Kesimpulan
Sebagaimana telah dikatakan pada bagian
pendahuluan bahwa dasar negara telah menjadi pokok masalah sejak sebelum
kemerdekaan dan juga setelah kemerdekaan antara golongan nasionalis muslim dan
nasionalis sekuler (nasionalis netral agama).(1) Penerimaan NU atas Pancasila
merupakan puncak sikap fleksibel, adaptif dan positif NU dalam menanggapi
perkembangan politik. Apa yang menjadi pokok masalah telah diselesaikan oleh NU
dengan menerima Pancasila. Penerimaan NU atas Pancasila bukanlah akibat tekanan
eksternal dan bukan penerimaan yang terpaksa, tetapi penerimaan yang positif
karena Pancasila telah dinilai sah berlandaskan theologi Islam dan berlandaskan
dalil-dalil atau pendapat tradisional Islam. Di sinilah keunggulan golongan
tradisional, NU memiliki kekayaan rujukan untuk menanggapi sesuatu perkembangan
dan tidak mudah jatuh kepada sikap mutlak-mutlakan. Jadi sebenarnya yang paling
menarik mengenai isu Pancasila sebagai satu-satunya asas, bukanlah pada
penerimaan Pancasila itu sendiri melainkan pada argumen-argumen tradisional
yang diketengahkannya dalam menanggapi Pancasila sebagai asas dan berbagai
perkembangan lainnya. Yang diutamakan NU dalam menanggapi setiap perkembangan
bukanlah sikap ideologi Islam tetapi sikap keagamaan tradisional.
Modal utama bagi NU menanggapi berbagai
perkembangan adalah paham ahlusunnah wal jamaah.(2) Sebagaimana
dirumuskan dalam Bab II bahwa pengertian ahlusunnah wal jamaah bagi NU
adalah pengakuan terhadap tradisi Islam dalam konteks Indonesia yaitu bagaimana
Islam masuk ke Indonesia dalam tradisi mazhab dan sufisme.(3) Penerimaan atas
sufisme membuat NU menerima kehadiran tradisi lokal yang hidup dalam masyarakat
Indonesia sepanjang berguna untuk meningkatkan penghayatan agama. Dengan
demikian apa yang dilukiskan oleh Madjid sebagai sifat keindonesiaan(4)
dalam perkembangan Islam di Indonesia secara potensial sudah sejak semula
merupakan milik NU! Bahkan NU adalah pelopor mengembangkan keindonesiaan Islam
itu! Paham ahlusunnah wal jamaah dikembangkan untuk menemukan sikap-sikap
keagamaan yang tepat di dalam situasi tertentu; di sinilah pentingnya
penatsiran fiqh, namun bukan melulu penafsiran fiqh tetapi
penafsiran fiqh secara mistik (seperti yang dikembangkan oleh
al-Ghazali) di dalam hal NU membentuk sikap keagamaannya.(5) Itulah sebabnya NU
tidak memerlukan ideologi politik dan justru dengan pendekatan atau penafsiran fiqh
secara mistik membuat NU mampu merumuskan sikap yang positif dan integratif
di dalam perjuangan dan kehidupan bangsa. Dengan pendekatan mistik itu, NU
mampu melihat sesuatu perkembangan dengan lebih jeli — tidak sekedar menilai
dalam polarisasi islami dan tidak islami — tetapi menilai secara lebih
bervariasi sehingga dapat menjadikan sesuatu perkembangan sepanjang tidak
bertentangan dengan Islam sebagai jalan untuk mengembangkan kehidupan
keagamaan.
Dengan meletakkan kunci masalah pada
pengesahan oleh hukum fiqh, NU mampu melakukan penyesuaian dengan
tuntutan sebuah negara moderen, walaupun banyak aspek kenegaraan pandangan
serba fiqh itu juga sering merupakan "hambatan" bagi pemegang
pemerintahan untuk melaksanakan wewenangnya. Yang jelas pandangan seperti itu —
bagaimanapun juga — akan berbenturan dengan pandangan yang memperlakukan Islam
sebagai ideologi kemasyarakatan, apalagi ideologi politik. Upaya menampilkan
Islam sebagai "jalan hidup alternatif" yang membentuk sistem
kemasyarakatan baru di luar yang telah ada, jelas sulit diterima oleh para
ulama NU. . . .(6)
NU adalah organisasi keagamaan (jamiah
diniyah) dengan ulama sebagai motor penggeraknya. Peranannya sebagai organisasi
keagamaan telah dijalankan dengan menyatakan sikap-sikap keagamaan di dalam
perkembangan kehidupan bangsa, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan.
Ciri-ciri penampilannya adalah sikap yang fleksibel, adaptif dan positif.
Bagi orang yang kurang memahami NU dengan mudah akan mencapnya sebagai opportunistik.
Sebagai organisasi keagamaan NU tidak mempunyai target-target politis tertentu
untuk diperjuangkan; yang diutamakannya adalah penghayatan dan pengembangan
agama. Karena itu ia tidak tampil secara agresif melainkan tampil secara
responsif; sebagaimana peranan ulama di dalam kehidupan umat memberi
bimbingan keagamaan demikian pula NU sebagai organisasi keagamaan (jamiah
diniyah) melalui sikap-sikap keagamaan yang telah dinampakkannya dalam berbagai
perkembangan, NU memberi bimbingan keagamaan. Walaupun NU telah menjadi partai
politik pada tahun 1952, NU tetap mempertahankan ciri-ciri organisasi keagamaan
dalam menanggapi perkembangan politik, tetapi ciri-ciri itu makin kabur setelah
NU bergabung di dalam PPP. Setelah bergabung di dalam PPP, NU larut ke dalam
sikap ideologis dan tidak lagi mengembangkan sikap keagamaan; kalau pun masih
terdengar argumen keagamaan, namun hal itu cenderung diambil sebagai legitimasi
sikap ideologis. Kekaburan ciri-ciri keagamaan itu terjadi serentak dengan
makin mundurnya peranan ulama dalam kiprah organisasi! Oleh karena itu
keputusan NU untuk kembali menjadi organisasi keagamaan, kembali kepada Khittah
(Semangat) 1926 adalah langkah yang sangat tepat, sebab hanya dengan
demikianlah NU dapat kembali menjalankan peranannya sebagai organisasi ulama
yang hakikatnya membimbing kehidupan umat. Baik di dalam Masyumi maupun di
dalam PPP, NU tidak dapat menjalankan peranan keulamaannya secara utuh. Dengan
kembalinya menjadi organisasi keagamaan NU dapat mencurahkan segala
kemampuannya membina umat menghadapi modernisasi dalam masa pembangunan kini.
Dengan kembali menjadi organisasi
keagamaan, NU memasuki babak baru; aspirasi Islam tidak lagi diperjuangkan
melalui wadah politik formal, tetapi melalui proses transformasi kultural
sebagai bagian inherent dari bangsa Indonesia secara keseluruhan.(7)
"Tujuan NU," demikian Abdurrahman Wahid, "adalah transformasi
sosial secara lebih paripurna dan lebih mendasar . . ."(8) Sambil
mengamati bahwa sejak awal NU mengembangkan diri dengan kearifan terhadap
sistem budaya Indonesia, maka memperjuangkan aspirasi Islam secara kultural
merupakan upaya kembali kepada ciri-ciri khas NU.(9) Pergumulan NU khususnya
dan umat Islam di Indonesia pada umumnya terhadap Pancasila sebagai isu
nasional, merupakan pergumulan khas umat Islam di Indonesia yang tidak dapat
diukur atau dinilai berdasarkan perkembangan yang dialami umat Islam di
negara-negara lain. Sebab cara-cara umat Islam memecahkan masalah yang
dihadapinya berbeda dari satu negara ke negara lainnya.(10) Menerima Pancasila
adalah bagian dari tanggung jawab umat Islam Indonesia, khususnya NU terhadap
perkembangan kehidupan bangsa.
Sebuah perjalanan panjang dan berliku
telah ditempuh oleh NU dengan mulus; terbuktilah bahwa semua organisasi
keagamaan tradisional semacam NU mampu mengatasi tantangannya asalkan ia
bersedia menyimak nuansa-nuansa tradisinya. Bagaimana perjalanan NU selanjutnya
setelah menerima Pancasila sebagai asas dan kembali menjadi organisasi
keagamaan (jamiyah diniyah) sejarahlah yang akan mencatatnya.
_____________________
- Supra, hlm. 1;
Bandingkan, hlm. 99-105.
- Supra, hlm.
61-74.
- Supra, hlm. 73.
- Supra, hlm.
236.
- Lihat, Supra,
hlm. 201, 204, dan 205.
- Wahid, "NU
dan Islam di Indonesia Dewasa Ini", hlm. 35.
- Ibid., "NU dan
Politik", Kompas, 24 Juni 1987.
- Ibid.
- Lihat, Supra,
hlm. 8; Bandingkan, hlm. 73-74.
- John L.
Esposito, ed. Islam dan Perubahan Sosial-Politik di Negara Sedang
Berkembang, terjemahan dari Islam and Development: Religion and
Sosiopolitical Change, (Jakarta: Pusat Latihan, Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat — PLP2PL, 1985), hlm. 28.
Ditulis ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila:
sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka
penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata
pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar