Rabu, 29 Oktober 2014

Istiqamah dalam Khittah NU: Penguatan Posisi Politik Masyarakat Terhadap Negara


                Sudah maklum diakui, bahwa munculnya wacana dan gerakan civil society  di Indonesia pada akhir tahun 80-an dan awal 90-an lebih banyak disuarakan oleh kalangan "tradisionalis" (Nahdlatul Ulama), bukan oleh kalangan "modernis." Hal ini bisa dipahami karena pada masa tersebut, NU adalah komunitas yang tidak sepenuhnya terakomodasi dalam negara, bahkan dipinggirkan dalam peran kenegaraan. Sedangkan kalangan modernis adalah kelompok yang kepentingannya relatif terakomodasi.
                Dalam kondisi semacam ini, wacana civil society yang secara sederhana dipahami sebagai masyarakat non-negara dan selalu tampil berhadapan dengan negara, sangat populer dan berkembang di kalangan intelektual NU. Kalangan muda NU menjadi begitu "keranjingan" dengan wacana civil society dan pada saat yang sama mereka menjadi kekuatan "antinegara".
                Dalam kondisi dimana negara (Orde Baru) begitu kuat (strong state) di satu pihak, dan rakyat begitu lemah di pihak lain, menjadikan wacana civil society menemukan momentumnya yang begitu kuat. Munculnya gerakan sosial baru (new social movement) sebagai pilar civil society pada era 90-an merupakan salah satu bukti kuatnya momentum tersebut.
                Kebangkitan wacana civil society dalam NU diawali dengan momentum kembali ke Khittah 1926 pada tahun 1984. Peristiwa tersebut telah mengubah hampir semua tatanan kehidupan komunitas NU, terutama yang berkaitan dengan orientasi gerakannya. Kembali ke Khittah 1926 bukan semata-mata berarti NU meninggalkan kehidupan politik, tetapi lebih sebagai perubahan orientasi gerakan politik. Jika sebelumnya NU menempuh strategi "politik panggung", politik struktural yang disediakan oleh pemerintah Orba, maka dengan kembali ke Khittah NU menempuh strategi "politik tanpa panggung", artinya dalam kehidupan politik NU menciptakan "panggung permainannya" sendiri dan-pada saat yang sama-mengabaikan panggung yang disediakan Pemerintah Orba.
                Strategi politik yang demikian, tidak jarang menempatkan NU dalam posisi yang tidak mengenakkan karena selalu "berhadapan" dengan pemerintah. Efek dari strategi ini menjadikan NU semakin terpinggir dari pusat kekuasaan (centre of power) di satu sisi, namun di sisi yang lain, justru karena keterpinggiran itu peran NU sebagai embrio tumbuhnya civil society di Indonesia semakin mantap.
                Para pengamat menilai, peran NU yang demikian merupakan horison baru yang cukup menjanjikan serta memiliki ruang gerak yang cukup lebar. Bila ditinjau dari kepentingan civil society  di Indonesia, peran baru yang dilakukan NU mempunyai relevansi karena beberapa hal. Pertama, lahan garapan NU bukan semata-mata persoalan internal warga NU, namun menyangkut persoalan kebangsaan secara keseluruhan, seperti masalah keadilan politik, ekonomi dan sosial. Kedua, NU mengakui bahwa wilayah esensial bagi sebuah civil society yang mandiri kini menjadi komitmen perjuangannya melalui pemberdayaan rakyat (empowering society). Ketiga, NU pasca-Khittah 1926 menitikberatkan gerakannya pada level masyarakat yang ditujukan untuk memperkuat kemandirian dan kepercayaan dirinya (self confidence).
                Wilayah kerja NU yang baru tersebut, wilayah kultural, memungkinkannya membuka wacana pemikiran baru sebagai counter discourse terhadap "wacana resmi" yang hegemonik. NU berhasil merebut dan membuka ruang publik (public sphere) yang selama ini dikuasai negara, sebagai "zona netral" yang memungkinkan rakyat untuk berdialektika secara intens dengan negara dalam posisi yang berimbang (balance). Peran demikian tidak mungkin dapat dilakukan oleh NU jika ia tidak berani melakukan "reposisi" peran politiknya dengan kembali ke Khittah 1926.
                Dalam konteks ini, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) merupakan tokoh sentral yang sejak tahun 1984 mengawal Khittah NU. Sebagaimana diketahui, Gus Dur adalah sosok yang selalu gelisah untuk menyikapi realitas sosial yang mencerminkan adanya involusi dalam kehidupan berbangsa. Apa yang dilakukan NU di bawah komando Gus Dur, secara nyata merupakan geliat baru ormas yang selama ini hampir seluruhnya di bawah kooptasi negara.

Tantangan Pertama:                                                                         
Saat Gus Dur Menjadi Presiden
                TERPILIHNYA Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang prospek civil society di Indonesia, khususnya di kalangan NU. NU yang dulu menjadi komunitas non-negara yang selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi "negara" itu sendiri. Di samping Gus Dur, banyak tokoh NU yang dulu penyeimbang negara, kini "tersedot" ke dalam poros negara. Muhammad AS Hikam yang selama ini dikenal sebagai "pendekar" civil society, kini juga sudah menjadi bagian dari negara, anggota kabinet Gus Dur. Belum lagi banyak kader NU unggulan yang menjadi anggota parlemen, yang pada tingkat tertentu merupakan elemen kenegaraan.
                Kenyataan tersebut mengisyaratkan bahwa wacana civil society dalam NU seolah kehilangan momentum. Pertama, NU yang dulu menjadi kekuatan non-negara, dengan Gus Dur menjadi presiden berarti NU telah terserap menjadi bagian dari negara itu sendiri. Kedua, secara makro kondisi negara sekarang berbeda sama sekali dengan ketika wacana civil society mengemuka di Indonesia. Jika pada awalnya negara begitu kuat dan rakyat lemah, sekarang kondisinya berbalik, negara lemah dan rakyat cukup kuat, atau paling tidak rakyat dan negara dalam posisi berimbang.
                Permasalahan semakin rumit jika dikaitkan dengan psikologi masyarakat NU yang sekian lama "memanjakan" Gus Dur karena mewarisi "darah biru", bahkan dipercaya sebagai "wali". Akibatnya, muncul keengganan di kalangan orang NU untuk melakukan kritik terhadap Gus Dur. Kondisi demikian tentu saja tidak cukup sehat untuk menumbuhkan civil society.
                Dalam situasi umit ini, muncul pertanyaan bagaimana prospek civil society di kalangan NU. Peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU akan memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Pertanyaan ini memang cukup problematis, karena ada kecanggungan kultural bagi warga NU untuk melakukan kritik terhadap Gus Dur. Oleh karena itu, agak sulit membayangkan NU tetap bertindak sebagai "oposan" sebagaimana yang diperankan sebelumnya terhadap orde Baru.
                Terhadap pertanyaan tersebut, lantas muncul beberapa pilihan yang mungkin dilakukan NU. Pertama, secara organisatoris NU "memotong" Gus Dur dan elemen kenegaraan yang lain sebagai entitas lain di luar entitas NU. Bila NU menempuh langkah ini, maka ia akan tetap menjadi kekuatan civil society  dan itu berarti NU akan tetap menjadi kekuatan penyeimbang di luar negara sebagaimana yang selama ini dilakukan.
                Kedua, NU melakukan "reposisi" atas peran yang selama ini diambil. Hal itu dilakukan dengan cara mengubah wacana civil society yang hanya dipahami sebagai kelompok non-negara yang berkepentingan untuk membentuk historical bloc (benteng sejarah) untuk menghadapi hegemoni negara. Di samping fungsi di atas, civil society sebenarnya dapat juga berperan sebagai komplemen (dan juga suplemen) terhadap peran yang dilakukan negara.
                Jika dulu NU lebih memerankan fungsi civil society yang pertama, maka pasca-Gus Dur menjadi presiden, NU dapat mengambil fungsi civil society yang lain, yaitu fungsi komplemen terhadap tugas negara. Dalam hal pendidikan misalnya, meskipun negara sudah menyelenggarakan pendidikan sendiri, masyarakat tetap masih bisa melengkapi tugas kependidikan yang tidak dilakukan negara seperti pengembangan pesantren dan sejenisnya.
                Ketiga, NU sepenuhnya mem-back up negara, artinya, apa pun yang dilakukan oleh Gus Dur sebagai representasi negara harus didukung. Menentang negara berarti menentang Gus Dur, dan itu berarti pula mencoreng wajah NU sendiri.
Dri tiga alternatif pilihan tersebut, pilihan ideal yang muncul di kalangan intelektual dan kaum muda NU adalah pilihan bahwa kekuatan CS masih sangat dibutuhkan di negeri ini sehingga NU tidak perlu meninggalkan posnya dalam penguatan civil society di Indonesia, apalagai mabuk dengan kekuasaan politik yang diperolehnya.
                Tapi pandangan itu belum menyebar kepada seluruh pemimpin formal dan informal NU, khususnya di daerah-daerah basis (khususnya daerah Tapal Kuda, termasuk Pasuruan). Sebab yang terjadi adalah, kecintaan kepada Gus Dur dan ‘nama baik’ NU di pentas politik praktis jauh lebih dominan dari pada kecintaan untuk mempertahankan posisi NU di luar negara sebagai kekuatan masyarakat yang melakukan kontrol. Perdebatan masih terus berlangsung, sementara kekuasaan Gus Dur sudah raib menghilang.

Tantangan Kedua:
Era Pemilihan Presiden Secara Langsung
                Hal yang sama terulang dalam Pemilu 2004, khususnya dalam pemilihan presiden seperti terlihat pada fenomena KH Hasyim Muzadi yang kini resmi menjadi cawapres bagi Megawati serta KH Salahuddin Wahid yang dilirik Partai Golkar untuk mendampingi Wiranto. Demikian pula pada pemilihan tahap kedua, ketika tinggal menyisakan Pasangan Megawati-Hasyim Muzadi dengan SBY-Yusuf Kalla.
                Terasa berat bagi NU untuk tetap memegang prinsip khittah dalam situasi politik semacam ini. Sementara tidak dapat dipungkiri, para elit dan pemimpin NU memiliki ‘syahwat’ berpolitik praktis yang sangat besar. Memang bila dilihat sejarah NU, organisasi ini memang hampir-hampir tidak pernah lepas dari politik praktis. Politik seolah-olah sudah mendarah daging. Tidak berlebihan jika ada yang mengatakan, jenis kelamin NU memang organisasi sosial keagamaan; tetapi semangatnya adalah semangat politik.
                Bahkan, keputusan kembali ke khittah 1926 sebetulnya juga keputusan politik. Paling tidak, nuansa politik di balik keputusan itu sangat kental. Sikap Orde Baru “melarang” NU menjadi partai politik – melalui kebijakan penyederhanaan partai (1973) – jelas sangat mengecewakan warga nahdliyin. Namun ketika bergabung dengan PPP, NU justru mengalami kekecewaan yang lebih besar dengan terus tersingkirnya tokoh-tokoh NU dari posisi-posisi strategis di tubuh PPP.
                Puncak kekecewaan NU dilampiaskan dengan tekad bulat kembali ke khittah 1926 (1984) yang diwujudkan tidak hanya dalam bentuk “talak tiga” dengan PPP, tetapi juga menggembosi partai yang pernah dibesarkannya sehingga perolehan suara PPP dalam pemilu 1987 turun drastis, khususnya di Jawa Timur. Ini hanya bisa diartikan satu hal: keputusan kembali ke khittah memang menjadi terobosan strategis yang sangat visioner, tetapi semangat yang terkandung di dalamnya adalah semangat politik.
                Kentalnya darah politik dalam tubuh NU tentu tidak bisa dilepaskan dari besarnya massa nahdliyin. Meski NU jelas-jelas organisasi sosial keagamaan dan bukan organisasi politik, namun besarnya massa NU merupakan kekuatan politik yang tidak bisa dianggap sepele. Jangankan organisasi sosial, organisasi politik pun belum tentu memiliki massa sebanyak yang dimiliki NU.
                Anehnya, ini baru betul-betul diperhitungkan setelah massa NU terfragmantasi secara politik. Dalam pemilu-pemilu sebelumnya NU seolah-olah dianggap angin lalu padahal suara nahdliyin relatif solid dan tidak terpecah-pecah. Baru pada pemilu 2004, khususnya pemilu presiden 5 Juli mendatang, NU betul-betul diperhitungkan, padahal suara nahdliyin sudah terpecah-pecah. Kontroversi pencalonan Gus Dur di satu pihak dan munculnya KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid sebagai cawapres di pihak lain, merupakan bukti yang sangat telanjang betapa suara NU dianggap sedemikian penting sebagai faktor penentu kemenangan.
                Di tengah persaingan keras perebutan kursi presiden-wakil presiden inilah, PBNU mengambil keputusan penting di Rembang pertengahan Mei 2004 dengan menonaktifkan KH Hasyim Muzadi dan KH Solahudin Wahid, melarang pengurus NU dan badan-badan otonom di tubuh NU mengeluarkan pernyataan maupun fatwa yang mendukung salah satu capres-cawapres, serta melarang pemanfaatan institusi maupun fasilitas NU untuk kekepentingan kampanye capres-cawapres. Bahkan pengurus NU yang menjadi Tim Sukses dari capres-cawapres tertentu juga diharuskan non-aktif sementara.
                Keputusan itu mengukuhkan kembali NU sebagai civil society yang sempat diragukan banyak orang. Dengan tersedotnya berbagai ormas ke dalam orientasi politik praktis, NU nyaris “sendirian” sebagai organisasi sosial keagamaan yang secara tegas bersikap netral dalam masalah pemilihan presiden-wakil presiden 5 Juli mendatang.
                Dengan keputusan itu, NU memikul tanggung jawab lebih besar ketimbang masa-masa sebelumnya. Tanggung jawab ini terutama menyangkut stagnasi peran-peran NU sebagai salah satu kekuatan civil society. Stagnasi civil society dalam era reformasi memang tidak hanya terjadi pada NU. Sejak Orde Baru tumbang, hampir semua kekuatan civil society tenggelam oleh arus politik yang demikian besar.
                Keputusan yang dihasilkan pertemuan Rembang memang sudah lama ditunggu banyak pihak, terutama kelompok kultural di NU. Sejak KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid resmi menjadi calon wakil presiden masing-masing mendampingi Megawati dan Wiranto, bermunculan dukungan dan penolakan. Untunglah Syuriyah PBNU segera mengambil sikap, sehingga kontroversi berkepanjangan bisa dihindari dan konflik kepentingan bisa ditekan sekecil mungkin.
                Namun Keputusan  Rembang memang tidak selalu ditanggapi positif, baik bagi NU dan nahdliyin maupun bagi pihak-pihak lain. Banyak tokoh NU berpendapat, apa salahnya mendukung capres-cawapres yang di dalamnya ada tokoh NU, sebagaimana Muhammadiyah yang secara resmi mendukung Amien Rais, toh mereka nantinya akan menjadi “wakil NU” yang diharapkan dapat memperjuangkan kepentingan NU. Pendapat ini ada benarnya; dan untuk kepentingan jangka pendek, keputusan Rembang jelas kurang menguntungkan NU.
Namun Syuriyah PBNU yang terdiri dari kiai-kiai berpengaruh agaknya lebih berpikir jauh ke depan. Inilah saatnya NU kembali kepada garis perjuangan sebagai organisasi sosial keagamaan (jam’iyah diniyah) dengan lebih mengutamakan kepentingan jangka panjang ketimbang kepentingan pragmatis yang sifatnya hanya sesaat.
                Walhasil, tampaknya NU memang tidak perlu ditarik-tarik ke pilihan politik tertentu dalam pemilihan presiden mendatang. Politik garam harus dikedepankan dengan asumsi substansiasi nilai-nilai politik yang memajukan keadilan dan kesetaraan bisa ditawarkan kepada siapapun yang memperoleh amanat selama lima tahun ke depan. Meminjam bahasa Ketua Pelaksana PBNU, K.H Masdar F. Mas’udi, kalangan NU sebaiknya lebih memikirkan lima tahun ke depan daripada menghabiskan energi untuk lima menit: waktu yang biasa dihabiskan voter untuk mencoblos di dalam bilik suara.

Perlunya Memperioritaskan Kembali Agenda Kultural

                Sampai batas-batas tertentu, keterlibatan NU dalam arus kekuasaan bukan saja akan mengancam keutuhan jam’iyah dan jama’ah intern NU-karena disadari atau tidak, fenomena itu akan mempertajam polarisasi di tubuh NU-tetapi juga mengancam eksistensi NU sebagai civil society. Masuknya tokoh-tokoh puncak NU dalam bursa pemilihan presiden bisa menjadi preseden buruk di masa datang. NU akhirnya hanya akan menjadi batu loncatan menuju ke tampuk kekuasaan. Pilihan untuk kembali ke khittah 1926 sebetulnya merupakan keputusan strategis.
                Dengan komitmen ini, NU sebetulnya sudah menentukan langkah untuk bermain di luar arena kekuasaan. Kenyataan bahwa NU telah "memiliki" PKB justru membuat NU lebih bisa berkonsentrasi untuk menggarap wilayah-wilayah kultural. Sebab, wilayah struktural (politik praktis) sudah "diurusi" PKB. Dengan demikian, hubungan NU dan kekuasaan relatif bisa dibangun secara obyektif, rasional, dan terbuka, terlepas apakah tokoh-tokoh NU berada di kekuasaan atau tidak. Inilah agenda kultural yang mesti segera dilakukan oleh NU.            
                Harapan ini memang tidak mudah karena pengalaman NU selama ini belum sepenuhnya bisa membuktikan daya tahannya terhadap godaan politik. Namun demikian, salah satu yang bisa diharapkan untuk terus menjaga eksistensi NU sebagai civil society adalah kelompok yang tetap konsisten di jalur kultural yang memainkan peran cukup sentral sejak NU kembali ke khittah 1926. Kelompok ini memang hanya salah satu dari tiga kelompok dominan di NU . Meminjam analisis Laode Ida (Prisma, Mei 1995), paling tidak ada tiga faksi dominan yang muncul dalam dinamika internal NU.
                Pertama, faksi politik. Mereka ini terlibat langsung dalam percaturan politik praktis, baik di PKB maupun partai-partai lainnya, serta saling berebut pengaruh di basis-basis NU. Kelompok ini, karena keniscayaan harus bermain politik praktis, jelas sulit untuk bisa bisa diharapkan untuk bisa mendukung NU sebagai kekuatan civil society, kecuali mereka bisa menjalin komunikasi dan kerjasama strategis dengan aktivis civil society.
                Kedua, faksi syuriyah/kiai. Sebagai kiai dan ulama, mereka adalah tokoh-tokoh sentral NU meski tidak semuanya duduk dalam struktur NU. Faksi ini, dalam era kembali ke khittah, mencoba merekonstruksi peran NU dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Mereka berusaha agar NU tetap setia kepada khittah 1926 dan memainkan peran-peran penting sebagai civil society. Sebagian dari kelompok ini kemudian tergoda orientasi politik, namun sebagian besar kelompok ini mencoba tetap setia terhadap cita-cita khittah 1926 sehingga dari kelompok terakhir inilah NU diharapkan akan terus memainkan peran penting sebagai kekuatan civil society.
                Ketiga, faksi cendekia. Mereka ini adalah (1) kecuali memiliki ilmu pengetahuan agama (Islam) yang mendalam juga disiplin atau keahlian tertentu yang diperoleh dari lembaga pendidikan umum, atau (2) mereka berasal dari lembaga pendidikan pesantren dan IAIN yang secara fleksibel membuka diri mendalami ilmu selain agama, (3) mereka juga memiliki banyak gagasan yang secara terbuka dipublikasikan untuk kepentingan kalangan nahdliyin maupun masyarakat umum, serta memiliki komitmen sosial yang tinggi.
                Jika dua faksi terakhir bisa bekerja lebih maksimal dalam menjaga independensi NU terhadap kekuasaan serta terus berusaha mengawal dan memantapkan posisi NU sebagai civil society seperti diamanatkan khittah 1926, NU tidak perlu menghabiskan energi untuk terlibat dalam berbagai tetek bengek politik praktis. Toh sudah ada PKB yang menjalankan tugas itu. Sebaliknya, NU bisa mencurahkan segenap energinya dalam gerakan-gerakan kultural untuk memberikan pelayanan lebih maksimum tidak hanya kepada komunitasnya tetapi juga kepada bangsa ini.
                Namun, menjalankan tekad untuk “kembali ke jalan yang benar” seperti salah satunya ditunjukkan dengan sangat elegan dalam keputusan Rembang, bukannya tanpa kendala. Dalam satu segi, NU telah memberikan contoh yang sangat bagus bagaimana seharusnya organisasi sosial menempatkan diri sebagai kekuatan civil society di tengah gelombang politik yang demikian besar. Dengan keputusan itu, NU diharapkan menjadi kontrol moral tidak hanya terhadap proses perebutan kekuasaan, tetapi juga terhadap proses-proses politik berikutnya setelah kompetisi itu selesai.


                Dalam segi yang lain, NU harus betul-betul bekerja keras untuk menunjukkan komitmennya melaksanakan misi kultural di atas. Persoalannya adalah, mesin organisasi NU seringkali tidak cukup efektif di tingkat akar rumput. Tingkat pemahaman akan konsep khittah dan wawasan politik yang cukup beragam serta lemahnya bangunan struktur organisasi (instituional building) merupakan penyebab penting munculnya permasalahan tersebut. Oleh karena itu, konsolidasi jam’iyyah harus tetap ditumbuhkan. (Disadur dari berbagai sumber).
Sumber Tulisan

"Civil Society" dan NU Pasca-Gus Dur, ditulis oleh Rumadi, staf pada Institute for the Study and Advancement of Civil Society (ISACS) Jakarta, mahasiswa Pascasarjana (S3) IAIN Jakarta  http://www.incis.or.id/ar_18.htm

Masa Depan NU sebagai "Civil Society" ditulis oleh Agus Muhammad, Peneliti P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Jakarta, Kompas, 13 Mei 2004

Menggugat Khittah NU, Humaniora Utama Press Bandung

Menilai “Kecerdasan” Politik NU dalam Pilpres, ditulis oleh Kholilul Rohman Ahmad, dimuat tanggal 12/7/2004 di http://www.islamlib.com/id/page.php?page=article&id=618

NU Setelah Pertemuan Rembang, ditulis oleh Agus Muhammad, peneliti pada Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta, Koran Tempo, 21 Mei 2004


Pedoman Berpolitik Warga NU, ditulis oleh KH A. Mustofa Bisri, Rais Syuriyah PBNU, Duta Masyarakat, 3 Agustus 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar