Bab V
Nahdlatul Ulama Menerima Asas Pancasila
(Lanjutan)
D. Program dan Pengembangan
Dengan diterimanya Pancasila dan NU
kembali menjadi organisasi keagamaan, maka mulailah era baru dalam kiprah umat
Islam umumnya dan NU khususnya. Segala potensi NU kini diarahkan kepada
pengembangan organisasi dalam wawasan keagamaan di dalam suasana modernisasi
sesuai dengan derap pembangunan yang terus-menerus digalakkan oleh pemerintah.
NU menyadari selama ia menjadi organisasi politik pengembangan kehidupan
keagamaan dalam arti yang seluas-luasnya telah diabaikan. Untuk itu Muktamar
1984 menyusun program yang dipusatkan pada upaya memacu perkembangan masyarakat
yang meliputi bidang-bidang:
1. Syuriah
2. Pendidikan (Ma'arif)
3. Da'wah dan Penerbitan
4. Sosial (Mabarrat)
5. Perekonomian
6. Pertanian dan Nelayan
7. Tenaga Kerja
8. Kebudayaan
9. Kewanitaan
10. Kepemudaan
11. Kaderisasi
12. Organisasi dan
13. Pembentukan Kepribadian.(125)
2. Pendidikan (Ma'arif)
3. Da'wah dan Penerbitan
4. Sosial (Mabarrat)
5. Perekonomian
6. Pertanian dan Nelayan
7. Tenaga Kerja
8. Kebudayaan
9. Kewanitaan
10. Kepemudaan
11. Kaderisasi
12. Organisasi dan
13. Pembentukan Kepribadian.(125)
Segera terpampang dalam program NU ini
tekanan pada peranan syuriah karena dalam lembaga inilah para ulama dapat
sepenuhnya mengendalikan gerak langkah NU untuk "mencegah dan menolak
segala penyimpangan yang pernah, sedang dan mungkin terjadi..."(126) Dalam
program itu pula ditegaskan watak kultural yang hendak dimantapkan melalui
bidang pendidikan yaitu dengan "pengenalan warisan kultur keagamaan di
kalangan Ahlusunnah wal jamaah . . . dengan menanamkan rasa cinta akan jasa
Wali Songo."(127) NU ingin menegaskan watak dan penghayatan keagamaan yang
erat dengan keberadaan dan keterikatannya dengan Indonesia. Bahwa Islam
yang dihayati dan dikembangkan oleh NU berciri khas Indonesia! Nurcholish
Madjid menegaskan bahwa Islam di Indonesia harus dipahami dalam ciri khasnya
sebagai pengaruh budaya Indonesia;
"Banyakuya kompromi antara
ajaran-ajaran Islam dan unsur-unsur budaya lokal itu membuat Islam di
Indonesia, lebih daripada Islam di tempat-tempat lain, sering dianggap sebagai
"pinggiran" . . . maka Islam di Indonesia sering dipandang
"tidak" atau sekurang-kurangnya "belum" bersifat Islam
secara sebenarnya, . . . Kebanyakan kajian tentang Indonesia oleh para ahli
Barat . . . cenderung menganggap tidak begitu penting unsur keislaman dalam
budaya Indonesia. Hal ini tentu saja menyesatkan..." (128)
Ia bermaksud mengajak kita melihat
perkembangan Islam di Indonesia terutama akibat pengaruh sufisme telah
menyebabkan terjadinya saling mempengaruhi antara kebudayaan dan Islam; dan ini
penting diperhatikan bagi pengembangan Islam di masa depan di
Indonesia.(129)
Program pengembangan NU dijalankan
berlandaskan empat asas, yaitu asas kepeloporan, asas kesinambungan, asas
penyesuaian dengan tuntutan zaman, dan asas kemandirian.(l30)
1. Asas Kepeloporan
Dengan ini ditekankan bahwa program
pengembangan selalu dijalankan dengan mengingat keteladanan yang telah
dinyatakan oleh NU sejak terbentuk agar NU di masa depan "kembali menjadi
pergerakan yang mampu jadi panutan."
2. Asas Kesinambungan
Dengan asas ini NU hendak menyatakan
kesinambungannya dengan sejarah berdirinya NU sebagai organisasi keagamaan.
Prinsip NU adalah selalu mempertahankan hal-hal yang baik dari yang lama sambil
memilih hal-hal baru yang lebih baik untuk menyatakan rasa memiliki terhadap
bangsa dan negara.
3. Asas Penyesuaian dengan Tuntutan
Zaman
NU bukanlah organisasi yang kaku dan
tidak dapat berubah. Dengan asas ini NU mengembangkan diri sambil menafsirkan
kembali kegiatannya sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan sekarang dan untuk
masa depan.
4. Asas Kemandirian
Dengan asas ini NU selalu berusaha
mendewasakan diri dalam usaha-usaha nyata. Sebagai organisasi yang mengakar ke
bawah (umat) asas ini harus dipertahankan dan dikembangkan.
Penerimaan NU atas Pancasila
benar-benar suatu penerimaan yang penuh kesadaran; di samping Pancasila dinilai
sah secara theologis Islam dan bahwa kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan
adalah sesuai dengan hakikatnya, NU memperkuat komitmennya terhadap bangsa dan
negara karena dengan demikianlah ia sekaligus menegaskan kehadirannya sebagai
bagian dari bangsa yang sedang membangun.
"Muktamar rnenyadari bahwa
Nahdlatul Ulama tengah berada pada titik-titik perjalanan yang menentukan,
tidak hanya pada dirinya saja, melainkan juga bagi bangsa dan negara.
Pembangunan nasional telah menginjak tahap yang memiliki jangkauan sangat jauh
ke masa depan bangsa, karena dalam masa beberapa tahun inilah diletakkan dengan
kokoh sendi-sendi yang memungkinkan terciptanya landasan bagi tahap lepas
landas pembangunan itu sendiri ... "
"Bahwa perkembangan masyarakat,
baik dalam lingkup bangsa maupun dalam lingkup lebih kecil, tengah mengalami
perpindahan dari pola tradisional menuju kepada pola kehidupan moderen ...
Muktamar dengan penuh keprihatinan telah melakukan tilikan mendalam atas
masalah pergeseran nilai dan sikap ini, terutama dengan menggunakan kaidah fiqh
yang telah berusia ratusan tahun, yaitu al-akhdzu bil jadidil aslah wal
muhafadzatu 'alal qadimis salih (mengambil yang baru yang lebih berguna;
dan tetap berpegang pada nilai lama yang masih relevan)."(13l)
Penetapan asas Pancasila dan
perkembangan yang sedang ditempah bangsa dan negara, telah ditanggapi dengan
serius. Kembali menjadi organisasi keagamaan membuat NU makin jeli melihat
tantangan-tantangan bagi bangsa secara umum dan bagi NU secara khusus. Langsung
atau tidak langsung tantangan yang dihadapi bangsa adalah tantangan yang juga dihadapi
NU karena itu tidak ada jalan lain kecuali menghadapinya secara bersama-sama
pula!
Dengan berbekal paham ahlusunnah wal
jama'ah dan sejarahnya sebagai organisasi keagamaan serta keterlibatannya dalam
kehidupan bangsa, menjadikan NU mampu dengan cepat dan terbuka menanggapi
tantangan yang ada di hadapannya.
NU tidak perlu menciptakan theologia
baru agar dapat menerima suatu perkembangan; dengan menafsirkan ulang tradisi
yang dianutnya, tradisi panjang dan berliku, NU telah berhasil menyusun sistematika
penerimaannya atas Pancasila.
Kembalinya NU menjadi organisasi
keagamaan bukan saja sesuai dengan perkembangan politik bangsa tetapi juga
sejalan dengan upaya yang harus dilakukan oleh NU, membina kehidupan keagamaan
umat Islam. Dengan kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan maka ulama dapat
mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk pengembangan umat, dan serentak dengan
itu ia mengupayakan pengembangan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembangunan
bangsa untuk memenuhi panggilan amar ma'ruf nahi munkar. Melalui program yang
dipersiapkan secara matang dan mencakup bidang yang luas, NU benar-benar
mengalihkan orientasi, dari politik kepada keagamaan, dari status politis
kepada pembinaan umat, dan dari prestise politis kepada prestasi keagamaan dalam
masyarakat. Hal itu dapat terjadi karena penerimaan NU atas Pancacila bukan
melulu keputusan politis, melainkan juga penilaian keagamaan. Karena Pancasila
sudah dinilai sah penerimaannya secara keagamaan, maka NU dapat mengembangkan
dirinya dalam kepekaan terhadap perubahan dan dalam komitmen terhadap bangsa
dan negara yang sedang membangun.
Dengan sikap tengah dan lurus, toleran
dan seimbang, yang dijabarkan dari doktrinnya yang tradisional (ahlusunnah
wal jamaah) dan pemahamannya atas sejarah bangsa, maka harapan NU agar
kembali menjadi panutan perkembangan umat rasanya bukanlah harapan yang
berlebih-lebihan.
_____________________
125. Lihat, Muktamar Situbondo, hlm. 117-133
126. Ibid., hlm 117.
127. Ibid., hlm. 119.
128. Madjid, op. cit., hlm. 67-68.
129. Ibid., hlm. 72-74.
130. Muktamar Situbondo, hlm. 112-114.
131. Ibid., hlm. 134-135.
125. Lihat, Muktamar Situbondo, hlm. 117-133
126. Ibid., hlm 117.
127. Ibid., hlm. 119.
128. Madjid, op. cit., hlm. 67-68.
129. Ibid., hlm. 72-74.
130. Muktamar Situbondo, hlm. 112-114.
131. Ibid., hlm. 134-135.
Ditulis ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila:
sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka
penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata
pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar