BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan
Islam di Indonesia merupakan proses yang berkaitan dengan berbagai sektor
kehidupan lainnya yang sangat kompleks. Untuk sebagian dapat diterangkan
melalui keterlibatan kegiatan perdagangan yang berkembang sejak abad XI. Intensitas
kontak-kontak perdagangan itu selanjutnya menghasilkan tumbuhnya pemukiman masyarakat
muslim di pesisir kepulauan Nusantara. Melalui proses sejarah yang sangat
panjang, cukup alasan untuk menyimpulkan bahwa lambat laun Islam telah menjadi bagian
yang begitu dalam menguasai batin masyarakat Indonesia.1
Meski
demikian, keberhasilan Islam menembus akar kehidupan masyarakat Indonesia,
tidak berarti akar lama yang bersumber dari tradisi dan budaya setempat, hilang
sama sekali. Kondisi semacam ini juga bisa diamati di bagian lain di belahan
bumi ini. Pergumulan Islam dengan nilai budaya setempat menuntut adanya
penyesuaian terus menerus tanpa harus kehilangan ide aslinya sendiri.
Penghadapan Islam dengan realitas sejarah, akan memunculkan realitas baru, bukan
saja diakibatkan pergumulan internalnya menghadapi tantangan yang harus dijawab,
tetapi juga keterlibatannya dalam proses sejarah sebagai pelaku yang ikut menentukan
keadaan zaman.2 Dalam proses seperti ini Islam tidak saja harus
menjinakkan sasarannya, tetapi dirinya sendiri terpaksa harus diperjinak.
Dengan demikian akan terjadi keragaman dalam Islam akibat dari tuntutan
ajarannya sendiri yang universal.3
Organisasi
jami'iyah Nahdatul Ulama (4 yang didirikan tahun 1926 di Surabaya
merupakan salah satu wujud dari fenomena di atas. Dipelopori oleh ulama yang
berpusat di pesantren-pesantren, organisasi ini memiliki wawasan keagamaan yang
berakar pada tradisi keilmuan tertentu, berkesinambungan menelusuri mata rantai
historis sejak abad pertengahan, yaitu apa yang disebut ahlussunnah wal ja-
maah.
Pandangan ini menekankan pada tiga prinsip yaitu mengikuti faham Asy'ariyah dan
Maturidiyah dalam bidang teologi, mengikuti salah satu dari mazhab empat dalam
bidang fikih, dan mengikuti faham al-Junaid dalam bidang tasawuf. Konsep-konsep
ini tertuang dalam sejumlah referensi yang sangat luas. Dengan ketiga prinsip
ini dapat dikembangkan pandangan keagamaan yang utuh dan pada tingkat tertentu
tercermin pula dalam prilaku politik maupun kultural.5 Keberhasilan ulama menghimpun pengikut yang
besar, menumbuhkan solidaritas dan integritas yang kuat, menjadikan organisasi
ini sebagai salah satu kekuatan social politik, kultural dan keagamaan yang
sangat berpengaruh di Indonesia selama bertahun-tahun. Gagasan yang pertama
kali ketika NU dibentuk bukanlah dari wawasan politik, melainkan dari wawasan
sosial keagamaan. Meskipun demikian wawasan tersebut tidak lantas menjadikan NU
mengabaikan soal-soal politik. Sekitar awal tahun tiga puluhan NU terlibat
dalam perumusan tata cara pelaksanaan hukum perkawinan dengan pemerintah Hindia
-Belanda. Tidak bisa tidak seal ini kemudian melibatkan NU dalam soal politik
antara lain soal pengangkatan penghulu. Namun perubahan orientasi ini lebih kelihatan
ketika sejumlah eksponen muda NU terlibat dalam polemik mengenai dasar-dasar
negara yang sedang diperjuangkan menjelang akhir tahun tiga puluhan. Kemudian
disusul dengan pembentukan MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) yang kemudian digantikan
Masyumi ketika zaman Jepang. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan
tahun 1945, sejumlah organisasi Islam kemudian membentuk partai politik Islam Masyumi.
Walaupun pada mulanya dapat dipertahankan keutuhan partai tersebut, namun tidak
sampai sepuluh tahun setelah pembentukannya dua unsur utama pendukungnya
memisahkan diri, SI (Syarikat Islam) tahun 1947 dan NU tahun 1952.
Sebagaimana
akan dijelaskan nanti, kemelut dalam tubuh Masyumi akibat keanggotaan yang
ganda, tidak dapat diselesaikan dengan baik. Tuntutan NU agar struktur
organisasi Masyumi diubah menjadi badan federasi tidak memperoleh tanggapan
semestinya.8 Akibatnya NU menyatakan keluar dari Masyumi dan
membentuk partai tersendiri dengan tetap mengharapkan terbentuknya badan
federasi atau koalisi partai politik Islam. Meskipun demikian badan federasi
yang akhirnya terbentuk tanpa ikut sertanya Masyumi, yaitu Liga Muslimin
Indonesia, tidak berkembang sesuai dengan harapan dan akhirnya mati karena
badan federasi
tersebut
tidak memiliki daya pengikat yang kokoh.
Menjelang
kemerdekaan terjadi perdebatan yang sengit dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) khususnya mengenai dasar
negara dalam rangka menyusun UUD. Setidaknya ada
kelompok
yang saling berlawanan. Satu pihak menghendaki Indonesia menjadi negara Islam
atau dasar Negara adalah Islam, sementara pihak yang lain berpendirian Indonesia
harus menjadi negara kesatuan nasional yang memisahkan soal agama dari negara.9 Hasil kompromi yang telah dicapai oleh
Panitia Kecil, yang dibentuk dalam sidang BPUPKT yang terdiri atas sembilan
orang, yang akhimya dikenal dengan Piagam Jakarta, tidak berhasil diterima
sidang. Perdebatan bahkan makin seru berlangsung. Akhirnya dengan kebesaran
hati sejumlah pemimpin nasionalis muslim antara lain Wachid Hasjim, Kasman
Singodimedjo dan Bagus Hadikusumo dalam pertemuan dengan Hatta menjelang sidang
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 18 Agustus 1945 disepakati
untuk menghapuskan anak kalimat dalam Piagam tersebut dari konstitusi. Anak
kalimat tersebut tidak lain adalah tujuh kata "dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Walaupun
ketika itu telah diyakini bahwa asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila
yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 pada hakekatnya mencerminkan asas tauhid
dalam Islam, namun masalah dasar mengenai kedudukan negara menurut pandangan
Isiam dan sebaliknya bagaimana kedudukan agama dalam negara, belumlah dianggap
final. Konferensi alim ulama yang diselenggarakan Kementerian Agama antara tahun
1952-1954 memutuskan bahwa kekuasaan kenegaraan Republik Indonesia merupakan
kekuasaan yang zu syaukah (defakto) dengan sebutan waliyyul-amr ad-ddarurri
bisy-syaukah (pemegang kekuasaan temporer yang defakto memegang kuasa.10
Keputusan tersebut didasarkan pada pertimbangan tidak mungkin membangun
kekuasaan politik tersendiri untuk menjalankan hukum Islam di dalam negara
Republik Indonesia, maka kekuasaan yang zu syaukah tersebut diterima dalam
keadaan tidak ada pilihan lain (daruri).
Jauh
sebelum itu, dalam muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin, telah ditetapkan
bahwa daerah Jawa (ardu Jawa) dalam arti Nusantara adalah dar al-islam, padahal
ketika itu daerah tersebut dikuasai oleh pemerintah Hindia Belanda.11
Muktamar NU mendasarkan pertimbangan keputusannya bahwa masyarakat Islam di
kawasan Nusantara dapat menjalankan agamanya dan melaksanakan hokum Islam tanpa
terusik meskipun secara formal kekuasaan politik berada di tangan Hindia
Belanda.12 Sebelum penjajahan Belanda daerah tersebut dikuasai
kerajaan Islam dan bagian terbesar penduduknya beragama Islam. Kalau kemudian daerah
tersebut dikuasai Belanda dan secara politik ummat Islam tidak mampu
mengusirnya, tidak menghalangi status kawasan tersebut sebagai dar al-Islam.13
Tiga
peristiwa tersebut memberi gambaran mengenai sikap NU tentang pemerintah dan
negara RI. Sejak muktamar Banjarmasin 1936 sampai penerimaan asas tunggal Pancasila
1984 NU memperlihatkan garis pemikirannya secara linier sejak tahun 1936 NU
telah menegaskan bahwa wilayah nusantara adalah dar al-Islam (negeri muslim).
Ini berarti merupakan tanggung jawab ummat Islam untuk mempertahankan
negerinya, khususnya ditujukan terhadap pemerintah kolonial penjajah. Namun
dalam mengapresiasikan sikap itu NU selalu berpijak dari tradisi pemikiran fikihnya,
sejauh mungkin menghindari anarki dan pertumpahan darah. Melaksanakan perintah
agama tidak selalu harus mengakibatkan timbulnya anarki dan pertumpahan darah.
Untuk mencapai tujuan membentuk negeri muslim yang sesungguhnya ditempuh
melalui proses dan tahap tertentu, menghindari sikap mutlak-mutlakan.
Ketika
proklamasi 17 Agustus 1945 diumumkan, NU turut pula memainkan peranan
memecahkan problem yang paling krusial dalam sejarah bangsa. Akhirnya Pancasila
sebagai dasar negara dan UUD 1945 disepakati. Ketika saatnya kesepakatan itu
menghadapi ujian berat dari ancaman agresi Belanda yang hendak kembali merebut
wilayah Indonesia, NU mengeluarkan resolusi jihad Oktober 1945 yang dilanjutkan
dengan keputusan muktamar 1946.14 Resolusi itu memberi gambaran yang
jelas konsistensi sikap NU sebelumnya dalam muktamar Banjarmasin dan kesepakatan
proklamasi. Setelah itu tahap selanjutnya ialah sikap NU tentang penerimaan
terhadap kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan RI melalui keputusan konferensi
alim ulama tahun 1954. Kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan RI dinilai sebagai
waliyy al-amr al-daruri bi al-syaukah (kekuasaan kenegaraan yang defakto
memiliki kekuatan).15 Dengan sikap itu NU menilai bahwa
lembaga-lembaga kenegaraan RT berwenang melaksanakan hukum Islam, meskipun
ketika itu hanya dalam kaitan dengan masalah perkawinan.16 Jika sikap-sikap NU
yang terdahulu berorientasi pada wadah atau wilayah kepulauan nusantara, maka
sikap yang terakhir ini langsung menyentuh pada isi, kekuasaan pemerintahan dan
kenegaraan. Setelah itu maka ideology nasional Pancasila diterima sebagai asas
kolektif kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Sikap-sikap
NU tersebut bukan hanya kebetulan belaka, sebab tahap-tahap pemikiran NU
sebenarnya memiliki pijakan tradisi pemikiran fikih yang kuat. Sebagai
organisasi Islam motivasi yang mempengaruhi setiap langkah NU ialah untuk
mengamalkan dan melaksanakan ajaran Islam. Namun dalam mengantisipasi berbitgai
gejala sosiaal NU tidak bersikap mutlak-mutlakan, Kewajiban untuk mengamalkan
ajaran Islam itu dipenuhi sebatas kemampuan dengan memperhatikan berbagai
faktor lain.l7 Jika kemampuan hanya menghasilkan sebagian saja maka
yang sebagian itu tidak ditinggalkan.18 Dasar kedua ialah orientasinya
dalam melaksanakan diukur seberapa jauh dampak positif dan negatifnya. Jika
ternyata mengakibatkan dampak negatif yang besar langkah pertama yang dilakukan
manghindari dampak negatif itu. Kewajiban tidak bisa dipaksakan jika ternyata,
dengan itu berakibat munculnya dampak negatif yang menimbulkan kerugian bagi
diri atau orang lain.19 Jika ternyata dalam hal itu harus menghadapi
pilihan langkah yang diutamakan ialah memilih yang paling kecil resiko negatifnya.
Memilih yang akhaff al-dararain.20
Sudah
tentu dengan tradisi pemikiran itu tidak berarti NU selalu bersikap pesismistis,
menyerah sebelum bertanding. Dalam berbagai kesempatan NU juga pernah
menampilkan sikap ofensif untuk melakukan jalb al-masalih. (melaksanakan
kewajiban), tidak dalam kaitannya dengan aspek darurah (temperer) yang mungkin
akan menimbulkan mafsadah (kerusakan). Peristiwa-peristiwa dalam sidang BPUPKI,
Majelis konstituante, maupun ketika NU memelopori walk out dalam sidang
MPR tentang P4, memperlihatkan sikap NU itu.21 Namun ketika hal itu
dilihat tidak membawa hasil bahkan ternyata akan menimbulkan bahaya, NU segera
merevisinya kembali dan menerima kesepakatan, meskipun mulanya ditolak.
Mengapa? Oleh karena motivasi utama yang mendasari langkah NU ialah adanya
tertib sosial dan politik, sebab dengan tertib itulah kemungkinan bisa dikembangkan
tertib agama. Tertib sosial politik menjadi prasyarat bagi terwujudnya tertib
agama (nizam al-dunya syart li nizam
al-dini).22
Sebagai
syarat untuk memperoleh tujuan tertib agama, maka tertib sosial itu pun wajib.
Kaidah yang digunakan NU untuk memecahkan masalah itu ialah 'Kewajiban yang tidak
dapat dijalankan dengan sempurna kecuali dengan syarat tertentu maka syarat itu
pun wajib'.23 Dengan logika kaidah-kaidah tersebut di atas NU
mencoba memecahkan berbagai persoalan sosial, politik, maupun keagamaan yang dihadapi
ummat Islam dan bangsa Indonesia umumnya. Dengan kerangka pemikiran menurut
tradisi fikih itu pula NU menerima asas tunggal PancasiIa. Agama dan Pancasila dicoba
untuk didudukkan pada posisinya masing-masing secara proporsional. Hakekatnya
orang berasas Pancasila kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedang orang
berakidah Islam adalah sebagai tindakan nyata menkongkretkan Pancasila dalam
salah satu bidang kehidupan bangsa, yaitu kehidupan beragama.24
Hubungan antara agama dengan Pancasila adalah hubungan yang saling mengisi.
Sudah
tentu masalahnya tidak berhenti sampai, di situ aja. Hubungan agama dengan
negara sepanjang sejarah Islam merupakan masalah yang paling krusial. Tidak terkecuali
di Indonesia. Sejak proklamasi 1945 pergumulan seringkali terjadi dalam
kerangka itu. Dalam kaitan dengan upaya mendudukkan syari'ah Islam dalam
konteks kenegaraan di Indonesia, NU menafsirkan pengertian yang elastis, bukan
saja pendekatan untuk memecahkan masalah, tetapi mengenai substansi syari'ah
itu sendiri. Pada satu sisi pengertian itu menyusut dalam arti yang lebih
sempit sebagai aturan formal yang dituangkan dalam perangkat kenegaraan sebagai
undang-undang dan peraturan-peraturannya. Sementara pada sisi lain syari'ah
sebagai hokum agama dalam arti sebagai etika sosial.25
Dengan
pendekatan ini diharapkan akan dapat ditemukan alterbatif pemecahan dari
kemelut politik dan ideology yang berlarut-larut dalam sejarah kenegaraan di
Indonesia. Sudah tentu pemecahan itu bukanlah yang paling ideal dalam sekala
normatif, sebab sejauh mengenai upaya penerapan syari'ah ke dalam kehidupan
praktis, dalam kehidupan sosial sampai ke tingkatan hirarki yang luas seperti
negara diperlukan pemahaman kreatif
mengingat kompleksnya masalah yang dihadapi dan pada sisi lain tetap
dapat dipertahankan wawasan Islam yang rentangannya sangat luas.
Studi
tentang NU tidak bisa dilepaskan dari tradisi pemikiran fikih baik kerangka
teoritis (usul al-fiqh) maupun kaidah-kaidah fikih (al-qawa'id aI-fiqhiyyah).
Dengan tradisi pemikiran ini NU mencoba memberi jawaban terhadap tantangan
perubahan yang dihadapi untuk melembagakan nilai-nilai baru serta tingkah laku
dan peran sosio-politiknya. Oleh karena itu analisis yang disajikan mencoba
mengungkapkan dinamika dan perubahan yang terjadi di dalam NU dan bagaimana
refleksinya dengan tradisi pemikiran fikih itu. Analisis dengan kerangka
pemikiran tersebut diharapkan dapat memahami rekonstruksi pola perubahan dan
dinamika NU menghadapi tantangan problematic sosio-kultural dan politik. Untuk
kepentingan tersebut di bawah ini disajikan beberapa kaidah fikih yang dipakai
NU
untuk
mengantisipasi gejala-gejala perubahan tersebut.
Pertama
kali yang perlu dikemukakan ialah pengertian tiga hal yaitu usul al-fiqh,
fikih, dan qawa'id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih). Usul al-fiqh sebenarnya
merupakan metode untuk mengukur derajat kebenaran istinbat. (penemuan atau
penciptaan) hukum agar tidak salah; dan bagaimana prosedur menemukan atau
merumuskan hokum ditil (furu') dalam fikih.26 Dengan metode ini
kemudian dapat disusun hukum fikih yang beraneka ragam. Hukum yang beraneka
ragam itu kemudian dapat disusun kembali dengan memperhatikan kesamaan-kesamaan
berbagai factor yang dapat dipertemukan menjadi kaidah-kaidah fikih yang berlaku
umum.
Usul
al-fiqh terbentuk dari hasil kajian menurut pengertian dan logika kebahasaan
yang bersumber dari al-Qur'an dan sunnah serta dari kajian maqasid syari'ah
(tujuan syari'ah).27 Usul al-fiqh mengandung dua unsur pokok yaitu dari
segi pengertian dan logika kebahasaan serta dari segi maqasid syari'ah. Dua unsur
pokok tersebut merupakan aspek penting untuk mengukur atau menilai hasil
ijtihad dan sekaligus sebagai metode untuk melakukan ijtihad.
Kaidah
fikih dihasilkan dari analisis induktif (istiqra') dengan memperhatikan
faktor-faktor kesamaan (asybah) berbagai macam hukum fikih lalu disimpulkan
menjadi kaidah umum.28 Sedang fikih ialah pengetahuan praksis
('amaIiyyah) hukum syari'ah yang dihasilkan dari dalil-dalil tafsili, yaitu
yang berkaitan dengan masalah tertentu dan menunjukkan hukum tertentu pula.29
Dengan
pengertian di atas dapat dibedakan obyek masing-masing. Obyek usul al-fiqh
ialah dalil umum (ijmal) dan hukum universal (kulli) serta prosedur penemuan hokum
universal dari dalil umum.30 Obyek fikih ialah tindakan orang dewasa
(mukallaf) dilihat dari segi wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.31
Sedang obyek qawa'id al-fiqh ialah masalah dan hukum fikih yang memiliki
kesamaan yang dapat diikat menjadi kesatuan berupa kaidah umum.32 Ada
lima kaidah pokok yang lazim disebut al-qawa'id al-khams al-kubra (lima kaidah
induk)33 :
1.
"Al-umur bi maqasidiha", artinya setiap perbuatan tergantung kepada
niatnya (tujuan).
2.
"Al-yaqin la yazulu bi al-syakk", artinya keyakinan tidak hilang
karena keraguan.
3.
"Al-darar yuzal atau la darara wa la dirar", artinya "bahaya
dihilangkan" atau "tidak ada bahaya dan tidak ada yang membahayakan.
4.
"AI-masyaqqah tajlib al-taisir", artinya kesulitan dapat memberikan
kemudahan.
5.
"Al-adah muhakkamah", artinya sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan
diakui.
Kaidah-kaidah
pokok tersebut memiliki cabang atau pecahan. Antara lain dari kaidah la darara
wa la dirar dapat dirumuskan beberapa kaidah lain seperti :34
1.
"Dar' al-mafasid muqaddam 'ala jalb
al-masalih", artinya menghindari
bahaya diutamakan daripada melaksanakan kebaikan.
2.
"Iza ta'arada mafsadatani ru'iya a'zamuha dararan bi irtikabi akhaf
fihima", artinya jika terjadi pertentangan beberapa bahaya dipertimbangkan
bahaya yang paling besar akibatnya dengan melaksanakan yang paling kecil
resikonya.
Kaidah-kaiddah
lain yang menjadi bagian dari lima kaidah induk tersebut ialah :35
1.
"Ma la yatim al-wajib illa bihi fa huwa wajib", artinya kewajiban
yang tidak lengkap kecuali dengan syarat tertentu maka syarat itu pun wajib.
2.
"Al-maisur la yasqutu bi al-ma'sur", artinya kemudahan tidak gugur
karena kesulitan.
Kaidah-kaidah
tersebut merupakan generalisasi masalah, baik yang bersumber dari dasar-dasar
hukum syari'ah maupun dari kesamaan-kesamaan hukum fikih yang beraneka ragam.
Dengan memahami prinsip-prinsip pokok berupa kaidah fikih tersebut akan
memudahkan memahami hokum fikih yang beraneka ragam dan kompleks sehingga akan mempermudah
pula mengambil keputusan hukum terhadap problematik yang muncul. Dinamika dan perubahan
yang tejadi di dalam NU sebagian dapat diamati melalui prinsip-prinsip dalam
kaidah fikih tersebut.
Buku
ini disusun dalam beberapa bab dan anak bab sebagai berikut :
Bab
I menguraikan latar belakang pemikiran mengapa buku ini ditulis.
Bab
II menguraikan tentang perkembangan pemikiran politik dalam sejarah Islam, khususnya
pemikiran politik abad pertengahan yang hidup di kalangan ahli fikih. Hal ini
dianggap penting karena berkaitan dengan tradisi yang berkembang di kalangan
NU. Studi politik muncul dalam proses sejarah bersamaan dengan perkembangan
Islam itu sendiri. Secara lebih sistematis mendapat perhatian sesudah abad
kedua Hijriah. Namun peristiwa sejarahnya sendiri terjadi sejak awal karena perkembangan
ilmu pengetahuan di dunia Islam dan stabilitas politik yang berhasil
dikembangkan. Polemik yang sampai kini berkembang ialah apakah kekuasaan
politik Nabi Muhammad sebagai bagian dari risalah Nabi ataukah merupakan
kebutuhah historis yang terlepas dari risalah itu. Konsep-konsep yang dimunculkan
mengenai soal ini cukup kontroversial. Namun peristiwa sejarah politik Islam
sendiri cukup relevan mengundang kontroversi itu. Bab ini mencoba menelusuri
secara ringkas fenomena ini dan mencoba menganalisis refleksinya dalam konteks
ajaran.
Bab
III menguraikan tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU. Opini umum
para pengamat, termasuk sebagian di lingkungan NU sendiri, menganggap kelahiran
NU sebagai reaksi belaka dari aliran baru yang muncul sebelumnya. Namun fakta
historis membuktikan kesimpulan yang berbeda. Kalau kemudian konflik keagamaan
dengan aliran baru itu dianggap sebagai bukti karena NU lahir di sekitar
peristiwa yang terjadi itu, masih tidak bisa menutup fakta lain adanya pergulatan
panjang yang terjadi sebelumnya, sejak awal tahun belasan, ketika sejumlah ulama
muda pesantren mengembangkan kegiatan sosial kemasyarakatan dengan obsesi
mengenai hari depan ummat Islam Indonesia. Mereka inilah yang kemudian
membidani kelahiran NU. Hal ini juga terbukti dari visi keagamaan NU yang sampai
sekarang tetap berkembang. Untuk dapat memahami ini diuraikan pula
konsep-konsep ahlussunnah waljamaah tentang kalam, tasawwuf, dan fikih. Sisi
lain dari watak keagamaan ini ialah kesediaannya untuk berdialog dan bersikap
toleran dengan tradisi dan budaya yang berkembang di tengah masyarakat. Dari
proses akulturasi ini kemudian melahirkan fenomena yang saling melengkapi dan
memperkuat satu sama lain. Ini menyebabkan watak NU bukan hanya sebuah organisasi
formal, melainkan sebagai gerakan kultural yang berakar di tengah masyarakat.
Bab
IV menguraikan tentang peristiwa-peristiwa sejarah politik yang dilalui NU dan
bagaimana NU memecahkan problematik yang terjadi, khususnya dalam soal
pembentukan kabinet. Konflik dengan Masyumi, selama NU tergabung di dalamnya
maupun sesudah NU keluar, lebih berwama ketegangan kultural selain karena
pendekatan pemecahan masalah yang berbeda. Visi keagamaan ini juga terlihat
ketika NU menghadapi pemilihan umum dengan sikap yang lebih toleran, akomodatif
dan rekonsiliatif. Dengan sikap-sikap politik NU itu tidak lantas berhasil diperankan
dengan baik. Kelemahan-kelemahan manajerial dan organisasi seringkali
menghambat langkah politik NU sehingga mengesankan NU terbawa arus terus
menerus tanpa mampu mengubahnya menjadi terobosan yang menguntungkan.
Pada
bab V selanjutnya diuraikan refleksi diri yang dilakukan NU terhadap eksistensi
politiknya. NU mengoreksi langkah yang selama ini dijalani untuk kembali
menjadi jam'iyah sebagai organisasi nonpolitik tahun 1983. Proses menuju ke
arah ini bukannya tanpa pergulatan internal yang menegangkan, karena begitu
kentalnya kehidupan politik sebelumnya. Di samping itu ketegangan juga terjadi antar
berbagai unsur, termasuk NU, yang berfusi ke dalam PPP.
Masalah
yang cukup penting lain ialah mengenai pandangan NU dan tentu saja masyarakat
Islam umumnya tentang kedudukan negara Indonesia menurut pandangan Islam dan
sebaliknya tentang agama dalam negara itu. Persoalannya ialah sejauh mana
negara ini memenuhi kualifikasi sebagai negara yang sah dengan akibat
tanggungjawab ummat Islam untuk tunduk kepada hukum dan ketentuan lain yang
ditetapkan; dan sebaliknya bagaimana seharusnya negara menerima agama (Islam)
tanpa terjebak sebagai negara agama atau negara sekuler. Kemudian ditambah
tentang proses penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas oleh NU.
Masalah-masalah ini diuraikan pada bab VI yang diakhiri bab VII sebagai
kesimpulan dan penutup.
_____________________________________________________________
Catatan
:
1. G.J.W. Drewes, "Indonesia: Mistisisme
dan Aktivisme", dalam von Grunebaum (ed.), Islam Kesatuan daIam Keragaman,
(Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983), h. 327.
2. Taufik Abdullah, Islam di Indonesia,
(Jakarta: Tintamas, 1974), h. 3-8.
3. Ibid.
4. Dalam berbagai naskah dan penerbitan lain
maupun surat resmi organisasi tertulis Nahdlatul Ulama. Namun sesuai dengan
pedoman transliterasi penulisan Arab Latin keputusan Menteri Agama dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan nomer 158 tahun 1987 dan nomer 0534 b/U/1987,
seharusnya tertulis Nahdatul Ulama dengan ejaan d (d titik bawah) untuk menulis
huruf Ö , bukan dl. Selanjutnya naskah ini menggunakan transliterasi tersebut.
5. Abdurraman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan
Islam di Indonesia Dewasa Ini", Prisma, nomer 4, edisi April, 1984, h.
31-38. Selanjutnya dikutip Nahdlatul Ulama.
6. B. Anderson, Religion and Politics in
Indonesia Since Independence, dikutip dari Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesatren
Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 4.
7. Abdurrahman Wahid, Nahdlatul Ulama, h. 31-38.
8. Mengenai ketegangan NU-Masyumi selanjutnya
lihat bab IV, khususnya sub bab tentang "Kemelut dan Gagasan Federasi.
9. Himpunan Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI,
(Jakarta: Seker tariat Kabinet RI, tt), h. 32-33.
10.
Laporan Tahunan 1954, (Jakarta: Bagian Penerbitan Departemen Agama, 1955), h.
804-810. Konferensi itu diselenggarakan selama tiga kali. Pertama tahun 1952, kedua
1953, dan ketiga 1954. Keputusan konferensi itu intinya sama, tetapi yang
menjadi perhatian luas ialah konferensi tahun 1954, karena dipersoalkan di
Parlemen.
11.
Istilah 'ard Jawa' menurut referensi fikih ialah daerah Asia Tenggara, tetapi
yang dimaksud dalam keputusan NU itu Nusantara.
12.
Keputusan Muktamar NU 1936 di Banjarmasin, Ahkam al-Fuqaha', jilid 3,
(Semarang: Menara Kudus, 1980), h. 8.
13.
Ahkam aI- Fuqaha, h. 8.
14.
Resolusi jihad NU 22 Oktober 1945 diputuskan dalam rapat besar konsul-konsul NU se-Jawa dan Madura.
Resolusi itu mendesak kepada pemerintah RI agar mengambil tindakan nyata
melawan Belanda. Resolusi juga menyerukan jihad fi sabilillah untuk melawan
Belanda. Kedaulatan Rakjat, 24 Oktober 1945. Resolusi itu kemudian dikokohkan
dalam muktamar NU ke 16 di Purwokerto, 26-29 Maret 1946.
15.
Konferensi itu memutuskan bahwa alat kekuasaan negara sesuai dengan UUDS 1950
pasal 44 yaitu presiden dan wakil, kabinet,
DPR, mahkamah agung, dan DPK. Kementerian Agama, Laporan Tahunan 1954,
(Jakarta: Bagian Penerbitanp, 1955), h. 804-810.
16.
Keputusan itu mulanya dalam kaitan dengan keputusan Menteri Agama mengenai
pengangkatan (tauliah) wali hakim bagi perkawinan wanita yang tidak mempunyai
wali (nasab) sendiri. Namun dalam perkembangannya keputusan tersebut menyangkut
inti pokok mengenai kedudukan kekuasaan kenegaraan dan pemerintahan menurut
pandangan Islam. Lihat, Ibid. Muktamar NU 1954 selanjutnya menyetujui keputusan
konferensi alim ulama tersebut. Ahkam al-Fuqaha' III, (Semarang: Menara Kudus,
1980), h. 8.
17.
Dalam hadis Nabi Muhammad disebutkan 'Jika aku melarangmu tentang sesuatu
tinggalkanlah; tetapi jika aku memerintahkan sesuatu kerjakan sebatas
kemampuanmu'. Lihat Ibn Hajar al-'Asyqalani, Fath al-Bari bi syarh Sahih
al-Bukhari, jilid 28, (al-Qahirah: Maktabah al-Qahirah, 1989)', h. 16-18.
Rujukan dalil-dalil selanjutnya lihat hal. 21-23 serta bab VI khususnya hal.
365-387.
18.
Kaidah itu ialah 'Kewajiban yang tidak dapat dilakukan sempurna (seluruhnya),
tidak ditinggalkan semuanya'.
19.
Kaidah itu ialah 'Menghindarkan kerusakan (bahaya) didahulukan daripada
melaksanakan kewajiban'.
20.
Kaidah itu ialah 'Jika tejadi benturan dua bahaya kerusakan dipertimbangkan
yang paling besar kemungkinan bahayanya dengan melaksanakan yang paling kecil
resikonya'.
21.
Dalam sidang BPUPKI NU tidak diwakili sebagai organisasi, tetapi orang-orang NU
bersama pemimpin Islam lainnya menuntut Islam sebagai dasar negara. Kompromi
Yang dicapai melahirkan Piagam Jakarta, akhirnya gagal. Ketika sidang Konstituante
NU dan partai Islam lainnya juga menghendaki demikian,namun akhirnya gagal.
22.
Al-Ghazali, AI-Iqtiqsad fi al-I'tiqad (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah,
1983), h. 147-154.
23.
"Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib"
24.
Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar", dalam E. M. Sitompul, NU dan
Pancasila, (Jakarta: Sinar Harapan, 1989), h. 9-18.
25.
Abdurrahman Wahid, "Kata Pengantar", dalam E. M. Sitompul, NU dan
Pancasila, Jakarta: Sinar Harapan, 1989), h. 9-18. Etika sosial mengandung arti
akhlak, baik dalam hubungan antarmanusia maupun manusia dengan Tuhan. Ada
beberapa hal dalam aspek-aspek tersebut yang tidak bisa dituangkan dalam perangkat
perundang-undangan maupun peraturan kenegaraan seperti aturan mengenai doa, syarat/rukun
salat dan ibadah lainnya, zikir atau aturan mengenai salam dan sebagainya.
Apalagi bila hal-hal tersebut dikaitkan dengan perbedaan mazhab yang dianut
atau ijtihad masing-masing. Dalam hal penetapan awal Ramadan maupun Syawwal
keputusan pemerintah tidak wajib diikuti kalau ternyata ada yang membuktikan
lain dengan keputusan itu, seperti hilal Ramadan atau Syawwal dengan ru'yah
yang berbeda dengan dasar keputusan pemerintah.
26.
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (al-Qahirah: Dar al- Fikr al-'Arabi, 1985),
h. 10. Selanjutnya dikutip Usul al-Fiqh.
27.
Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Usul al-Syari'ah, jilid I, (Beirut: Dar al-Ma'arif,
t.t.), h. 12.
28.
Usul al-Fiqh, h. 10-11.
29.
Muhammad Sidqi ibn Ahmad al-Burnu, al-Wajiz fi Idahi Qawa'id al-Fiqhiyyah
al-Kulliyyah, (Beirut: al-Risalah, 1983), h. 22.
30.
AI-Wajiz h.22.
31.
Ibid.
32.
Ibid.
33.
Ibid. Ibn Nujaim menambahkan satu kaidah "Tidak ada pa hala kecuali dengan
niat" (la tsawaba illa bi al-niyat) Al-Asybah waal Naza'ir, Damsyq: Dar al-Fikr, 1983), h.
14-21. Sementara Jalal al-Din al-Sayuti menambahkan satu kaidah yang lain yaitu
kaidah: "Al-hajah tanzilu manzilat al-darurat 'amatan kanat au
khassatan" (kebutuhan menempati kedudukan darurat, baik khusus maupun umum);
al-Asybah wa al-Naza'ir fi al-Furu' (Semarang: Tohaputera, t.t), h. 83-89.
34.
Al-Wajiz, h 83-89.
35.
Ibid. Kalangan NU juga menggunakan kaidah lain yaitu "ma la yudraku kulluhu
la yutraku kulluh, artinya kewajiban yang tidak dapat dijalankan selengkapnya
maka elemen yang dapat dijalankan tidak ditinggalkan. Kaidah ini sama dengan
"al-maisur la yasqutu bi al-ma'sur (kemudahan tidak gugur karena
kesulitan).
Ditulis
ulang dari buku : Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih dalam
Politik Oleh: M. Ali Haidar, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994