya agar pola hubungan antar-manusia itu dapat saling menghormati perbedaan dan mampu bekerjasama sehingga menciptakan kesejahteraan bersama.  
E.     WARISAN DAN PENINGGALAN KIAI WAHAB HASBULLAH 
Ukuran ketokohan K.H. Wahab Hasbullah bukanlah terletak pada buku karya ilmiahnya, karena memang bolah dikatakan beliau tidak meninggalkan sebuah karangan pun, melainkan buah pikiran dan kemampuan ilmunya yang diuraikan dimana-mana dalam banyak kesempatan dan peristiwa. Mungkin bagi kalangan intelektual murni, yang suka menganalisis dari teks ke teks saja, hal ini sangat disayangkan. Setidaknya, beliau menyempatkan diri untuk menuliskan buku panduan menkadi politisi menurut konsep aswaja.Namun, sebenarnya  tidaklah benar seratus persen jika Kiai Wahab Hasbullah hanyalah seorang tokoh atau kiai politik saja. Beliau dikenal sebagai kago silat dan ahli wirid. Konon dimana-mana, Kiai Wahab menyebut ijazah, macam-macam hizib, wirid kepada seluruh warga NU da siapa saja yang memerlukan kekebalan diri. Ia menyatakan orang Islam bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena wiridnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar