Kamis, 30 Oktober 2014

Sumber Ajaran Aswaja An-Nahdliyyah


Pola perumusan hukum dan ajaran ahklus sunah wal jamaah sangat tergantung pada beberapa pola pemecahan masalah antara lain:
-          Pola mauhhu’iyah (tematik), atau terapan (qonuniyah)
-          Pola waqi’iyah (kasuistik)
 
Pola maudhu’iyah pendiskripsian masalahnya berbentuk tashawwur lintas disiplin keilmuan empirik. Ketika rumusan hukum atau ajaran Islam dikaitkan dengan kepentingan terapan hukum positif (RUU/Raperda), maka pendekatan masalahnya berintikan “ tathbiq alsyari’ah “ disesuaikan dengan kesadaran hukum kemajemukan bangsa. Apabila langkah kerjanya sebatas merespon kejadian faktual (waqi’iyah) yang bersifat regional (kedaerahan) atau insidental, cukup menempuh penyelesaian metode takhayyur (eklektif) yaitu memilih kutipan doktrin yang siap pakai (instant). 
Berikut diuraikan cara merujuk (menggali sumber referensi) dan langkah istinbath (deduktif) atau istidlal (induktif) yang menjadi tradisi keagamaan Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Ahlu al- Sunnah wa al-Jama’ah 
A.    Madzhab Qauli 
Pendapat atau pandangan ulama yang teridentitas sebagai ulama sunni dikutip secara utuh qaulnya dalam kitab “al-iqtishad fi al-i’tiqad” karangan abu hamid al-ghazaliyyang menjabarkan paham aqidah as’ariyah dan kitab”al-umm” yang menghimpun qaul imam syafi’i.sekira umat diperlukan perluasan doktrin (elaborasi), seyogyanya merujuk kepada kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni dalam madzhab yang sama. 
Untuk menjaga keutuhan paham madzhab sunni harus dihindarkan pengutipan pendapat (qaul) dari kitab yang penulisan madzhabnya lain.  
 B.     Manhaj Manhaji 
Ketika upaya merespon masalah kasuistik dipandang perlu menyertakan dalil nash syar’i berupa kutipan ayat al-qur’an, nuqilan matan sunnah atau hadist, untuk mewujudkan citra muhafazhah maka diperlukan beberapa langkah berikut: 
1.      Kutipan ayat dari mushaf dari rasam ustmaniy lengkap petunjuk nama surat dan nomor urut ayat serta menyertakan terjemah standard eks Departemen Agama RI, kutip pula tafsir atas ayat tersebut oleh Mufassir Sunni dari Kitab tafsir yang tergolong mu’tabar. Keunggulan tafsir bisa ditelusuri dari sumber dan media yang diperbantukan serta penerapan kaidah istinbath atas nash ungkapan al-Qur’an. Integritas mufassir sebagai ulama sunni diperlukan sebagai jaminan atas mutu penafsiran dan pentakwilan. Sebagaimana diketahui pada jajaran ulama Syi’ah Imamiyah (Ja’fariyah dan Itsna ‘Asyariyah) telah memperluas sifat kema’shuman melampaui wilayah nubuwwah, dan terjadi pentakwilan oleh ulama bathiniyah yang keluar dari bingkai aqidah Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah 
2.      Penuqilan matan sunnah/hadisthrus berasal dari kitab ushulul hadist (kitab hadits standar) berikut mencantumkan narasumber Nabi atau Rasulullah SAW. serta nama periwayat / nama mukharrij (kolektor). Pemberdayaan nash sunnah atau nash hadits sebagai hujjah syar’iyah harus mempertimbangkan data hasil uji kehujjahannya sebagai shahih, hasan atau dha’if. Penarikan kesimpulan atas konsep substansi nash bermuara pada pensyarahan oleh Muhadditsin yang paham keagamaannya diakui sebagai sunni.  
3.      Pengutipan ijmak perlu memisahkan kategori ijmak shahabi diakui tertinggi mutu ke hujjahannnya dari ijmak mujtahidin. Sumber pengutipan ijma’ sebaiknya mengacu pada kitab karya mujtahid muharrir madzhab seperti imam Nawawi dan lain-lain. Pengintegrasian tafsir untuk ayat yang dirujuk berikut data kritik serta syarat hadits guna mengimbangi kondisi para pelaku penggalian ajaran dengan cara manhaji level manapun  
C.    Pengembangan Asas Ijtihad Madzhabi 
Pengembangan Asas Ijtihad Madzhabi Pada tataran aplikasi hukum (tathabiq alSyar’iyah) terkait proses penyusunan RUU/Raperda mungkin pilihan jatuh pada kreasi mengembangkan asas-asas ijtihad yang dikenal luas pada jajaran ulama Sunni. Misalnya : ‘Ummu al-Balwa, Qaul Shahabi, Qaul Tabi’in, Mura’atu al-Khilaf, Kondisi dharurat, asas ‘Uruf / Ta’amul, ‘Amalu Ahli al-Madinah, Istihsan, Syar’u al-Dzara’i, Istishhab, Mashalih Mursalah, maqashid al-syari’ah, Siyasah Syar’iyah dan lain sebagainya.
Operasionalisasi asas-asas ijtihad tersebut perlu didukungkearifan mengenali bobot ijtihadnya terutama:
1.      Frame (bingkai) masalah.
2.      Konteks (keterkaitan) dengan kepentingan individu atau kebijakan publik.
3.      Dampak pada sektor aqidah dan ghirah diniyah.
4.      Kadar kesulitan dalam pelaksanaan.
5.      Membuka peluang hilah hukum dan resiko jangka panjang.
 
Oleh karena itu kompleksitas masalah di negara plural agamanya, maka perumusan hukum yang memberdayakan asas ijtihad harus dilakukan secara kolektif (jama’iy) dan terjamin taat kaidah istidlal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar