Rabu, 29 Oktober 2014

Konsep Kembali ke Khittah


1.         NU sebagai jam’iyah diniyah adalah wadah para ulama dan pengikut-pengikutnya yang didirikan, antara lain berdasarkan kesadaran bermasyarakat, pada tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan 31 Januari 1926 dan bertujuan memelihara, melestarikan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa, dan ketinggian martabat manusia.
2.         Khittah NU adalah landasan berpikir, bersikap dan bertindak warga NU ysng tercermin dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi dan dalam setiap proses pengambilan keputusan (decision making), berupa paham Islam Ahlussunnah wal jama’ah dan juga digali dari sejarah khidmahnya dari masa ke masa.
3.         Dasar-dasar paham keagamaan NU bersumber dari Alqur’an, as-Sunnah, al-Ijma, al-Qiyas, dan menggunakan jalan pendekatan madzhab yang dipelopori Imam Abul Hasan al Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidy di bidang akidah, salah satu dari madhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan hambali dibidang fiqih; dibidang tasawuf mengikuti antara lain: Imam al-Junaid al-Baghdadi, Imam al-Ghazali  dan sebagainya. Dan NU mengikuti pendirian bahwa islam adalah agama fitri, bersifat menyempurnakan dan tidak menghapus nilai luhur yang sudah ada.
4.         Dasar-dasar  paham keagamaan NU tersebut menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan tawasuth wal i’tidal (tengan-tengah dan lurus), tasamuh (toleran), tawazun (keseimbangan) dan amar ma’ruf nahi mungkar.
5.         Dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU itu membentuk perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai keikhlasan, mendahulukan kepentingan bersama, persaudaraan, persatuan, kasih-mengasihi, ahlaqul karimah, kesetiaan, amal dan prestasi kerja, ilmu pengetahuan dan para ahlinya, siap menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa manfaat bagi kemaslahatan manusia. Kepeloporan dalam usaha mempercepat perkembangan masyarakat, dan kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
6.         Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan NU meliputi antara lain, peningkatan silaturrahmi, peningkatan di bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan, penyiaran Islam/ pembangunan sarana peribadatan/pelayanan social, dan peningkatan tarap serta kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah.
7.         Ulama sebagai mata rantai pembawa paham Islam Ahlussunnah wal Jama’ah, selalu ditempatkan sebagai pengelola, pengendali, pengawas dan pembimbing utama jalannya organisasi, sedangkan untuk menangani kegiatan-kegiatannya, ditempatkan tenaga-tenaga yang sesuai dengan bidangnya masing-masing.
8.         Sebagai organisasi kemasyarakatan, NU senantiasa menyatukan diri dengan perjuangan nasional bangsa Indonesia dan aktif mengambil bagian dalam pembangunan bangsa.
Sebagai organisasi keagamaan, NU merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan, toleransi, dan hidup berdampingan dengan baik sesama umat Islam maupun sesama warga negara yang berbeda agama, untuk mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.
Sebagai organisasi yang mempunyai fungsi pendidikan, NU senantiasa berusaha secara sadar menciptakan warga negara yang menyadari hak dan kewajibannya terhadap bangsa dan negara. Sebagai Jam’iyah, NU secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun.
Dalam hal warga NU menggunakan hak politiknya, harus dilakukan secara bertanggung jawab, sehingga dapat ditumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, taat hukum, mampu mengembangkan mekanisme musyawarah-mufakat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama.
9.         Pewujudan khittah NU, dengan seizin Allah, terutama tergantung kepada semangat pemimpin dan warga NU, cita-cita hanya akan tercapai jika mereka benar-benar meresapi dan mengamalkan Khittah NU ini.
                                                                                          
Penjabaran:
                Sebagai Jam’iyah Diniyah yang berkewajiban amar ma’ruf nahi munkar dalam kehidupan bermasyarakat, baik secara pribadi maupun kelompok, NU tidak dapat mengelak dari tanggung jawab dalam berperan serta membangun kehidupan politik bangsa Indonesia yang adil, demokratis dan berakhlak mulia di atas landasan-landasan ketaqwaan kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, NU telah menetapkan landasan pembangunan politik bangsa, serta pandangan dan sikap politik sebagaimana keputusan Muktamar ke-27 di Situbondo.
Secara garis besar, pembangunan politik bangsa yang ingin diupayakan oleh NU adalah suatu tata kehidupan politik nasional yang memiliki ciri-ciri berikut:
1.         Mampu menjamin terwujudnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang adil dan makmur lahir batin, yang menghormati nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, serta mendidik kedewasaaan seluruh warga masyarakat dalam mencapai kemasla-hatan bersama.
2.         Mampu menjamin terpeliharanya agama dan keya-kinan keislaman, serta larangan pemaksaan agama, terpeliharanya perkembangan jiwa dan nyawa manusia secara layak dan terhormat, terpeliharanya akal pikiran dari setiap bentuk perusakan dan penodaan, terpeliharanya masa depan yang prospektif bagi gene-rasi penerus, serta terpeliharanya kepemilikan harta benda yang sah.
3.         Mampu menjamin terbentuknya jatidiri dan kepribadian manusia sebagai umat pilihan yang memiliki sifat-sifat: berlaku jujur dan benar, dapat dipercaya dan tepat janji, melaksanakan kewajiban dan menerima hak secara proporsional serta tolong-menolong dalam kebajikan.
                Dalam mewujudkan tata kehidupan politik yang demikian, NU telah menetapkan pandangan dan sikap politik berikut ini:

  • Hak berpolitik merupakan salah satu hak asasi setiap warga negara yang harus dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pelaksanaan ajaran Islam Ahlussunnah wal jama’ah.
  • Pelaksanaan hak berpolitik harus ditempatkan di dalam kerangka mengembangkan kebudayaan politik bangsa Indonesia yang sehat dan bertanggung jawab.
  • Praktek berpolitik harus berada dalam kerangka integrasi bangsa dan tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
  • Praktek berpolitik harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, adil sesuai dengan aturan dan norma yang disepakati, serta lebih mengedepan-kan musyawarah dalam memecahkan masalah ber-sama.
  • Praktek berpolitik warga negara, khususnya warga NU yang berbeda aspirasi politiknya harus berjalan dalam suasa persaudaraan, tawadlu dan saling menghargai.
  • Potensi organisasi kemasyarakatan yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat sendiri, harus diberi ruang yang cukup dan dipupuk agar memiliki kekuatan yang semestinya dalam melaksanakan fungsinya sebagai sarana kebebasan berkumpul dan berserikat, serta menyalurkan aspirasi.
  • Sebagai organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang agama, NU tidak terikat secara organisatoris dan struktural dengan partai/organisasi politik manapun.
  • Keanggotaan warga NU dalam suatu partai/organisasi politik bersifat perseorangan dan setiap warga NU dapat menyalurkan aspirasi mereka melalui partai/ organisasi politik yang mereka kehendaki, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan-peraturan Jam’iyah.
  • Keterpisahan NU secara organisatoris dengan suatu partai/organisasi politik, diwujudkan antara lain melalui larangan perangkapan jabatan kepengurusan harian partai/organisasi politik manapun dengan kepengu-rusan harian di lingkungan Jam’iyyah NU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar