Bab IV
Nahdlatul Ulama Menjadi Partai Politik
(Lanjutan)
C. Nahdlatul Ulama dan Partai Persatuan
Pembangunan
Kedudukan NU dalam PPP hampir sama dengan kedudukannya dalam
Masyumi; ia diserahi kursi kehormatan, jabatan Rois Am PPP dipegang oleh
K.H. Bishri Sansuri, yang juga Rois Am NU. Struktur PPP diusahakan agar
dapat menampung struktur semua partai pendukung (NU, Parmusi, PSII, dan Perti).
Demikian juga personalianya dibuat sedemikian rupa agar mencerminkan garnbaran
kekuatan partai pendukung dalam Pemilu 1971, dengan urutan NU, Parmusi, PSII
dan Perti.(137)
Tentang struktur itu Umaidi Radi menjelaskan, NU sebagai partai
yang terbesar memperoleh kedudukan penting seperti Ketua Rais Am, Presiden
Partai, Ketua MPP (Majelis Pertimbangan Partai) dan Sekretaris Jenderal dan
sejumlah jabatan lainnya. Parmusi sebagai partai kedua terbesar, mendapat
jabatan penting sebagai Ketua Umum, merangkap Wakil Presiden, dan sejumlah
jabatan lainnva. PSII memperoleh jabatan-jabatan sebagai Wakil Ketua Umum MPP,
Perti memperoleh jabatan-jabatan Wakil Presiden, Wakil Ketua MPP, Ketua dan
beberapa jabatan lainnya.(138)
Sekilas saja kita lihat struktur ini sangat rumit sehingga
tepatlah pendapat Radi bahwa struktur yang sangat rumit ini merupakan salah
satu penyebab kerapuhan PPP.(139)
Dalam deklarasi pembentukannya dinyatakan kesepakatan semua
organisasi pendukung untuk "memfusikan politiknya" dalam PPP.(140)
Sedangkan kegiatan non-politik tetap dijalankan oleh masing-masing organisasi,
Segala kegiatan yang bukan politik, tetap dikerjakan dan
dilaksanakan oleh organisasi masing-masing sebagaimana sedia kala, bahkan lebih
ditingkatkan sesuai dengan partisipasi kita dalam pembangunan
spritual/material.(141)
Pada tahap awal — saat suasana di kalangan pimpinan PPP
penuh semangat persaudaraan (ukhuwah) — NU mampu memainkan peranannya
secara optimal sebagai pengendali PPP melalui lembaga Majelis Syuro, sebagai
penasehat untuk urusan keagamaan.(142) Dalam hal ini besar sekali jasa K.H.
Bishri Sansuri "seorang ulama yang memiliki kharisma menonjol".(143)
Jabatan yang ia miliki selaku Rois Am Majelis Syuro
PPP, bertugas memberi nasihat-nasihat dan pertimbangan dalam segala hal
terutama di bidang agama kepada partai telah ia manfaatkan secara efektif.
Dengan kewenangannya memberikan pertimbangan, terutama
pertimbangan-pertimbangan berdasar pertimbangan keagamaan, yang mempunyai
kekuatan mengikat bagi segenap jajaran partai, lembaga Majelis Syuro yang ia
pimpin ia tampilkan sedemikian optimal untuk menjaga PPP sebagai suatau
persekutuan yang solid.(144)
Kekompakan PPP langsung mendapat ujian di lembaga DPR.
Ketika pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan 1973.
K.H. Bishri Sansuri langsung menolak RUU itu.(145) RUU ini memang mendapat
reaksi yang keras dari berbagai kalangan Islam.(146) Hanya berkat pendekatan
yang sangat intensif akhirnya baru dapat disahkan menjadi undang-undang,
"setelah mengalami perubahan atas seluruh pasal-pasal yang bertentangan
dengan hukum perkawinan Islam."(147) Apakah NU mulai mengambil sikap keras
terhadap upaya pembaharuan dari pemerintah? Tercatat bahwa NU dalam PPP pernah walk
out, meninggalkan Sidang MPR ketika sidang akan mengesahkan Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (sering disingkat P4) dan masuknya
aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa (secara singkat sering
disebut sebagai Kepercayaan) ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN).(148) Kalangan PPP khususaya NU khawatir "kalau menjadi syirik
(menyerikatkan Tuhan). Sikap ini dipelopori K.H. Bishri Syansuri."(149)
Yang ingin ditegaskan oleh pemerintah dengan adanya P4
adalah agar kelangsungan kehidupan negara berdasarkan Pancasila dapat terjamin
dan agar Pancasila yang telah terbukti keampuhannya (maksudnya negara Indonesia
yang berlandaskan Pancasila senantiasa dapat mengatasi rongrongan terhadap
dirinya) dapat dihayati dan diamalkan oleh seluruh rakyat dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.(150) Sedangkan Kepercayaan sebagaimana dikatakan
oleh Presiden Suharto beberapa bulan setelah ditetapkan oleh MPR, adalah
"merupakan warisan dan kekayaan rohaniyah rakyat" haruslah dicegah
dalam perkembangannya menjadi agama baru tetapi "harus diarahkan pada
pembinaan budi luhur bangsa kita".(151) Agaknya maksud pemerintah agar
Kepercayaan sebagai bagian kehidupan budaya seyogianya akan menopang — bersama
dengan P4 — upaya menciptakan stabilitas politik sehingga program pembangunan
dapat berjalan sesuai dengan rencana. Dengan ditetapkannya P4 maka pemerintah
berhasil meningkatkan pembaharuan dalam lapangan sosial politik. Dan tak dapat
disangkal keberhasilan ini menjadi andil keberhasilan pemerintah menggoalkan
Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua organisasi sosial dan politik
pada Sidang MPR tahun 1983 (yang akan dibahas lebih lanjut dalam Bab V).
Apakah NU dapat dikatakan telah mengambil sikap keras?
Apakah NU telah meninggalkan sikapnya yang fleksibel yang telah berulang kali
dinyatakan dalam masa Orde Lama? Fachry Ali berpendapat bahwa NU pada masa Orde
Baru telah mengambil sikap keras, "telah berubah menjadi kelompok yang
berani menentang arus, rigid dan tidak goyah dalam pendirian."(152)
Sehingga dia menyatakan bahwa NU telah menggambil sikap seperti Masyumi (di
tahun 1950-an) dan Parmusi atau MI (yang akomodationis, dikatakannya (walaupun
dengan sedikit ragu-ragu) telah bersikap seperti NU pada masa Orde Lama.(153)
Saya meragukan pendapat Fachry Ali ini. Memang saya akui bahwa sekilas sikap NU
keras tetapi bukan berarti ia telah meninggalkan sikapnya yang fleksibel yang
sesuai dengan wataknya yang tradisional.(154) Ia tidak berubah karena situasi
berubah karena yang demikian itu adalah oportunistis. Bagi NU ukuran adalah
keagamaan; sepanjang sesuatu perkembangan tidak mengancam keberadaan agama dan
tradisi yang dianutnya (ingat kesetiaannya terhadap mazhab), NU selalu
fleksibel.(155) Karena itu sikap NU tidak dapat disamakan dengan sikap Masyumi
dulu!
"Perkawinan", kata Sidi Gazalba tentang nilainya
dalam Islam, "membuka kehidupan kebudayaan, karena itu setelah ibadat ia
merupakan soal pertama dihadapi oleh ajaran Islam. Perkawinan adalah tindakan
kebudayaan yang diatur oleh Quran dan Hadis."(156) Oleh sebab itu dapat
dimengerti bila kalangan Islam melancarkan kritiknya terhadap RUU Perkawinan.
Kalau P4 dan Kepercayaan dikhawatirkan akan menjadi syirik,
haruslah dimengerti yang dikhawatirkan keduanya akan menjadi saingan bagi agama
(Islam). Lawan dari syirik adalah tauhid.(157)
Bagaimana mengamalkan agama secara bulat bila ada yang lain — menurut keputusan negara — harus diamalkan pula (ingat istilah Pengamalan dalam P4)? Bagaimana tentang Kepercayaan? Harian Abadi pada bulan Maret 1973 ketika pembicaraan tentang Kepercayaan sudah mulai hangat, mengungkapkan keluhan Islam,
[. . .] Islam disederajatkan dan disenafaskan dengan ratusan
kepercayaan yang tersisa di Indonesia. Dari hari Proklamasi 1945 sampai Sidang
MPR Maret 1973 Islam tidak pernah disamakan dengan ratusan kepercayaan
yang simpang siur. Kepercayaan-kepercayaan itu bukan agama, tetapi
dikelompokkan ke dalam spiritisme yang dijalinkan kepada ikatan-ikatan batin
atau rohaniah dalam bentuk kepercayaan, takhayul [ . . . ] Berciri
keberhalaan-keberhalaan, animisme dan kedewa-dewaan.(158)
Ada juga yang melihat reaksi kalangan Islam terhadap
Kepercayaan sebagai wujud polarisasi antara santri (yang diwakili oleh partai politik
yang berlandaskan keagamaan) dengan abangan (yang diwakili oleh para
pendukung/penghayat kepercayaan).(159) Jika benar maka makin dapat
dimaklumi reaksi keras dari kalangan Islam. Sementara pendapat mengatakan sikap
keras NU karena watak K.H. Bishri Sansuri yang dinilai lebih keras dibandingkan
K.H. Abdul Wahab Hasbullah,
K.H. Abd. Wahab Hasbullah senantiasa mengukur kondisi
masyarakat. Bisakah masyarakat menanggung konsekuensinya?. . .
. . . .
Adapun pokok pangkal K.H.M. Bishri Sansuri didasarkan pada faktor mental manusia. Pada umumnya manusia itu hendak menghindar dari hukum . . . Maka lebih baik diterapkan hukum yang lebih berat . . . (160)
Adapun pokok pangkal K.H.M. Bishri Sansuri didasarkan pada faktor mental manusia. Pada umumnya manusia itu hendak menghindar dari hukum . . . Maka lebih baik diterapkan hukum yang lebih berat . . . (160)
Konon sikapnya yang keras itulah yang membuat PPP relatif
tetap utuh pada masa ia menjabat Rois Am; kalaupun terjadi pertikaian
tetapi tidak berkepanjangan.(161) Walaupun ia tidak ahli dalam soal politik
praktis berkat sikapnya yang kukuh dalam soal prinsip (keagamaan) menyebabkan
ia menjadi tokoh yang berwibawa dan mampu mengendalikan para pimpinan PPP.(162)
Tetapi setelah K.H. Bishri Sansuri meninggal tahun 1980,
maka berakhir pula kekompakan dan berganti dengan pertikaian.
Segera ternyata sepeninggal Bishri Sansuri NU tidak mampu
mengimbangi permainan politik para politisi PPP, khususnya dari unsur Parmusi.
Hanya beberapa bulan setelah Bishri Sansuri meninggal, NU dalam Sidang DPR
tidak berhasil meminta kembali jatahnya sebagai Ketua salah satu Komisi,
jabatan yang konon sementara dipegang oleh Sudardji (Parmusi).(163)
Penolakan Sudardji mengembalikan jabatan yang dipegangnya
menyebabkan pertikaian intern PPP menjadi pertikaian terbuka di forum DPR
dengan kerugian di pihak NU — "NU kehilangan satu kursi pimpinan sementara
MI bertambah satu kursi".(164) Sementara pertikaian antara NU dan Parmusi
makin keras, J. Naro, ketua umum PPP, menyerahkan daftar calon anggota DPR dari
PPP kepada Panitia Pemilihan Umum. Dalam daftar calon yang disusun oleh Naro
ini (lebih dikenal dengan sebutan Daftar Naro) tokoh-tokoh utama NU (seperti
Rachmat Muljomiseno, Saifuddin Zuhri, K.H. Masjkur dan lain-lain) berada di
urutan bawah, berarti tipis kemungkinan menjadi anggota DPR.(165)
Ulama kalah lincah dengan politisi, bukan karena ulama
tersaing dari peranan politik dan tidak mempunyai visi politis, melainkan
karena kalah lincah dalam menjalankan politik praktis. Dengan berfusinya NU ke
dalam PPP maka hilanglah ciri khasnya sebagai wadah ulama. Karena merupakan
salah satu unsur saja, berarti NU setaraf dengan partai-partai politik Islam
lainnya, pada hal sebagai wadah ulama NU diharapkan akan menjadi sarana bagi
menjalankan tugasnya sebagai pimpinan umat. Kerugian NU dalam PPP bukan hanya
sekedar kerugian politis (Daftar Naro), tetapi juga kerugian dalam soal prestisenya
di mata sesama unsur dalam PPP. Para politisi bukanlah umat yang mudah
manggut kepada ucapan ulama. Para politisi bukan saja enggan manggut kepada
kehendak NU, mereka bahkan lebih pandai mencari argumen untuk menjalankan
langkah praktis. Dengan berani Sudardji (Parmusi) meminta jatah lebih banyak
bagi kelompoknya berdasarkan hasil Pemilu 1955 — seolah mereka adalah penerus
Masyumi — di mana Masyumi keluar sebagai pemenang kedua dan NU ketiga.(166)
Bahkan permintaan Sudardji diikuti motif "akan membersihkan PPP dari
unsur-unsur Orde Lama dan mereka yang walk out pada saat pengesahan RUU
Pemilu tahun 1980. Tentu yang ia maksud, NU."(167)
Pertikaian dalam tubuh PPP merembes ke dalam kalangan NU
sendiri. Sebenarnya, dalam kasus pemecatan Subchan, kita melihat makin kuatnya
peranan politisi dalam tubuh NU. Di sini bibit pertikaian dalam NU sudah mulai
tertanam. Oleh karena itu ketika NU dirugikan oleh MI dalam konflik dengan MI
dalam PPP, polarisasi muncul dalam tubuh NU. Maksoem Machfoedz menguraikan
terdapat tiga kelompok yang berebut pengaruh:
- Kelompok yang
menghendaki politik praktis. Kelompok ini adalah kelompok Dr. Idham Chalid
yang ketua umum.
- Kelompok yang
menghendaki N.U. kembali kepada N.U. '26. Dalam kelompok ini tertampung
para kiyai yang dalam menyebarkan ajaran N.U. tidak membutuhkan jabatan
formal dalam N.U. Mereka itu antara lain K.H. Abd. Hamid Pasuruan, K.H.
Ahmad Siddiq Jember, K.H. Ali Maksum Krapyak — Yogyakarta.
- Kelompok yang
menghendaki N.U. kembali pada tahun 1926 tetapi juga tidak meninggalkan
politik. Dalam kelompok ini terdapat narna H.M. Yusuf Hasyim, Ketua I PB.
N.U. [Pengurus Besar NU].(168)
Secara lebih tegas dapat dikatakan terjadi konflik antara
ulama dan politisi.(169) Machfoedz menolak menggolongkan konflik itu sebagai
konflik antara Majelis Syuriah (Dewan Tertinggi Partai yang diketuai
oleh Rois Am) dengan Tanfidziyah (Eksekutif Partai atau Pengurus
Besar yang dipimpin oleh ketua umum), karena ulama dan politisi terdapat di
dalam kedua lembaga.(170) Di dalam NU sebenarnya Majelis Syuriah-lah
yang menjadi penentu kiprah partai. Bukan berarti Tanfidziyah otomatis
untuk non-ulama persoalan adalah bahwa para ulama di dalam Tanfidziyah lama-kelamaan
lebih menampilkan sosok politisi.
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa peranan ulama
telah makin terdesak oleh peranan politisi. Sesungguhnya hal itu konseknensi
dari keputusan NU menjadi partai politik. Untuk memenuhi peran partai politik
segera setelah menjadi partai, NU menarik (rekrut) tenaga-tenaga trampil. Maka
masuklah tenaga-tenaga muda di awal NU sebagai partai, seperti Jamaluddin Malik
(seorang pedagang dan tokoh perfilman) dan Idham Chalid (asal Kalimantan
Selatan dan alumni pesantren Gontor, Ponorogo).(171) Hampir tiga puluh tahun
Idham Chalid menjabat Ketua Umum NU (1956-1984). Ia mampu menduduki posisi itu
karena ketaatannya kepada ulama tak dapat diragukan, tetapi dalam perjalanan
waktu "otonominya makin mekar."(172) Apakah itu karena suasana dalam
Orde Baru sudah lebih "longgar" ketimbang dalam Orde Lama, sehingga politisi
(Idham Chalid) menilai peranan ulama tidak begitu penting lagi? "Otonomi
menunjukkan gejala memudarnya kultural panutan dan kepercayaan," demikian
Fachry Ali.(173) Dengan kata lain, peranan ulama makin lemah serentak dengan
makin kuatnya peranan politisi atau Majelis Syuriah makin terdesak oleh Tanfidziyah.
Melihat perkembangan yang demikian ulama tidak berdiam diri.
Langkah pertama setelah Bishri Sansuri, Rois Am, meninggal adalah
mencari penggantinya. Dalam Musyawarah Nasional (disingkat Munas) NU pada
tanggal 2 September 1981 di Kaliurang Yogyakarta, terpilih K.H Ali Maksum
menjadi Rois Am.(174) Konon kabarnya pihak politisi (diwakili Idham
Chalid) lebih cenderung membiarkan jabatan Rois Am itu lowong dengan
alasan rnempertahankan status quo supaya NU tidak jatuh ke dalam
perpecahan.(175) Bagi ulama justru jabatan Rois Am sangat hakiki
artinya, sebab bukan saja melalui jabatan itu mereka menjalankan peranan
keulamaannya, melainkan juga melalui jabatan itu ia dapat mengendalikan Tanfidziyah
(Pengurus Besar) dan seluruh gerak partai. Di saat suasana menjelang Pemilu
1982 makin hangat PB Syuriah mengadakan rapat pleno tanggal 29 Januari 1982 (di
saat itu Idham Chalid anggota ex-officio tidak hadir).(176) Dalam rapat
itu ditegaskan bahwa kemelut dalam NU dan NU dengan PPP harus diselesaikan
secara tuntas. NU juga akan mempertimbangkan kedudukannya dalam PPP,
Nahdlatul Ulama akan mempertimbangkan kedudukannya dalam
lingkungan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada saat yang tepat, apabila
asas musyawarah, solidaritas intern dan prinsip-prinsip organisasi yang lainnya
tidak dapat ditegakkan di dalamnya.(177)
Bergabung dalam PPP merupakan pengalaman pahit bagi NU.
Boleh dikatakan NU tidak serasi dalam PPP. Sebagai partai politik sudah tentu
para politisi harus menguasai "seni berpolitik", harus praktis dan
lincah. Itulah yang dilakukan oleh para politisi NU (Tanfidziyah). Sudah
tentu ini akan menimbulkan konflik dengan ulama (Syuriah). Syuriah ingin
mengamankan identitas keagamaan NU (dengan referensi tradisi) sedangkan Tanfidziyah
ingin mengamankan pengaruh politik (dengan referensi situasi).
Perkembangan NU selanjutnya ditentukan oleh perkembangan
ekstern, yaitu lahirnya keputusan MPR agar semua kekuatan sosial politik
berasaskan Pancasila, yang dituang dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang
GBHN.(178)
_____________________
137. Umaidi Radi, Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi tentang Kekuatan Politik Islam Tingkat Nasional, (Jakarta: Integrita Pers, 1984), hlm. 94. Resensi buku ini dibuat oleh Kusnadi, "Wajah PPP: Dari Krisis ke Krisis", dalam Optimis, nomor 54, 31 Januari 1985, hlm. 26-30.
138. Ibid, hlm. 96.
139. Ibid., hlm. 184-185.
140. Ibid., hlm. 82.
141. Ibid., hlm. 83.
142. Lihat, Yusuf, et al., op. cit., hlm. 65.
143. Ibid., hlm. 64.
144. Ibid., hlm. 64-65.
145. Ibid., hlm. 65.
146. Lihat, Radi, op.cit., hlm. 122-126.
147. Ibid., hlm. 116.
148. Lihat, Ibid., hlm. 148-149.
149. Ibid., hlm. 150.
150. Lihat, Ensiklopedi Politik, jilid 1, hlm. 265 di bawah "Ekaprasetia Pancakarsa. "
151. Lihat, Ibid., jilid 2, hlm. 242-243 di bawah "Aliran Kebatinan."
152. Fachry Ali, Islam. Pancasila dan Pergulatan Politik, kumpulan artikel. (Jakarta: Pustaka Antara, 1984), hlm. 52.
153. Ibid., hlm. 52-53.
154. Supra, hlm. 61.
155. Supra, hlm. 64.
156. Sidi Gazalba, Masyarakat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 188.
157. Supra, hlm. 66.
158. Harian Abadi, 29-3-1973, dikutip di dalam Ensiklopedi Politik, jilid 2 hlm. 240. Cetak tebal dari saya.
159. Lihat, Ibid., hlm. 235; Radi, op.cit., hlm. 146-151;Bandmgkan Geertz, Abangan, hlm. 478-479.
160. Masyhuri, Al-Maghfurlah, hlm. 61-62.
161. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 66.
162. Ibid.
163. Ibid., hlm. 69.
164. Ibid., hlm. 70.
165. Lihat, Ibid., hlm. 71.
166. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 70. Identifikasi dengan Masyumi ditolak sinis oleh Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang terkenal itu: "Bahwa hal itu akan membuat pertanyaan orang. Kalau hukum nyaris mau dibawa, coba perlihatkan akte kelahirannya dulu, supaya silsilah terang!" Majalah Kiblat No. 12 TH XXIX Nopember 1/1981, dikutip oleh Saifuddin Zuhri, "NU Sekedar Mempertahankan Asas Musyawarah", dalam, PPP, NU dan Ml: Gejolak Wadah Politik Islam, kumpulan artikel polemis K.H. Saifuddin Zuhri, Drs. H. Ridwan Saidi, H. Mahbub Djunaidi dan Fachry Ali, diterbitkan oleh Integrita Press, (Jakarta: Integrita Press, 1984), hlm. 13.
167. Yusuf, et al., loc.cit.
168. Machfoedz, op.cit., hlm. 269. Cetak tebal dari saya
169. Bandingkan, Irsyam, op.cit., hlm. 122-123.
170. Machfoedz, loc.cit.
171. Ibid., hlm. 160-161.
172. Ali, op.cit., hlm. 59.
173. Ibid.
174. Lihat, Anam,op.cit., hlm. 282.
175. Ibid., hlm. 281.
176. Ibid., hlm. 286.
177. Dikutip dalam, Ibid., hlm. 287.
178. Lihat, Supra, hlm. 1; Infra, hlm. 197-199.
137. Umaidi Radi, Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi tentang Kekuatan Politik Islam Tingkat Nasional, (Jakarta: Integrita Pers, 1984), hlm. 94. Resensi buku ini dibuat oleh Kusnadi, "Wajah PPP: Dari Krisis ke Krisis", dalam Optimis, nomor 54, 31 Januari 1985, hlm. 26-30.
138. Ibid, hlm. 96.
139. Ibid., hlm. 184-185.
140. Ibid., hlm. 82.
141. Ibid., hlm. 83.
142. Lihat, Yusuf, et al., op. cit., hlm. 65.
143. Ibid., hlm. 64.
144. Ibid., hlm. 64-65.
145. Ibid., hlm. 65.
146. Lihat, Radi, op.cit., hlm. 122-126.
147. Ibid., hlm. 116.
148. Lihat, Ibid., hlm. 148-149.
149. Ibid., hlm. 150.
150. Lihat, Ensiklopedi Politik, jilid 1, hlm. 265 di bawah "Ekaprasetia Pancakarsa. "
151. Lihat, Ibid., jilid 2, hlm. 242-243 di bawah "Aliran Kebatinan."
152. Fachry Ali, Islam. Pancasila dan Pergulatan Politik, kumpulan artikel. (Jakarta: Pustaka Antara, 1984), hlm. 52.
153. Ibid., hlm. 52-53.
154. Supra, hlm. 61.
155. Supra, hlm. 64.
156. Sidi Gazalba, Masyarakat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 188.
157. Supra, hlm. 66.
158. Harian Abadi, 29-3-1973, dikutip di dalam Ensiklopedi Politik, jilid 2 hlm. 240. Cetak tebal dari saya.
159. Lihat, Ibid., hlm. 235; Radi, op.cit., hlm. 146-151;Bandmgkan Geertz, Abangan, hlm. 478-479.
160. Masyhuri, Al-Maghfurlah, hlm. 61-62.
161. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 66.
162. Ibid.
163. Ibid., hlm. 69.
164. Ibid., hlm. 70.
165. Lihat, Ibid., hlm. 71.
166. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 70. Identifikasi dengan Masyumi ditolak sinis oleh Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang terkenal itu: "Bahwa hal itu akan membuat pertanyaan orang. Kalau hukum nyaris mau dibawa, coba perlihatkan akte kelahirannya dulu, supaya silsilah terang!" Majalah Kiblat No. 12 TH XXIX Nopember 1/1981, dikutip oleh Saifuddin Zuhri, "NU Sekedar Mempertahankan Asas Musyawarah", dalam, PPP, NU dan Ml: Gejolak Wadah Politik Islam, kumpulan artikel polemis K.H. Saifuddin Zuhri, Drs. H. Ridwan Saidi, H. Mahbub Djunaidi dan Fachry Ali, diterbitkan oleh Integrita Press, (Jakarta: Integrita Press, 1984), hlm. 13.
167. Yusuf, et al., loc.cit.
168. Machfoedz, op.cit., hlm. 269. Cetak tebal dari saya
169. Bandingkan, Irsyam, op.cit., hlm. 122-123.
170. Machfoedz, loc.cit.
171. Ibid., hlm. 160-161.
172. Ali, op.cit., hlm. 59.
173. Ibid.
174. Lihat, Anam,op.cit., hlm. 282.
175. Ibid., hlm. 281.
176. Ibid., hlm. 286.
177. Dikutip dalam, Ibid., hlm. 287.
178. Lihat, Supra, hlm. 1; Infra, hlm. 197-199.
Ditulis ulang dari
Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam perjuangan
Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya
asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid — Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar