Saad
bin Abi Waqqash: Pahlawan Qadisiyah yang Ahli Panah
KALA cahaya nubuwat mulai memancar di
Makkah, Saad adalah seorang pemuda yang gagah, lembut hati, dan sangat berbakti
kepada orang tua, terutama kepada ibunya. Di usianya yang masih belia, Saad
memiliki jalan pikiran laiknya orang dewasa. Dia tak suka bermain-main seperti
pemuda sebayanya.
Kegemarannya adalah pada peralatan
perang, seperti bermain panah atau membetulkan busur dan menggunakan perisai,
seakan-akan sedang bersiap-siap menghadapi perang besar. Dia juga benci
menghadapi kebobrokan dan rusaknya kepercayaan yang melanda kaumnya. Dia
menunggu datangnya sepasang tangan kokoh yang mampu membenahi umat yang hidup
dalam kegelapan itu.
Dengan kehendak Allah yang senantiasa
menghargai kemanusiaan, sepasang tangan yang penuh kasih sayang terulur. Tangan
itu adalah tangan Muhammad bin Abdillah. Di dalam genggamannya, tercakup
karunia Allah yang tak pernah rusak, yaitu Kitabullah.
Saad cepat sekali menyambut panggilan
hidayah dan kebenaran itu. Bahkan beliau merupakan orang ketiga yang memeluk
Islam. Beliau berkata, “Pada hari aku masuk Islam, tidak ada orang lain
yang menyertaiku. Aku menanti seminggu lamanya, dan sesungguhnya aku ini
sepertiga Islam (artinya, orang ketiga yang masuk Islam).”
Kerabat Rasulullah
Rasulullah sangat gembira dengan
keislaman Saad bin Abi Waqqash. Sebab, dalam diri pemuda ini terdapat
kecerdasan dan tanda-tanda kepahlawanan, seakan memberi pertanda bahwa bulan
sabit akan segera menjadi bulat sempurna dalam waktu dekat. Selain itu, Saad
juga masih terhitung keluarga Rasulullah. Saad berasal dari kabilah Zuhrah,
sama dengan ibu Rasulullah. Beliau adalah anak dari paman Aminah (ibunda
Rasulullah). Jadi, secara silsilah, Saad adalah paman Rasulullah, karena beliau
adalah sepupu ibu Rasulullah.
Rasulullah sendiri sering membanggakan
pamannya yang belia ini. Suatu kali, beliau tengah duduk di tengah kerumunan
para sahabat. Melihat Saad datang, beliau berkata, “Ini pamanku. Setiap orang
boleh menunjukkan pamannya masing-masing, bukan?” Tidak berlebihan kiranya jika
Rasulullah membanggakan Saad. Beliau adalah orang yang berbudi luhur, akhlaknya
mulia, lagi teguh imannya.
Terbukti, beliau menyertai suka-duka
perjuangan Rasulullah sepanjang masa awal dakwah Islam. Beliau turut merasakan
masa-masa sulit pemboikotan terhadap kaum muslimin di Syi’b Makkah. Beliau
katakan, ”Ketika kaum muslimin diboikot dan dikucilkan di Syi’b Makkah, hampir
tiga tahun lamanya yang kami makan bersama Rasulullah adalah daun-daunan.
Sehingga, kotoran kami menyerupai kotoran domba.” Beliau juga ikut serta dalam
perang Badar. Perang di mana beliau harus kehilangan adiknya tercinta, Umair
bin Abi Waqqash.
Ujian juga datang dari keluarga beliau.
Ketika mengetahui putranya memeluk Islam, ibu Saad marah besar dan mengancam
akan mogok makan jika beliau tidak mau kembali kepada agama Quraisy. Namun,
hingga ancaman itu dibuktikan selama beberapa hari oleh ibunya, Saad tetap
teguh dalam Islam. Sampai-sampai, ibunya pingsan dan dikhawatirkan meninggal
pun, Saad tetap tak merubah sikap. Dengan tegas beliau nyatakan, “Wahai ibu.
Demi Allah, jika ibu memiliki seratus nyawa sekalipun, dan nyawa itu hilang
satu demi satu, aku tidak akan meninggalkan agamaku karena ibu.”
Sikap tegas yang diperlihatkan Saad
atas agama yang diyakininya ini mampu meluluhkan hati ibunya hingga mau makan
kembali. Tentang peristiwa ini, Allah menurunkan ayat,
“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat)
kebaikan kepada dua ibu-bapaknya, dna jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (Al-Ankabut: 8)
Ahli Panah
Pada perang Uhud, ketika pasukan Islam
berhasil diporak-porandakan musuh, Saad termasuk sepuluh orang yang tersisa dan
tetap bertahan melindungi Rasulullah. Dengan busur dan panahnya, beliau
menghalau musuh yang berusahan menyerang Rasulullah. Di saat-saat genting
seperti itu, Rasulullah berseru menyemangati Saad,
ارْمِ سَعْدُ ارْمِ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ!
“Bidiklah, Saad! Bidik! Demi ayah
bundaku sebagai tebusanmu.”
Saad menjadikan kata-kata Rasulullah
ini sebagai kebanggaan seumur hidup. Sebab, Rasulullah sampai menyebut kedua
orang tuanya sebagai pengorbanan.
Di kalangan para sahabat, saad dikenal
sebagai orang yang jago memanah. Bidikannya jarang meleset. Ini berkat doa
Rasulullah untuk beliau. Saad menuturkan, bahwa Rasulullah pernah berdoa,
اللَّهُمَّ سَدِّدْ رَمْيَهُ وَ أَجِبْ دَعْوَتَهُ
“Ya Allah, jadikanlah bidikan anak
panahnya jitu dan kabulkan doanya.”
Kemudian, Allah mengabulkan doa
Rasulullah tersebut. Setiap kali Saad melepas panahnya, pasti tepat mengenai
sasaran. Dan juga, setiap kali Saad memanjatkan doa kepada Allah, doanya pasti
dikabulkan. Dalam setiap peperangan, beliau mampu mengalahkan lawan.
Dalam tarikh Islam, tercatat bahwa
muslim pertama yang membidikkan anak panah dalam peperangan adalah Saad bin Abi
Waqqash. Dan sekaligus, beliau pulalah orang pertama yang terkena panah lawan.
Perang Qadisiyah
‘Debut’ terbesar Saad dalam karir
militernya ialah kesuksesannya membawa pasukan Islam memenangi pertempuran
melawan tentara Persia dalam perang Qadisiyah, di masa kekhilafahan Umar bin
Khathab. Perang tersebut menandai runtuhnya kedaulatan Persia sebagai super
power dunia kala itu. Segala simbol paganisme habis diberantas sampai ke
akar-akarnya.
Untuk menghadapi Persia, Khalifah Umar
bin Khathab menulis surat kepada para stafnya di seluruh negeri Islam agar
mengirimkan bantuan moral maupun spiritual untuk memperkuat pasukan. Siapa saja
yang memiliki senjata, kuda, unta, atau pemikiran, syair-syair, kemampuan
pidato, dan lain-lain boleh membantu. Semua aspek disinergikan demi menghadapi
kekuatan Persia.
Sejak pengumuman dibuat oleh khalifah,
berbagai bantuan pun mulai mengalir ke Madinah. Setelah segala persiapan
diniali cukup, khalifah bermusyawarah dengan beberapa sahabat pilihan, untuk
menentukan panglima yang akan memimpin pasukan. Semua anggota musyawarah
sepakat untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Saad bin Abi Waqqash.
Ketika itu, Saad memimpin segelaran
pasukan besar yang berjumlah lebih dari 30.000 personel. Komposisi pasukan itu
adalah orang-orang pilihan. Sebab, lawan mereka kali ini pun bukan sembarangan.
Di antara jumlah pasukan itu, 99 orang merupakan ahlu (peserta perang) Badar,
318 orang yang pernah hadir dalam prosesi baiat Ridhwan, 300 orang veteran
Fathu Makkah dan 700 orang putra-putra sahabat.
Untuk misi besar ini, Saad memilih
Qadisiyah sebagai pangkalan militernya. Menjelang perang dimulai, sang panglima
jatuh sakit. Kian hari kian bertambah parah dan belum menampakkan tanda-tanda
kesembuhan dalam waktu dekat. Keadaan ini tidak memungkinkan beliau menunggang
kuda dan memimpin pasukan secara langsung. Akhirnya, beliau mendaulat Khalid
bin Arfathah sebagai pengganti beliau di lapangan. Kepada para komandan
lapangan, Saad berkirim surat. Bunyinya,
“Aku telah mengangkat Khalid bin
Arfathah sebagai penggantiku. Aku berhalangan karena sakit di kakiku dan
timbulnya bisul-bisul. Tetapi aku tetap mengarahkan wajah dan diriku
untuk mengikuti jalannya pertempuran. Dengarkan dan taati kepemimpinannya, dia
yang memerintah tetapi mengerjakan perintahku.”
Perang Qadisiyah berlangsung beberapa
hari lamanya. Ketika kedua pasukan berhadapan dan siap saling menyerang, Saad
memerintahkan agar pasukan tetap berada di tempat sampai shalat zhuhur usai
ditunaikan. Seusai shalat, Saad meneriakkan takbir dengan diikuti oleh suara
gemuruh pasukan yang bersiap siaga.
Takbir kedua beliau diikuti oleh
pasukan yang segera mengenakan perlengkapan perang. Takbir yang ketiga diikuti
pula dan disambut pasukan berkuda yang bersiap diri. Dan barulah pada kode
takbir yang keempat, pasukan bergerak ke depan (advance) dan membenamkan
diri ke barisan musuh dengan pedang dan tombak di tangan diiringi ucapan,
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan
Allah.”
Dengan kepiawaian Saad dalam memimpin
pasukan, taktik dan strateginya yang matang, serta berkat taufik Allah,
akhirnya tentara Islam meraih kemenangan besar di Qadisiyah. Saad mengirim
seluruh laporan peperangan termasuk nama-nama prajurit yang syahid kepada
khalifah Umar di Madinah.
Setelah mengambil jeda dua bulan,
pasukan Saad melaju ke negeri Persia dan berhasil menguasai ibu kotanya yang
terletak di sebelah timur sungai Dajlah, pada bulan Jumadil Awal tahun 15 H.
Istana raja Persia mereka masuki dan tempat pemujaan api dalam ruangan istana
(yang menjadi pusat pemujaan kaum Majusi) dipadamkan apinya dan diganti dengan
dibangunnya sebuah masjid.
Wafatnya Pahlawan Qadisiyah
Saad bin Abi Waqqash hidup hingga usia
lanjut. Beliau merupakan sahabat dari kalangan Muhajirin yang meninggal
terakhir kali (maksudnya; dari kaum laki-lakinya). Ketika menjelang wafat, beliau
mempersiapkan peti simpanannya. Peti itu berisi jubah tua yang dikenakannya
dalam perang Badar dahulu. Beliau meminta seseorang mengambilkan peti itu dan
berpesan,
“Bila aku mati, kafanilah aku dengan
jubah wol ini. Dulu aku memakainya saat melawan kaum musyrikin pada perang
Badar. Dan aku sengaja menyimpannya karena aku ingin menghadap Allah dengan
mengenakannya.”
Semoga Allah meridhai beliau.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar