Bab III
Nahdlatul Ulama dan Masyumi
Perlu secara khusus meninjau hubungan
NU debgab Masyumi karena di dalam organisasi ini untuk pertama kali golongan
Islam bersatu dalam satu wadah politik di dalam degara yang sudah merdeka.
Kalau Partai Persatuan Pembangunan merupakan gabungan partai politik
Islam karena anjuran pemerintah melalui undang-undang kepartaian, maka
Masyumi adalah gabungan semua golongan Islam yang didorong oleh semangat
persatuan agar umat Islam mempunyai kekuatan yang utuh dan padu untuk
memperjuangkan aspirasi Islam.
Sebagaimana kita ketahui bahwa
berdirinya negaa R.I. didahului oleh perdebatan yang sengit tentang dasar
negara. Perdebatan itu terjadi di dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan yang dibentuk oleh Jepang bulan April 1945, badan
yang beranggotakan 62 orang ini diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat (seorang
tokoh Budi Utomo dulu (1)). Walapun badan ini dibentuk oleh Jepang tetapi bagi
para pemimpin perjuangan yang duduk di dalamnya, diarahkan bagi kepentingan
kehidupan bangsa. "Tidak saja Bdan itu sekedar 'menyelidiki segala sesuatu
mengenai persiapan kemerdekaan Indonesia', tetapi badan ini langsung
membicarakan dasar-dasar negara Indonesia Merdeka dan merencanakan,
Undang-undang Dasar Indonesia."(2) Dalam badan inilah terjadi erdebatan
yang sengit dan tajam antara yang disebut kelompok nasionalis sekuler
(nasionalis yang netral agama) dan nasionalis muslim.(3) Kelompok Islam
melupakan perbedaan di antara mereka; golongan pembaharuan bersatu dengan
golongan tradisional untuk mewujudkan aspirasi Islam dalam Indonesia Merdeka,
karena itu mereka menuntut negara harus berdasarkan Islam.(4) Bagi Islam
kemerdekaan bukan saja kemerdekaan bangsa tetapi juga kemerdekaan Islam. Hal
ini sudah tentu wajar terjadi mengingat saham Islam dalam perjuangan dan apa
lagi keuntungan yang diperoleh Islam oleh karena kebijaksanaan Jepang,
tidak akan dilepaskan begitu saja.(5) Setelah serangkaian pidato,
khususnya dari Muhammad Yamin(6) dan Supomo(7), Soerkarno mengajukan lima
prinsip yang kemudian disebutkan sebagai Pancasila (Lima Dasar), yaitu: a. Kebangsaan;
b. Internasionalisme atau Perikemanusiaan; c. Permusyawaratan;
d. Kesejahteraan dan e. Ketuhanan. Ketiga pidato, dari Yamin,
Supomo dan Soekarno ini — yang dimuat dalam Naskah Persiapan Undang-undang
Dasar 1945 yang disusun oleh Yamin — dinilai oleh Anshari hanya mewakili para
nasionalis sekuler sambil menyesalkan bahwa "tidak ada satu pun pidato
para anggota nasionalis Islami yang dimuat."(9) Sebagaimana kita ketahui
pertentangan yang tajam di dalam Badan Penyelidik itu diselesaikan dengan
"kesepakatan kehormatan"(10) yang dikenal sebagai Piagam Jakarta (22
Juni 1945). Piagam itu ditandatangani oleh para tokoh terkemuka yang berjumlah
sembilan orang (karena itu juga disebut Panitia Sembilan yang terdiri Soekarno,
Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus
Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin.(11) Seolah ingin
menyatakan itulah hasil maksimal yang dapat diperoleh Islam. Anshari membuat
perbandingan kekuatan dalam Panitia Sembilan antara golongan nasionalis sekuler
dan nasionalis muslim berbanding:
5 dan 4.(12) Dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter) prinsip Ketuhanan dirumuskan dengan penambahan "dengan kewajiban untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluk".(13)
Bagi pihak muslim nasionalis hal ini
merupakan sebagian kemenangan baginya karena, walaupun piagam tersebut tidak
secara khusus menyebutkan tentang pembentukan sebuah negara Islam bahwa
mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam, maka dengan mengakui berlakunya Jakarta
Charter hal itu berarti memperlakukan kewajiban hukum bagi pemerintah
Indonesia untuk memaksakan hukum Islam sebagai pengikat bagi semua umat tanpa
memandang latar belakang kultural atau kemasyarakatan mereka.(14)
Tetapi Piagam Jakarta hanya
penyelesaian sementara. Perdebatan masih tetap berlangsung dalam Badan
Penyelidik. Sehari setelah proklamasi para tokoh merasa perlunya pemantapan
ideologi negara dan lagi pula ada pihak yang keberatan terhadap Piagam Jakarta
yang dianggap diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Atas prakarsa Hatta
"seorang tokoh yang oleh muslim nasionalis lebih dipercaya daripada
Sukarno,"(15) diadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh muslim nasionalis.
Pertemuan itu menghasilkan rumusan Pancasila yang baru yang kemudian
akan menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Prinsip pertama Piagam
Jakarta dirumuskan secara singkat menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.(16)
Atas usul seorang penganut Hindu-Bali, I Gusti Ktut Pudja istilah Allah (yang
dianggap "nama khas dalam Islam" (17)) diganti dengan Tuhan.
"Menurut Wahid Hasjim," demikian Noer mencatat berdasarkan keterangan
Hatta, "kata Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan tauhid dalam Islam, dan
oleh sebab itu pergantian ini akan memuaskan kalangan Islam. Hanya Islam yang
mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, pikir Wahid Hasjim."(18) Noer langsung
menyambut pemikiran ini;
Memang, menurut pendapat umum kalangan
Islam di Indonesia, hanya Islam di antara agama-agama di dunia yang menegakkan
tauhid dalam arti yang murni. Dipandang dari sudut ini, memang benar hanya
Islam yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.(19)
Tetapi ini hanyalah pendapat sepihak. Bagi
kalangan nasionalis sekuler prinsip Ketuhanan itu bukanlah konsep agama
tertentu, melainkan hanya merupakan gagasan Ketuhanan saja.(20) Atau, seperti
yang ditegaskan oleh Boland dengan mengutip Sidjabat, merupakan gagasan yang
bersifat umum dan netral yang memberikan ruang gerak bagi setiap orang memuja
Tuhan.(21). Memang, menjadi pergumulan berat bagi segenap bangsa setelah
proklamasi mencari legitimasi dukungan terhadap negara sendiri. Kalau dalam
masa penjajahan perlawanan terhadap penjajah dengan mudah ditemukan
legitimasinya apakah dalam agama Islam (menentang kafir Belanda) atau dalam
nasionalisme (menentang penguasa asing) dan di saat perlu kedua motif dengan
mudah bersatupadu, tetapi cerita menjadi lain setelah penjajah angkat kaki.
Persoalan sekarang adalah bagaimana membangun persatuan agar negara dapat
melangsungkan kehidupannya.
Mengapa tokoh-tokoh muslim nasionalis
dalam waktu yang sangat singkat menerima perubahan atas rumusan Piagam
Jakarta?(22) Noer mengajukan beberapa alasan: Pertama, kalangan Islam
sangat mempercayai integritas Hatta; Kedua, kalangan Islam
menyadari sepenuhnya situasi yang masih gawat yang dihadapi oleh
negara, yaitu bagaimana mempertahankan negara dari ancaman kekuatan
asing; Ketiga, kalangan Islam yakin akan memenangkan pemilihan
umum yang direncanakan akan berlangsung dalam waktu singkat.(23) Saya rasa analisis Noer ini benar dan patut disimak. Untuk pertama kali — dan di dalam negara yang baru berumur sehari kalangan Islam menunjukkan sikap yang positif terhadap pengelola negara yang menilai perkembangan baru secara realistis! Sejak itu hubungan hubungan negara dan agama menjadi unik, dalam negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara agama, tetapi berupaya mengembangkan kehidupan keagamaan.(24) Boland mengungkapkan hal itu dengan tepat:
umum yang direncanakan akan berlangsung dalam waktu singkat.(23) Saya rasa analisis Noer ini benar dan patut disimak. Untuk pertama kali — dan di dalam negara yang baru berumur sehari kalangan Islam menunjukkan sikap yang positif terhadap pengelola negara yang menilai perkembangan baru secara realistis! Sejak itu hubungan hubungan negara dan agama menjadi unik, dalam negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara agama, tetapi berupaya mengembangkan kehidupan keagamaan.(24) Boland mengungkapkan hal itu dengan tepat:
Demikian pula suatu Indonesia baru
telah lahir, bukan sebagai suatu negara Islam seperti yang dimaksud dalam
konsepsi Islam ortodoks, dan juga bukan sebagai suatu negara sekuer yang
memandang agama hanya sebagai masalah pribadi. Pembahasan mengenai masalah ini
telah berakhir dengan suatu jalan tengah, yaitu dalam adanya gagasan mengenai
suatu negara yang ingin mengakui suatu asas keagamaan, dan ingin bersikap
positif terhadap agama pada umumnya serta dalam berbagai bentuk perwujudannya,
atau menurut suatu slogan yang timbul belakangan, suatu negara yang ingin
memandang agama sebagai suatu sumbangan yang mutlak terhadap nation-building
dan character-building 'pembentukan bangsa serta pembinaan watak'.
Jadi, penyelesaiannya secara Indonesia dari masalah ini bukanlah suatu
undang-undang dasar yang mempergunakan peristilahan Islam tanpa sungguh-sungguh
menerima makna Islaminya, tetapi penerimaan nilai-nilai kerohanian milik
bersama seperti tercantum dalam Pancasila, dengan sila pertamanya Ketuhanan
Yang Mahaesa.(25)
Pada tanggal 3 November 1945 pemerintah
mengeluarkan maklumat (yang dikenal sseagai Maklumat No.X) yang
ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad hatta yang berisi anjuran tentang
berdirinya partai-partai politik; yang merupakan penegasan bahwa pemerintah
menyukai timbulnya partai-partai "karena dengan adanya partai-partai
itulah dapat dipimpin kejalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam
masyarakat" dan merupakan harapan pemerintah "supaya partai-partai
politik itu telah tersusun, sebelumnya dilangsungkan pemilihan anggota
badan-badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946."(26) Setelah
dikeluarkannya maklumat pemerintah ini, kalangan Islam menyambutnya dengan
cepat. Masyumi (singkatan dari Majelis Syuro Muslimin
Indonesia) diumumkan berdiri tanggal 7 November 1945 dengan Sukiman sebagai
ketua.(27) NU menjadi anggota istimewa dan pimpinan tertingginya Hasyim Asyari
menjabat Ketua Majelis Syuro dan Wahid Hasyirn sebagai salah seorang wakil
ketua Majelis Syuro.(28) Agaknya bagi NU peranan Majelis Syuro inilah penting
agar dengan demikian NU menjadi tulang punggung Masyumi. Peranan Majelis Syuro
sebagai penentu politik partai terlebih dalam hubungannya dengan masalah
keagamaan ditegaskan dalam Anggaran Rumah Tangga, antara lain:
- Majelis Syuro
berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik kepada
pimpinan partai.
- Dalam soal
politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama maka
pimpinan partai meminta fatwa dari Majelis Syuro.
- Keputusan
Majelis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat pimpinan
partai.
- Jika
Muktamar/Dewan Partai berpendapat lain daripada keputusan Majelis Syuro,
maka pimpinan partai dapat mengirimkan utusan untuk berunding dengan
Majelis Syuro dan hasil perutusan untuk berunding dengan Majelis Syuro dan
hasil perundingan itu merupakan keputusan tertinggi.(29)
Melihat hak dan kewaian Majelis Dyuro ini maka yang ingin
ditugaskan adalah peranan ulama dalam partai! Dengan penegasan ini NU cukup
puas walaupum di dalam pimpinan partai yang diketuai oleh Sukiman tidak
terdapat wakil NU.
Ada dua macam keanggotaan dalam
Masyumi: 1) Perseorangan dan 2) Organisasi. Sistem keanggotaan yang demikian
menjadi salah satu kelemahan Masyumi karena sejak terbentuk sistem ini selalu
menjadi pokok pembahasan dalam setiap kongres partai. Semula tujuan struktur
keanggotaan ini adalah agar Masyumi demgan cepat dapat memperoleh banyak
anggota. Pada mulanya hanya empat organisasi yang masuk Masyumi: Muhammadiyah,
NU, Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam. Dua terakhir kemudian
bergabung menjadi Persatuan Umat Islam Indonesia.(30) Noer mengatakan keempat
anggota merupakan wakil pembaharuan (Muhammadiyah), tradisional (NU), dan
Perikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam bersifat tradisional dalam agama
tetapi cenderung modern dalam soal dunia "sehingga memudahkannya untuk
bekerja sama dengan kalangan modernis."(31) Kalau demikian hanya NU saja
yang mewakili kelompok tradisional murni dalam kiprah politik di awal
kemerdekaan. Karena PSII belum dibentuk kembali sejak dibubarkan oleh Jepang,
para tokohnya menjadi anggota secara perseorangan seperti Sukiman dan Adikusno.
Struktur keanggotaan memang berhasil menghimpun banyak anggota.
Jika dilihat dari perkembangannya maka
sampai 31 Desember 1950 di tiap-tiap Kabupaten terdapat cabang, hampir di tiap
kecamatan ada anak cabang dan hampir-hampir tiap desa di Jawa terdapat
rantingnya. Sambil memperluas pembentukan di desa-desa di luar Jawa telah
tercatat 237 cabang, 1080 anak cabang dengan 4982 ranting dengan lebih kurang
10.000.000 anggota.(32)
Dilihat dari segi angka memang struktur
keanggotaan di atas menjadi kekuatan Masyumi. Namun demikian struktur itu pula
merupakan kelemahan. Sebenarnya sejak semula NU lebih condong kebentuk federasi
dalam arti yang menjadi anggota adalah organisasi seperti Masyumi di zaman
Jepang.(33) Mungkin maksud NU ialah dengan berbentuk federasi eksistensi
keanggotaan organisasi pendukung dapat berperan lebih besar dalam perjalanan
partai. Memang NU dihornnati dengan memberikan kepadanya Majelis Syuro, tetapi
kiprah partai lebih banyak dilakukan oleh eksekutif partai.(34) Dengan adanya
keanggotaan perseorangan, Masyumi berhasil menghimpun para intelektual yang
tangguh seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem dan Sjafruddin Prawiranegara dan
lain-lain. Tiga orang inilah yang banyak mengarahkan perjalanan partai karena
kefasihan mereka merumuskan pemikiran politiknya. Namun demikian mewakili
siapakah mereka melontarkan pemikiran politiknya? Apakah artinya keanggotaan
organisasi kalau juru bicara partai orang yang tidak mempunyai basis
organisasi? Mampukah mereka menghayati aspirasi para anggota berdasarkan organisasi?
Pertanyaan-pertanyaan ini agaknya dapat mewakili keberatan NU sehingga, ia
lebih condong kepada bentuk federasi.
Walaupun NU, seperti dikatakan di atas,
agaknya cukup puas dengan kedudukan di dalam Majelis Syuro, bukan berarti ia
tidak menyadari bahwa eksekutif dipegang oleh tokoh-tokoh modernis (pembaharuan
) atau "orang-orang sekolahan" menurut ucapan Nurcholis Madjid kepada
Ahmad Syafii Maarif.(35). Seolah ingin mengungkapkan suatu kekecewaan Saifuddin
Zuhri mengatakan: "Soalnya sederhana saja, Nahdlatul Ulama merasa
diperlakukan tidak adil oleh dominasi golongan dan perorangan yang kuat
kedudukannya lantaran struktur organisasi yang berlaku."(36) Ucapan ini
ditujukan kepada kelompok pembaharuan.(37) Bahwa NU diperlakukan tidak adil
dibantah oleh Maarif sambil mengajukan rekaannya terhadap pandangan kaum
pembaharu:
Dari sisi pandangan modernis, cara
menempatkan kedudukan para ulama (kyai) itu sudah dipandang cakup adil, karena
Dewan Partai (Majelis Syuro) memang diciptakan untuk mereka, sedangkan Dewan
Eksekutif untuk para politisi yang berpengalaman, yang kebetulan sebagian
terdiri dari golongan modernis. Pihak NU mungkin akan bertanya: Mengapa pintu
ditutupi bagi para kyai untuk dilatih menjadi politisi yang berpengalaman?(38)
Selanjutnya ia menambahkan:
Pada waktu itu tampaknya kelompok
modernis kekurangan data sosial dalam membaca faktor religius-psikologis yang
amat penting ini. Sekiranya waktu itu mereka cukup arif dan bijaksana, sayap
pesantren dan umat mungkin tidak menarik diri dari Masyumi, sebab bukankah para
kyai ini pula yang juga menjadi Bapak Pendiri partai yang dibentuk tiga bulan
setelah kemerdekaan RI diproklamasikan?(39)
Pandangan Maarif ini benar-benar
mewakili visi kelompok pembaharu yang menganggap diri lebih mampu karena latar
belakang pendidikan modern yang mereka peroleh. Keluhan yang diajukan oleh
Maarif belum mewakili keluhan NU. Secara lebih tajam keluhan itu harus
diungkapkan demikian: Mengapa kaum pembaharu tidak memperhatikan sejarah di
mana para ulama dengan caranya sendiri telah berjuang aktif? Atas dasar apakah
kaum pembaharu meremehkan kemampuan politik para ulama, apakah berdasarkan
pendidikan atau berdasarkan pandangan keagamaan? Terlepas dari latar belakang
para ulama dalam NU, yang sangat kurang mengecap pendidikan modern,
menyingkirkan NU dari panggung politik sebenarnya menyangkal peranan klasik
ulama di mana aspek politik selalu terkait erat. G.H. Jansen seorang diplomat
Inggris yang lama bekerja di kota-kota Kairo, Istambul, Jakarta dan Beirut
selama 25 tahun, dengan tepat melukiskan potensi ulama kendatipun mereka
dijuluki tradisional dan konservatif:
Adalah sama sekali tak islami kalau
seorang ulama Islam tidak tertarik dan bergerak dalam bidang politik, karena
itu berarti bahwa mereka bermasa bodoh terhadap nasib ummat muslimin. Salah
satu alasan mengapa ulama mendapat kedudukan di dunia politik, ialah terutama
karena mereka adalah kelompok orang-orang yang dihormati di setiap negara
muslim . . . Mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh tradisionalis dan konservatif
tetapi justru karena itu mereka dianggap berhasil. Maksudnya berhasil
memelihara tradisi Islam dalam bentuk yang hidup, bukan sebagai mummi.(40)
Selanjutnya dia menambahkan, dengan
mengutip L. Binder
Islam tradisional telah disatukan oleh tradisi
dan organisasi para ulama. Mereka adalah tokoh-tokoh terpelajar Islam yang
sampai hari ini berhasil mempertahankan kedudukan mereka sebagai
penjaga-penjaga simbol Islam. Hak eksklusif mereka dalam menafsirkan Islam
hanya akhir-akhir ini saja dibantah orang. Mereka juga berhasil memelihara
semua pokok-pokok ajaran Islam sejak abad pertengahan. Ini adalah hasil yang
besar bagi suatu lembaga yang tidak berbentuk semacam itu.(41)
Bagi NU kedudukan Majelis Syuro bukan
sekedar kehormatan. Agaknya bagi NU kedudukan Majelis Syuro dalam Masyumi
merupakan pengalihan model struktur NU sendiri yaitu yang disebut di dalam
organisasi NU sebagai Majelis Syuriah (ketuanya disebut Rois Am). Dalam
NU ia merupakan badan tertinggi yang tugas utamanya "mengawasi dan memimpin
gerak langkah" NU. Kemudian hari setelah NU keluar, Masyumi menetapkan
"dalam Anggaran Rumah Tangga tahun 1953, perkataan wajib dalam rangka
Majelis Syuro itu dihapuskan".(42) Selama NU masih bergabung dalam Masyumi
tampaknya kedudukan Majelis Syuro dianggap atau diusahakan menjadi semacam
badan penasehat, suatu hal yang dengan gigih di tentang oleh NU.(43)
Fungsi hanya sebagai penasehat yang
diberikan kepada Majelis Syuro juga dirasakan sebagai usaha, untuk
mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan keagamaan dalam keputusan-keputusan
dan kebijaksanaan partai. NU menuntut agar Majelis Syuro yang sudah berdiri
sejak tahun 1945 itu berfungsi sebagai badan yang dipimpin oleh ulama terkemuka
yang bertugas meninjau keputusan-keputusan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan
Majelis Dewan Partai (Eksekutif) yang dianggap bertentangan dengan Islam.(44)
Dalam pandangan NU, kalau Masyumi
sungguh-sungguh akan meniadi partai Islam, maka peranan ulama harus diakui
sebagai pengawas kiprah partai agar partai selalu bekerja sesuai dengan gagasan
keislaman. Pandangan inilah yang menyebabkan NU seperti sudah saya katakan
cukup puas dengan kedudukan di dalam Majelis Syuro walaupun eksekutif
didominasi oleh kalangan pembaharuan. Bukankah itu menandakan NU telah
menunjukkan sikap yang arif? Para pemimpin Masyumi (eksekutif) — yang
memperoleh pendidikan modern (Barat) — mungkin melupakan bahwa NU adalah
organisasi yang khas, organisasi massa yang bersifat keagamaan (Jamiah diniyah)
dengan basis pesantren dan kedudukan ulama. Kedudukan ulama yang kuat dan
menentukan diperoleh bukan karena gagasan yang gemilang atau karena kepandaian
merumuskan pemikiran politik tetapi karena statusnya di mata umat sebagai,
meminjam istilah Zuhri, "penggembala umat".(45)
Perbedaan latar belakang pendidikan dan
paham keagamaan (akibat politik etis Belanda dan paham pembaharuan dalam agama
(46) ) para tokoh eksekutif Masyumi dengan para ulama mencuat dalam konflik
intern Masyumi. Para tokoh eksekutif Masyumi merasa dirinya lebih mampu
mengelola partai dan merasa juga bahwa pemahaman keislaman mereka dan aktivitas
mereka di dalam pergerakan Islam tak perlu diragukan lagi.(47) Dengan demikian
Masyumi sebenarnya partai yang rapuh.
Masyumi yang sangat diharapkan oleh
kalangan muslim sebagai satu-satunya saluran aspirasi politik Islam, hanya
kurang lebih dua tahun saja mampu bertahan. Harapan itu sudah sirna pada tahun
1947 ketika beberapa tokoh eks Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Arudji
Kartawinata dan Wondoamiseno, keluar dari Masyumi dan mendirikan kembali
PSII.(48) Tindakan partai ini karena ada peluang untuk mendapat posisi dalam
kabinet Amir Sjarifuddin. Dan PSII memang kemudian memperoleh enam kursi dalam
kabinet.(49) Masyumi yang semula menolak untuk mendukung kabinet menjadi goyah
dan kemudian memberikan dukungannya.(50) Hancurlah mitos Masyumi sebagai
satu-satunya wadah politik Islam. Dari sudut persatuan muslim sudah tentu sikap
PSII dikecam habis-habisan, namun demikian dari sudut politik — yang senantiasa
mementingkan kemenangan golongan — sikap PSII sudah tentu cukup wajar.
Keluarnya PSII menunjukkan kurangnya komitmen persatuan di kalangan tokoh
pendukung Masyumi. Dengan ikutnya Masyumi mendukung kabinet maka "dalam
satu kabinet ada dua partai Islam yang duduk di dalamnya."(51)
Kiprah Masyumi banyak sekali diwarnai
oleh pemikiran para tokohnya — dan jangan lupa — umumnya berlatar belakang
pendidikan Barat. Kendatipun kedua tokoh PSII yang telah kita sebut tadi —
menurut Noer — keluar dari Masyumi karena kedudukan mereka yang kurang memuaskan
(52), agaknya kerapuhan partai ini juga disebabkan oleh perbedaan orientasi
ideologi politik para tokohnya. Pengamatan Abu Hanifah, seorang tokoh Masyumi,
mengungkapkan hal itu:
Ketua Masyumi pertama adalah pemimpin
muslim terkenal dari Sarekat Islam lama, yaitu Dr. Soekiman. Kelompok
pemikirnya terdiri dari pemimpin-pemimpin intelektual muslim yang lebih muda.
seperti Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman, Jusuf Wibisono dan
saya sendiri. Kelompok yang lebih muda ini termasuk ke dalam golongan sosialis
'religius'. Jalan pikiran mereka sedikit berbeda dengan kelompok pemimpin muda
muslim yang lain dibawah pimpinan Mohammad Natsir. Dalam perkembangan
selanjutnya terdapat tiga kelompok dalam Masyumi: Kelompok
konservatif yang umumnya terdiri dari pemimpin-pemimpin agama muslim; kelompok
moderat yang terdiri dari Mohammad Natsir, Sjafruddin, Roem; dan kelompok
sosialis religius yang lebih berpikir secara Barat seperti Dr. Soekiman, Jusuf
Wibisono dan saya sendiri. Kelompok moderat secara politis lebih dekat kepada
Sjahrir. sementara kelompok konservatif dan sosialis religius kebetulan lebih
sering berdampingan terutama selama tabun-tahun pertama revolusi.(53)
Boland setuju dengan George Kahin yang
melukiskan para pemimpin Masyumi (Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad
Roem, Jusuf Wibisono dan Abu Hanifah) banyak dipengaruhi oleh ajaran Muhammad
Abduh, dan di pihak lain terdapat golongan konservatif (unsur NU dan
Muhammadiyah) dan sebagai golongan penengah disebutkan Sukiman dan Prawoto
Mangkusasmito.(54)
Walaupun terdapat perbedaan di antara
Abu Hanifah dan Kahin dalam cara pengelompokan dan dalam penempatan nama-nama
tokoh, sekurang-kurangnya keduanya menegaskan pengaruh tokoh terhadap kiprah
partai. Masyumi mengalami kesukaran merumuskan langkah dan kebijaksanaannya.
"Kegagalan mengarahkan dan menangani secara bijak perbedaan-perbedaan
pendapat dan kecenderungan ideologi tersebut ke arah persamaan sikap secara
wajar, kemudian ternyata telah menghadapkan Masyumi pada problem-problem yang
serius," demikian Maarif.(55) Problem yang serius itu — mungkin yang
paling serius — adalah ketegangan antara kelompok intelektual (dari kalangan
pembaharuan, para eksekutif partai) dan kelompok ulama.
Apakah tujuan berdirinya Masyumi? Dalam
Anggaran Dasar tahun 1945 ditetapkan tujuan berdrinya Masyumi :
a. Menegakkan kedaulatan Republik
Indonesia dan Agama Islam.
b. Melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.(56)
b. Melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.(56)
Apakah Masyumi mengutamakan berdirinya
'masyarakat Islam' atau 'negara Islam'? Yang tegas menyebutkan negara Islam
sebaga tujuan Masyumi adalah sumber dari Wahid Hasyim: "untuk mewujudkan
masyarakat dan negara Islam".(57) Boland menyangsikan ketepatan kutipan
dari Hasjim ini.(58) Kemungkinan sekali Masyumi berharap perwujudan negara
Islam akan mudah terlaksanakan bila ia kemudian memenangkan pemilihan umum.
Harapan itu termaktub dalam program aksi yang dikeluarkan tanggal 17 Desember
1945 yang bermaksud "memperkuat dan menyempurnakan dasar-dasar pada
Undang-Undang Dasar Rl sehingga dapat mewujudkan masyarakat dan negara
Islam" dan karena itu partai menuntut suatu pemilihan umum "yang umum
dan langsung".(59) Ada dua bidang, bidang sosial dan ekonomi, yang
ditekankan oleh program tersebut:
Dalam bidang sosial partai menuntut: 1.
adanya undang-undang guna kesejahteraan umum yang mencakup larangan segala
macam perjudian minuman keras dan madat, perzinahan dan riba; 2. undang-undang
yang memberi perlindungan kepada kaum buruh secukupnya dengan kesempatan cukup
untuk rnelakukan syariat Islam dalam waktu kerja, upah umum, pembatasan jam
kerja, bantuan kecelakaan dan bantuan hari tua, penjagaan keamanan dalam
bekerja, kesehatan dan perumahan, serta mempertinggi kecerdasan dan juga
kesempatan untuk beristirahat; 3. undang-undang yang memberi jaminan pada kaum
tani dalam hak memiliki sebidang tanah untuk jaminan hidup berumah tangga,
perbaikan alat dan bibit pertanian, perlindungan penjualan hasil bumi di dalam
dan di luar negeri, peningkatan derajat dan modernisasi rumah tangga desa serta
peningkatan kecerdasan kaum tani khususnya mengenai pertanian; 4. hal yang sama
dilakukan untuk keperluan para nelayan. Partai juga menuntut terbit dan
terlaksananya undang-undang kewajiban belajar.
Dalam bidang ekonomi partai berpendapat
bahwa: 1) negara wajib mengadakan kemungkinan berusaha dan memberikan lapangan
kerja kepada warga negaranya; 2) perekonomian rakyat perlu disusun atas dasar
gotong royong, yang di dalamnya usaha perseorangan tidak boleh merugikan
kepentingan umum, 'bahkan harus ditujukan ke arah menjamin kemakmuran bersama';
3) pembatasan hak milik perseorangan dengan 'ketentuan-ketentuan agama Islam
(pemberian zakat, kurban dan lain sebagainya)'; 4) sistem kapitalisme yang
nyata mengandung kepentingan perseorangan belaka harus ditentang.(60)
Kesan kita dengan bunyi program di atas
adalah sifat pragmatismenya. Sesuatu yang tidak mengherankan karena program itu
banyak persamaannya dengan Tafsir Asas PSII tahun 1917 dan memang besar sekali
pengaruh Sukiman (eks PSII) ketua Masyumi dalam perumusannya.(61) Menurut Noer
kepemimpinan di dalam Masyumi pada tahap awal (1945-1949) didominasi oleh
"kalangan yang lebih tua" yang disebut kelompok Sukiman dan barulah
pada tahap selanjutnya (1952-1960) didominasi oleh "kalangan yang lebih
muda" yang disebut kelompok Natsir.(62) "Antara kedua masa ini
(1950-1952) dijumpai fase peralihan, ketika kalangan yang lebih tua tampak
berusaha bertahan dan kalangan yang lebih muda mendesakkan garis dan kedudukan
kepemimpinannya."(63) Berarti garis perjuangan partai tidak konsisten,
tetapi mudah berubah sesuai dengan pemikiran pimpinannya (eksekutif). Kesan
keagamaan lebih kuat dalam Manifesto Politik tanggal 6 Juni 1947;
"Republik Indonesia, yang penduduknya sebagian besar menganut agama Islam,
haruslah merupakan suatu negara dengan suatu undang-undang yang berlandaskan
asas-asas yang sesuai dengan agama ini atau tidak bertentangan dengan
ajaran-ajaran Islam.(64) Dan pada tahun 1948 Masyumi memutuskan "agar
pemerintah harus didesak untuk mewajibkan pendidikan agama di sekolah dasar dan
sekolah menengah".(65) Mengenai ini Kahin memberi komentar bahwa
"kelompok kecil yang bersikap konservatif dalam Majelis Syuro lebih banyak
memberikan perhatian kepada pendidikan Islam dan amal keagamaan secara formal
daripada segi sosiai ekonomi dalam program Masyumi tersebut".(66) Ini
menunjukkan bahwa sejak semula Masyumi telah mengalami ketegangan yang serius
antara kepentingan politik yang cenderung pragmatis dan kepentingan keagamaan
(dalam visi tradisional para ulama). Oleh karena itu keluarnya NU dari Masyumi
hanya soal waktu saja. Ketika Masyumi menolak calon NU untuk duduk sebagai
menteri agama dalam Kabinet Wilopo tahun 1952 melalui "pemungutan
suara"(67), maka NU menyatakan diri keluar dari Masyumi. Seperti yang
dikatakan oleh Saifuddin Zuhri soal menteri agama hanyalah picu peledak
saja:
Masalah Menteri Agarna cuma picu
peledak dari ketidakpuasan akibat kebijaksanaan-kebijaksanaan partai. Keliru
kalau orang hanya melihat itu sebagai masalah pokoknya. Soalnya bisa dipahami
dengan pertanyaan, cukup pantaskah suatu kekuatan besar seperti NU secara terus
menerus dikurangi perannya, lalu satu-satunya yang masih dimiliki diambil lagi.(68)
Menurut hemat saya, kalau NU menuntut
dengan gigih kursi menteri agama didorong oleh ciri khas NU sebagai organisasi
ulama dan lagi pula ciri khas itu secara tidak langsung diakui Masyumi dengan
menyerahkan pimpinan Majelis Syuro kepadanya. NU mengharapkan melalui jabatan
menteri agama pemberlakuan ajaran Islam — sepanjang dimungkinkan di negara
Indonesia yang berlandaskan Pancasila dapat dilakukan secara maksimal! Dengan
nada pahit Idham Chalid (dalam kepengurusan NU 1952 menjabat sekretaris umum
dan 1956 ketua umum(69) ) mengungkapkan kekecewaan NU:
Ini terus terang saja waktu itu 5 menteri
Masyumi, 4 sudah diambilnya. Departemen Agama masih diambilnya juga. Kalau
orang mengatakan, NU pecah, karena kursi meninggalkan Masyumi kata
Masyumi.
Baik, baik — karena kursi. Apa tidak pantas, tuan-tuan mengambil 4 kursi, satu yang dituntut oleh NU. Karena sekarang tuan-tuan tidak mau memberikan, tuan-tuan mau NU pecah karena kursi, sedang tuan-tuan telah punya, salah siapa. Kalau kita bersaudara mempunyai milik lima lantas tuan-tuan sudah ambil 4, kita cuma nuntut satu tidak diberi, kita pecah. Hujjahnya salah siapa — kalau memang benar karena kursi — saya mau tanya.(70)
Keputusan untuk keluar dari Masyumi
diambil dalam Muktamar di Palembang Mei 1952 sambil memberi amanat kepada
pengurus:
- Pelaksanaan
keputusan tersebut agar jangan sampai menimbulkan kegoncangan di kalangan
umat Islam Indonesia.
- Pelaksanaan
keputusan tersebut dilakukan dengan perundingan terlebih dahulu dengan
Masyumi, dan
- Keputusan ini
dijalankan dalam hubungan yang lebih luas yang berkenan adanya keinginan
untuk membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya lebih tinggi,
dimana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam baik yang sudah
maupun belum tergabung dalam Masyumi dapat berkumpul dan berjuang
bersama-sama.(71)
Muktamar di Palembang juga memutuskan NU menjadi partai
politik dengan asas dan tujuan:
Nahdlatul Ulama berasas agama Islam dan
bertujuan:
a. Menegakkan syari'at Islam, dengan
berhaluan salah satu daripada 4 madzhab: Syafi'i, Maliki, Hanafi dan Hambali.
b. Melaksanakan hukum-hukum Islam dalam masyarakat.(72)
b. Melaksanakan hukum-hukum Islam dalam masyarakat.(72)
Rumusan ini hampir tidak ada bedanya
dengan rumusan Anggaran Dasar 1926. NU dalam wujudnya sebagai partai
politik tetap mempertahankan ciri-cirinya sebagai penganut ajaran mazhab. Orang
yang tidak mengakui wibawa keempat mazhab tidak dapat menjadi anggota. Tradisi
Islam khususnya tradisi keempat mazhab akan tetap menjadi rujukan kiprah
politiknya.
Menekankan peranan mazhab merupakan
letak kekuatan NU, sementara Masyumi dengan tokoh-tokohnya yang berlatar
belakang pendidikan Barat masih bergantung pada pemikiran individu. Nanti kita
akan melihat bahwa Masyumi baru pada akhir Agustus 1952 menyusun ideologinya
yang disebut sebagai Tafsir Asas (Penjabaran Anggaran Dasar).(73) Saya
kurang setuju dengan pendapat Boland bahwa "rumusan politik keagamaan
mereka malahan tidak begitu jelas watak Islamnya dibanding dengan
Masyumi".(74) Karena, sesuai dengan watak tradisionalnya ia cukup
mengajukan rumusan bila diperlukan, dengan menggali dari khazanah tradisi. G.H
Jansen melukiskannya dengan fasih:
... NU selalu dituduh oportunis dan
tidak mempunyai program atau ideologi sendiri yang jelas. Dan memang ia tak
membutuhkannya, karena dengan hanya mengulang ulang tujuan-tujuan tradisional dan
skolastiknya ia dapat dengan leluasa melakukan langkah-langkah politik demi
kelangsungan hidupnya...(75)
Segera setelah memutuskan keluar dari
Masyumi, NU menggalang persatuan yang bersifat federatif bersama dengan PSII
dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (untuk selanjutnya disingkat PER TI)
dalam wadah yang disebut Liga Muslimin Indonesia.(76) PERTI didirikan
pada tahun 1930 di Bukit Tinggi.(77) Organisasi ini juga
berwatak tradisional; bedanya dengan NU adalah bahwa ia hanya
berpegang teguh pada satu mazhab saja, yaitu mazhab Syafii.(78) Liga Muslimin Indonesia yang dibentuk pada tanggal 30 Agustus 1952 ini bertujuan "untuk mencapai masyarakat Islamiyah" yang sesuai dengan hukum Allah dan Sunnah Rasul.(79) Dalam mencapai tujuan itu disusunlah usaha yang menekankan perlunya kerja sama sesuai dengan keinginan NU sebelumnya:
berwatak tradisional; bedanya dengan NU adalah bahwa ia hanya
berpegang teguh pada satu mazhab saja, yaitu mazhab Syafii.(78) Liga Muslimin Indonesia yang dibentuk pada tanggal 30 Agustus 1952 ini bertujuan "untuk mencapai masyarakat Islamiyah" yang sesuai dengan hukum Allah dan Sunnah Rasul.(79) Dalam mencapai tujuan itu disusunlah usaha yang menekankan perlunya kerja sama sesuai dengan keinginan NU sebelumnya:
- Mengatur rencana
bersama mengenai tindakan-tindakan besar bagi kepentingan umat Islam
Indonesia dalam segala lapangan hidup dan kehidupan.
- Menghimpun
organisasi-organisasi Islam Indonesia untuk bekerja atas dasar rencana
bersama yang telah ditentukan.
- Membantu
menyuburkan kemajuan organisasi-organisasi Islam Indonesia.
- Mengadakan
kesatuan aksi bagi gerakan-gerakan Islam sewaktu-waktu yang bersifat
umum.
- Menyelenggarakan
hubungan dan kerja sama antara umat Islam Indonesia dan umat Islam
sedunia.
- Mengadakan
Kongres Islam Indonesia atau permusyawaratan yang bersifat demikian, baik
dalam tingkat lingkungan dunia.
- Lain-lain usaha
dalam hubungan soal-soal yang tersebut pada angka 1 sampai 6 di
atas.(80)
Walaupun makna Liga ini dapat saja dinilai kecil oleh
beberapa sarjana seperti Noer(81) dan Boland(82), namun ada beberapa hal
menarik untuk dicatat. Pertama PSII (sebelum menjadi partai, termasuk golongan
pembaharuan) dapat bergabung dengan golongan tradisional (NU dan PERTI) dalam
wadah yang bersifat federatif. Kedua, terlepas dari sifat wadah, dengan
berdirinya Liga ini maka ada dua wadah perhimpunan kalangan Islam, berarti
makin luas pula perpecahan di kalangan umat Islam. Ketiga, NU tetap berusaha
menyatakan niatnya membina hubungan atau kerja sama dengan golongan muslim
lainnya. Keempat, agaknya perlu dicatat pendapat Maksoem Machfoedz tentang
terbentuknya Liga ini, yang memudahkan, katanya adalah, bahwa PSII walaupun
tidak mencantumkan mazhab dalam asasnya tetapi ia "tidak pernah
mempersoalkan sistematika penyerapan agama Islam".(83) Sudah tentu yang
ingin dikatakannya bahwa walaupun PSII termasuk kalangan pembaharuan tetapi ia
tidak suka mempersoalkan masalah keagamaan sehingga NU dapat bekerja sama
dengan PSII. Memang dalam Kongres Islam pada dekade duapuluhan adalah
Muhammadiyah yang gencar menyerang tradisi, sedangkan PSII (ketika itu SI)
lebih suka menggalang persatuan ketimbang mempersoalkan masalah keagamaan.(84)
Perpecahan antara Masyumi dengan NU merupakan ulangan peristiwa yang telah
terjadi pada masa penjajahan Belanda.
Fenomena ini dapat pula berarti bahwa
corak bersatu-berpecah dikalangan umat Islam adalah ulangan belaka dari
peristiwa yang terjadi pada periode pra-MIAI, dan sesudah kemerdekaan muncul ke
permukaan kembali. Dengan demikian ikrar November (berdirinya Masyumi) ternyata
belum mampu mencegah umat dari bencana perpecahan. Bila sebelumnya berpecah
karena khilafiah, maka sesudah kemerdekaan berpecah karena soal-soal politik
Tentang gejala bersatu-berpecah
dikalangan umat, menurut K.H.A. Sjaichu (seorang tokoh NU), memang cerminan
dari kelemahan yang disebabkan oleh dua faktor: 1. Umat masih belum memiliki
kepemimpinan yang dapat diandalkan. Inilah salah satu sebab mengapa persatuan
masih sering goyah; 2. Sebagai konsekuensi logis dari faktor pertama, maka
pemimpin-pemimpin umat sering benar membuat keputusan-keputusan politik tanpa
mempertimbangkan secara mendalam dampak masa depan bagi umat secara
keseluruhan.(85)
Dan bersamaan waktu dengan terbentuknya
Liga, pada akhir Agustus Masyumi mencetuskan Tafsir Asas dan Program Perjuangan
Partai.(86) Tafsir Asas ini terutama merupakan karya Mohammad Natsir dan
Program Perjuangan karya Jusuf Wibisono.(87) Dengan demikian barulah pada tahun
1952 — sesudah NU keluar dari Masyumi — Masyumi mempunyai rumusan ideologi dan
program yang baku. Dan, Masyumi sekarang dikendalikan oleh tokoh Natsir,
seorang tokoh pembaharuan yang progresif dan fasih dalam merumuskan
pemikirannya.
Tafsir Asas ini disusun dengan
kesadaran yang tinggi tentang situasi internasional yaitu, persaingan ideologi kapitalisme
dan komunisme. "Perkembangan terjadinya kedua kekuatan itu juga
dikemukakan, dan analogi dibuat dengan membandingkannya dengan cerita-cerita
dalam Quran".(88) Seolah dengan itu ingin ditegaskan bahwa Islam adalah
alternatif di antara kedua ideologi tadi. Noer merangkum pokok-pokok Tafsir
Asas itu sebagai berikut:
- Paham kebendaan
bertentangan dengan Islam. Islam mengajarkan untuk mempergunakan harta dan
sumber alam untuk memperbesar kebahagiaan hidup bagi segenap manusia tanpa
melupakan bagian akhiratnya.
- Kekuasaan
sewenang-wenang tidak dapat menghasilkan kepuasan dan kebahagiaan. Ini
menghendaki kemerdekaan. Islam menuntut menciptakan masyarakat yang ber-ulil
amri (pemerintahan yang memegang kekuasaan menurut hukum dan
musyawarah) berdasar musyawarah untuk tegaknya keadilan sesuai dengan
kitab-kitab suci agama, dan akhirnya Quran.
- Hak-hak dasar
manusia tidak akan bermanfaat bagi rakyat kebanyakan bila hak didahulukan
dan kewajiban segan dilaksanakan. Islam menyadarkan manusia pada syarat
pelaksanaan hak tersebut, yaitu syarat tamyiz (kesengajaan) dan
tertib.
- Paham perpecahan
dan golongan hendaklah ditolak. Persaudaraan ditegakkan, damai dipelihara,
dan perselisihan diselesaikan tanpa kekerasan. Muslim adalah "umat
pertengahan".
- Muslim
Indonesia, di samping mempunyai kewajiban terhadap bangsa dan tanah air,
juga mempunyai kewajiban terhadap dunia dan umat manusia.(89)
Sebelum menguraikan Tafsir Asas, Noer banyak memberikan
uraian mengenai paham Natsir. "Menurut Natsir, Islam bukan semata-mata
religi, yaitu agama dalam pengertian rohaniah saja. Islam mengatur hubungan
antara manusia dan Allah, dan antara sesama manusia ... yang tidak rnengenal
pemisahan agama dari politik".(90) Dari sini Natsir menegaskan bahwa
"menegakkan Islam tidak dapat dengan membiarkan pembinaan masyarakat dan
negara dengan cara dan paham lain".(91) Tetapi Natsir rajin sekali
menekankan bahwa konsep politik Islam sangat sesuai dengan perkembangan modern,
seperti penerimaannya terhadap sistem demokrasi, parlemen, dan bahwa Islam
tidak bertentangan dengan Pancasila, dan sebagainya.(92). Namun demikian,
"Natsir mengingatkan pula bahwa sungguhpun Pancasila 'mengandung
tujuan-tujuan Islam, Pancasila itu bukanlah berarti Islam'. Oleh sebab itu, ada
cita-cita lain lagi yang perlu ditegakkan oleh muslim".(93) Cita-cita lain
itulah yang kemudian akan diperjuangkan oleh Masyumi di dalam
Konstituante.(94)
Kembali kepada Tafsir Asas. Ditinjau
dari sistematika bahasan dan pokok-pokok yang dibahas sungguh suatu karya yang
pantas dipuji dan sangat setia mencari rujukan pada ayat-ayat Quran. Tetapi
sepintas kilas Tafsir Asas ini sangat kabur napas keislamannya dan mungkin
sekali hanya dimengerti oleh orang yang berpendidikan modern atau oleh orang
yang hidup di kota-kota! Dan, memang para pendukung Masyumi adalah orang-orang
yang hidup di kota, kelas menengah dan kaum pedagang.(95)
Demikian pula Program Perjuangan, tidak
lebih dari mensakan pemikiran modern (Barat) dalam bidang kenegaraan, ekonomi
keuangan, sosial, pendidikan dan kebudayaan, dan sebagainya
- Kenegaraan. Masyumi
memperjuangkan negara hukum menurut Islam dalam bentuk Republik dan agar
negara menjamin keselamatan jiwa dan benda dan kebebasan agama.
- Perekonomian. Perekonomian
hendaklah diatur menurut asas ekonomi terpimpin untuk kesejahteraan
rakyat. Monopoli dilarang. Dan sebagainya.
- Keuangan. Perlu
dikeluarkan undang-undang Bank dan pengawasan kredit, serta penyederhanaan
pajak. Dan sebagainya.
- Sosial. Perlu
penyempurnaan undang-undang perburuhan dan memperhatikan jaminan sosial.
Dan sebagainya.
- Pendidikan dan
Kebudayaan.
Agar pernerintah membantu sekolah swasta, memajukan pendidikan agama,
serta menekankan perlunya ketrampilan disamping pengetahuan. Dan
sebagainya.
- Dan seterusnya.(96)
Sementara itu Anggaran Dasar Masyumi mendapat rumusan baru.
Dalam Anggaran Dasar 1945 (menurut Boland berlaku sejak 1952)(97) tercantum
bahwa tujuan Masyumi: "Terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam
kehidupan orang-seorang, masyarakat dan Negara Republik Indonesia, menuju
keridlaan Ilahi".(98) Boland melihat rumusan ini agak samar-samar dan
menanyakan: "Sampai di manakah rumusan ini memang sengaja disusun secara
samar-samar dan karena itu dapat diberi tafsiran beraneka ragam dalam umat
Islam itu sendiri?," demikian antara lain pertanyaan Boland.(99) Terlepas
dari segi apakah ia samar-sarnar atau tidak, ada pergeseran rumusan dari
"cita-cita Islam" (dalam Anggaran Dasar 1945) menjadi "ajaran
dan hukum Islam", mungkin dengan maksud mendapat dukungan yang lebih luas
setelah keluarnya NU. Saya rasa istilah "ajaran dan hukum Islam" akan
lebih akrab bagi golongan tradisional. Tetapi ini hanyalah kemungkinan saja.
.Namun demikian, sekurang-kurangnya kita melihat bahwa Masyumi setelah
keluarnya NU berusaha memantapkan ideologinya.
Mengamati ideologi (Tafsir Asas) dan Program Perjuangan Masyumi suatu kenyataan terungkap, bahwa rumusan Masyumi nyata sekali menggunakan bingkai pemikiran modern (Barat) dan mengisinya dengan semangat Islam. Hal ini mungkin didorong Oleh semangat menjadi modern dan rasional sehingga yang menonjol akhirnya kaum intelektual dengan pemikirannya ketimbang peranan ulama yang bertumpu pada tradisi. Pengamatan Rahman hampir secara tepat mengungkapkan fenomen ini ketika ia mengamati peranan kaum pembaharuan (modernis) dalam beberapa negara Islam:
Sebagian besar tokoh teras dalam
pemerintahan-pemerintahan Islam adalah modernis: meskipun banyak yang pada
dasarnya (jiwanya) sekuler. Namun setidaknya secara lahir mereka mengaku
sebagai modernis baik demi kepentingan politik belaka maupun karena berusaha
untuk menjaga perasaan khalayak (masyarakat). Tetapi di bidang ini pun para
modernis tidak mampu rnenyusun teori yang konsisten tentang negara
Islam, yang bisa disesuaikan dengan konsep-konsep demokrasi Barat mereka
dengan citra ideal Islam. Sebenarnya bukan Islam yang mereka pakai sebagai
titik tolak, melainkan konsep-konsep demokrasi itu.(100)
Jika pengamatan ini dapat dikenakan
kepada Masyumi, maka besar sekali jurang perbedaan antara Masyumi dengan NU!
Lagi pula, upaya menyingkirkan ulama dari panggung politik memang bersesuain
dengan watak kaum pembaharuan yang menekankan ijtihad ketimbang pendapat
tradisi dan pendapat ulama. Dengan meminjam kalimat Rahman: Sebenarnya, dengan
menampik 'kelas kyai' dalam Islam, para modernis bermaksud menurunkan para
ulama dari panggung. Kemudian mengganti otoritas ulama dengan kelompok lain
yakni mereka sendiri bersama para legislator awam sesamanya.(101) Ucapan
seorang tokoh Masyumi yang menjadi walikota Yogyakarta, Mohammad Saleh, dalam
Kongres Masyumi 1949, memperkuat kesan Rahman ini: "Ini adalah politik . .
. Politik ini saudara-saudara tidak bisa dibicarakan sambil memegang tasbih,
jangan dikira skop (scope)-nya politik ini hanya di sekeliling pondok
dan pesantren saja. Dia luas menyebar keseluruh dunia."(102) Ketika
tuntutan wakil NU agar Mohammad Saleh menarik kembali ucapannya ditolak,
"sekitar tiga puluh orang NU meniggalkan ruangan."(103) NU sangat
tersinggung akibat ucapan itu, karena untuk pertama kali wibawa dan peranan
ulama digugat dalam suatu forum justru setelah berada di alam kemerdekaan.
Penepatan Majelis Syuro — yang diharapkan menjadi pengakuan peraan ulama
sebagai penasehat partai, merupakan penyingkiran secara tidak langsung peranan
ulama dari politik.
Bergabungnya NU dalam Masyumi menjadi
pengalaman berharga bagi NU; ia mulai mengalami liku-liku politik, sesuai yang
relatif baru baginya. Bahkan, mempertegas perbedaan visi kaum pembaharuan
dengan visi ulama; bagi NU politik ingin dijadikan perluasan peranan ulama,
sedangkan bagi kaum pembaharuan untuk mewujudkan cita-cita Islam tetapi
mengabaikan pengemban utamanya ynitu ulama. Peranan ulama digantikan oleh
analis intelektual para eksekutif partai tanpa rujukan tradisi yang menjadi
anutan NU. Kalau begitu Masyumi akhirnya merupakan organisasi ideologi
(keislaman), sedangkan NU sejak semula adalah organisasi massa (dengan peranan
ulama dan pesantren sebagai basis) Siapa atau apakah yang menentukan? Politisi
atau ulama? Ideologi atau tradisi? Inilah pertanyaan dilematis yang dipecahkah
dengan perpecahan!
___________________________
- Lihat, Supra,
hlm. 36.
- C.S.T. Kansil, Sistem
Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1981, edisi baru), hlm.
29.
- Lihat, Endang
Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta dan Sejarah Konsensus Nasional antara
Nasionalis Islami dan Nasionalis "Sehuler" tentang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945-1959, semula tesis MA di McGill University
Montreal Kanada, 1976, (Jakarta: Rajawali Pers, 1986), hlm. 3-12.
- Lihat, Ahmad
Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante, semula tesis Ph.D pada University of Chicago
Amerika Serikat 1982, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 101-110. Untuk
selanjutnya disebut Maarif, Islam.
- Tanja, op.
cit., hlm. 35.
- Lihat, Pranarka,
op.cit., hlm. 26-28.
- Lihat, Ibid.,
hlm. 28-30.
- Lihat, Ibid.,
hlm. 31-33.
- Anshari, op.
cit., hlm. 29.
- Boland, op
cit., hlm. 27.; Biasanya dimengerti sebagai "jalan tengah"
antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam, Ibid., hlm. 29;
Menurut Pranarka sebenarnya ada tiga ideologi dalam Badan Penyelidik;
Ideologi kebangsaan (nasionalisme), Ideologi Islam dan Ideologi Barat
Modern Sekuler. Lihat, Pranarka, op. cit., hlm. 47-51,
281-282.
- Lihat, Ibid.,
hlm. 28-29.
- Anshari, op.cit.,
hlm. 47; Bandingkan, Maarif, Islam, hlm 102.
- Lihat, Ibid.,
hlm. 2 9-4 8.
- Tanja, Himpunan.,
hlm. 36, Bandingkan, Maarif, op.cit., hlm 108.
- Ibid., hlm. 37;
Bandingkan Noer, Partai Islam. hlm. 41.
- Boland, op.
cit., hlm. 3 9.
- Noer, Partai
Islam, hlm. 39-40.
- Ibid., hlm.
41.
- Ibid., hlm.
42.
- Lihat, Tanja, Himpunan
hlm. 37-38.
- Boland, op.cit.,
hlm. 41; Bandingkan, W.B Sidjabat, Religious Tolerance and the
Christian Faith, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1965), him.
74.
- Lihat, Noer, Partai
Islam, hlm. 41.
- Ibid., hlm.
4I-42.
- Bandingkan,
Tanja, Himpunan, hlm. 38-39.
- Boland, op.cit.,
hlm. 40-41.
- Lihat, Pranarka,
op. cit., hlm. 66; Segera setelah keluarnya Maklumat maka
berdirilah partai-partai politik. Secara khronologis dapat disebut: 1.
Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), dipimpin oleh Dr Sukiman,
berdiri 7 November 1945; 2. PKI (Partai Komunis Indonesa), dipimpin oleh
Mr. Moh. Jusuf, berdiri 7 November 1945; 3. PBI (Partai Buruh Indonesia),
dipimpin oleh Njono, berdiri 8 November 1945; 4. Partai Rakyat Jelata,
dipimpin oleh Sutan Dewanis, berdiri 8 November 1945; 5. Parkindo (Partai Kristen
Indonesia), dipimpin oleh Ds. Probowinoto, berdiri 10 November 1945; 6.
PSI (Partai Sosialis Indonesia), dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin,
berdiri 10 November 1945; 7. PRS (Partai Rakyat Sosialis), dipimpin oleh
Sutan Sjahrir, berdiri 20 November 1945; 8. PKRI (Partai Katolik Republik
Indonesia), dipimpm oleh I.J. Kasimo; 9. Permai (Persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia), dipimpm oleh J.B. Assa, berdiri, 17 Desember 1945; 10. PNI
(Partai Nasional Indonesia), dipimpin oleh Sidik Djojosukarto, sebagai gabungan
Partai Rakyat Indonesia (PRI), Gerakan Republik Indonesia (Gerindo) dan
Serikat Rakyat Indonesia, berdiri 29 Januari 1946. Lihat, Ibid.,
hlm. 66-67.
- Ibid., hlm.
- Lihat, Susunan
Pengurus Masyumi, dalam Noer, Partai Islam, hlm. 150-101.
- Lihat, Machfoedz,
op. cit., hlm. 80.
- Tentang Struktur
dan Keanggotaan dalam Masyumi, lihat, Noer, Partai Islam, hlm.
48-49.
- Ibid., hlm.
49.
- Data dari, M.
Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1983), hlm. 70-71.
- Lihat, Supra
hlm. 95; Bandingkan, hlm. 88.
- Lihat, Maarif, Islam,
hlm. 117-118.
- Ibid., hlm.
117.
- Ibid., hlm.
117-118.
- Ibid., hlm..
118.
- Ibid.
- Ibid.
- G.H. Jansen, Islam
Militan, terjemahan dari Militant Islam, (Bandung: Pustaka, 1980),
hlm. 205. Cetak tebal dari saya.
- Ibid, hlm. 205-206.
Cetak tebal dari saya.
- Noer, Partai
Islam, hlm. 62.
- Pada tahun 1949
Kongres Masyami mengubah Anggaran Dasar di mana kedudukan Majelis
Syuro diubah menjadi penasehat. Lihat, Ibid., hlm. 408.
- Yusuf, et al., op.cit.,
hlm. 41.
- Zuhri, Sejarah,
hlm. 613.
- Supra, hlm.
37-49.
- Bandingkan,
Noer, Partai Islam, hlm. 58-65.
- Lihat, Ibid.,
hlm. 76-77.
- Yusuf, et al., op.cit.,
hlm. 40-41.
- Ibid., hlm.
41.
- Ibid.
- Noer, Partai
Islam, hlm. 76.
- Dikutip di dalam
Maarif, Islam, hlm. 113. Cetak tebal dari saya.
- Boland, op.cit,
hlm. 45-46.
- Maarif, loc.
cit.
- Lihat, Noer, Partai
Islam, hlm. 458.
- Boland, op.
cit., hlm. 46.
- Menurut
keterangan lisan dari beberapa bekas pemimpin Masyumi, sebagai suatu
partai, Masyumi memperjuangkan suatu masyarakat Islam dan bukan untuk
negara Islam. Kelihatannya kutipan ini bertentangan dengan keterangan ini;
namun kita harus memperhitungkan bahwa kutipan tersebut tidak benar,
setidaknya sepanjang penggunaan huruf besar ('Negara Islam')". Ibid.,
hlm. 46-47, catatan kaki nomor 84.
- Noer, Partai
Islam, hlm.119.
- Ibid., hlm.
119-120.
- Ibid., hlm.
120.
- Ibid. hlrn.
99.
- Ibid.,
- Dikutip dalam,
Boland, op. cit. 47.
- Dikutip dalam, Ibid.
- Dikutip dalam, Ibid.
- Noer, Partai
Islam, hlm. 86. Terpilih pada waktu itu sebagai Menteri Agama Ki Haji
Fakih Usman dari Muhammadiyah. Menarik untuk dicatat komentar Mohammad
Roem seorang tokoh Masyumi terkenal tentang peristiwa itu, sebagaimana
direkam oleh Maarif: "Tiga puluh tahun kemudian, Mohamad Roem, salah
seorang tokoh Masyumi yang dalam rapat pimpinan Masyumi di tahun 1952 itu
memberikan suaranya kepada Fakih Usman, menilai kembali bahwa suara yang
diberikannya itu sebagai suatu kesalahan. 'Karena itulah', Roem menyimpulkan,
'NU meninggalkan Masyumi'. Pada waktu ini Roem tampaknya berpendapat bahwa
pertimbangan berdasarkan prinsip demokrasi semata-mata belumlah cukup
sebagai satu-satunya kriterium untuk memecahkan persoalan-persoalan
politik dalam tubuh umat Islam". Maarif, Islam, hlm.
121.
- Dikutip dalam,
Yusuf, et al., op.cit., hlm. 42.
- Lihat susunan
Pengurus Besar NU sejak 1952 den seterusnya, dalam Noer, Partai Islam,
hlm. 115-117.
- Dikutip dalam, Ibid.,
hlm. 87. Cetak tebal dari saya.
- Yusuf, et al., op.
cit., hlm. 42-43.
- Lihat,
Machfoedz, op. cit., hlm. 118.
- Lihat, Noer, Partai
Islam, hlm. 137-140.
- Boland, op.
cit., hlm. 54.
- Jansen, op.
cit., hlm. 207-208. Cetak tebal dari saya.
- Sebenarnya masih
ada dua lagi pendukung Liga tetapi pengaruhnya tidak sebesar ketiga
kelompok yang telah disebutkan. Yang pertama Dar al-da'wah wal-Irsyad yang
didirikan 1947 di Parepare (Sulawesi Selatan) yang merupakan gabungan
berbagai lembaga pendidikan agama. Yang kedua adalah Perserikatan Tionghoa
Islam Indonesia yang berpusat di Ujungpandang. Lihat, Noer, Partai
Islam, hlm. 94-95.
- Lihat, Ibid.,
hlm. 72-75.
- Lihat, Ibid.,
hlm. 72.
- Machfoedz, op.
cit., hlm. 99.
- Ibid.
- Noer, Partai
Islam, hlm. 95.
- Boland, op
cit. hlm. 50.
- Machfoedz, op.
cit., hlm. 101.
- Supra, hlm.
52.
- Maarif, Islam,
hlm. 120.
- Lihat, Noer, Partai
Is1am, hlm. 137-143.
- Ibid, hlm. 138.
Catatan kaki nomor 83 dan hlm. 141. Catatan kaki nomor 94.
- Ibid., hlm.
137.
- Ibid., hlm.
140.
- Ibid., hlm.
126.
- Ibid.
- Lihat, Ibid.,
hlm. 126-134.
- Ibid., hlm.
133.
- Ibid., hlm.
134.
- Boland, op
cit., hlm. 52.
- Diringkas dari
Noer, Partai Islam, hlm. 141-143.
- Boland, loc.
cit.
- Lihat, Noer, Partai
Islam, hlm. 458.
- Boland, loc.
cit.
- Fazlur Rahman, Islam
Modern: Tantangan Pembaharuan Islam, kumpulan terjemahan
artikel Rahman, (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1987), hlm. 99. Cetak
tebal dari saya.
- Ibid. hlm.
100.
- Amak Fadhali, et
al., Partai NU dengan Aqidah dan Perkembangannya, (Semarang: Toha
Putera, tanpa tahun, Pengantar 1969). hlm. 27, dikutip dari dalam Noer, Partai
Islam, hlm. 88.
- Ibid.
Ditulis
ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam
perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai
satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid —
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar