Bab V
Nahdlatul Ulama Menerima Asas Pancasila
(Lanjutan)
C. Nahdlatul Ulama Kembali Menjadi
Organisasi Keagamaan
Penerimaan atas Pancasila berkait erat
dengan semangat NU untuk kembali menjadi organ sasi keagamaan (Jamiah
diniyah). Sebab bila ia sudah mengakui negara dan Pancasila sah menurut
Islam maka peranan sebagai partai politik menjadi tidak relevan lagi. Apalagi
NU sudah menyadari selama menjadi partai politik ia telah banyak menghabiskan
tenaga untuk prestasi politis sedangkan usaha-usaha keagamaan terbengkalai.
Kalau segala aspirasi politis sekarang harus berlandaskan Pancasila maka jalan
yang terbaik bagi kehidupan dan pengembangan agama adalah dengan benar-benar
menjadi organisasi keagamaan! Itulah yang ditegaskan dengan semboyan Kembali
Kepada Khittah (Semangat) 1926 saat NU berdiri sebagai organisasi
keagamaan.
1. Makna Khittah 1926
Dalam keputusan Munas 1983 tentang
"Pemulihan Khittah Nahdlatul Ulama 1926", ada empat hal sebagai
konsiderans. Pertama, sebagai organisasi keagamaan NU telah mengalami hambatan
karena kurangnya ikhtiar kreatif yang sesuai dengan kebutuhan masa; Kedua,
karena keterlibatan NU di dalam kegiatan politik praktis secara berlebihan, NU
menjadi kurang peka menanggapi perkembangan sehingga NU tidak lagi berjalan sesuai
dengan hakikatnya sebagai organisasi keagamaan; Ketiga, sudah menjadi tekad NU
untuk senantiasa terikat dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara;
Keempat, ulama sebagai unsur utama NU menyadari keprihatinan terhadap
perkembangan NU dan merasa perlu menegaskan pedoman dan petunjuk bagi
perkembangan organisasi.(99)
Selama menjadi partai politik NU telah
mengalami kekaburan identitas; NU sebenarnya adalah organisasi keagamaan tetapi
dengan menjadi partai politik maka ia lebih terpaku pada prestasi dan prestise
politis ketimbang menanggapi perkembangan di sekitarnya secara keagamaan.
Kembali menjadi organisasi keagamaan adalah jalan terbaik bagi NU untuk
membenahi kelemahannya selama menjadi partai politik dan untuk menegaskan
kembali peranan ulama.
Khittah 1926 adalah ciri-ciri khas NU
sebagai organisasi keagamaan yang dipimpin oleh ulama; melalui peranan ulama,
NU berusaha menghimpun umat Islam untuk "melakukan kegiatan-kegiatannya
yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan
ketinggian harkat dan martabat manusia''.(l00) Ciri-ciri khas atau wataknya
sebagai organisasi keagamaan itu telah kabur di saat ia menjadi partai
politik.
Maka Khittah 1926 itu dirumuskan oleh
Munas 1983 di Situbondo,
- Khittah NU 1926
adalah landasan berfikir, bersikap dan bertingkah-laku warga Nahdlatul
Ulama dalam semua tindak dan kegiatan (organisasi) serta dalam setiap
pengambilan keputusan.
- Landasan
tersebut dapat diambil dengan mengambil intisari dari cita-cita dasar
didirikannya NU yakni sebagai wadah pengkhikmatan yang semata-mata
dilandasi niat beribadah kepada Allah ...
...
Khittah NU dengan demikian dalam artinya yang nyata merupakan pencerminan dari apa yang dapat dilihat pada niat dan dorongan berdirinya, rumusan ikhtiar yang pernah dilakukan di saat berdirinya serta pada intisari sejarah perjalanan hidupnya dalam pengabdian.
Pemulihan Khittah NU 1926 dengan demikian tidak lain kembali kepada semangat yang dilandasi oleh kekuatan yang mendorong didirikannya jami'ah ini pada tahun 1926 dan tujuan yang hendak dicapainya dengan menyadari sepenuhnya terhadap setiap perubahan yang terjadi pada lingkungan masyarakat di mana NU melakukan khidmatnya.(101)
NU lahir sebagai organisasi keagamaan untuk menegakkan
kehidupan keagamaan yang berlandaskan paham ahlusunnah wal jamaah, dan
hal itu merupakan juga bukti kepekaannya terhadap perkembangan; ketika kaum
pembaharuan melancarkan serangannya terhadap kehidupan keagamaan yang
tradisional, NU berdiri sebagai pembela dan membenahi kehidupan keagamaan
berdasarkan paham ahlusunnah wal jamaah. Dengan menyatakan diri sebagai
pengemban tradisi (ahlusunnah wal jamaah), NU juga pembela kehidupan
keagamaan sebagaimana yang telah dihayati oleh umat Islam di Indonesia, yaitu
Islam yang telah menyerap berbagai tradisi keagamaan yang telah ada sebelumnya
(ingat penerimaan Sufisme). Pengertian khittah dipertegas lagi oleh muktamar
bahwa landasan khittah adalah,
faham ahlusunnah wal jamaah yang
diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar
amal keagamaan maupun kemasyarakatan. Khittah Nahdlatul Ulama juga digali dari
intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa.(l02)
Konsekuensi dari Khittah 1926 NU
melepaskan ikatannya dengan organissi politik. Dengan perkataan lain NU
melepaskan hubungannya dengan PPP. "Nahdlatul Ulama sebagai jam'iyah
secara organisatoris tidak terikat lagi dengan organisasi politik dan
organisasi kemasyarakatan mana pun juga."(l03) Untuk memperkuat hal itu
Munas 1983 mengeluarkan "Rekomendasi Larangan Perangkapan Jabatan Pengurus
Nahdlatul Ulama dengan Jabatan Pengurus Organisasi Politik."(l04) Salah
satu dasar pertimbangan adalah perangkapan jabatan di samping berakibat
"terbaginya perhatian dan kesungguhan" tetapi juga "dapat
menghambat usaha penampilan citra dan pelaksanaan kembalinya Nahdlatul Ulama
sebagai jam'iyah diniyah Islamiyah."(105) Sudah tentu larangan ini yang
dengan tegas dilaksanakan oleh NU, karena melihat duduknya tokoh NU di dalam PPP
telah berakibat dilalaikannya perkembangan NU, bahkan kemelut di dalam PPP
secara langsung atau tidak telah menimbulkan pertikaian di antara pimpinan NU
sendiri. Pelarangan itu merupakan penjabaran praktis dari Khittah 1926!
Tampaknya NU ingin mencegah peranan ulama dijadikan legitimasi
semboyan-semboyan politis sesuatu organisasi politik yang akan mengakibatkan
kebingungan umat.
Untuk menjamin aktivitas NU sesuai
dengan Khittah 1926 maka Muktamar mempertegas peranan ulama secara
organisatoris, karena sebagaimana telah diuraikan di atas (Bab IV) dilihat dari
sisi fungsionalnya kemelut dalam tubuh NU berkisar makin kaburnya peranan ulama
yang merupakan pusat organisasi. Munas 1983 menggariskan wewenang Syuriah
sebagai berikut:
- Syuriah sebagai
lembaga formal NU yang mencerminkan kepemimpinan ulama, ulama harus
dipertegas wewenangnya sebagai pengendali, pemimpin, dan pengelola NU.
- Bahwa pengurus
NU di semua tingkat adalah pengurus syuriah.
- Pengurus syuriah
dipilih oleh musyawarah syuriah.
- Pengurus pelaksana
(Tanfidziyah) dipilih oleh musyawarah tanfidziyah dengan terlebih dahulu
dimintakan persetujuan pengurus syuriah terhadap calon yang diajukan.
- Setiap waktu
pengurus tanfidziyah dapat diberhentikan oleh syuriah bila dinilai telah
melanggar ketentuan organisasi maupun agama.
- Pengurus
tanfidziyah yang dikenai tindakan tersebut dapat diberi kesempatan membela
diri pada permusyawaratan berikutnya.
- Syuriah berhak
membekukan kepengurusan bila dinilai melanggar ketentuan hukam agama (syar'i)
maupun organisasi.(106)
Muktamar menampung aspirasi ini dengan merumuskan di dalam
Anggaran Rumah Tangga (ART) di mana salah satu dari ketentuan berbunyi:
Pengurus Tanfidziyah sebagai pelaksana
tugas sehari-hari mempunyai kewajiban memimpin jalannya organisasi sesuai dengan
kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh pengurus Syuriah.(107)
Menarik pula untuk dicatat bahwa NU
menghapus istilah ketua umum dan menggantinya dengan sebutan "ketua"
saja. NU tidak ingin terjadi penafsiran terhadap AD/ART yang mengaburkan peranan
ulama. Dengan membenahi organisasi bertumpu pada peranan Syuriah NU ingin
mewujudkan Khittah 1926 secara konsepsional dan operasional.
2. Sikap Kemasyarakatan Nahdlatul
Ulama
Berangkat dari Khittah I926, NU
merumuskan sikap kemasyarakatan yang dihayatinya sejak terbentuk dan yang
hendak dikembangkan sesuai dengan situasi baru kini yang dihadapinya.
a. Sikap tawasuth dan i'tidal (sikap
tengah dan lurus)
Sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrem).(108)
Istilah tawasuth terdapat di dalam Sura
Al-Baqarah (Sura 2) ayat 143.(109) Dalam ayat ini umat Islam disebut sebagai
umat pertengahan (ummatan wasathan);
Dan demikian pula kami telah menjadikan
kamu umat yang pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan)mu. Dan kami tidak menjadikan kiblat yang engkau menghadap kepadanya
(bait maqdis), melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan
siapa yang berbalik..(110)
Menurut Yusuf Ali—yang menerjemahkan ummatan wasathan sebagai "ummat justly balanced"—menyatakan bahwa hal itu sesuai dengan hakikat Islam yang selalu menghindari segala yang berlebihan!(11 l)
Sikap pertengahan dipadu dengan sikap
lurus atau adil (i'tidal).(112) Sikap lurus atau adil dapat kita baca di
dalam Sura 5:8 : ".. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan."(113) Dengan sikap tengah dan adil, NU mengakui bahwa
umat Islam secara keseluruhan adalah bagian dari masyarakat Indonesia yang
majemuk secara keagamaan, karena itulah ia ingin menjalankan peranannya sebagai
panutan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya. Dengan sikap tengah
dan adil NU berusaha memelihara atau menjaga diri (taqwa), yaitu menjalankan
perintah Allah ditengah-tengah kehidupan bersama. Karena negara dan bangsa
sudah diakui sah keberadaannya, maka tugas NU sekarang adalah mengarahkan
kehidupan masyarakat agar selalu berada dalam wawasan keagamaan.
b. Sikap Tasamuh (Toleran)
Sikap toleran terhadap perbedaan
pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu'
atau menjadi masalah khilafiyah; serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.(114)
Sikap yang demikian telah dibuktikan
oleh NU; sebelum NU berdiri para ulama telah bergabung dengan kelompok
pembaharuan dalam Kongres Umat Islam Indonesia.(115) Dan berulangkali NU dapat
bergabung dengan kalangan Islam lain sepanjang semua kekuatan memusatkan
perhatian kepada tujuan yang sama.
Dengan sikap tasamuh (toleran)
NU dapat menerima dan bekerjasama dengan kalangan Islam lain kendatipun
terdapat perbedaan dalam masalah keagamaan. Dengan kata lain sikap tasamuh
adalah sikap "lapang dada, yaitu tidak terburu-buru menerima atau menolak
saran atau pendapat orang lain."(116) Lawan dari sikap tasamuh adalah
sikap ta'asub yang berarti sikap "mempertahankan pendirian atau
keyakinan dengan keras/teguh, tidak dengan dipikirkan secara matang, bahkan
tidak bersedia menerima pendapat orang lain."(117) Sikap yang demikian
"dicela dalam Islam karena hanya akan mendatangkan kerugian atas dirinya,
orang lain dan tidak menghargai cara-cara musyawarah yang dianjurkan
Islam.(118)
Sejak semula para ulama tidak tertarik
membahas masalah yang dipertikaikan oleh umat Islam (khilafiyah) seperti
yang dilancarkan oleh kaum pembaharuan. Yang penting bagi para ulama (NU)
adalah penghayatan agama ketimbang membahas kebenaran agama itu sendiri. Bagi
mereka sepanjang suatu kebiasaan berguna untuk menopang penghayatan, ia dapat
diterima dan dikembangkan menjadi tradisi.
Secara tidak langsung sikap ini
membenarkan pengamatan von Grunebaum tentang watak Islam, bahwa sejak awal
Islam berkembang di dalam kemampuannya berintegrasi dengan kebudayaan yang
ditemuinya;
Kemantapan Islam ..., yaitu mengadakan
keseimbangan antara tuntutan tradisi universal dan lokal telah menetralkan
akibat-akibat merusak yang timbul...(119)
Dalam sikap tasamuh ini
diutamakan kelestarian masyarakat Islam dan masyarakat secara umum. Diakui
adanya perbedaan sikap dan penghayatan dalam agama maupun dalam hidup
kemasyarakatan yang tak mungkin dihapuskan begitu saja, karena itulah perlu
sikap toleran. Dengan demikian NU mempunyai potensi yang lebih besar
mengembangkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat yang majemuk seperti di
Indonesia.
c. Sikap Tawazun (Seimbang)
Sikap seimbang dalam berkhidmah.
Menyerasikan khidmah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, khidmah kepada sesama
manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu,
masa kini dan masa mendatang.(l20)
Sikap ini menekankan keseimbangan
pengabdian manusia terhadap Allah dan sesama manusia. Menurut Anam rujukan
sikap tawazun ini adalah Sura 57:25 (Al-Hadiid)(121): "... dan telah Kami
turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan .." (bandingkan Sura 42:17) "Apakah
keseimbangan (neraca) dalam ayat ini menyatakan pemberian Tuhan kepada manusia
agar mampu menimbang mana yang baik dan mana yang jahat."(122) Jika
demikian sikap tawazun adalah sikap yang senantiasa berusaha mencari cara atau
jalan yang tepat mewujudkan pengabdian terhadap Allah di dalam masyarakat yang
sesuai dengan tuntutan zaman; yaitu bagaimana "menyelaraskan kepentingan
masa lalu, masa kini dan masa mendatang". Dengan kata lain tradisi yang
dihayati NU adalah senantiasa menjadi modal utama menentukan sikap yang tepat
dalam masa kini dan mendatang!
d. Amar ma'ruf nahi munkar
Selalu memiliki kepekaan untuk
mendorong perbuatan yang baik, berguna dan berrnanfaat bagi kehidupan bersama;
serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan
nilai-nilai kehidupan.(123)
Ungkapan amar ma'ruf nahi munkar sangat
terkenal di kalangan umat Islam yang merupakan ungkapan singkat dari ayat
Qur'an yang sering dikutip: "al-amru bi'l-ma'ruf wa'l nahyu
'ani'l-munkar" yang biasanya diartikan "memerintahkan kepada yang
baik, dan melarang apa yang buruk" (lihat Sura 3:104, 110,114; Sura 7:157;
Sura 71:112 dan Sura 22:41).(124)
Apa yang baik bagi "kehidupan
bersama" atau yang bertujuan meningkatkan "nilai-nilai
kehidupan", bagi NU adalah tugas keagamaan yang dijalankan dalam sikap
tengah dan adil, sikap toleran, dan sikap seimbang.
________________________
99. Muktamar Situbondo, hlm. 32-33.
100. Ibid., hlm. 100.
101. Ibid., hlm. 38-39.
102. Ibid., hlm. 100.
103. Ibid., hlm. 107.
104. Lihat, Ibid., hlm. 55-56.
105. Lihat, Ibid., hlm.55.
106. Ibid., hlm. 40-41.
107. Lihat ART Pasal 21 butir 4. Ibid., hlm. 187.
108. Ibid., hlm. 102.
109. Supra, hlm. 69 catatan nomor 56.
110. Terjemahan Al Qur'an Secara Lafzhiyah, 10 jilid, (Jakarta: Yayasan Pembinaan Masyarakat Islam Al Hikmah Jakarta, 1980) jilid I, hlm. 158.
111. Yusuf Ali, Op. cit, hlm. 57.
112. I'tidal berasal dari kata adl yang artinya lurus, adil atau sama. I'tidal juga merupakan istilah fiqh untuk sikap berdiri setelah sujud (ruku') dalam Shalat. Lihat, Kamus Istilah Agama, hlm. 138.
113. Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta: Departemen Agama, 1978/ 1979), hlm. 159; Bandingkan, Supra, hlm. 68-69.
114. Muktamar Situbondo, hlm. 102.
115. Supra, hlm. 52.
116. Kamus Istilah Agama, hlm. 365.
117. Ibid.
118. lbid., hlm. 345.
119. von Grunebaum, "Islam Kesatuan dalarn Keragaman", dalam, id., op. cit., hlm. 29.
120. Muktamar Situbondo, hlm. 102.
121 Supra, hlm. 69.
122. Bandingkan komentar Yusuf Ali tentang ayat ini, Yusuf Ali, op. cit., hlm. 1505; bandingkan, hlm. 1310 catatan nomor 4550.
123. Muktamar Situbondo, hlm. 102.
124. Boland, op. cit., hlm. 202; Bandingkan, Tanja, Himpunan, hlm. 113.
Ditulis ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila:
sejarah dan peranan NU dalam perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka
penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata
pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar