Bab IV
Nahdlatul Ulama Menjadi Partai Politik
(Lanjutan)
B. Nahdlatul Ulama dan Perkembangan
Politik
Segera setelah menjadi partai politik
NU harus menghadapi tantangan berat, yaitu makin meluasnya pemberontakan apa
yang menyebut dirinya Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia (yang
biasa disingkat DI/TII) di bawah pimpinan SM. Kartosuwiryo, yang bermula dan
berpusat di Jawa Barat, "tempat Negara Islam Indonesia diproklamasikan
pada 7 Agustus 1949, gerakan ini kemudian menyebar ke bagian-bagian Jawa
Tengah, ke Kalimantan Selatan, ke Sulawesi Selatan, dan ke
Aceh."(68)
Tentang pengertian Darul Islam C. van
Dijk menguraikan,
Darul Islam (bahasa Arab dar-Islam)
secara harfiah berarti "rumah" atau "keluarga" Islam, yaitu
"dunia atau wilayah Islam." Yang dimaksud adalah bagian Islam dari
dunia yang di dalamnya keyakinan Islam dan pelaksanaan syariat Islam dan
peraturan-peraturannya diwajibkan. Lawannya adalah, Darul Harb, "wilayah
perang, dunia kaum kafir", yang berangsur-angsur akan dimasukkan ke dalam dar-Islam.
Di Indonesia kata-kata Darul Islarn
digunakan untuk menyatakan gerakan-gerakan sesudah 1945 yang berusaha dengan
kekerasan untuk merealisasikan cita~ita Negara Islam Indonesia.(69)
Kartosuwiryo adalah seorang bekas
pengurus PSII dan pernah dekat dengan pendiri PSII Cokroaminoto.(70) Ia
mempunyai latar belakang pendidikan Barat. "Jadi, ia bukan seorang santri
dari sebuah pesantren. Bahkan diceritakan orang bahwa ia tidak pernah mempunyai
pengetahuan yang benar tentang bahasa Arab dan agama Islam."(71)
Pemberontakan Darul Islam ini bukan
hanya membahayakan kesatuan negara dan ancaman yang serius terhadap negara yang
sedang belajar mengisi kemerdekaan, tetapi juga membahayakan masa depan Islam
di negara Republik Indonesia justru karena mengatasnamakan agama Islam. Apalagi
karena Kartosuwiryo mengangkat dirinya sebagai Kepala Negara Islam Indonesia,
maka kedudukan Presiden Sukarno bisa goyah di mata umat Islam. Hal itu
mendorong K.H. Masjkur, Menteri Agama ketika itu "mengundang para ulama
dari seluruh Indonesia untuk memberi kata putus tentang kedudukan Presiden
Sukarno dalam pandangan keagamaan (Islam)."(72)
Hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang
penting oleh karena beberapa hal. Antara lain oleh karena untuk daerah-daerah
tertentu ummat Islam harus melakukan pilihan terhadap adanya "Kepala
Negara" selain Presiden Soekarno. Misalnya S.M. Kartosuwiryo yang di
daerah Jawa Barat menyebut dirinya sebagai Kepala Negara dari Negara Islam
Indonesia. Juga oleh karena sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno harus
mengangkat pegawai-pegawai yang menangani urusan-urusan yang langsung berkaitan
dengan masalah—keagamaan seperti wakaf, waris, pernikahan dan lain-lain. Sedang
dalam pandangan ulama di Indonesia urusan-urusan itu harus dilakukan oleh
pejabat yang berwenang yang diangkat oleh kekuasaan yang sah dilihat dari hukum
Islam.(73)
Pertemuan ulama yang diprakarsai oleh
K.H. Masjkur itu berlangsung di Cipanas Jawa Barat pada akhir tahun 1953 (awal
tahun 1954.(74) Pertemuan — yang disebut oleh Choirul Anam sebagai Muktamar
Alim Ulama Se-Indonesia itu(75) memutuskan memberi gelar kepada Presiden
Sukarno sebagai Waliyul Amri Dharuri Bis Syaukati.(76) Boland menerjemahkannya:
"pemerintah yang sekarang ini sedang berkuasa (dan harus dipatuhi berdasar
Surah 4 ayat 59)."(77) Menarik untuk disimak penjelasan A. Yusuf Ali
mengenai istilah ini dalam komentarnya tentang Surah 4: 59,
Ulu-l-amr adalah orang-orang
yang melaksanakan kekuasaan atau tanggung jawab atau keputusan atau
penyelesaian urusan. Kekuasaan yang mutlak ada pada Allah. Umat Allah menerima
kekuasaan dari Dia. Karena Islam tidak mengenal perbedaan yang tajam antara
urusan yang sakral dan sekuler, maka diharapkan pemerintahan-pemerintahan biasa
akan melakokan kebenaran, berlaku sebagai imam yang benar, dan kita harus
menghormati dan mematuhi keluasaan itu; jika tidak demikian tidak akan ada
ketertiban dan kepatuhan. Adalah sudah menjadi kenyataan di mana-mana terdapat
pemisahan yang tajam antara hukum dan moral, antara urusan sekuler dan
keagamaan, sebagaimana terjadi di berbagai negeri sekarang ini, Islam tetap
mengharapkan kekuasaan sekuler dijalankan secara benar ....(78)
Keputusan ini sangat penting bagi NU
khususnya dan bagi umat Islam umumnya sebab yang dihadapi pemerintah adalah
gerakan politik keislaman yang menentang pemerintahan yang sedang berkuasa.
Gelar itu memberikan kemantapan atau kepastian bagi umat Islam untuk mematuhi tindakan
pemerintah yang dipimpin Sukarno terhadap DI/TII. Keputusan itu makin
diperlukan mengingat Masyumi tidak tegas, bahkan cenderung simpati terhadap
gerakan DI/TII.(79)
Penjelasan yang lebih tegas lagi
tentang sikap NU di atas kita peroleh dari Abdurrahman Wahid dalam artikelnya
"Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Dewasa ini" yang ditulisnya
pada tahun 1984.(80) Menurut Abdurrahman Wahid pengukuhan kedudukan pimpinan
negara menjadi Waliyal Amri Dharuris Bis Syaukati merupakan keputusan
yang berlandaskan hukum fiqh.(81) Diakuinya pimpinan negara "tidak dipilih
oleh ulama yang berkompeten untuk itu (ahlul halli wal 'aqdi) . . .
sehingga tidak sepenuhnya memiliki keabsahan di mata hukum fiqh. Namun
kekuasaannya tetap harus efektif, karenanya ia berkuasa penuh."(82) Karena
pemerintah menjalankan kepentingan umat Islam — melalui wewenang yang ada pada
Menteri Agama — maka ulama harus memberikan penegasan tentang keabsahan
pimpinan negara.(83) "Pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan,"
demikian Wahid,
itulah yang membuat NU relatif lebih
mudah menerima ketentuan pemerintah tentang asas Pancasila dalam kehidupan
berorganisasi dewasa ini. Dalam pandangan fiqh, asas Pancasila adalah salah
satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia; hal
itupun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada
alasan apa pun untuk menolaknya, selama ia tidak berfungsi menggantikan
kedudukan agama....(84)
Ia juga membantah tuduhan bahwa NU
bersikap oportunistik; karena yang penting bagi NU bakanlah "strategi
perjuangan politik" atau "ideologi Islam" tetapi "keabsahan
di mata hukum fiqh."(85) Sudah tentu penentuan sikap berdasarkan hukum
fiqh bukanlah hal yang mudah seperti memilih sebuah buku dari perpustakaan,
karena pemberlakuan hukum Islam dalam sejarah dapat berubah, berbeda, bahkan
bertentangan antara yang satu dengan yang lain.(86) NU bukan tidak pernah
mengalami perbedaan atau pertentangan pendapat, seperti contoh yang
diketengahkan oleh Wahid yaitu waktu NU menanggapi pembubaran Dewan Perwakilan
Rakyat oleh Sukarno pada tahun 1960-an, sebagian ulama setuju tetapi sebagian
lagi menentang.(87) Namun karena NU memiliki mekanisme konsensus yang tinggi
yang disebutnya "setuju untuk tidak setuju (agree to disagree)",
maka keutuhan NU selalu terpelihara.(88) Mekanisme ini mempunyai kelemahan
juga, yaitu seperti yang dikatakan oleh Wahid, "lamanya proses pengambilan
keputusan dan tidak jelasnya pendapat organisasi dalam sesuatu
masalah."(89)
Dari uraian di atas terungkap bahwa NU
mengutamakan sikap keagamaan yang berlandaskan hukum fiqh ketimbang sikap
politis-ideologis (yang cenderung rasionalistik), dan sikap yang demikian akan
lebih mudah dimengerti oleh umat Islam.
Dengan keputusan itu berarti pemerintah
Sukarno adalah pemerintahan yang sah menurut hukum Islam,(90) dan
"sekaligus berarti memberikan legitimasi keagamaan dalam rangka politik
menghadapi pemberontakan DI/TII dan wewenang mengangkat para pejabat yang
berwewenang untuk menangani urusan-urusan yang langsung menyangkut ummat Islam
....(91) Ciri khas NU sebagai organisasi keagamaan tetap menonjol walaupun ia
sudah menjadi partai politik. Mungkin sekali ciri khas itu yang menyebabkan NU
selalu berhati-hati menilai suatu perkembangan dan tidak mudah jatuh kepada
sikap hitam putih!
Setelah pemilihan umum 1955 usai, NU
harus menghadapi persoalan lain yang tak kurang beratnya. Sebagaimana
telah disinggung bahwa konstituante tidak berhasil mencapai kesepakatan tentang
dasar negara dan kemudian Presiden Sukarno mengatasi dengan Dekrit Kembali ke
UUD '45 tanggal 5 Juli 1959.(92) Ketika terlihat tanda-tanda Presiden akan
memberlakukan kembali UUD 1945, NU tidak berdiam diri menantikan apa yang akan
terjadi. Pada tanggal 26-28 Maret 1958 NU mengadakan Sidang Dewan Partai di
Cipanas Bogor, dan berhasil merumuskan usul yang sedikit banyak menyetujui niat
Presiden untuk kembali ke UUD 1945,
Dapat menerima UUD 1945 sebagai UUD RI
dengan pengertian: a) Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD tersebut pada
keseluruhannya dan merupakan sumber hukum; b) Islam tetap menjadi perjuangan
partai NU; c) Hasil-hasil pleno Konstituante tetap berlaku.(93)
Dan salah satu pertimbangan Dekrit itu
menyebutkan tentang Piagam Jakarta;
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah
merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut.(94)
Kata menjiwai oleh kalangan nasionalis
muslim segera dijadikan titik perjuangan menuntut memberlakukan rumusan Piagam
Jakarta. Dengan panjang lebar Anshari menguraikan berbagai pendapat untuk
menguatkan posisi Piagam Jakarta berdasarkan kata menjiwai itu.(95) A. Sanusi
mengatakan bahwa kata menjiwai berarti "memberi jiwa" dan
"memberi kehidupan dan kekuatan."(96) Dengan kata lain menjiwai bagi
kalangan nasionalis muslim berarti bahwa rumusan Piagam Jakarta (yang memberi
kedudukan istimewa bagi umat Islam) yang menentukan pemberlakukan Pancasila dan
UUD 1945! Tetapi tidak demikian pengertian Sukarno dan kalangan nasionalis
sekuler (nasionalis netral agama). Bagi mereka — seperti yang dirumuskan dengan
tepat oleh Tanja — maksud menjiwai hanyalah "menunjukkan adanya jalinan
atau hubungan menyejarah antara Jakarta Charter dan Pancasila."(97)
Dekrit berikut pertimbangan menjiwai
tadi merupakan langkah terbaik yang dapat dilakukan untuk meredakan
ketegangan dalam konstituante akibat tuntutan gencar kalangan Islam agar negara
berlandaskan Islam.(98) Lagi pula, pada masa itu pemerintah sedang menghadapi
pemberontakan DI/TII (Darul Islam) dan pemberontakan lain di luar
Jawa.(99)
Presiden Sukarno bertindak demikian,
tidak hanya untuk mendobrak kemacetan parlementer tetapi juga untuk membuyarkan
ketegangan yang dapat meledak serta untuk menenangkan perbedaan-perbedaan
keagamaan dengan kembali kepada cara pemecahan tahun 1945 yang dari segi agama
tidak mengambil pihak.(100)
Setelah keluar Dekrit — yang didukung
oleh Angkatan Darat dan disetujui oleh DPR hasil pemilu 1955(101) — maka makin
kuatlah kedudukan Presiden Sukarno.(102) Dan dengan gagasan Demokrasi
Terpimpinnya, ia mampu mengendalikan semua kekuatan politik.(103) Ketika
Sukarno membubarkan Masyumi tahun 1960, maka praktis hanya NU, PSII dan Perti —
yang menjadi tumpuan kekuatan Islam.
Dalam upaya untuk mengendalikan kekuatan
politik, Sukarno mencetuskan gagasan Nasakom (singkatan dari Nas, untuk
Nasionalis, A untuk Agama, dan Kom untuk Komunis) untuk menghimpun tiga aliran
kekuatan politik kala itu, yang berlandaskan nasionalisme (seperti PNI), Agama
(seperti NU) dan Komunis (PKI).(104)
Nasakom mengungkapkan cita-cita Bung
Karno (istilah populer untuk Presiden Sukarno) yang lama tentang persatuan
nasional. Akarnya sudah terdapat dalam tulisan Bung Karno
'Nasionalisme—Islamisme—Marxisme' (1926). Pada waktu itu, di Indonesia terdapat
bermacam-macam partai yang dapat dibagi dalam tiga golongan besar: Nasionalis,
Agama dan Marxis. Agar cita-cita setiap golongan, maka lebih dahulu di antara
mereka harus ada semacam persatuan dalam program perjuangan dasar untuk
bersama-sama melepaskan diri dari penjajahan. Sesudah tahun 1959 .... untuk
menghilangkan 'kesulitan' masa Liberal (1950-1959) yang tidak memungkinkan
Sukarno memerintah sendiri. Maka persatuan tiga unsur NAS—A—KOM dipropagandakan
dengan dalih 'demi penyelesaian revolusi' . . . Sejak dahulu Soekarno haus akan
kerukunan, betapa pun rapuh landasannya .... (105)
Sebenarnya gagasan Sukarno itu bertolak
dari "warisan kebudayaan Jawa yang merupakan campuran selaras dari semua
anasir yang berbeda-beda menjadi satu sistem yang manunggal."(106) Sulit
sekali tantangan yang dihadapi NU dengan adanya gagasan Nasakom itu. Bila ia
berdiam diri sama dengan membiarkan PKI bertindak makin leluasa. Bila
menentang, nasib Masyumi dapat saja terjadi pada NU. Kalau ia ikut serta,
dapatkah ia berdampingan dengan PKI yang atheis itu? Sebenarnya Nasakom
hanyalah salah satu kasus sulit — mungkin yang paling sulit di zaman Orde Lama
— dihadapi NU. Dengan keluarnya Dekrit Presiden, semua partai khususnya NU
harus mengeluarkan segala daya untuk dapat bertahan menghadapi berbagai
gebrakan-gebrakan politik pemerintahan Sukarno. Dalam keadaan yang sangat sulit
itu NU lebih cenderung memilih sikap fleksibel agar mampu bertahan hidup.
Bertahan hidup akan memberi harapan daripada keras tetapi dengan resiko
kematian. Di saat yang sulit itu besar sekali jasa K.H. Abdul Wahab Hasbullah
(1888-1971), Rois Am, memimpin NU mengatasi tantangan. Dia yang dilukiskan oleh
Zuhri mempunyai "pergaulan luas" dan "daya pemersatu di kalangan
ulama yang sedang mencari jawaban antara cita-cita dan kenyataan yang mereka
hadapi,"(107) memberikan fatwa:
Jadilah seperti ikan yang hidup! Ikan
itu selagi dia masih hidup, masih mempunyai ruh atau nyawa biar dia
seratus tahun hidup di laut yang mengandung garam, dia tetap saja
tawar dagingnya tidak menjadi asin. Sebabnya karena dia mempunyai ruh,
karena dia hidup dengan seluruh jiwa. Sebaliknya kalau ikan itu sudah mati,
sudah tidak mempunyai nyawa, tiga menit saja taruh dia di kuali yang bergaram,
maka dia akan menjadi asin rasanya.(108)
Bagaimana agar tetap hidup dengan
"tidak menjadi asin" itulah yang penting bagi NU. NU tidak ingin
hidup berlandaskan oportunisme politik, tetapi harus mempunyai landasan
keagamaan (diniyah). Untuk itu NU mengajukan kaidah menerima Nasakom:
"Dar'ul mafaasid moqoddamun ala jalbil mashalih" yang dapat
diartikan "menghindari kerusakan lebih diutamakan daripada mengambil
manfaat.''(l09) Dalam kaitan ini Idham Chalid, ketua umum, yang terkenal dekat
dengan Wahab Hasbullah menyatakan tentang politik NU:
Dalam segi politik dalam negeri,
Nahdlatul Ulama selalu mencoba dalam batas-batas kemungkinan menyesuaikan
dirinya dengan waktu dan peristiwa dan tidak pernah tampil baik aktif maupun
reaktif dengan sesuatu yang absolut dan mutlak-mutlakan.(110)
Sikap-sikap yang dirumuskan di atas, di
laut tetapi tidak menjadi asin" atau "selalu mencoba dalam
batas-batas kemungkinan", sikap yang fleksibel dalam politik, berakar pada
doktrin ahlusunnah wal jamaah.(111) Sambil menandaskan anutan NU dalam tauhid
mengikuti al-Asyari dan al-Maturidi, mengikuti salah satu dari empat
mazhab, dan mengikuti al-Junaid dalam tasawuf (sufisme), sebagai dasar NU
mengembangkan "tradisi keilmuagamaan paripurna," maka NU — kata Wahid
— "telah membagi siklus kehidupan para warganya dalam sejumlah lingkaran
kegiatan atau bidang perhatian yang baku."(112)
Pada kesempatan lain Wahid
membandingkan sikap keagamaan golongan tradisional (NU) dengan golongan
reformis (modernis) dalam memandang kehidupan dunia,
Kelompok reformis menganggap bahwa
kehidupan dunia mempunyai timbangan sama dalam pandangan agama .... pada
kalangan tradisional mempunyai arti lain: persambungan vertikal, dan
hal-hal duniawi hanyalah persiapan belaka bagi kebahagiaan kekal di alam baka
nanti.(113)
Kendati ia tidak menjelaskan lebih
lanjut apa yang disebut "persambungan vertikal" itu, menurut hemat
saya apa yang diungkapkannya sejajar dengan ungkapan yang terkenal di kalangan
NU, sebagaimana dikutip oleh Wahid: "Hidup dunia sangatlah penting kalau
dijadikan persiapan untuk kebahagiaan akhirat, dan akan kehilangan artinya jika
tidak diperlakukan seperti itu."'(114) Dengan demikian NU dapat menerima
suatu perkembangan kendati pun perkembangan itu tidak disukainya. Namun
serentak dengan itu NU akan selalu mengusahakan sesuatu perkembangan agar
selaras dengan tuntutan agama. Sikap keagamaan bukan sikap ideologis yang
ditekankan NU dalam menghadapi masalah Nasakom.
Sambil bersikap fleksibel dalam
percaturan politiknya, NU mengadakan konsolidasi organisasi. Ormas-ormas
(organisasi massa) khususnya organisasi pemuda NU (sering disebut Pemuda
Ansor(115) ) disiapkan menghadapi segala kemungkinan akibat ketegangan
politis dengan PKI.(116) Sehingga ketika kudeta pecah yang didalangi oleh PKI
(yang terkenal dengan istilah G—30—S PKI, singkatan dari Gerakan tiga puluh
September) tahun 1965,(117) Praktis NU yang paling siap secara fisik dan
politis dalam aksi penumpasan terhadap PKI. Secara fisik, massa NU dengan gigih
turut menumpas PKI baik spontan maupun bersama-sama dengan ABRI (Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia), seperti yang terjadi di Jawa Timur.(118) Dan
dalam waktu kurang dari seminggu pada tanggal 5 Oktober 1965 mengeluarkan
pernyataan politik yang disebut Resolusi Mengutuk Gestapu yang
isinya:
- Memustuskan kepada Presiden
agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya membubarkan PKI beserta semua
organisasi massanya.
- Memohon kepada Presiden
agar mencabut ijin terbit semua surat kabar/pemuda publikasi lainnya yang
secara langsung atau tidak langsung membantu kudeta Gerakan 30
September.
- Menyerukan kepada seluruh
umat Islam dan segenap kekuatan revoulusioner lainnya agar membantu ABRI
melaksanakan perintah Presiden dalam menyelesaikan segala akibat yang
ditimbulkan oleh Gerakan 30 September.(119)
Kita melihat betapa kuat tuntutan NU dalam soal pembubaran
PKI sebagai dalang kudeta. Untuk pembubaran PKI digunakan istilah memutuskan!
Yang kedua adalah permohonan dan yang ketiga adalah seruan. Agaknya hal ini
mencerminkan sikap hati-hati karena saat itu Presiden Sukarno tidak tegas
sikapnya menanggapi kudeta yang gagal itu. Keadaan dan arah makin jelas ketika
Mayor Jenderal Suharto, orang yang paling berjasa menumpas PKI dan kemudian
menjadi presiden, menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 yang lebih
dikenal dengan Supersemar) dari Presiden dan dengan bekal Supersemar itu
ia berwenang mengambil segala tindakan yang perlu untuk menegakkan ketertiban
dan keamanan.(120)
Kegagalan kudeta PKI dan kemunculan
Suharto merupakan babak baru dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sejak
1965 mulailah kurun waktu yang dikenal sebagai Orde Baru (sebelumnya
disebut Orde Lama). Orde Baru adalah suatu pengertian politis sebagai
upaya meluruskan kembali sejarah perjalanan bangsa berlandaskan UUD 1945 dan
Pancasila secara murni dan konsekuen karena Orde Lama dinilai telah menyimpang
dari landasan UUD 1945 dan Pancasila.(121) Orde Baru dalam kiprah politiknya
ditandai dengan makin kuat dan meluasnya peranan ABRI serta kemunculan kekuatan
politik baru yaitu Golkar, serta naiknya kaum teknokrat di panggung
pemerintahan. Dan secara ekonomi Orde Baru adalah usaha pembangunan dalam
segala bidang.
Dalam lapangan politik Orde Baru
melancarkan apa yang disebut Demokrasi Pancasila sebagai antitesis dari
Demokrasi Terpimpin yang dinilai telah menyimpang dari UUD 1945. Menyadari
usaha ke arah itu tidak mudah, pemerintah menjalankan secara bertahap.(122) Ada
dua pokok perhatian, yaitu agar jangan terulang kebebasan tanpa batas seperti
dalam zaman Demokrasi Liberal dan upaya mematikan kebebasan seperti dalam zaman
Demokrasi Terpimpin.
.... kerangka pemikiran yang melandasi
Demokrasi Pancasila ialah membangun sistem politik Indonesia di atas
keseimbangan selama ini menunjukkan dua ekstrim yang bisa membahayakan itu.
Pertama, kecenderungan untuk memiliki kebebasan tanpa batas yang mudah
meningkatkan kadar konflik menjadi tinggi dan berlarut-larut sehingga
masyarakat tetap terpecah belah dalam kotak-kotak ikatan sub-nasional atau
primordial. Kedua, kecenderungan mematikan sama sekali konflik (kritik
atau perbedaan pendapat) yang menjurus kepada sikap dan tingkah laku diktatorial.(123)
Bagaimana sikap NU menghadapi
pembaharuan politik yang dilancarkan oleh Orde Baru? Partai-partai politik
khususnya NU memandang bahwa dengan jatuhnya Orde Lama adalah kesempatan untuk
menunjukkan kemampuan politik dengan cara mendesak pemerintah segera mengadakan
pemilihan umum. Pemilu yang direncanakan tahun 1968 kemudian tertunda karena
Undang-undang Pemlihan Umum tersendat penyelesaiannya, pemerintah ingin menunda
sampai tahun 1973, akhirnya diputuskan untuk dilansungkan tahun 1971 atas
desakan NU!(124) Dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (yang disahkan tabun 1969)
kedudukan ABRI dijamm melalui pengangkatan.(125) Secara tidak langsung ABRI
berhasil mengukuhkan kehadirannya tetapi bagi partai berarti "merosotnya
peranan partai terutama NU"!(126)
H. Subchan Z.E. seorang tokoh NU
memberi komentar yang bernada pasrah,
Secara umum dikatakan bahwa UU
Pemilihan Umum tidak relevant dan tidak "demokratis" secara
sempurna. Namun demikian masih lebih baik dari pada tidak ada undang-undang
pemilihan umum itu. Ini merupakan permulaan yang baik dari kehidupan demokrasi,
setelah ditinggalkan oleh rezim Soekarno.(127)
Subchan Z.E. adalah seorang tokoh NU
yang cukup berbobot. Ia terpilih menjadi Ketua I (semula Ketua IV) dalam
Muktamar NU ke-24 di Bandung tahun 1968.(128) Dia juga menjabat Wakil Ketua MPR
Sementara.(129) Kalangan NU menilainya seorang tokoh yang keras sikapnya dan
Subchan sering menilai sikap NU selama ini (di zaman Orde Lama) terlalu
lunak.
Subchan memang sangat ambisi untuk
membawa NU sebagai kekuatan sosial politik yang disegani. Di saat posisi NU
sedang terjepit, khususnya di lembaga konstitusi, Subchan justru mengemukakan
resep untuk mengangkat derajat NU di medan politik .... Menurut Subchan,
bahwa sikap ekstrim bukanlah fitrah perjuangan NU . . Tetapi sikap oportunisme
juga dikecam oleh Subchan . . . oportunisme hanya membuat NU akhirnya disenangi
dan dipergunakan, tetapi tidak dihormati dan didengar sama sekali.(130)
Sikapnya itu menimbulkan pertentangan
di dalam tubuh NU. Secara terang-terangan Idham Chalid mengritik sikap
Subchan.(131) Namun dia tampaknya mempunyai banyak pendukung. Muktamar Ke-25 di
Surabaya hampir saja memilih dia sebagai ketua umum tetapi atas tekanan KH.
Bishri Sansuri seorang ulama senior yang kemudian menjadi Rois Am menggantikan
wahab Hasbullah, Subchan mengundurkan diri dari pencalonan.(132) Akhirnya
ambisi Subchan kandas dengan keluarnya Surat Pemecatan Rois Am K.H.
Bishri Sansuri pada bulan Januari 1972. Tetapi Subchan menolak dengan keras
pemecatan itu dan menuntut diadakan Muktamar luar biasa.(133) Hanya karena
Subchan meninggal dalam tahun yang sama maka NU terhindar dari
kemelut.(134)
Kemunculan Subchan mungkin boleh dinilai
merupakan fenomena baru dalam kiprah NU. Pertama, pada masa Orde Lama karena
tekanan eksternal sangat kuat, NU tampil berhati-hati dan prihatin terhadap
kelangsungan hidup partai, serta lebih menonjolkan sifat keagamaannya. Tetapi
setelah Orde Baru dan hancurnya musuh lama PKI, maka NU mulai memperjuangkan
pengaruh dalam lapangan politik. Sekurang-kurangnya penampilan Subchan
mengungkapkan bahwa NU makin larut dalam memperjuangkan pengaruh politik.
Mungkin hal ini sebagian didorong oleh pengalaman manis di awal Orde Baru
ketika NU bersama ABRI dan kekuatan sosial politik lainnya yang anti komunis
menikmati "bulan madu." Sebelum Pemilu 1971 NU berpengaruh kuat dalam
legislatif dan kabinet (Subchan menjadi Wakil Ketua MPR Sementara, K.H.A. Sjaichu
menduduki jabatan Ketua DPR, dan K.H. Mohammad Dachlan sebagai Menteri
Agama).(135) Kedua, konsekuensi dari hal itu NU makin bergantung pada politisi
dan serentak dengan itu peranan ulama makin tergeser ke belakang.
Pembangunan yang digalakkan oleh Orde
Baru telah mulai terasa dampaknya pada NU. Di saat NU berusaha memperkuat
pengaruh politiknya, secara organisasi keagamaan ia makin mundur. Maksoem
Machfoedz menilai dengan realistis bahwa ada lima hal penyebab kemunduran
(menurut dia sejak 1967),
- Bergesernya tata
nilai
Sejak NU menjadi partai politik, apa yang diutamakan hanyalah angka pengikut dan kursi. Ia mengabaikan pengembangan ajaran agama. - Munculnya
tokoh-tokoh baru
Karena kurangnya tenaga tekhnokrat maka muncullah tokoh-tokoh baru menduduki posisi kepengurusan walaupun integritas keagamaannya belum terjamin. - Tanpa generasi
penerus
Pesantren yang dikenal sebagai basis, karena diabaikan, tidak mampu lagi menelorkan tenaga muda sebagai generasi penerus. - Sistematika
penyerapan hukum Islam goyah
Disiplin hidup makin longgar dan NU tidak mampu memberi pedoman baru, karena hukum (fiqh) tidak digali secara mendalam. Bahkan ada kecenderungan memperalatnya untuk program. - Memindahkan
basis
Hangatnya profesionalisme di mana NU juga mempunyai wadahnya (terbentuknya organisasi-organisasi buruh, petani, guru, dan sebagainya, yang bernaung di bawah NU), adalah pertanda bertambah basis-basis baru di samping pesantren sebagai basis lama. Tetapi pertambahan basis belum sempat dikelola secara organisatoris.(136)
Kemunculan Orde Baru telah membuat NU dan kekuatan politik
Islam lainnya menaruh harapan akan dapat meraih kekuatan yang lebih besar
dibandingkan dengan pada masa Orde Lama. Harapan itu rupanya hanyalah harapan
semu. NU kurang menyadari bahwa sejak kemunculan Orde Baru situasi telah
berubah; pemerintahan dikendalikan oleh kalangan birokrat, ABRI dan teknokrat.
Dengan menangnya Golkar, organisasi politik dari pemerintah yang sedang
berkuasa, maka mudah bagi pemerintah mengarahkan perkembangan politik dalam
kaitannya dengan pembangunan nasional. Serentak dengan itu peranan partai
politik tidak lagi sekuat seperti pada zaman Orde Lama. Secara khusus NU
"kehilangan" jabatan menteri agama yang selalu dipercayakan kepada
tokohnya sejak tahun 1950-an. Jabatan menteri agama pada tahun 1971
dipercayakan kepada seorang teknokrat tamatan sebuah universitas di Kanada,
yaitu Mukti Ali, dan tidak pernah lagi diperoleh NU sampai sekarang.
______________________
68. C.van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, terjemahan dari Rebellion Under the Banner of Islam, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hlm. xvii-xviii.
______________________
68. C.van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan, terjemahan dari Rebellion Under the Banner of Islam, (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), hlm. xvii-xviii.
69. Ibid., hlm. 170.
70. Ibid., hlm. 13-14.
71. Boland, op cit., hlm. 59.
72. Yusuf, et al., op cit., hlm. 46.
73. Ibid., Cetak tebal dari saya.
74. Anam, op.cit., hlm. 200.
75. Ibid.
76. Yusuf, et al., loc.cit.
77. Boland, op.cit., hlm. 138. Istilah Syaukati yang
"pasukan bersenjata" terdapat dalam Sura 8:7. Lihat, Ibid.,
Catatan Kaki nomor 100. Pemberian Gelar itu dikecam habis-habisan oleh kalangan
pembaharuan. Alasan mereka, antara lain, karena negara Indonesia tidak
berlandaskan Islam. Lihat, Noer, Partai Islam, hlm. 341-344.
78. A. Yusuf Ali, The Holy Qur'an: Translation and
Commentary, (Brentwood, Maryland: Amana Corp., 1983), hlm. 198. Cetak tebal
dari saya.
79. Van Dijk, op.cit., hlm. 142.
80. Abdurrahman Wahid, "Nahdlatul Ulama dan Islam di
Indonesia Dewasa Ini", Prisma, nomor 4, April 1984, hlm. 31-38.
81. Ibid., hlm. 34. Secara hurufiah fiqh berarti
pemahaman atau pengertian. Bersama dengan ilmu ('ilm), fiqh merupakan
usaha (proses) memberlakukan perintah atau jalan Tuhan (Syariah) dan
ketaatan kepada Tuhan (ad-Diin); istilah syariah dan ad-Diin bisa
saling dipertukarkan selama menyangkut kandungan agama. Semula fiqh dimengerti
sebagai "pemikiran pribadi seorang ulama" dan dalam proses
perkembangan selanjutnya menjadi disiplin tersendiri. Rahman, Islam,
him. 141 144.
82. Ibid.
83. Ibid.
84. Ibid. Cetak tebal dari saya
85. Ibid.
86. Lihat, Noel J. Coulson, Hukum Islam Dalam Perspektif
Sejarah, terjemahan dari 'The History of Islamic Law', (Jakarta: P3M,
1987), hlm. vii-ix (Kata Pengantar Penerbit); Lihat juga, hlm. 1-8.
87. Wahid, "Nabdlatul Ulama", hlm. 36.
88. Ibid.
89. Ibid.
90. Yusuf, et al., loc.cit.
91. Ibid. Akhirnya, operasi militer berhasil menumpas
pemberontakan dengan taktik mengikutsertakan rakyat. Kartosuwiryo ditangkap
pada
tanggal
4-6-1962 dan dihukum mati 16-8-1962. Ensiklopedi Politik, jilid 1,
hlm.162.
92. Supra, hlm. 137.
93. Anam, op.cit., hlm. 217.
94. Lihat Naskah Dekrit dalam Pranarka, op.cit.,
hlm. 169-170. Cetak tebal dari saya.
95. Lihat, Anshari, op.cit., hlm. 123-130 dan 145-159. O.K. Rahmat, dalam tesisnya 1969 dengan mengutip konsiderans menjiwai mengatakan bahwa Piagam Jakarta mendapat kekuatan hukum untuk turut bersama-sama dengan UUD 1945 menjadi landasan kehidupan bangsa dan perjuangannya." O.K. Rahmat, Titik-Titik Taut Antara Undang-undang Dasar 1945 dan Hukum Islam, tesis doktor pada Universitas Sumatera Utara 1969, (Medan: Indera Luthfi, 1969), hlm. 26.
95. Lihat, Anshari, op.cit., hlm. 123-130 dan 145-159. O.K. Rahmat, dalam tesisnya 1969 dengan mengutip konsiderans menjiwai mengatakan bahwa Piagam Jakarta mendapat kekuatan hukum untuk turut bersama-sama dengan UUD 1945 menjadi landasan kehidupan bangsa dan perjuangannya." O.K. Rahmat, Titik-Titik Taut Antara Undang-undang Dasar 1945 dan Hukum Islam, tesis doktor pada Universitas Sumatera Utara 1969, (Medan: Indera Luthfi, 1969), hlm. 26.
96. Dikutip melalui, Ibid., hlm. 146-147.
97 Tanja, Himpunan, hlm.41.
98. Pranarka menginventarisir kalangan Islam mengajukan 99
dalil untuk menuntut agar Islam menjadi dasar dan 49 dalil untuk menolak Pancasila.
Lihat, Pranarka, op.cit., hlm. 140-149.
99. Pemberontakan-pemberontakan di daerah menyebabkan
Presiden Sukarno memberlakukan keadaan perang (yang lebih dikenal dengan SOB,
singkatan dari Staat van Oorlog en Beleg), yang dengan sendirinya memusatkan
kekuasaan pada Presiden dan militer. Lihat, Demokrasi dan Proses Politik, hlm.
184.
100. Tanja, Himpunan, hlm. 86. Cetak tebal dari saya.
101. Lihat, Ensiklopedi Politik, jilid 1, hlm. 171 di
bawah "Dekrit Kembali ke UUD '45".
102. Bandingkan, Tanja, Himpunan, hlm. 86-87.
103. Menurut Sukarno Demokrasi Terpimpin adalah jalan keluar
dari sistem Demokrasi Liberal (Demokrasi Parlementer) yang telah menyebabkan
keadaan politik tidak stabil. Dengan adanya Demokrasi Terpimpin peranan
Parlemen berkurang tetapi kekuasaan Presiden makin besar. Karim, Perjalanan,
hlm. 140-141.
104. Lihat, Ensiklopedi Politik, jilid 3, hlm.
215-216 di bawah "Nasakom".
105. Ibid., hlm. 215.
106. Tanja, Himpunan, hlm. 97.; Bandingkan Badri
Yatim, Soekarno. Islam dan Nasionalisme, (Jakarta: Inti Sarana Aksara,
1985), hlm. 189.
107. Zuhri, Sejarah. hlm. 607.
108. Diktuip dalam, Anam, op.cit, hlm. 231.
109. Yusuf, et al., op.cit., hlm. 47.
110. Dikutip dalam Ibid.
111. Supra, hlm. 61-74.
112. Wahid, "Nahdlatul Ulama", hlm. 33.
113. Wahid, op cit., hlm. 73. Cetak tebal dari
saya.
114. Wahid, "Nahdlatul Ulama", hlm. 34.
115. Ansor (dari kata Arab Anshar atau al-Anshar yang
artinya penolong) semula dalam sejarah Islam digunakan untuk penduduk Madinah)
yang mendukung nabi Muhammad ketika beliau pindah (hijrah) dari Mekah ke
Medinah (623 M ) Boland, op.cit, hlm 55 Catatan kski nomor 110.
116. Anam, op. cit., hlm. 238-243.
117. Lihat, Ensiklopedi Politik, jilid 2, hlm. 35-43
di bawah "Gerakan 30 September".
118. Anam, op.cit., hlm. 245.
119. Lihat, Ibid., Lampiran, hlm. 67-68 (Kutipan
merupakan ringkasan). Gestapu adalah singkatan Gerakan September Tiga Puluh,
versi lain untuk menyebutkan G - 30 - S. Disebutkan agar orang mudah mengingat
karena kekejamannya disamakan dengan kekejaman GESTAPO Nazi Jerman.
120. Lihat, Ensiklopedi Politik, jilid 4, hlm.
245-247 di bawah "Surat Perintah Sebelas Maret 1966".
121. Lihat, Ibid., jilid 3, hlm. 265-268 di bawah
"Orde Baru" dan "Orde Lama."
122. Demokrasi dan Partai Politik, hlm. 145-268
123. Ibid., hlm. 145-146. Cetak tebal dari saya
124. Lihat, Anam, op.cit., hlm. 257.
125. Demokrasi dan Partai Politik, hlm. 191.
126. Anam, op.cit., hlm. 258.
127. Demokrasi dan Partai Politik, hlm. 192.
128. Anam, op.cit., hlm. 259.
129. Ibid., hlm. 246.
130. Ibid., hlm. 260. Cetak tebal dari saya.
131. Ibid., hlm. 262.
132. Ibid., hlm. 265.
133. Lihat, Ibid., hlm. 265-266.
134. Ibid., hlm. 267.
135. Ibid., hlm. 246.
136. Machfoedz, op.cit., hlm. 198-216 (Kutipan adalah
ringkasan)
Ditulis
ulang dari Buku : Nahdlatul Ulama dan Pancasila: sejarah dan peranan NU dalam
perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka penerimaan Pancasila sebagai
satu-satunya asas/Einar M. Sitompul; kata pengantar oleh Abdurrahman Wahid —
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989
Tidak ada komentar:
Posting Komentar