Bab IV
Nahdlatul Ulama Menjadi Partai
Politik
A. Nahdlatul Ulama dan Pemilihan
Umum
Segera setelah keluar dari Masyumi, NU
menghadapi tantangan berat, yaitu mempersiapkan diri memasuki pemilihan umum
(untuk selanjutnya disingkat Pemilu) pertama 1955. Dalam Muktamar 1953 di
Medan, NU menyatakan kesiapannya dengan mengeluarkan keputusan: "Wajib
hukumnya bagi umat Islam untuk mengambil bagian dalam Pemilu baik untuk DPR
maupun Konstituante."(1)
Dalam Pemilu 1955 dihasilkan
"empat besar" partai yang unggul, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan Partai
Komunis Indonesia (untuk selanjutnya disingkat PKI). PNI memperoleh 22,3 persen
(57 kursi), Masyumi 20,9 persen (57 kursi), NU 18,4 persen (45 kursi) dan PKI
16,4 persen (37 kursi).(2) Apabila dibandingkan dengan keadaan sebelumnya dalam
Dewan Perwakilan Rakyat Sementara maka NU mendapat hasil yang mengagumkan,
yaitu 8 kursi menjadi 45, sedangkan PNI dan Masyumi meningkat sedikit (PNI naik
dari 42 menjadi 57 dan Masyumi dari 44 menjadi 57).(3) Dalam hasil Pemilu
justru saingan NU adalah PKI yang mencatat kemenangan dari 17 menjadi 39 kursi.
Menurut Nasikun, kemenangan yang dicapai oleh NU dan PKI adalah karena keduanya
mempunyai basis kuat di pedesaan.(4) Dari Pemilu 1955 itu terungkap hasil yang
mencolok adalah yang dicapai oleh NU!
Mengapa NU mampu mengimbangi Masyumi
(hanya terpaut 2,5 persen) padahal NU hanya memiliki waktu kurang lebih 3 tahun
saja setelah keluar dari Masyumi? Menurut Mahrus Irsyam kemenangan NU itu
karena "adanya perubahan strategi dalam kampanye."(5) Sambil mengutip
Herbert Feith, ia menyatakan,
Pada mulanya NU mengambil tema sentimen
agama yang paralel dengan tema kampanye Masyumi. Sehingga kampanye-kampanye
dari kedua partai ini sering kali mempunyai nada yang sama, seperti "siapa
memilih mereka (NU atau Masyumi) kelak akan masuk sorga sedangkan siapa yang
tidak memilih mereka (NU atau Masyumi) akan masuk neraka.(6)
Kampanye demikian sudah tentu
mempertajam pertentangan kedua partai Islarn di satu pihak, dan pada pihak
lain mendapat tantangan keras dari PNI dan partai lainnya yang non-Islam.
Situasi yang demikian menyebabkan NU mengubah strategi kampanye, yaitu
dengan mengambil "jalan tengah " yang membuka kerja sama dengan
PNI.(7)
Perubahan strategi itu lebih menekankan
kepada perhitungan-perhitungan realistis yang lebih menguntungkan NU. Tema
kampanye NU menarik garis batas yang jelas antara Masyumi dan PKI di satu pihak
dengan NU di pihak lain yang sejajar atau sama dengan PNI. Garis batas antara
NU dengan Masyumi adalah opini politik yang tumbuh pada waktu itu berupa
keterlibatan Masyumi dengan gerakan DI/TII gerakan pemberontakan Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo dengan basis
Jawa Barat, sedangkan batas dengan PKI terletak pada fakta bahwa PKI pernah
melakukan pemberontakan Madiun 1948!(8)
Oleh karena itu NU harus mengambil
"jalan tengah", seperti diungkapkan oleh Feith, "memilih Masyumi
berarti mendatangkan ancaman, memilih PKI pun akan mendatangkan bahaya; oleh
karena itu pilihan yang tepat adalah PNI (atau NU )."(9)
Hasil Pemilu 1955 ini menggoncangkan
kedudukan Masyumi di kabinet yang pada saat itu dipegang oleh Burhanuddin
Harahap dari Masyumi.(10) Dengan usainya Pemilu kabinet merasa tugasnya telah
selesai. Untuk selanjutnya bila Masyumi diserahi membentuk kabinet maka NU
harus diperhitungkan dan justru di sinilah kesulitan, seperti diungkap oleh
Daniel Dhakidae,
Hasil pemilihan umum ini sendiri
sebenarnya merupakan pukulan bagi Kabinet Burhanuddin dari Masyumi yang
tidak melihat kemungkinan untuk bergabung dengan NU untuk membentuk
kabinet, karena kemungkinan jauh lebih besar bagi NU untuk bergabung
dengan PNI untuk membentuk kabinet berikutnya. Dengan kata lain kabinet
pelaksana pemilihan umum pun tinggal menghitung hari untuk mengembalikan
mandatnya.(11)
Apa yang dikatakan oleh Dhakidae saya
rasa dapat dibenarkan bukan saja karena pertentangan antara NU dan Masyumi
masih segar, tetapi juga karena pendekatan NU terhadap PNI dalam kampanye
Pemilu. Memang akhirnya dengan susah payah — oleh karena polarisasi yang
terjadi dan sikap campur tangan Soekarno — kabinet yang terbentuk adalah paduan
tiga kekuatan politik, yaitu Ali-Roem-Idham (Ali Sastroamijoyo dari PNI,
Mohammad Roem dari Masyumi, dan Idham Chalid dari NU).(12) Sebenarnya Sukarno
ini dengan gigih pula ditentang oleh NU dan Masyumi.(14)
Pemilu 1955 memang telah menghasilkan
"empat besar" kekuatan politik yang pada dasarnya mewakili tiga corak
ideologi, yaitu Nasionalisme, Islam dan Barat modern (komunis).(15) Sukarno
telah mengamati hal ini dalam tulisannya di tahun 1920-an; itulah sebabnya ia
bersikeras agar PKI juga diikutsertakan dalam kabinet.(16) Hasil Pemilu ini
tidak memunculkan kekuatan yang dominan. Bila dihimpun kekuatan kalangan Islam
(Masyumi, NU, PSII, dan lain-lain) hanya memperoleh 45,2%, Nasionalisme 27,6%,
dan PKI 15,2%.(17) Di satu pihak Pemilu ini hampir mengecewakan semna pihak
terutama PNI dan Masyumi; PNI yang yakin akan mendapat dukungan dengan landasan
nasionalisme justru merosot perolehannya dan kalangan Islam terutama Masyumi
dengan asumsi penduduk Indonesia mayoritas Islam (90% atau 95%) memperoleh jauh
di luar harapan. Tetapi pada pihak lain Pemilu pertama ini merupakan indikator
yang paling absah memaparkan realitas masyarakat betapa ragamnya cita-cita
politik yang bertarung untuk menang namun tidak ada satu pun yang menang secara
meyakinkan. Sehingga tak heran bila perdebatan tentang dasar negara dalam
Konstituante berlangsung keras dan tersendat-sendat yang akhirnya diselesaikan
oleh Presiden Sukarno dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.(18) Dekrit 5 Juli
1959 memutuskan:
- Pembubaran
Konstituante.
- Kembali pada
Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar
Sementara 1950.
- Pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung
Sementara.(19)
Bila diamati lebih lanjut jumlah suara yang diperoleh PNI,
NU dan PKI sebagian besar dari Jawa (NU 84,7%, PNI 72,9%, PKI 89,9% dan Masyumi
hanya 51,6%)(20) Berdasarkan hasil Pemilu 1955, Feith mengamati terdapat lima
alam pemikiran yang bertarung: komunisme, nasionalisme radikal, sosialisme
demokratis, Islam, dan tradisionalisme Jawa.(21) Kelima alam
pemikiran itu memancar dari dua arus, yaitu arus pengaruh Barat dan tradisi
Hindu-Jawa, Islam); PNI, NU, dan PKI sama-sama disentuh — terlepas dari
besarnya pengaruh — oleh tradisionalisme Jawa, tetapi pengaruh alam pemikiran
Barat sangat kuat pada PKI dan Masyumi sedangkan PNI paling banyak menerima
berbagai pengaruh.(22) Tentang Masyumi dan NU ia mengatakan: "Pengaruh
non-Islam, terutama pada Masyumi adalah berupa sosialisme demokratis sedangkan
ikatan non-Islam dari NU adalah dengan nasionalise radikal, terutama
tradisionalisme Jawa."(23)
Pengamatan Feith sangat menolong kita
menggambarkan perjalanan partai politik sesudah Pemilu pertama. Dalam waktu
kurang lebih sepuluh tahun dua saingan NU yang dipengaruhi dengan kuat oleh
alam pemikiran Barat tersingkir dari panggung politik. Masyumi dibubarkan pada
tahun 1960 karena keterlibatan beberapa tokohnya dengan pemberontakan PRRI
(Pemerintahan Revolusioner Rakyat Indonesia).(24) PKI yang dinilai oleh Feith
"lebih drastis dibandingkan dengan partai besar lain mana pun, dalam
memutuskan ikatan dengan masa lampau," melakukan kudeta pada tahun 1965
tetapi gagal dan mengalami kehancuran.(25) Dan golongan nasionalis (PNI) yang
"dipengaruhi oleh lebih dari satu aliran," mengalami pukulan berat,
banyak orang PNI terlibat atau dicurigai menyokong kudeta PKI yang gagal itu.(26)
Dalam Pemilu kedua 1971 NU muncul
sebagai pemenang kedua dengan perolehan 18,75% (58 kursi). Yang menang secara
mutlak adalah Golkar (Golongan Karya) dengan 62,8% (227
kursi).(27)
Satu-satunya partai yang berhasil
bertahan adalah NU yang mendapatkan 18,7 persen, sedikit lebih tinggi dari
suara yang diperolehnya dalam Pemilu 1955 (18,4 persen). PNI mengalami
kekalahan berat dan kurang berhasil memperoleh suara (6,9 persen), yang berarti
kurang dari sepertiga dari tahun 1955 (22,3 persen).(28)
Golkar muncul sebagai kekuatan baru
dalam bidang politik. Semula ia bernama Sekretariat Bersama Golongan Karya (disingkat
Sekber Golkar) ketika ia lahir pada tanggal 20 Oktober 1964, dan pada
masa Orde Baru (sejak 1965) mendapat dukungan dari pemerintah dan ABRI
(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).(29) Wadah baru ini merupakan gabungan
dari hampir 300 buah organisasi fungsional non-politis — yang berorientasi
karya dan kekaryaan, yang dulunya tidak berorientasi kepada politik dengan tiga
organisasi sebagai tulang punggungnya, yaitu SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan
Seluruh Indonesia), MKGR (Musyawarah Keluarga Gotong Royong), dan KOSGORO
(Koperasi Serbaguna Gotong Royong).(30) Pembentukan Sekber Golkar adalah
didorong oleh usaha membendung pengaruh PKI di mana saat itu keadaan politik
makin goyah.(31)
Enam faktor dapat disebut sebagai sebab
kemenangan 1971, yang tetap penting dan aktual dalam pemilu-pemilu berikutnya:
1. Golkar diidentifikasikan dengan pemerintah; 2. Kelemahan-kelemahan parpol
(partai politik) di masa lalu; 3. Penonjolan hal-hal nyata dalam kampanye
Golkar; 4. Tidak memperjuangkan ide-ide abstrak seperti hak-hak azasi atau
demokrasi; 5. Adanya organisasi yang efektif. 6. Peranan kaum cendikiawan serta
kesatuan aksi.(32)
Kemenangan Golkar merupakan tonggak
baru dalam perjalanan politik di Indonesia yang mempunyai implikasi jauh bagi
bangsa dan negara lndonesia. Pertama sekali, yang patut dicatat dengan
kemenangan Golkar secara mutlak maka untuk pertama kali sebuah kekuatan politik
dapat mendominasi Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR) dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR). Hal ini sangat perlu karena pembangunan
berencana yang dicanangkan sejak tahun 1969 (secara bertahap dikenal sebagai
Pelita — singkatan Pembangunan Lima Tahun) memerlukan stabilitas politik.
Sesuatu yang tidak pernah dicapai di masa demokrasi parlementer, kabinet dengan
mudah jatuh atau bubar bila sebuah partai menarik dukungannya.(33) Kedua,
kemenangan Golkar — yang tidak mau disebut sebagai partai tetapi kedudukannya
sama dengan partai — mengungkapkan runtuhnya pamor partai di masyarakat.
Seolah-olah dunia partai adalah sebagian dari sejarah Orde Lama yang dinilai
telah menyeleweng dari Undang-Undang Dasar 1945 (untuk selanjutnya disingkat
UUD 45). Ketiga, walaupun NU menempati posisi kedua (dengan hasil sedikit lebih
tinggi dari Pemilu 1955), namun demikian di ukur dari jarak waktu antara kedua
Pemilu dan tanpa Masyumi dan PKI menjadi saingannya, hasil yang diperoleh NU
merupakan hasil yang merosot! Mungkin saja orang dapat menilai bahwa kekalahan
partai-partai karena besarnya kekuasaan eksekutif dan bahwa Golkar tidak dapat
dipisahkan dari pemerintah dan ABRI, tetapi yang jelas Golkar dalam posisinya
yang unggul telah berhasil menggunakan keunggulannya dengan optimal yaitu
dengan menyuarakan hasrat yang kuat dalam masyarakat, yaitu kebutuhan akan
pembangunan sebagai ganti jargon revolusi dari Orde Lama yang telah membuat
masyarakat jenuh.
Sementara itu para tokoh Masyumi yang
melihat kemunculan Orde Baru sebagai peluang, untuk membangun kembali Masyumi.
Setelah melalui proses yang sangat rumit, pemerintah akhirnya mengizinkan
berdirinya partai Islam yang baru untuk menampung aspirasi tokoh-tokoh eks
Masyumi dengan syarat tokoh-tokohnya tidak diperbolehkan menjadi pimpinan di
tingkat pusat.(34) "Partai Islam yang baru itu disebut Parmusi (singkatan
dari Partai Muslimin Indonesia — sering juga disebut MI saja, singkatan dari
Muslimin Indonesia) yang diresmikan berdirinya tahun 1968. Partai ini diharapkan
dapat menarnpung aspirasi politik umat Islam yang kebetulan tak tergolong ke
dalam wadah-wadah politik yang telah ada seperti tiga partai politik Islam
lainnya."(35) Muhammad Kamal Hassan yang melihat kemunculan Parmusi
sebagai bagian respons cendikiawan muslim terhadap modernisasi, mengamati dalam
upaya Parmusi untuk mendapat pengakuan dan kelangsungan hidupnya, akhirnya
Parmusi muncul dengan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai kelompok
akomodasionis.(36) Yang paling menonjol adalah H.M.S. Mintaredja yang kemudian
diangkat oleh pemerintah menjadi ketua Parmusi untuk mengatasi kemelut dalam
tubuh partai.(37) Tokoh ini tidak tanggung-tanggung melancarkan sikap
akomodasionisnya, seperti memuji peranan ABRI dan mendukung tujuan pembangunan
yang diperjuangkan Golkar.(38) Apakah sikap akomodasionis Parmusi disebabkan
oleh perasaan shoc yang dialami oleh umat Islam akibat modernisasi?(39)
Dengan demikian sikap yang dijalankan oleh Parmusi sungguh-sungguh bertentangan
dengan sikap Masyumi di tahun 1950-an yang cenderung bersikap tegar dan kritis
terhadap pemerintah dan perkembangan politik. Kalau Parmusi berharap meraih
kemenangan besar (mengingat hasil perolehan Masyumi di tahun 1955) maka boleh
dikatakan Parmusi merasa kecewa. "Parmusi yang diperkirakan akan memperoleh
suara dari pengikut Masyumi dulu (20,9 persen, Pemilu 1955) hanya berhasil
mendapatkan 5,4 persen."(40)
Dengan kemenangan yang diperoleh
Golkar, maka mudah bagi pemerintah melancarkan gebrakan dalam bidang politik.
Pemerintah berhasil melakukan penyederhanaan partai-partai. Sebenarnya sebelum
Pemilu 1971 Presiden Suharto sudah melontarkan gagasan penyederhanaan partai.
Daniel Dhakidae menulis,
Di muka pimpinan sembilan partai
politik dan satu golongan karya yang akan ikut pemilihan umum 1971, Presiden Suharto
mengemukakan sarannya mengenai pengelompokan partai-partai tersebut — katanya —
semata-mata bertujuan untuk mempermudah kampanye pemilihan umum tidak untuk
melenyapkan partai. Setiap partai pada dasarnya memiliki identitasnya
sendiri-sendiri. Pengelompokan itu akan menjadi pertama Golongan Nasionalis,
kedua Golongan spirituil, dan ketiga, Golongan Karya. IPKI dan PNI yang
pertama-tama memberikan dukungan. NU malah menyatakan anjuran Presiden sesuai
dengan Kongres Umat Islam Indonesia tahun 1969....(41)
Dan setelah melalui serangkaian
'pendekatan khusus'(42) oleh pemerintah maka dalam MPR hasil pemilihan umum
1971 "sudah diutuskan tentang penyederhanaan partai politik. Malah sudah
secara tegas dikatakan bahwa hanya tiga peserta dalam pemilihan mum
1977".(43)
Maka dalam tahun 1973 partai-partai
politik bergabung dalam dua wadah fusi. Partai-partai Islam bergabung dalam
wadah fusi yang disebut Partai Persatuan Pembangunan (untuk selanjutnya
disingkat PPP), yaitu NU, Parmusi (MI), PSII, dan Perti. Sedangkan yang lainnya
bergabung dalam wadah yang disebut Partai Demokrasi Indonesia (untuk
selanjutnya disingkat PDI), yaitu PNI, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), Partai Katolik, dan Partai
Murba.(44) Maka apa yang diidam-idamkan sejak lama tentang penyederhanaan
partai baru tercapai pada masa Orde Baru. Menarik untok dicatat bahwa dalam
nama partai tidak tercantum istilah yang mengacu kepada ideologi tertentu
(seperti nasionalisme dan Islam); hal mana sesuai dengan keinginan pemerintah
agar segenap kekuatan politik dapat diarahkan untuk mendukung program
pembangunan. Dalam landasan yuridis yang dihasilkan pada tahun 1975
(Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975 Tentang Partai Politik dan Golongan
Karya),(45) Golkar disebut tersendiri sehingga Undang-undang itu harus disebut Tentang
Partai Politik dan Golongan Karya. Berarti kini hanya ada dua jenis
organisasi politik, yaitu partai dan golongan fungsional; dengan demikian
menjadi alternatif terhadap sistem banyak partai pada masa Orde Lama yang rapuh
dan lemah. Dengan menyebut diri Golongan, Golkar agaknya ingin meraih
keuntungan psikologis bahwa ia bukanlah salah satu dari partai-partai yang pada
masa Orde Lama — karena memperjuangkan ideologi-ideologi tertentu — menjadi
salah satu penyebab rapuhnya pemerintahan.
Dengan terbentuknya PPP maka kalangan
Islam harus memikirkan identitasnya. Lambang Ka'bah(46) yang diusulkan
oleh K.H Bishri Sansuri, Rois Am NU, diterima menjadi lambang partai.(47) K.H.
Bishri Sansuri (1886 - 1980) banyak berperan dalam kiprah PPP sejak terbentuk.
Di dalam PPP Bishri Sansuri diserahi memegang Jabatan Rois Am. PPP harus
bergumul mencari identitas untuk mengimbangi Golkar yang tampil dengan program
pembangunan. Lagi pula menjelang Pemilu 1977 situasi sudah berubah Golkar
sekarang merupakan peserta yang "sudah berpengalaman" (sudah tampil
dalam Pemilu 1971) sedangkan PPP dan PDI sebagai "partai baru"
(Pemilu 1977 menjadi pemilu pertama yang diikuti mereka).(48)
Apa yang tidak sempat dialami oleh
Masyumi — sebagai wadah persatuan kalangan Islam — dialami oleh PPP sebagai
kekuatan politik Islam. Karena itu tidak akan mengherankan apabila PPP
memajukan identitas Islam.
Tidak mengherankan bila menghadapi
pemilihan umum Partai Persatuan Pembangunan sejak awal kampanyenya sudah
menangkap isyu agama sebagai satu-satunya perekat utama bagi partainya. Sasaran
kampanye PPP adalah memusatkan diri pada para pemilih tradisional yaitu umat
Islam yang selama ini telah bernaung di bawah organisasi-organisasi Islam
(organisasi massa Islam) atau yang bernaung di bawah organisasi pendukung PPP
seperti NU, PSII, Muslimin Indonesia dan Perti . .
.
Dalam kampanyenya Partai Persatuan Pembangunan selalu mengemukakan bahwa Partai Persatuan Pembangunan adalah satu-satunya wadah bagi umat Islam.(49)
Dalam kampanyenya Partai Persatuan Pembangunan selalu mengemukakan bahwa Partai Persatuan Pembangunan adalah satu-satunya wadah bagi umat Islam.(49)
Walaupun ada tiga peserta namun yang
bertarung sengit adalah Golkar lawan PPP. Terjadi semacarn polarisasi baru.
Bukan lagi antara nasionalisme sekuler lawan nasionalisme muslim seperti pada
masa menjelang dan awal kemerdekaan, tetapi antara golongan pragmatis
(yang mengandalkan program nyata bagi masyarakat) dan golongan keagamaan (yang
mengandalkan ikatan tradisional umat dengan agama).
Usaha menarik dukungan dari umat Islam
segera dilakukan oleh PPP melalui Surat Edaran bulan Januari 1977 yang
dikeluarkan oleh K.H. Bishri Sansuri sebagai Rois Am PPP, yang pada pokoknya
menyerukan — sebagaimana dikutip oleh Dhakidae:
. . . menjadi teranglah kiranya, bahwa
perjuangan Partai Persatuan Pembangunan . . . termasuk jihad fi
sabillilah atau berjuang di Jalan Allah. Karenanya . . . wajib hukumnya
bagi setiap peserta Pemilu 1977 dari kalangan umat Islam pria maupun wanita,
terutama warga Partai Persatuan Pembangunan, untuk turut menegakkan Hukum dan
Agama Allah dalam kehidupan bangsa kita, dengan jalan menusuk tanda gambar
Partai Persatuan Pembangunan pada waktunya nanti.
Maka barang siapa di antara umat Islam yang menjadi peserta dalam Pemilu tetapi tidak menusuk tanda gambar Partai Persatuan Pembangunan karena takut kehilangan kedudukan atau mata pencaharian maupun karena sebab-sebab lain, adalah termasuk orang yang meninggalkan Hukum Allah.(50)
Maka barang siapa di antara umat Islam yang menjadi peserta dalam Pemilu tetapi tidak menusuk tanda gambar Partai Persatuan Pembangunan karena takut kehilangan kedudukan atau mata pencaharian maupun karena sebab-sebab lain, adalah termasuk orang yang meninggalkan Hukum Allah.(50)
Rupanya hanya identitas agama yang
diyakini sebagai upaya memperoleh dukungan umat. Belum terlintas mengembangkan
visi bagi keagamann dalam kiprah politik partai Islam. Apakah Islam harus
senantiasa berada dalam suasana pertentangan dengan pemerintah? Apakah tidak
mungkin menarik perhatian umat dengan menyoroti pembangunan atau modernisasi
dalam visi keagamaan yang positif-kritis agar tercapai pemahaman yang integral
terhadap perkembangan kehidupan bangsa? Upaya memberikan pemahaman baru
terhadap modernisasi dan implikasinya terhadap keberadaan umat Islam dilakukan
oleh para cendekiawan muslim yang dipelopori oleh Nurcholish Madjid dan oleh
organisasi Himpunan Mahasiswa Islam,(51) Pengamatan Nurcholish Madjid
agaknya akan mewakili apa yang diperlukan umat Islam kini,
. . . Dalam satu hal, agak disayangkan
bahwa orientasi keislaman yang kuat selalu dikaitkan dengan oposisi
terhadap pemerintah. Hal ini tidak mengherankan, sebab Islam di Indonesia . . .
memainkan suatu peranan konsisten sebagai ideologi (rallying ideologi)
terhadap kolonialisme. Peranan itu menghasilkan kemerdekaan nasional. Karena
kaum Muslim mengemakakan gagasan-gagasan politik yang tidak semuanya sebangun
dan serupa dengan tuntutan praktis republik ini, maka tumbuhlah prasangka
antara politik yang berorientasi Islam dan pemerintah yang berorientasi
Nasional.
Dalam meredakan prasangka yang timbul
antara pemerintah dan rakyat berorientasi keislaman, penting kiranya bila Islam
di Indonesia didefinisikan secara lebih inklusivistis. Dengan demikian simbol
simbol Islam harus terbuka dan mampu dimengerti (shared) semua Muslim di
dalam maupun di luar pemerintah.(52)
Untuk mengimbangi identitas Islam,
Golkar — sambil membantah bahwa orang yang memilih Golkar adalah kafir —
berusaha keras,
untuk mengidentifikasikan dirinya
dengan suatu partai yang terdiri dari manusia-manusia moderen yang mengusahakan
moderenisasi dan pembangunan Indonesia, dan hanya golongan itu yang
mengusahakan kedua tujuan tersebut di atas. Melawan semboyan ideologis dan
agama, Golkar tidak punya cara lain daripada bersandar pada pembangunan dan
moderenisasi.(53)
Dalam pemilihan umum 1977 yang pertama
setelah penyederhanaan partai-partai politik, Golkar kembali keluar sebagai
pemenang mutlak. Dibandingkan dengan Pemilu 1971, Golkar mengalami penurunan
kecil sebanyak 6 persen (menjadi 62,11 persen) tetapi partai-partai Islam dalam
PPP naik 2,1 persen (dengan hasil 29,19 persen).(54) Namun demikian kemenangan
yang sekelumit ini tidak berkembang karena perkembangan intern dalam tubuh PPP
tidak mendukung untuk meningkatkan pemenangan. Dalam menikmati hasil kemenangan
ini NU nampaknya bersedia "mengalah". Ketika PPP maju memasuki
Pemilu, disepakati bahwa pembagian kursi berdasarkan Konsensus 1975 yang
membagi kursi menurut perbandingan (ratio) hasil Pemilu 1971, yaitu dengan
perbandingan 58,24,10 dan 2 untuk NU, Parmusi (MI), PSII dan Perti.(55)
Ketika perolehan kursi bertambah (dari 94 menjadi 99 kursi) justru NU dikurangi jatahnya, yaitu dari 58 menjadi 56 kursi, sedangkan ketiga lainnya mendapat penambahan (Parmusi memperoleh 25, PSII 14 dan Perti 4 Kursi).(56) Cerita selanjutnya tentang PPP adalah konflik intern (khususnya antara unsur NU dan Parmusi), baik mengenai kebijaksanaan partai maupun tentang pembagian kedudukan di forum Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam keadaan babak belur akibat kasus
yang dikenal sebagai 'Daftar Naro' (daftar nama-nama calon anggota DPR yang
ditandatangani oleh J. Naro, Ketua Umum PPP),(57) karena daftar itu dianggap
merugikan NU, maka NU melancarkan protesnya. Parmusi tidak puas dengan
pembagian menurut Konsensus 1975 dan ingin menuntut lebih banyak lagi karena —
menurut NU — Parmusi (MI) mengandalkan hasil yang diperoleh Masyumi pada tahun
1955. Harian Merdeka menulis:
. . . Ketua II PB (Pengurus Besar) NU
Mahhub Djunaidi, mengeluarkan keterangan pers yang menyatakan bahwa hambatan
pembagian kursi bagi pencalonan PPP untuk Pemilu 1982 yang akan datang
dikarenakan oleh sikap unsur-unsur tertentu dalam PPP. Antara lain yang
ditunjuk Mabbub ialah Muslimin Indonesia (MI). MI menghendaki jatah yang lebih
besar dari porsi pencalonan 1977.
Hal itu, menurut Mahbub mengutib alasan
MI, ialah karena MI merasa sebagai "kelanjutan dari Masyumi." Dan
karena Masyumi oleh MI dianggap menempati posisi yang lebih besar sebagai hasil
Pemilu 1955. berdasarkan ukuran itulah ia meminta angka yang lebih banyak dalam
pencalonan dibandingkan angka pencalonan 1977.(59)
Dalam suasana konflik wajarlah bila
hasil yang dicapai makin merosot, PPP memperoleh 26,1 persen dan Golkar kembali
meningkatkan kemenangannya, memperoleh 68,33 persen. Dan ketika NU meninggalkan
PPP pada tahun 1984 sesuai dengan keputusan Muktamar Situbondo, hasil yang
diperoleh PPP makin jauh merosot. PPP hanya meraih 15,75 persen dan Golkar
meraih 74,75 persen!(60) Tuntaslah sudah kekalahan partai Islam.
Perjalanan NU diukur dari hasil
pemilihan umum menampakkan kemerosotan. Pada Pemilu pertama 1955 ia bersaing
keras dengan partai-partai lainnya. Dalam masa Orde Baru, NU dan kekuatan Islam
lainnya dikalahkan secara telak oleh Golkar. Sesungguhnya bila disimak lebih
jauh partai-partai Islam tidak pernah meraih suara secara meyakinkan, baik
secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Pada pemilu pertama 1955 —
dalam suasana yang paling liberal — partai-partai Islam digabung bersama hanya
meraih 45,2 persen(61) (tidak sampai 50 persen agar mampu mengendalikan politik
melalui forum DPR). Kampanye-kampanye yang menekankan unsur agama mungkin
sekali didorong oleh keyakinan bahwa Umat Islam merupakan mayoritas penduduk.
Tetapi kenyataannya bahwa kampanye yang demikian tidak efektif. Seolah
merenungkan fakta itu dalam mengantarkan buku Islam di Indonesia: Suatu
Ikhtiar Mengaca Diri, M. Amien Rais menulis,
Pada umumnya orang menerima anggapan
bahwa mayoritas rakyat Indonesia (sekitar 89,09 %) beragama Islam. Sudah tentu
jumlah sebesar ini mencakup mereka yang tergolong dalam Islam statistik,
artinya mereka yang ber-KTP (Kartu Tanda Penduduk) Islam dan mengidentifikasi
dirinya sebagai muslim. Akan tetapi jika kita berbicara tentang kekuatan
politik Islam di Indonesia, maka angka nominal yang besar itu sedikit banyak
dapat "misleading". Terbukti pada hasil pemilu baik untuk parlemen
maupun konstituante 1955, empat partai Islam (Masyumi, NU, PSII dan Perti)
hanya berhasil mengumpulkan suara sekitar 42,½%. Demikian juga dalam
pemilu-pemilu tahun 1971 (NU, Parmusi, PSII dan Perti), tahun 1977 dan 1982
(PPP) menunjukkan bahwa partai Islam hanya mampu mencapai sekitar sepertiga
dari jumlah suara. Bahwa mungkin ketiga pemilu di zaman "Oba" (Orde
Baru) di sana-sini merupakan "rigged election" merupakan juga satu kemungkinan,
namun kiranya disepakati bahwa andaikata pemilu benar-benar luber (semboyan
pemilu yang merupakan singkatan dari langsung, umum, bebas dan rahasia) pun,
partai Islam tidak akan dapat menjadi mayoritas.
Dari kenyataan di atas orang seringkali berbicara tentang kemerosotan peran politik ummat Islam ....
Dari kenyataan di atas orang seringkali berbicara tentang kemerosotan peran politik ummat Islam ....
Bila di satu fihak kita melihat
kemerosotan umat Islam di bidang politik, maka di lain fihak kita melihat
fenomena Islamisasi yang bergerak cukup cepat di tengah-tengah masyarakat.
Bukan saja di berbagai kampus Islamisasi itu kelihatan dengan jelas, tetapi
juga di tengah-tengah masyarakat pada umumnya . . (62)
Di sini Amien Rais ingin menegaskan
bahwa umat Islam perlu meninjau ulang peranannya di dalam masyarakat agar umat
Islam menggunakan segala potensinya untuk turut memecahkan
masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti yang seluas-luasnya.(63) Karena itu
saya rasa adalah tepat ajakannya melihat bahwa "jalur politik ternyata
bukan satu-satunya jalan untuk berkhidmat pada agama."(64)
Hal yang senada diutarakan oleh Victor
Tanja ketika membahas Arah Pemikiran Keagamaan Islam di Indonesia Masa Kini (khususnya
pemikiran tiga tokoh muda Islam: Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan
Dawam Rahardjo), berbicara tentang arah baru yang sedang ditempuh umat
Islam,
. . . arah baru Islam tidak lain adalah
suatu tawaran untuk meninggalkan arah lama yang lebih melihat Islam sebagai
suatu ideologi yang komprehensip yang pada akhirnya menuju suatu pembentukan
negara Islam . . . melalui cara penapsiran yang legalistik dan apologetik
terhadap gagasan-gagasan Islam.(65)
Sehubungan dengan ucapan di atas, dalam
menyimpulkan tentang perkembangan pemikiran keagamaan dalam Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI), Tanja mengatakan bahwa sikap yang
ditempuh adalah "bukan semata-mata sebagai sikap politis dan ideologis,
tetapi
sebagai sikap keagamaan yang dipilih secara sah dari dalam tradisi keagamaan Islam."(66) Sikap yang demikian inilah yang menyebabkan HMI mampu dan pandai menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan moderenisasi dalam negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.(67)
sebagai sikap keagamaan yang dipilih secara sah dari dalam tradisi keagamaan Islam."(66) Sikap yang demikian inilah yang menyebabkan HMI mampu dan pandai menghadapi berbagai masalah yang berkaitan dengan moderenisasi dalam negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.(67)
Saya rasa tugas umat Islam, khususnya
NU masa kini, adalah mengembangkan sikap keagamaan itu agar mampu menjawab
tantangan yang makin kompleks akibat proses moderenisasi di segala bidang.
Sikap keagamaan tidak akan mempersempit ruang gerak Islam, tetapi justru akan
menjadi jalan keluar dari sikap politis-ideologis yang cenderung mempersempit
wawasan Islam hanya pada usaha memperjuangkan status politis saja. NU sebagai
wadah para ulama, pemimpin umat dan pengemban tradisi, mempunyai potensi besar
untuk mengembangkan sikap keagamaan itu di dalam berbagai perkembangan yang
dihadapinya.
___________________
- Anam, op.cit.,
hlm. 200.
- Lihat, Irsyam, op.cit.,
hlm. 33.
- Lihat, Daniel
Dhakidae, "Pemilihan Umum di Indonesia: Saksi Pasang Naik dan Surut
Partai Politik", dalam Demokrasi dan Proses Politik, kumpulan
artikel di dalam majalah Prisma, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 183;
Bandingkan, hlm 150.
- Nasikun, Sistem
Sosial Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1984) hlm. 63.
- Irsyam, loc.cit.
- Ibid., hlm. 33-34.
- Ibid., hlm 36.
- Ibid. Cetak tebal
dari saya
- Ibid.
- Demokrasi dan
Proses Politik,
hlm. 183.
- Ibid.
- Anam, op.cit.,
hlm. 202.
- Ibid.; Bandingkan, Demokrasi
dan Proses Politik, hlm.l42.
- Anam, op.cit.,
hlm. 202-203.
- Supra, hlm. 101
Catatan nomor 10.
- Demokrasi dan
Proses Politik,
loc.cit.
- Karim, Perjalanan,
hlm. 121.
- Lihat, Pranarka,
op.cit.. hlm.167-169.
- Ibid., hlm.
169-170.
- Karim, Perjalanan,
hlm 122.
- Herbert Fieth,
"Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965: Suatu Pengantar", dalam Partisipasi
dan Partai Politik, ed. Miriam Budiardjo (Jakarta Gramedia, 1982),
hlm. 214-220. Untuk selanjutnya disebut, Budiardjo. ed.,
Partisipasi.
- Lihat, Ibid.,
hlm. 216.
- Ibid.
- Boland, op.
cit., hlm. 93-94.
- Budiardjo, ed., Partisipasi,
hlm. 217.
- Ibid., hlm.
216.
- Lihat, Demokrasi
dan Proses Politik, hlm. 198.
- Ibid., hlm.
150.
- Lihat, Ensiklopedi
Populer Politik Pembangunan Pancasila, diterbitkan oleh Yayasan Cipta
Loka Caraka, 4 Jilid, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, tanpa tahun,
edisi ke-5, Kata Pengantar 1983), jilid 2, hlm. 67-74 di bawah
"Golongan Karya". Untuk selanjutnya disebut Ensiklopedi
Politik; Bandingkan, Julian M. Boileau, Golkar: Functional Group
Politics in Indonesia, (Jakarta: CSIS, 1983), hlm. 23 dan 57.
- Karim, Perjalanan,
hlm. 160.
- Ensiklopedi
Politik,
jilid 2, hlm. 70.
- Ibid., hlm.
71.
- Wilopo, Zaman
Pemerintahan Partai-Partai dan Kelemahan-kelemahannya, (Jakarta:
Yayasan Idayu, 1978), hlm. 58.
- Muhammad Kamal
Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendikiawan Muslim,
terjemahan dari 'Muslim Intellectual Res to "New Order"
Modernization in Indonesia,' (Jakarta: Lingkaran Studi Indonesia, 1987),
hlm. 103-104.
- Karim, Perjalanan,
hlm. 157.
- Hassan, op.cit.,
hlm. 101-114.
- lbid., hlm.
107.
- Ibid., hlm.
107-108.
- Dalam Kata
Pengantar bukunya Mintaredja memuji Alfin Toffler dan mengutip istilah
Future Shock agar umat Islam melihat realita yang kini berlaku. H.M.S.
Mintaredja, Islam dan Politik Islam dan Pemikiran (Jakarta:
Siliwangi, tanpa tahun, Kata Pengantar Penulis 1973), hlm. 9-10.
- Demokrasi dan
Proses Politik,
hlm. 150.
- Ibid., hlm. 199.
Cetak tebal pada kalimat terakhir dari saya, selebihnya sesuai dengan
aslinya.
- Tiga orang
jenderal ditunjuk oleh Presiden Suharto sebagai penghubung dengan
partai-partai politik, yaitu Kepala Opsus (Operasi Khusus) Brigadir
Jenderal Ali Murtopo, Aspri (Asisten Pribadi) Presiden Brigadir
Jenderal Soedjono Humardani, dan Kepala Bakin (Badan Koordinasi
Intelijen) Mayor Jenderal Sutopo Juwono. Lihat, Ibid.
- Ibid.
- Ibid., hlm.
199-200.
- Lihat, A.
Tambunan, Undang-Undang Republik Indonesia No. 3 Tahun 1975 Tentang
Partai Politik dan Golongan Karya: Latar Belakang Beserta Proses
Pembentukannya, (Jakarta: Binacipta, 1982), hlm. 102-109. Tentang
Ketetapan Umumnya, Tambunan memberi komentar: "Jika dibandingkan
dengan perumusan dari Undang-undang No.7/PNPS/1959 [Undang-undang yang
lama] . . . maka yang hilang dan tidak terdapat lagi dalam rumusan yang
baru adalah kata-kata 'memperjuangkan suatu negara dan masyarakat
tertentu'. Hal ini dapat dijadikan suatu indikasi bahwa semua pihak tidak
lagi menghendaki adanya partai ideologi atau organisasi kekuatan sosial
politik yang 'ideology oriented' seperti dikenal pada zaman dulu".
Menurut J.M. Boileau, sebenarnya Golkar sama dengan partai politik tetapi
karena alasan strategis dan historis dibantah oleh pejabat pemerintah yang
juga merupakan pimpinan Golkar Lihat, Boileau, op.cit., hlm.
111.
- Ka'bah terletak di Masjidil
Haram (mesjid Suci) di Mekah. Aslinya kata ka'bah berarti kubus karena
memang bentuknya seperti kubus Ka'bah adalah tempat yang mesti
dikunjungi oleh umat Islam yang menunaikan ibadah haji dan merupakan kiblat
(arah) menghadap dalam sembahyang (shalat). Lihat, A. Aboebakar
Aceh, Sejarah Ka'bah dan Manasik Haji. (Sala: Ramadhani, 1984) hlm.
41-48.
- Lihat, Yusuf, et
al. op cit. hlm. 57-58.
- Demokrasi dan
Proses Politik,
hlm. 202.
- Ibid., hlm.
203.
- Ibid.
- Mengenai
Nurcholish Madjid, pemikiran dan pengaruhnya dalam perkembangan pemikiran
Islam. Lihat, Hassan, op.cit., hlm. 30-42, 114-149, dan lain-lain
Mengenai HMI, Lihat, Tanja, Himpunan, hlm. 133-165.
- Nurcholish
Madjid, Kemodernan dan Keindonesican, kumpulan artikelnya,
(Bandung: Mizan, 1987), hlm. 89. Cetak tebal dari saya.
- Demokrasi dan
Proses Politik,
hlm. 204-205.
- Ibid., hlm
207.
- Lihat, Yusuf, et
al., op. cit., hlm. 61.
- Ibid, hlm. 64.
- Ibid., hlm. 71.
- Ibid.
- Merdeka, 2 Oktober
1981.
- Lihat, Perbandingan
hasil Pemilu 1982 dengan 1987, dalam, Kompas, 2, April
1987.
- Karim, Perjalanan,
hlm. 121.
- M. Amien Rais,
ed., Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiar Mengaca Diri, (Jakarta:
Rajawali, 1986), hlm. v-vi.
- Ibid., hlm.
xiii.
- Ibid., hlm.
ix.
- Victor Tanja,
"Arah Pemikiran Keagamaan Islam di Indonesia Masakini," dalam
buku yang merupakan kumpulan artikelnya, Hidup Itu Indah, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1986), hlm. 16. Cetak tebal dari saya. Untuk selaniutnya
disebut Tanja, Hidup Itu. Bandingkan, Maarif, Islam, hlm.
200; Juga, Bosco Carvallo dan Dasrizal, ed., Aspirasi Umat Islam
Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penunjang Pembangunan Nasional —
LEPPENAS, 1983), hlm. 26, 34, 62, 63, dan lain-lainnya.
- Tanja, HImpunan,
hlm. 167.
- Ibid., hlm. 170.
Ditulis ulang
dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam
perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai
satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid —
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar